Home / All / LANGIT KABUT CAMELIA / Pertemuan Dua Masa

Share

Pertemuan Dua Masa

Author: Emhaf
last update Last Updated: 2021-07-24 17:40:42

Allahu Akbar... Allahu Akbar...

Laa Ilaa Ha Illallah

Sentuhan tangan lembab di bahu kananku membuat segala kantuk lenyap. Bahu itu datang bersamaan dengan akhir lirik dari Adzan Subuh. Pada sebuah masjid yang menandai Keislaman Kraton Mataram di Yogyakarta, di situlah kuserahkan segala lelahku malam lalu. Aku sendiri tak benar-benar ingat bagaimana aku bisa ke sini. Lagi-lagi yang hinggap dalam ingatanku justru serpihan memori dan cambukan sulur beringin di udara. Aku semakin tahu, ini bukan hanya sekedar pengalaman mental, tetapi lebih dari itu, alam bawah sadarku sedang melihat sesuatu yang tak biasa.

Sebasuh air pada muka dan aku mulai mengingat langkah pertamaku malam lalu. Seusai terkalut oleh sesuatu yang tak wajar aku pun tertunduk. Setengah kesadaranku mengangkat tubuhku ke badan motor.

Tiga aliran air pada lenganku mengingatkanku pada cerita yang lain. Hari-hari ketika aku melihat sosok perempuan di bangku cokelat Malioboro. Bukankah sosok itu sama?

Air kran bersungai di kedua kakiku, membangkitkan geraknya yang mula-mula. Keduanya tahu, seusai sujud keempat dan salam sapa kepada Tuhan sebelum kokok ayam membuka tabir langit, kakinya harus melangkah.

Setelah semua aliran itu usai langkahku menuju peraduan dengan menyerahkan rangkaian sujud kepada Tuhan tak boleh kugunakan untuk memikirkan hal lain. Inilah saatnya aku berserah kepada-Nya, tentang segala ingatan yang tentu saja adalah milik-Nya. Kepada kuasa-Nya untuk menunjukkan segala macam yang dirahasiakan.

**

Sebuah aliran basah dengan bau tak sedaplah yang sejatinya membangunkanku. Cahaya di kamarku tetap terang seperti sebelumnya. Rasa tak nyaman di punggungku, bagaimana pun ini kebodohanku. Bisa-bisanya tertidur di atas meja hanya karena memikirkan seorang lelaki yang bahkan sepertinya baru kukenal namanya. Tapi, memang aneh sih gelagatnya sangatlah tak asing. Lama sekali, jauh di pembukaan petualanganku sebagai pesuruh di dimensi para penjaga waktu.

Hari-hari yang kuhabiskan hanya untuk menanti kapan datangnya retakan terakhir untuk kutambal, sehingga purnalah tugasku dan aku bisa memilih untuk melakukan apa saja. Banyak yang tergiur untuk tetap berada dalam satuan pasukan waktu, menerima gaji yang besar dengan tiga kali kesempatan cuti setiap retakan waktu yang ditambal. Ditambah lagi, keabadian, membuat mereka bisa memilih usia prima yang mana yang diinginkan. Pada usia prima itu mereka boleh berkelana ke berbagai dimensi, ya untuk bersenang-senang, kesempatan tiga kali dalam satu retakan untuk melakukan apa saja yang dikenal manusia bumi sebagai dosa.

Pasukan penjaga waktu itu tak memiliki tata aturan tentang dosa. Ketika mereka melakukan kesalahan di masa cuti, mereka boleh me-reset kejadian sehingga seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ah, aku lebih menyukai perjalanan tanpa batas dengan segala ketidakpastian di depannya. Kurasa, aku tipe makhluk yang mudah bosan dengan rasa aman. Perasaanku inilah yang menuntunku mengganti baju tidurku dengan sebuah jaket tebal. Sepasang sepatu cokelat kusiapkan, lengkap dengan kaus kaki berwarna krem. Aku siap melakukan sebuah perjalanan, yang bahkan aku tak tahu apa yang ada di depanku nantinya.

**

Dari arah selatan, Gavin melajukan motornya dengan tak pernah lupa memasang pandangan ke kanan dan ke kiri. Ia benar-benar manusia yang tak mau kehilangan kesempatan mengetahui informasi apa saja di sekitarnya. Sejak lelaki berjiwa kabut ini dipenjarakan di alam mimpinya, sejak saat itu pulalah kewaspadaannya mulai bermunculan. Ia bahkan memutuskan ikut berlatih silat hanya untuk bersiap jika saja akan ada seseorang atau sesuatu yang mengingatkan pada kenangan kelamnya akan mengancam hidupnya sekali lagi. Lelaki yang membenci ketakberdayaan ini membiarkan angin laut selatan yang tipis-tipis mnghembusnya ke utara.

Dari arah utara, lengkap dengan baju tebal yang hampir tak menyisakan tiupan angin gunung Merapi untuk mengusiknya, Camelia melajukan motornya dengan perasaan was-was. Seorang perempuan yang melajukan motor sebelum matahari manampakkan wajahnya memang cenderung menghadirkan sebuah nuansa yang menakutkan. Namun, apa yang bisa ia lakukan untuk menyelesaikan rasa penasarannya, selain berjalan menuju setiap tanda tanya hidupnya.

“Bertemulah kalian pada tempat yang sejatinya kalian sangkakan! Dari tempat itulah waktu yang mencatatkan nama kalian akan benar-benar berdetak!”

**

Lampu kota pelan-pelan padam. Satu per satu seolah menutup tirai yang kulalui. Dalam sejenak perjalananku, kuingat lampu kamar kos sudah kumatikan. Sekedip mataku mencari apakah masih ada yang kulupakan di kamar kosan. Ah, lagian aku sudah sejauh ini. Jalanan terbagi menjadi dua untuk membebaskan kendaraan dari arah utara ke selatan dan begitu pula sebaliknya. Pepohonan yang melambai tersebab angin dari dua arah yang berbeda, mereka menguap dengan stomata yang malas untuk kucari di mana lokasi tempatnya.

Saat itulah, lirikan mata kananku berhenti pada sebuah lampu kota yang masih enggan meredupkan cahayanya. Lelaki yang tak kusangka akan muncul kembali setelah kehidupan malamku dipenuhi tanda tanya. Usahaku untuk mencari jawaban seolah diperlihatkan semesta dengan kehadirannya yang memberhentikan motor sejenak. Sebotol air mineral ia teguk pelan-pelan. Gerakan otot lehernya itu membuatku terhenti, tepat di seberangnya, berada di bawah pohon yang menahan kantuk paginya.

**

Ternyata tidur di pelataran masjid tidak membuatku sesegar biasanya. Padahal, ketika dulu masih menjadi santri, beralaskaan tikar yang bolong-bolong pun aku tak apa. Seolah, semakin berumur, sel-sel kuat dalam tubuhku berlunturan. Namun, di sisi lain, sel-sel yang masih mau bertahan membangun kekuatan yang bisa diperhitungkan. Belum jauh aku berjalan, aku hanya berlari ke utara dengan laju motorku yang kubiarkan melambat. Aku sedang mencari jawaban dalam deru motor dan terpaan angin yang membawaku, entah ke mana.

Masih pagi, segala pertanyaan yang sengaja kucari jawabannya ini membuatku letih dan dahaga. Aku berhenti pada sebuah lampu kota yang masih menyala. Warna jingganya merasuk dalam keringnya kerongkonganku yang meraung untuk segera dibasahi dengan segelas air. Kubuka tas pinggangku, yang kutemukan hanyalah seperdelapan air mineral dari ukurannya yang seharusnya, 600 ml. Ketika setetes dari sisa air mineral itu mengalir di pipi kananku, pandanganku pun mengarah kepada sosok yang tak asing. Perempuan yang menjadi serangkaian tanda tanyaku. Ia berada di seberang jalan dan memandang ke arahku.

Tanpa perlu menyapa, kami bersepakat untuk melangkah menuju arah yang kami tatap.

**

Tanpa perlu banyak tanda, langkah pertamaku dan dia sama-sama menuju pada sebuah persimpangan.

Pada persimpangan itu, lampu kota sudah tak lagi menyalakan sinarnya. Aku tak bisa menyembunyikan rasa malu kecuali dengan syal yang kuusahakan menutup merah pipiku. Sesekali, syal itu pula yang kugunakan untuk menutup bibirku yang beberapa kali menyunggingkan senyum. Aku tak mau ia melihatku seperti perempuan murahan yang kegirangan.

**

Sebisa mungkin bibirku kukatupkan agar ia tak tahu apa yang hendak kukatakan. Mengusahakan untuk mengkakukan otot pipi bagiku sangatlah menyakitkan. Bagaimanapun, tekstur mukaku dibuat untuk dipenuhi dengan senyuman. Arkh, aku harus terlihat sangat kelaki-lakian.

**

Plar... plar...

Lampu kota yang tadinya mati tiba-tiba menyala dalam pendaran yang tak biasa. Selingkar batas pertemuan langkah mereka menjadi gelap. Namun, tidak pada tatapan mereka. Dengan kewaspadaan yang semakin besar Gavin menyiapkan kepalan tangan kanannya. Dengan langkah yang semakin tegap dan kehilangan senyuman malunya, Camelia mengawasi sekitarnya. Ia tahu apa yang akan terjadi.

Krek... krek...

Mereka dikelilingi oleh retakan ruang di antara waktu mereka melangkah. Dari tatapannya, Gavin tahu ia akan menemukan sesuatu yang tak pernah disangkakan, namun sekaligus tak asing baginya.

“Camelia, apakah ini nyata? Aku bukan orang gila yang berimajinasi kan?”

“Sama sekali tidak Mas Gavin! Sama sekali tidak! Kalau sudah begini, kita tak lagi bisa menghindari gejolak arus deras dari waktu. Padahal, kukiran sudah berakhir masa tugasku!”

“Maksudmu Cam?”

“Kurasa kau akan senang mengetahuinya sembari merasakannya bukan?”

Gavin mengangguk dengan mantap. Tanpa perlu pikir panjang keduanya sudah berada dalam lingkaran nada kesepakatan,

***

Related chapters

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Akhir dari Sebuah Liburan

    Tidak seperti makhluk manapun yang mengalami gejolak dari retakan waktu, mereka berdiri dengan lukisan senyum yang tak disangkakan. Sementara aku duduk di singgasanaku dan melihat segala sudut pandangan mereka, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu cocok menjalankan tugas ini. Namun, mereka harus menerima ujian untuk mengakhiri segala masa menyenangkan. Seorang penjaga waktu yang seharusnya menikmati perjalanan panjangnya di semsta yang tak berbatas dan seorang manusia yang kehilangan ingatannya dalam kilas-kilas – tak ada pasangan yang lebih sesuai sebagai pemegang jiwa kabut selain mereka. Sesuatu yang tampak lemah, tetapi tak akan ada yang menyangka kalau di balik sleimut kabut itu ada serbuan kengerian yang mampu menaklukkan siapa saja.**“Camelia, apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kenapa kamu gak takut sama sekali Mas?”“Lagi

    Last Updated : 2021-07-25
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Tetesan Pertama dari Butiran Pasir

    "Woe... Cam! Cam! Waduh, dia sudah pergi duluan," ketika sebuah lemparan tombak hampir mengenai pelipisku.Oke oke... Aku masih harus berpikir sembari mengalahkan mereka. Lagian, siapa sebenarnya mereka dan apa mau mereka terhadap kami. Beberapa dugaan sudah muncul di kepalaku, namun tak satu pun yang bisa kuterima meskipun sangat mungkin itu benar."Woy, apa salah kami woy?" teriakku yang hanya beradu dengan udara."Sekhtay, skyutin, entahli," tak bisa kupahami apa yang mereka katakan."What, is that even language?" sambil melompat, menahan tendangan, dan sebuah salto ke balakang sebelum mengambil langkah macan.Krek-krek-krek... Suara itu berpadu dengan gesekan dedaunan. Kulihat salah seorang dari pasukan itu memutar sebuah tuas di punggungnya. Putaran itu membuat setiap barian pasukan lainnya untuk terdiam. Bilah-bilah tombak yang terpatri di genggaman mereka pun dibiarkan menyandarkan pangkalnya di bumi."Jiwa, tersesat, waktu!"

    Last Updated : 2021-07-28
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Deja Vu

    Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu

    Last Updated : 2021-07-29
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Dari Sini Kita Baru Benar-Benar Melangkah

    Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil

    Last Updated : 2021-07-30
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Lentara di Persimpangan Jalan

    Kaki kami melangkah hampir bersamaan, hampir sejajar. Dengan wajah yang tak lagi tertunduk, aku kembali menatap matanya dengan kemantapan. Lelaki itu, Mas Gavin, sebaliknya memberiku senyum yang begitu ringan. Seolah hanya dengan membalas senyumannya segala yang berat pun terangkat.“Bisa melompati waktu, bisa berpindah ruang, bahkan bisa silat, tak akan cukup Mas!” terangku kepadanya dengan senyum simpul untuk mengatakan yang sejujurnya.“Ya... aku paham, mengatasi tingakatan pasukan zirah saja sudah sangat menyulitkan. Kurasa, di sini kita yang menjadi buron bukan? Menjadi sasaran tidak bisa hanya dengan modal sembarang lari saja,” ucapnya sangat startegis dan memang begitulah yang hendak kukatakan kepadanya.Lampu kelap-kelip di Angkringan Pak Darmadi sayup-sayup kami tinggalkan dengan sepuluh langkah kemudian. Ketika siulan penyanyi di angkringan tersebut masih bersahutan dengan suara alap-alap kami mengambil segenggam kekuatan yang h

    Last Updated : 2021-08-01
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Para Pemburu yang Membisu, Para Pemburu yang Menyeringai

    Suara itu membangunkan kesadaranku, meski ragaku masih terlelap. Aku tahu Camelia sedang mengusahakan segala yang ia bisa agar perjalanan pertama kami tak berisi kekacauan. Namun, sepertinya kami berdua adalah anak badai. Berhadapan dengan kami, bahkan sejak pertama bertemu adalah pertikaian. Apakah sudah saatnya aku tersadar dan mengagetkannya. Ia mungkin akan merasa menjadi guru paling berhasil sebab dengan cepat seorang amatir telah sejajar dengannya. Atau, kalau ia seorang perempuan pencemburu, dan sepertinya menyenangkan melihat wajahnya yang terlipat – aku harus lebih berhati-hati dalam menunjukkan kemampuanku.Aku harus bangun pelan-pelan seperti kukang yang enggan melepaskan batang pohon. Mataku harus terbuka pelan-pelan dan dengan sebuah usaha, kurasa bisa kujalarkan urat-urat di bola mataku untuk memerah. Ia akan melihatku seperti manusia pada umumnya, makhluk yang membutuhkan wkatu untuk sekedar bangkit dari keterlelapannya. Ta

    Last Updated : 2021-08-07
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Elang dan Landak Hari ini Bersahabat

    Para pemburu yang mengincar kami pun mulai bergumam. Setidaknya, ada beberapa suara yang kudengar penuh keraguan. Rasa menyerah sudah meracuni pikiran mereka. Harapan mendapat hadiah besar hanyalah mimpi kolot yang mungkin lebih baik dihindari, setidaknya untuk hari itu, saat itu, momen itu – ketika mereka merasakan kesia-siaan menghadapi kami hanya bermodalkan kekuatan yang setengah-setengah. Spang... percikan besi yang memantul di udara seeperti pertemuan baja dengan batu api. Seorang pemburu dengan nekat menerjang bebarisan pemburu yang sudah ragu-ragu. Tatapan matanya yang tajam membuat barisan keraguan di belakangnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Beberapa dari mereka memilih untuk berpaling dan pergi. Namun, banyak juga dari mereka yang justru menunggui kami sebagai tontonan akhir pekan.&nbs

    Last Updated : 2021-08-09
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Jam Pasir di Ujung Perburuan

    Sudah empat dari sepuluh makhluk yang terkumpul. Nantinya, setelah semuanya terkumpul akan terbit sepuluh pilar yang menyangga perputaran waktu. Sekarang, semua yang tampak aman dalam aliran waktu hanyalah jalur semu. Rasa aman dan nyaman hanyalah dimiliki oleh para makhluk yang ketakutan. Sementara, mereka yang paham bahwa tak ada yang aman dalam setiap langkah dapat menerima keabadian. Mengapa demikian? Bisa kubayangkan pertanyaan itu yang akan dilontarkan semua makhluk. Tidakkah kau, kalian, berpikir bahwa dalam rasa aman yang ada hanyalah rayuan? Padahal, kapan saja kau bisa tersandung kerikil kecil dan terluka karenanya. Padahal, dalam sebuah tidur panjang siapa saja bisa menghadapi kematian. Paddahal, dalam setiap makanan bisa jadi menimbulkan penyakit bukan?Lihatlah para makhluk penghuni lipatan dimensi, ketika kesepuluh pilar itu telah berkumpul, akan kutunjukkan siapa Aku!

    Last Updated : 2021-08-10

Latest chapter

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Jam Pasir di Ujung Perburuan

    Sudah empat dari sepuluh makhluk yang terkumpul. Nantinya, setelah semuanya terkumpul akan terbit sepuluh pilar yang menyangga perputaran waktu. Sekarang, semua yang tampak aman dalam aliran waktu hanyalah jalur semu. Rasa aman dan nyaman hanyalah dimiliki oleh para makhluk yang ketakutan. Sementara, mereka yang paham bahwa tak ada yang aman dalam setiap langkah dapat menerima keabadian. Mengapa demikian? Bisa kubayangkan pertanyaan itu yang akan dilontarkan semua makhluk. Tidakkah kau, kalian, berpikir bahwa dalam rasa aman yang ada hanyalah rayuan? Padahal, kapan saja kau bisa tersandung kerikil kecil dan terluka karenanya. Padahal, dalam sebuah tidur panjang siapa saja bisa menghadapi kematian. Paddahal, dalam setiap makanan bisa jadi menimbulkan penyakit bukan?Lihatlah para makhluk penghuni lipatan dimensi, ketika kesepuluh pilar itu telah berkumpul, akan kutunjukkan siapa Aku!

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Elang dan Landak Hari ini Bersahabat

    Para pemburu yang mengincar kami pun mulai bergumam. Setidaknya, ada beberapa suara yang kudengar penuh keraguan. Rasa menyerah sudah meracuni pikiran mereka. Harapan mendapat hadiah besar hanyalah mimpi kolot yang mungkin lebih baik dihindari, setidaknya untuk hari itu, saat itu, momen itu – ketika mereka merasakan kesia-siaan menghadapi kami hanya bermodalkan kekuatan yang setengah-setengah. Spang... percikan besi yang memantul di udara seeperti pertemuan baja dengan batu api. Seorang pemburu dengan nekat menerjang bebarisan pemburu yang sudah ragu-ragu. Tatapan matanya yang tajam membuat barisan keraguan di belakangnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Beberapa dari mereka memilih untuk berpaling dan pergi. Namun, banyak juga dari mereka yang justru menunggui kami sebagai tontonan akhir pekan.&nbs

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Para Pemburu yang Membisu, Para Pemburu yang Menyeringai

    Suara itu membangunkan kesadaranku, meski ragaku masih terlelap. Aku tahu Camelia sedang mengusahakan segala yang ia bisa agar perjalanan pertama kami tak berisi kekacauan. Namun, sepertinya kami berdua adalah anak badai. Berhadapan dengan kami, bahkan sejak pertama bertemu adalah pertikaian. Apakah sudah saatnya aku tersadar dan mengagetkannya. Ia mungkin akan merasa menjadi guru paling berhasil sebab dengan cepat seorang amatir telah sejajar dengannya. Atau, kalau ia seorang perempuan pencemburu, dan sepertinya menyenangkan melihat wajahnya yang terlipat – aku harus lebih berhati-hati dalam menunjukkan kemampuanku.Aku harus bangun pelan-pelan seperti kukang yang enggan melepaskan batang pohon. Mataku harus terbuka pelan-pelan dan dengan sebuah usaha, kurasa bisa kujalarkan urat-urat di bola mataku untuk memerah. Ia akan melihatku seperti manusia pada umumnya, makhluk yang membutuhkan wkatu untuk sekedar bangkit dari keterlelapannya. Ta

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Lentara di Persimpangan Jalan

    Kaki kami melangkah hampir bersamaan, hampir sejajar. Dengan wajah yang tak lagi tertunduk, aku kembali menatap matanya dengan kemantapan. Lelaki itu, Mas Gavin, sebaliknya memberiku senyum yang begitu ringan. Seolah hanya dengan membalas senyumannya segala yang berat pun terangkat.“Bisa melompati waktu, bisa berpindah ruang, bahkan bisa silat, tak akan cukup Mas!” terangku kepadanya dengan senyum simpul untuk mengatakan yang sejujurnya.“Ya... aku paham, mengatasi tingakatan pasukan zirah saja sudah sangat menyulitkan. Kurasa, di sini kita yang menjadi buron bukan? Menjadi sasaran tidak bisa hanya dengan modal sembarang lari saja,” ucapnya sangat startegis dan memang begitulah yang hendak kukatakan kepadanya.Lampu kelap-kelip di Angkringan Pak Darmadi sayup-sayup kami tinggalkan dengan sepuluh langkah kemudian. Ketika siulan penyanyi di angkringan tersebut masih bersahutan dengan suara alap-alap kami mengambil segenggam kekuatan yang h

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Dari Sini Kita Baru Benar-Benar Melangkah

    Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Deja Vu

    Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Tetesan Pertama dari Butiran Pasir

    "Woe... Cam! Cam! Waduh, dia sudah pergi duluan," ketika sebuah lemparan tombak hampir mengenai pelipisku.Oke oke... Aku masih harus berpikir sembari mengalahkan mereka. Lagian, siapa sebenarnya mereka dan apa mau mereka terhadap kami. Beberapa dugaan sudah muncul di kepalaku, namun tak satu pun yang bisa kuterima meskipun sangat mungkin itu benar."Woy, apa salah kami woy?" teriakku yang hanya beradu dengan udara."Sekhtay, skyutin, entahli," tak bisa kupahami apa yang mereka katakan."What, is that even language?" sambil melompat, menahan tendangan, dan sebuah salto ke balakang sebelum mengambil langkah macan.Krek-krek-krek... Suara itu berpadu dengan gesekan dedaunan. Kulihat salah seorang dari pasukan itu memutar sebuah tuas di punggungnya. Putaran itu membuat setiap barian pasukan lainnya untuk terdiam. Bilah-bilah tombak yang terpatri di genggaman mereka pun dibiarkan menyandarkan pangkalnya di bumi."Jiwa, tersesat, waktu!"

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Akhir dari Sebuah Liburan

    Tidak seperti makhluk manapun yang mengalami gejolak dari retakan waktu, mereka berdiri dengan lukisan senyum yang tak disangkakan. Sementara aku duduk di singgasanaku dan melihat segala sudut pandangan mereka, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu cocok menjalankan tugas ini. Namun, mereka harus menerima ujian untuk mengakhiri segala masa menyenangkan. Seorang penjaga waktu yang seharusnya menikmati perjalanan panjangnya di semsta yang tak berbatas dan seorang manusia yang kehilangan ingatannya dalam kilas-kilas – tak ada pasangan yang lebih sesuai sebagai pemegang jiwa kabut selain mereka. Sesuatu yang tampak lemah, tetapi tak akan ada yang menyangka kalau di balik sleimut kabut itu ada serbuan kengerian yang mampu menaklukkan siapa saja.**“Camelia, apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kenapa kamu gak takut sama sekali Mas?”“Lagi

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Pertemuan Dua Masa

    Allahu Akbar... Allahu Akbar...Laa Ilaa Ha IllallahSentuhan tangan lembab di bahu kananku membuat segala kantuk lenyap. Bahu itu datang bersamaan dengan akhir lirik dari Adzan Subuh. Pada sebuah masjid yang menandai Keislaman Kraton Mataram di Yogyakarta, di situlah kuserahkan segala lelahku malam lalu. Aku sendiri tak benar-benar ingat bagaimana aku bisa ke sini. Lagi-lagi yang hinggap dalam ingatanku justru serpihan memori dan cambukan sulur beringin di udara. Aku semakin tahu, ini bukan hanya sekedar pengalaman mental, tetapi lebih dari itu, alam bawah sadarku sedang melihat sesuatu yang tak biasa.Sebasuh air pada muka dan aku mulai mengingat langkah pertamaku malam lalu. Seusai terkalut oleh sesuatu yang tak wajar aku pun tertunduk. Setengah kesadaranku mengangkat tubuhku ke badan motor.Tiga aliran air pada lenganku mengingatkanku pada cerita yang lain. Hari-hari ketika aku melihat sosok perempuan di bangku cokelat Malioboro. Bukanka

DMCA.com Protection Status