Beranda / Semua / LANGIT KABUT CAMELIA / Ruang Masa I: Kamar Kos dan Bayang-Bayang

Share

Ruang Masa I: Kamar Kos dan Bayang-Bayang

Penulis: Emhaf
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-11 11:29:55

Satu-satunya kamar yang masih bersinar malam ini hanyalah kamar kosku saja. Semua lelah pikiran dari para penghuni kos lainnya menjelma gelap tanpa bayang-bayang. Entah, kurasa sudah hampir tiga jam aku berbaring dalam diam, menatap langit-langit kamarku yang berisi bayangannya. Siluet jam pasir itu sudah menjelma keyakinan dalam dadaku. Namun, harus seperti apa aku memberitahunya. Masa’ aku yang ngomong kalau ia adalah lelaki yang ditakdirkan untukku? Bukankah perempuan-perempuan di masa ini hanyalah manusia-manusia pemalu yang memilih menunggu dan terdahului daripada segera melangkah dan mendapatkan. Ah, kenapa aku galau begini? Bukankah aku bukan perempuan dari zaman ini? Bahkan, aku sendiri bukanlah penghuni dimensi ini.

“Arrrrrghhhhhhh... apa sih yang kulakukan?” sekejap aku sudah bangun dari keterbaringanku. Kutatap wajahku di depan cermin yang tergantung di sebelah pintu. Merah mukaku seperti seorang badut yang terlalu banyak memakai blause on. “Arghhhhhhhhhh... apa ini? Kenapa aku memikirkannya seperti ini?” kugoyang-goyangkan kepalaku ke kanan dan ke kiri.

Aku melompat-lompat berusha mengeluarkan keringat agar segala rona merah di wajahku yang terpusat di pipi menjadi rata, agar seteelah rata keringat itu pun membasuh merah di mukaku sehingga kembali seperti semula. Kata kebanyakan orang yang kenal denganku, mukaku adalah kuning-langsatnya orang Sunda. Padahal, orang Sunda kan kebanyakan terlihat putih. Kurasa, mereka menyebutku begitu sebab aku sudah lama tinggal di Sunda padahal lukisan wajahku lebih dekat dengan orang Jawa. Kan, Gavin orang Jawa kan ya? Lagi-lagi aku memikirkannya dan melompat-lompat. Tidak sadar, getaran dari hentakan kakiku membuat suasana di kamarku seolah sedang gempa. Lampu-lampu yang sudah padam di kamar-kamar lainnya pun dalam nada petikan yang hampir bersamaan, pun menyala beriringan.

Kulihat pancaran sinar-sinar lampu itu dengan membuka sedikit celah di jendela kamarku. Senyumku menggariskan kebingungan dan kekhawatiran. Kucoba meengusik perasaan itu dan kembali bermuka seolah tak tahu apa-apa. Setidaknya, sedikit pelajaran teater dari Mas Kurnia bisalah kupakai di saat begini.

“Eh gempa ya?”

“Di kamarku kerasa kecil sih!”

“Kita lari keluar gak nih?”

“Apa gak kita tunggu dulu! Jangan-jangan cuma lindu[1]

“Jangan begitulah, kalau gempa susulannya datang gimana?”

“Iya juga sih, kan kalau di Jogja ada gempa, kan gawat kan?”

Berusaha membuka pintu dengan cepat seolah mengagetkan, aku pun ikut nimbrung dalam celoteh para penghuni kos yang kebanyakan bicara daripada bertindak – yah bagaimanapun semua penghuni kos ini kan hanya perempuan. “Ayo cepat kita keluar!” katau sembari berlari. Seperti sekawanan bebek yang akhirnya memiliki pawang, celoteh mereka pun berhenti dan berganti dengan langkah cepat setengah berlari.

Gelap. Hanya tersisa lampu-lampu kecil sebagai penerang jalanan kampung. Dalam sebaris ke barat kami sama-sama melihat rumah-rumah kos yang begitu tenang. Nyala redup lampu teras mereka tak tergoyahkan sedikitpun oleh keributanku. Atau, gempa yang penghuni kosku takutkan. Dengan arahan tanpa suara, kami menoleh ke timur, kosong, jalanan sunyi tanpa suara dan hanya menyisakan angkringan-angkringan tanpa pelanggan. Suasana khawatir akan kematian karena gempa beerubah menjadi mencekam dan menakutkan.

“Kok sepi ya?” Rini, salah satu penghuni kos, seorang yang kamarnya berjarak dua kamar di barat kamarku mengelus-elus bahunya, “Bulu kudukku kok pada berdiri ya!”

“Jangan aneh-aneh deh Rin!” Yona, salah satu penghuni kos yang letak kamarnya paling ujung timur.

“Eh, sudah-sudah, mungkin karena cuma lindu semua orang masih gak kerasa dan nyaman-nyaman tidur aja! Ini kayaknya udah 10 menitan kita di sini. Mungkin, gak akan ada gempa susulan sih!” jelasku berusaha mendinginkan suasana mencekam yang hampir-hampir membuatku ikut ketakutan. Dengan nada setuju dan rumpian yang terus berlanjut. Kami pun melangkah kembali ke kamar kos.

Aduh... Mas Gavin.., baru mikiran kami aja udah gempa begini! Memang sudah takdir untuk kita ya... hmmm... entah, bagaimana aku harus cerita kepadamu. Entah, kamu akan menerima ceritaku atau tidak urusan nanti.

[1] Diambil dari bahasa Jawa yang berarti “gempa kecil”.

Bab terkait

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Ruang Masa II: Retakan Ingatan

    Siapa sebenarnya perempuan itu? Aku tak pernah melihatnya. Tapi, rasa-rasanya aku pernah mengenalnya. Seperti malam-malam biasanya, waktu senggangku adalah masa ketika seseduh kopi susu membangunkan jemariku. Mengawali tahun 2017 dengan menjadi seorang Pimpinan Produksi Teater tak pernah menjadi bayanganku sebelumnya. Ya... Sejak setahun lalu aku pernah bicara pada kawan lamaku, Jana, kalau aku sudah benar-benar rindu kuliah. Dalam bayanganku, segala penelitian yang dua tahun ini kumatikan secara suri akan bisa kubangunkan lagi.Angin dingin menyelimuti bangku besi berwarna hitam. Ceracas para aktivis yang berteman malam enggan membangunkan rumput yang terlanjur lelap. Namun, kepulan asap yang berembus dari mulut-mulut hitam mereka terlanjur merambat ke hidung para satpam kampus. Tidak butuh waktu lebih dari 5 menit, mereka pun akan terusir dari kampus dan dipaksalah mereka terdiam di kamar, sendirian sebagai nokturnal.Kadang kala aku salah satu dari

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-11
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Mereka Bertemu Sejak Permulaan Penciptaan

    **Khek... khek... Khek... Camelia yang terlalu lama terlena oleh perjalanan berabad-abadnya dan Gavin yang mulai menyadari ingatannya. Tahukah kau semua peristiwa itu memiliki permulaan? Akan kuceritakan padamu serpihan dari peristiwa itu.**Setiap makhluk berawal dari cahaya, tak terkecuali manusia. Cahaya itu menjelma sebagai jiwa yang nantinya akan dipecah dalam dua nyawa. Masing-masing nyawa memiliki masa hidupnya sendiri-sendiri. Jika kau tahu ledakan pertama yang memecah semesta dalam beragam galaksi. Jika kau tahu tentang kabut asap tebal sebelum dan sesudah ledakan. Tahukah kau unsur- unsur dasar manusia diambil dari setiap hal yang berserpih dari ledakan itu? Dan, setiap serpihan itu membawa pantulan cahaya pertama dari singgasana-Nya.Salah seorang makhluk yang nantinya memilih menjadi manusia, tercipta dari serpihan kabut itu sendiri. Hanya saja, ketika ia akhirnya menjelma sebagai asap mengambang dari potongan kabut it

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-04
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Sebuah Lirik, Mendung Musim Panas, dan Ruang Tersayat

    Selembar kertas, bolpoin, dan tarian jemari di atas layar ponsel menghentikan langkahku sore ini. Pada waktu yang serupa biasanya kukunjungi bangku itu, aku memilih untuk memikirkannya. Dia, bayang-bayang perempuan berparas cantik, bernada liris dengan suaranynya yang dalam. Dia, yang setelah sekian ratus hari hanya membiarkan kelebat rambutnya. Senyum dan sapanya yang lebih dahulu menyimpan kata-kata, kini telah reda. Ia menyebut, "Camelia!" kata yang mungkin adalah namanya, mengalihkan kekosongan kertasku pada masa sebelum lamunanku."Hoe Gav!" Seorang laki-laki melewatinya tanpa melupakan sebuah sapaan. Kurasa, dia kakak angkatanku. Dia belum lulus ya? Atau, lagi bekerja jadi staff di sini? Ah, untuk apa aku membingungkan diriku sendiri. Bagiku, sore ini bukan kakak angkatan itu yang penting.Pena di tangan kananku sedang asik menuliskan kata Camelia. Aku hanya menulis untuk melihat apakah aku akan mengingat sesuatu sebelum bayangannya. Biasanya, ketika aku

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-22
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Pertemuan Dua Masa

    Allahu Akbar... Allahu Akbar...Laa Ilaa Ha IllallahSentuhan tangan lembab di bahu kananku membuat segala kantuk lenyap. Bahu itu datang bersamaan dengan akhir lirik dari Adzan Subuh. Pada sebuah masjid yang menandai Keislaman Kraton Mataram di Yogyakarta, di situlah kuserahkan segala lelahku malam lalu. Aku sendiri tak benar-benar ingat bagaimana aku bisa ke sini. Lagi-lagi yang hinggap dalam ingatanku justru serpihan memori dan cambukan sulur beringin di udara. Aku semakin tahu, ini bukan hanya sekedar pengalaman mental, tetapi lebih dari itu, alam bawah sadarku sedang melihat sesuatu yang tak biasa.Sebasuh air pada muka dan aku mulai mengingat langkah pertamaku malam lalu. Seusai terkalut oleh sesuatu yang tak wajar aku pun tertunduk. Setengah kesadaranku mengangkat tubuhku ke badan motor.Tiga aliran air pada lenganku mengingatkanku pada cerita yang lain. Hari-hari ketika aku melihat sosok perempuan di bangku cokelat Malioboro. Bukanka

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-24
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Akhir dari Sebuah Liburan

    Tidak seperti makhluk manapun yang mengalami gejolak dari retakan waktu, mereka berdiri dengan lukisan senyum yang tak disangkakan. Sementara aku duduk di singgasanaku dan melihat segala sudut pandangan mereka, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu cocok menjalankan tugas ini. Namun, mereka harus menerima ujian untuk mengakhiri segala masa menyenangkan. Seorang penjaga waktu yang seharusnya menikmati perjalanan panjangnya di semsta yang tak berbatas dan seorang manusia yang kehilangan ingatannya dalam kilas-kilas – tak ada pasangan yang lebih sesuai sebagai pemegang jiwa kabut selain mereka. Sesuatu yang tampak lemah, tetapi tak akan ada yang menyangka kalau di balik sleimut kabut itu ada serbuan kengerian yang mampu menaklukkan siapa saja.**“Camelia, apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kenapa kamu gak takut sama sekali Mas?”“Lagi

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-25
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Tetesan Pertama dari Butiran Pasir

    "Woe... Cam! Cam! Waduh, dia sudah pergi duluan," ketika sebuah lemparan tombak hampir mengenai pelipisku.Oke oke... Aku masih harus berpikir sembari mengalahkan mereka. Lagian, siapa sebenarnya mereka dan apa mau mereka terhadap kami. Beberapa dugaan sudah muncul di kepalaku, namun tak satu pun yang bisa kuterima meskipun sangat mungkin itu benar."Woy, apa salah kami woy?" teriakku yang hanya beradu dengan udara."Sekhtay, skyutin, entahli," tak bisa kupahami apa yang mereka katakan."What, is that even language?" sambil melompat, menahan tendangan, dan sebuah salto ke balakang sebelum mengambil langkah macan.Krek-krek-krek... Suara itu berpadu dengan gesekan dedaunan. Kulihat salah seorang dari pasukan itu memutar sebuah tuas di punggungnya. Putaran itu membuat setiap barian pasukan lainnya untuk terdiam. Bilah-bilah tombak yang terpatri di genggaman mereka pun dibiarkan menyandarkan pangkalnya di bumi."Jiwa, tersesat, waktu!"

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-28
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Deja Vu

    Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-29
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Dari Sini Kita Baru Benar-Benar Melangkah

    Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-30

Bab terbaru

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Jam Pasir di Ujung Perburuan

    Sudah empat dari sepuluh makhluk yang terkumpul. Nantinya, setelah semuanya terkumpul akan terbit sepuluh pilar yang menyangga perputaran waktu. Sekarang, semua yang tampak aman dalam aliran waktu hanyalah jalur semu. Rasa aman dan nyaman hanyalah dimiliki oleh para makhluk yang ketakutan. Sementara, mereka yang paham bahwa tak ada yang aman dalam setiap langkah dapat menerima keabadian. Mengapa demikian? Bisa kubayangkan pertanyaan itu yang akan dilontarkan semua makhluk. Tidakkah kau, kalian, berpikir bahwa dalam rasa aman yang ada hanyalah rayuan? Padahal, kapan saja kau bisa tersandung kerikil kecil dan terluka karenanya. Padahal, dalam sebuah tidur panjang siapa saja bisa menghadapi kematian. Paddahal, dalam setiap makanan bisa jadi menimbulkan penyakit bukan?Lihatlah para makhluk penghuni lipatan dimensi, ketika kesepuluh pilar itu telah berkumpul, akan kutunjukkan siapa Aku!

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Elang dan Landak Hari ini Bersahabat

    Para pemburu yang mengincar kami pun mulai bergumam. Setidaknya, ada beberapa suara yang kudengar penuh keraguan. Rasa menyerah sudah meracuni pikiran mereka. Harapan mendapat hadiah besar hanyalah mimpi kolot yang mungkin lebih baik dihindari, setidaknya untuk hari itu, saat itu, momen itu – ketika mereka merasakan kesia-siaan menghadapi kami hanya bermodalkan kekuatan yang setengah-setengah. Spang... percikan besi yang memantul di udara seeperti pertemuan baja dengan batu api. Seorang pemburu dengan nekat menerjang bebarisan pemburu yang sudah ragu-ragu. Tatapan matanya yang tajam membuat barisan keraguan di belakangnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Beberapa dari mereka memilih untuk berpaling dan pergi. Namun, banyak juga dari mereka yang justru menunggui kami sebagai tontonan akhir pekan.&nbs

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Para Pemburu yang Membisu, Para Pemburu yang Menyeringai

    Suara itu membangunkan kesadaranku, meski ragaku masih terlelap. Aku tahu Camelia sedang mengusahakan segala yang ia bisa agar perjalanan pertama kami tak berisi kekacauan. Namun, sepertinya kami berdua adalah anak badai. Berhadapan dengan kami, bahkan sejak pertama bertemu adalah pertikaian. Apakah sudah saatnya aku tersadar dan mengagetkannya. Ia mungkin akan merasa menjadi guru paling berhasil sebab dengan cepat seorang amatir telah sejajar dengannya. Atau, kalau ia seorang perempuan pencemburu, dan sepertinya menyenangkan melihat wajahnya yang terlipat – aku harus lebih berhati-hati dalam menunjukkan kemampuanku.Aku harus bangun pelan-pelan seperti kukang yang enggan melepaskan batang pohon. Mataku harus terbuka pelan-pelan dan dengan sebuah usaha, kurasa bisa kujalarkan urat-urat di bola mataku untuk memerah. Ia akan melihatku seperti manusia pada umumnya, makhluk yang membutuhkan wkatu untuk sekedar bangkit dari keterlelapannya. Ta

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Lentara di Persimpangan Jalan

    Kaki kami melangkah hampir bersamaan, hampir sejajar. Dengan wajah yang tak lagi tertunduk, aku kembali menatap matanya dengan kemantapan. Lelaki itu, Mas Gavin, sebaliknya memberiku senyum yang begitu ringan. Seolah hanya dengan membalas senyumannya segala yang berat pun terangkat.“Bisa melompati waktu, bisa berpindah ruang, bahkan bisa silat, tak akan cukup Mas!” terangku kepadanya dengan senyum simpul untuk mengatakan yang sejujurnya.“Ya... aku paham, mengatasi tingakatan pasukan zirah saja sudah sangat menyulitkan. Kurasa, di sini kita yang menjadi buron bukan? Menjadi sasaran tidak bisa hanya dengan modal sembarang lari saja,” ucapnya sangat startegis dan memang begitulah yang hendak kukatakan kepadanya.Lampu kelap-kelip di Angkringan Pak Darmadi sayup-sayup kami tinggalkan dengan sepuluh langkah kemudian. Ketika siulan penyanyi di angkringan tersebut masih bersahutan dengan suara alap-alap kami mengambil segenggam kekuatan yang h

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Dari Sini Kita Baru Benar-Benar Melangkah

    Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Deja Vu

    Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Tetesan Pertama dari Butiran Pasir

    "Woe... Cam! Cam! Waduh, dia sudah pergi duluan," ketika sebuah lemparan tombak hampir mengenai pelipisku.Oke oke... Aku masih harus berpikir sembari mengalahkan mereka. Lagian, siapa sebenarnya mereka dan apa mau mereka terhadap kami. Beberapa dugaan sudah muncul di kepalaku, namun tak satu pun yang bisa kuterima meskipun sangat mungkin itu benar."Woy, apa salah kami woy?" teriakku yang hanya beradu dengan udara."Sekhtay, skyutin, entahli," tak bisa kupahami apa yang mereka katakan."What, is that even language?" sambil melompat, menahan tendangan, dan sebuah salto ke balakang sebelum mengambil langkah macan.Krek-krek-krek... Suara itu berpadu dengan gesekan dedaunan. Kulihat salah seorang dari pasukan itu memutar sebuah tuas di punggungnya. Putaran itu membuat setiap barian pasukan lainnya untuk terdiam. Bilah-bilah tombak yang terpatri di genggaman mereka pun dibiarkan menyandarkan pangkalnya di bumi."Jiwa, tersesat, waktu!"

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Akhir dari Sebuah Liburan

    Tidak seperti makhluk manapun yang mengalami gejolak dari retakan waktu, mereka berdiri dengan lukisan senyum yang tak disangkakan. Sementara aku duduk di singgasanaku dan melihat segala sudut pandangan mereka, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu cocok menjalankan tugas ini. Namun, mereka harus menerima ujian untuk mengakhiri segala masa menyenangkan. Seorang penjaga waktu yang seharusnya menikmati perjalanan panjangnya di semsta yang tak berbatas dan seorang manusia yang kehilangan ingatannya dalam kilas-kilas – tak ada pasangan yang lebih sesuai sebagai pemegang jiwa kabut selain mereka. Sesuatu yang tampak lemah, tetapi tak akan ada yang menyangka kalau di balik sleimut kabut itu ada serbuan kengerian yang mampu menaklukkan siapa saja.**“Camelia, apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kenapa kamu gak takut sama sekali Mas?”“Lagi

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Pertemuan Dua Masa

    Allahu Akbar... Allahu Akbar...Laa Ilaa Ha IllallahSentuhan tangan lembab di bahu kananku membuat segala kantuk lenyap. Bahu itu datang bersamaan dengan akhir lirik dari Adzan Subuh. Pada sebuah masjid yang menandai Keislaman Kraton Mataram di Yogyakarta, di situlah kuserahkan segala lelahku malam lalu. Aku sendiri tak benar-benar ingat bagaimana aku bisa ke sini. Lagi-lagi yang hinggap dalam ingatanku justru serpihan memori dan cambukan sulur beringin di udara. Aku semakin tahu, ini bukan hanya sekedar pengalaman mental, tetapi lebih dari itu, alam bawah sadarku sedang melihat sesuatu yang tak biasa.Sebasuh air pada muka dan aku mulai mengingat langkah pertamaku malam lalu. Seusai terkalut oleh sesuatu yang tak wajar aku pun tertunduk. Setengah kesadaranku mengangkat tubuhku ke badan motor.Tiga aliran air pada lenganku mengingatkanku pada cerita yang lain. Hari-hari ketika aku melihat sosok perempuan di bangku cokelat Malioboro. Bukanka

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status