Kala Cengkar tahu, sekarang dirinya berada di jaman yang berbeda. Sudah ratusan tahun sejak dia disegel dengan kutukan.
Musuh bebuyutan yang telah menyegelnya hanya manusia biasa pasti sudah hidup lagi.Namun, di setiap jaman pasti ada tokoh yang dianggap paling sakti. Pendekar yang pilih tanding dan sukar dikalahkan. Dia ingin tahu siapa yang paling hebat di jaman ini."Coba jelaskan tentang keadaan bumi yang aku pijak sekarang?" tanya Kala Cengkar menatap tajam ke arah dua orang yang telah menyatakan siap jadi abdinya.Gentasora menuturkan tentang nama kerajaan dan siapa yang sedang berkuasa sekarang. Memberi-tahukan jarak waktu dari jaman ketika Kala Cengkar hidup.Kala Cengkar angguk-angguk. Sesuai dugaannya. Karena selama tersegel jadi patung dia selalu menghitung setiap tahunnya."Lantas siapa yang paling sakti sekarang?"Grendaseba dan Gentasora saling pandang. Meski mereka rela jadi pengikutnya Kala Cengkar, tapiDi depan sana berdiri seorang pemuda tampan yang menaungi dirinya dengan payung padahal tidak sedang hujan.Kameswara ingat pemuda itu yang menemuinya ketika berada di alam Gelang Kamulyan. Pendekar dari masa lalu yang memberinya tiga ilmu dahsyat.Belum sempat menyapa, pemuda berpayung melesat ringan. Terbang lalu mendarat di samping Kameswara yang duduk di bagian tempat kusir.Yang bikin Kameswara terpana, setelah pemuda ini mendarat, payung yang dipegangnya lenyap begitu saja. Kemana payung itu pergi?"Kita berjumpa lagi, sobat!"Kameswara memberikan senyum ramah sebagai tanda sambutan. Lalu dia menyilakan duduk."Biar lebih nyaman, tuan duduk di dalam saja!""Oh, baiklah terima kasih. Aku juga dulu seperti ini, memiliki kereta kuda sendiri. Hanya keretaku lebih besar, rodanya empat dan kudanya dua!"Pemuda dari masa lalu ini sudah duduk di dalam saung."Ini pemberian, saya hanya menerima saja. Kalau
"Kenapa raut wajahnya seperti orang mati?" pikir Kameswara. "Sepertinya ini ada unsur kesengajaan!"Kameswara melihat ke rumah yang megah. Mewah, tapi kesannya menyeramkan. Hari sudah mulai gelap, tapi belum menyalakan penerangan.Baru saja dipikirkan, lalu ada dua orang lelaki kurus sepertinya pembantu di rumah ini. Mereka menyalakan damar kecil yang menggantung di atas teras."Juragan Putri benar-benar kejam sampai mengusir Den Angga!""Ssst... Jangan keras-keras! Gawat kalau sampai juragan dengar!""Yah, sebagai kacung kita mah nurut saja!""Aku juga kalau mampu mau mengurus Den Angga!"Dua orang itu menyalakan setiap damar kecil yang menggantung di tempat yang sudah di sediakan.Kameswara mencoba mengelilingi rumah besar ini. Melihat ke bagian dalam juga tampak remang-remang saja. Apakah di rumah ini tidak ada penerangan yang lebih besar lagi.Kesannya seperti menyukai yang temaram saja."S
Dari pintu gerbang depan muncul seseorang yang tidak asing bagi Kameswara. Salah satu tokoh golongan hitam bekas dedengkot Laskar Siluman Merah."Gentasora!"Si nenek dan Prabasari melepas napas lega setelah kedatangan Gentasora. Sepertinya mereka sudah lama menantikan orang ini."Aku kira orang-orangku tidak terlambat memberikan kabar!" ujar si nenek."Memang aku yang lambat, ada urusan yang sangat penting dan mendesak!" sahut Gentasora.Ketiganya kemudian masuk menuju ruang tengah rumah yang cukup luas. Si nenek menambahkan penerangan dengan menyalakan beberapa damar lagi yang menempel di dinding."Aku senang kalian berhasil melenyapkan si Kertasara sesuai dengan arahanku!" Gentasora menyeret satu kursi dari kolong meja besar untuk di jadikan tempat duduknya.Si nenek dan Prabasari melakukan hal yang sama. Mereka duduk melingkari meja besar yang sudah terhidang berbagai macam makanan, buah-buahan dan minuman.
Kameswara merasa ada yang aneh. Tiba-tiba dadanya berdebar. Ada juga rasa takut. Suara Rintami terdengar beda. Dia jadi bingung."Kameswara, kemarilah!" Sekali lagi Rintami memanggil. Suaranya lebih halus.Pemuda ini melihat ke arah kamar satunya, tempat di mana Angga tidur. Dia berharap anak itu bangun.Bingung harus berbuat apa. Kalau meninggalkan begitu saja, takutnya memberikan kesan yang buruk, tapi kalau memenuhi panggilan ibu satu anak itu, kelemahannya tak bisa dibendung."Kameswara,""I- iya, sebentar!"Perlahan Kameswara mendekati pintu kamar. Dadanya semakin berdebar. Serasa darahnya mengalir lebih cepat. Walau cuma dua langkah, tapi rasanya seperti menelusuri jalan panjang.Pintu kamar memang terbuka setengahnya. Seketika bayangan tubuh Rintami yang masih terlihat indah menjelma di pelupuk matanya.Bimbang. Imannya masih lemah.Begitu masuk Kameswara langsung disuguhkan dengan pemandangan ya
Wugh! Bukk! Bukk! Bukk!Sabetan tongkat bertubi-tubi menandai luka di sekujur tubuh Kameswara. Pemuda ini membiarkan Nyai Pancaksuji melampiaskan amarahnya."Laki-laki tidak berguna, menyesal aku titipkan dia padamu, heyyaaah...!"Bukk! Bekk! Bukk!Kameswara sama sekali tidak melawan. Apapun yang diucapkan si nenek dia terima. Karena memang dia sendiri yang membunuh Kirana, walaupun sebenarnya sang istri diumpankan oleh Ranu Kerta.Tapi tetap saja Nyai Pancaksuji tidak terima apapun penjelasan Kameswara.Jika harus menerima ajal dari si nenek, maka Kameswara pasrah saja.Sementara Nyai Pancaksuji sangat menyesalkan kehilangan Kirana yang menurut penerawangan saktinya, muridnya akan menjadi pendekar yang paling digjaya.Ya, Kirana mempunyai tubuh istimewa. Mungkin paling istimewa di antara generasi emas. Walaupun khasiat Darah Sucinya telah hilang, tapi jenis tulang dan kecerdasan dalam menerima pelajaran sangat
Kameswara turun dari kereta. Melangkah lebih dekat ke gapura yang dihiasi dengan bunga-bunga. Dia merasakan hawa sakti yang kuat, tapi tidak melihat siapapun di sana."Apa dia bisa menghilang juga?" gumam Kameswara.Padahal Kameswara sudah menggunakan mata sakti untuk menembus tebalnya kabut. Ternyata di sebelah dalam gapura merupakan sebuah halaman luas.Lebih dalam lagi, di sana ada bangunan megah lebih besar dari ukuran rumah biasa. Kameswara mengira pasti suara itu berasa dari dalam sana.Berarti pemiliknya mempunyai tenaga dalam besar.Kameswara melangkah masuk. Setelah berada di tengah-tengah halaman, sekelebat angin menghembus dari dalam bangunan yang tidak berpintu itu.Angin itu membentur hawa sakti yang dipancarkan Kameswara lalu buyar. Setelah itu muncullah seorang gadis dari dalam bangunan dengan ekspresi datar.Gadis dengan postur tubuh tinggi mengingatkan-nya pada Citrawati, tapi kulitnya sangat putih bagai
Si kembar tiga tidak mau menyerah. Mereka berbaris lurus. Masing-masing pedang diangkat lurus ke atas. Ketiganya himpun tenaga dalam lebih banyak lagi.Seketika udara di sekitar tempat itu menjadi hangat dan menebarkan aroma harum aneka bunga.Kameswara merasakan energi yang begitu berat bagai membebani pundaknya. Dia segara tahan napas, alirkan hawa sakti melawan energi yang menekan ini.Ilmu apa yang dikeluarkan si kembar tiga ini?Di belakang tiga gadis ini terangkat ribuan kelopak bunga melayang setinggi setengah tombak. Terdengar suara berkeresekan yang cukup memekak telinga.Salah satu gadis menggerak-gerakkan pedang, meliuk lembut seperti menari. Gemulai tubuhnya membuat Kameswara terpesona sehingga dia terbuka pertahanannya.Belum sempat melihat apa yang jadi, tahu-tahu ribuan kelopak bunga bergerak cepat bagai badai menghantam tubuh Kameswara.Wuurrrgh! Brukkk! Desss!Kameswara merasakan dirinya bagai d
Yang berdiri di depan sana adalah seorang lelaki setengah baya yang postur tubuhnya tinggi besar. Kepala botak, wajah terkesan bengis dengan hiasan kumis tipis.Laki-laki ini memegang tombak yang panjangnya melebihi tinggi badannya yang kekar berotot. Matanya agak cekung, tapi sorotnya tajam menatap Kameswara.Kameswara tetap tenang di atas keretanya. Dari hawa sakti yang terpancar orang ini setingkat dengan Gentasora."Bisa kembali dari lembah Kupu-kupu dalam keadaan hidup, berarti ilmumu tidak bisa dipandang rendah!" Seperti sosoknya, suaranya juga besar bagai gemuruh angin badai."Tapi itu hanya keberuntungan saja, belum tentu kau bisa melewatiku!" lanjutnya sambil menghentakkan tombak ke tanah.Kameswara miringkan wajah sambil garuk-garuk kepala. "Kalau kau saja tidak mampu melawan penunggu lembah, bagaimana kau bisa sesumbar seperti itu di depanku?"Si botak mendelik lalu terbahak-bahak. "Yang bisa masuk ke sana hanyalah yan
Akan tetapi Puspa Arum terus berlari mendekati. Setelah dekat gadis bertubuh mungil ini terpekik."Raka Arya!"Kameswara segera menghambur. Kondisi Arya Soka cukup mengenaskan. Bagian wajah sampai dadanya tampak hangus. Yang paling parah pada bagian dada. Ada bekas telapak tangan di sana."Ajian Tapak Memedi!" seru Nyai Mintarsih mengenali pukulan yang bersarang di tubuh anak laki-lakinya.Segera saja Kameswara membawa tubuh Arya Soka ke tempat yang aman. Kemudian disalurkan hawa saktinya melalui telapak tangan yang ditempelkan di dada.Kameswara terkejut. "Pukulan ini mengandung racun!" serunya."Ajian Tapak Memedi memang mengandung racun ganas!" sahut Nyai Mintarsih.Beberapa jalan darah segera ditotok guna menghentikan penyebaran racun. Racunnya sudah agak menyebar, tapi belum sampai mendekati jantung.Dengan hawa sakti Kameswara mengendalikan racun. Mengumpulkannya di satu tempat yang tidak membahayakan, kar
Karena bujukan Nyai Basingah yang masih rindu kepada Nyai Mintarsih akhirnya rombongan Kameswara menginap di rumah ini.Ada dua kamar di rumah itu. Nyai Basingah mengajak sahabatnya untuk satu kamar bersamanya. Puspa Arum dan dua gadis lain di kamar satunya.Sedangkan Kameswara di ruang depan.Malam begitu cepat datang dan tamu Nyai Basingah juga begitu cepat mengantuk. Entah karena perjalanan yang lelah atau hal lainnya.Kecuali Kameswara.Di saat yang lain sudah berbaring di tempatnya masing-masing, Kameswara diam-diam naik ke atas atap. Dia berdiri di sana sambil memperhatikan ke sekeliling rumah.Bukan apa-apa. Sejak kesaktiannya pulih, kepekaannya juga tajam. Dia merasakan ada beberapa orang yang mengikutinya secara sembunyi-sembunyi.Kalau para penguntit itu tahu identitas mereka yang sebenarnya, berarti ada yang orang membocorkannya. Juga berarti ada orang padepokan yang telah berkhianat.Sementara para p
Sebelum Kalong Merah melancarkan serangan kedua, Kameswara sudah mengeluarkan satu Kujang Bayangan di tangan kanan saja.Wutt! Srang!Begitu cahaya melesat dari tangan Kalong Merah, kujang dikibaskan menangkis cahaya tersebut. Tentu saja kujang itu sudah dilapisi ajian Bantai Jagat.Kilatan cahaya terpental balik menuju si pemiliknya sendiri. Kalong Merah terkesiap, dia tidak siap untuk menghindar.Ajian Dewa Kalong Mengamuk mengenai diri sendiri. Si jubah merah ini seperti tersedak makanan. Mulut terbuka bagaikan hendak menelan sesuatu, tapi susah.Sementara di bagian dalam tubuhnya bergejolak terasa terbakar dari mulai kepala sampai kedua kaki. Panas dan sakitnya tak tergambarkan, bahkan untuk sekadar berteriak pun tidak bisa.Bratt!Tubuh Kalong Merah meledak langsung jadi debu. Semua yang melihat tampak bergidik ngeri. Apalagi suami istri pemilik kedai sampai gemetar.Semuanya termasuk Kameswara juga baru me
Si suami segera masuk ke kedai dia langsung ke halaman depan menyambut tiga orang lelaki bertampang sangar. Salah satunya mengenakan jubah merah yang memiliki kerah tinggi.Wajahnya lonjong, dagu lancip, bibir tebal. Di atasnya ada kumis tipis yang tidak kentara kalau dari jauh. Bentuk alisnya mencuat seperti sepasang tanduk dan kedua matanya sipit.Mungkin ini yang disebut Kalong Merah tadi. Senyum angkuh mengandung kekejian di bibirnya tampak sedikit miring.Dua orang di belakangnya adalah pembantunya. Mereka sama-sama berpakaian serba hitam. Senjata golok tergantung di pinggang masing-masing."Maaf, Tuan. Hari ini baru ada pengunjung mereka saja. Jadi saya belum mempunyai setoran, tapi kalau mau makan saya beri cuma-cuma,""Omong kosong apa ini, hah. Sudah tengah hari masa tidak ada pengunjung dari pagi. Jangan coba macam-macam kau!"Si Kalong Merah mendorong pemilik kedai ke samping hingga hampir terjatuh. Lalu dia melangkah
"Kita lihat saja perkembangannya ke depan," ujar Darpa.Terlihat Singgih ingin mengatakan sesuatu. Tapi tertahan oleh suara angin berkelebat di atas wuwungan.Dua prajurit ini saling pandang seraya sigap segera mengambil senjata masing-masing. Sebilah pedang dan perisai. Lalu segera berlari keluar."Sebelah sana!" seru Darpa berlari di depan menuju tanah yang sedikit lapang di belakang Barak.Singgih menyusul di belakang. Dari gerakannya tampak Darpa lebih cekatan dari temannya. Sampai di suatu tempat, Darpa menghentikan pengejaran lalu mengajak Singgih sembunyi di balik pohon yang batangnya besar."Kenapa?" bisik SinggihDarpa menggerakan kepalanya sebagai isyarat menunjukkan sesuatu ke arah depan.Kira-kira sepuluh tombak ke depan, dalam gelapnya suasana tampak dua sosok yang tengah bertarung adu jurus. Kedua sosok itu kurang jelas karena tersamarkan oleh gelapnya malam."Kau tahu siapa mereka?" tanya Singgih
"Arum, apakah Rahyang Sora dengan Purbasora itu sama?" tanya Kameswara setelah mereka berjalan jauh.Puspa Arum tampak melirik sejenak dengan kening mengkerut."Benar, kenapa dia sepertinya mengumpulkan orang-orang persilatan?" jawab Puspa Arum dengan pertanyaan balik."Entahlah!" Padahal Kameswara sudah menduga-duga apa yang menjadi tujuan sang menantu raja itu.Kemudian Puspa Arum mengaitkan dengan kabar yang selama ini beredar tentang persaingan antara Purbasora yang menantu raja dengan Wiratara yang merupakan putra raja."Apakah sampai sekotor itu?" batin si gadis mungil. Memikirkan intrik dalam kerajaan terlihat begitu rumit. Selalu ada perebutan tahta. Satu sama lainnya merasa paling berhak.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat peristirahatan Nyai Mintarsih bersama dua murid wanita lainnya.Akan tetapi baru saja sampai, mereka mendengar suara kehadiran orang lain. Orang banyak."Kalian semua pegang ta
"Mohon ampun, Tuan. Ternyata padepokan itu menyimpan pendekar maha sakti," lapor salah satu dari tiga jubah hitam yang berhasil kabur dari Kameswara."Omong kosong!"Yang lain ikut menjelaskan bahwa Kameswara yang disebut pendekar maha sakti tiba-tiba muncul di udara dan melepaskan angin badai yang menghempas semua anggota laskar.Diceritakan juga pertarungan melawan Kameswara yang menggunakan senjata aneh yang sangat mematikan hingga tersisa tiga orang saja.Itu juga kalau tidak segera kabur mungkin mereka sudah menjadi mayat bersama yang lainnya."Bagaimana bentuk senjata itu?"Salah seorang menjelaskan bentuk senjata yang digunakan Kameswara."Kujang!" desis sang pemimpin.Di masa ini kujang hanya di miliki orang-orang tertentu saja. Masyarakat biasa belum banyak yang tahu. Hanya kalangan bangsawan saja yang memiliki sebagai simbol seorang bangsawan.Akan tetapi yang dijelaskan anak buahnya, kujang i
Semua penghuni padepokan Mega Sutra merasakan hawa sakti yang kuat ini. Begitu juga Laskar Dewawarman, tapi pasukan jubah hitam ini tidak mengendurkan serangan.Crash! Srass!Korban berjatuhan lagi. Yang masih bertahan berlumuran darah menahan panas dan perih yang diderita. Termasuk Ki Jagatapa dan sang istri juga sudah banyak terluka.Brukk! Brugh!Wajah sepasang guru tampak memucat ketika melihat jumlah muridnya semakin berkurang.Apakah ini akhir riwayat padepokan Mega Sutra yang sudah berdiri puluhan tahun? Apakah akan mengalami nasib yang sama dengan dua padepokan besar sebelumnya?Hilang dari dunia persilatan tinggal nama. Dua padepokan besar saja bisa musnah, apalagi ini cuma padepokan kecil yang tidak terkenal.Pada saat itu hawa sakti asing semakin kuat. Sebentar kemudian segelombang angin dahsyat berhembus kencang bagaikan badai yang menghantam.Anehnya gelombang angin ini tidak menghantam murid-murid
Ki Jagatapa, Arya Soka dan Rana Surya langsung merangsek ke paling depan semuanya menghunus senjata.Si jubah hitam yang paling depan tampak tersenyum merendahkan. Tangannya melambai memberi isyarat kepada yang lainnya.Tanpa sepatah kata, Laskar Dewawarman yang hanya menurunkan sepuluh orang saja meloncat dari kuda masing-masing dan menyerang murid-murid padepokan Mega Sutra.Tidak seperti saat menyerang padepokan Sagara Kaler yang tidak turun dari kuda. Entah kenapa, mungkin mereka mempunyai perhitungan sendiri sampai harus turun dari kuda.Setiap satu orang berjubah hitam menghadai tiga sampai empat murid. Ada yang hanya murid laki-laki atau perempuan, tapi ada juga yang gabungan keduanya.Ki Jagatapa dan Nyai Mintarsih masing-masing menghadapi satu orang.Trang! Trang! Trang!Pertempuran sengit di pagi hari menghiasi padepokan kecil yang setiap harinya dilalui dengan damai ini. Perkiraan Ki Jagatapa tidak meleset. Be