Home / All / LANGIT KABUT CAMELIA / Sebuah Lirik, Mendung Musim Panas, dan Ruang Tersayat

Share

Sebuah Lirik, Mendung Musim Panas, dan Ruang Tersayat

Author: Emhaf
last update Last Updated: 2021-07-22 12:00:16

Selembar kertas, bolpoin, dan tarian jemari di atas layar ponsel menghentikan langkahku sore ini. Pada waktu yang serupa biasanya kukunjungi bangku itu, aku memilih untuk memikirkannya. Dia, bayang-bayang perempuan berparas cantik, bernada liris dengan suaranynya yang dalam. Dia, yang setelah sekian ratus hari hanya membiarkan kelebat rambutnya. Senyum dan sapanya yang lebih dahulu menyimpan kata-kata, kini telah reda. Ia menyebut, "Camelia!" kata yang mungkin adalah namanya, mengalihkan kekosongan kertasku pada masa sebelum lamunanku.

"Hoe Gav!" Seorang laki-laki melewatinya tanpa melupakan sebuah sapaan. Kurasa, dia kakak angkatanku. Dia belum lulus ya? Atau, lagi bekerja jadi staff di sini? Ah, untuk apa aku membingungkan diriku sendiri. Bagiku, sore ini bukan kakak angkatan itu yang penting.

Pena di tangan kananku sedang asik menuliskan kata Camelia. Aku hanya menulis untuk melihat apakah aku akan mengingat sesuatu sebelum bayangannya. Biasanya, ketika aku sedang melupakan sebuah step dari rencanaku pada suatu waktu, aku melakukan itu, kutulis saja apa yang kuingat untuk membuka rangkaian ingatan lainnya. Kadang, aku berhasil dan merangkai jadwal seharianku menjadi cerita. Kadang, aku tak menemukan apa-apa dan berlalu begitu saja.

"Loh Mas Gavin!" kali ini seorang perempuan yang menyapaku, seolah hendak berbicara namun ia tak menghentikan langkahnya..

Sekilas pandang aku merasa harus melihatnya. Oh... Kurasa aku mengenalnya, tapi lupa siapa namanya. "Oh iya, lagi nyari inspirasi nih," kataku sembari mengangguk, memberi sedikit senyuman, dan tatapanku kembali pada satu kata yang kutulis di atas kertas putih, Camelia.

"Heladalah... Lah kok ono Sam Gavin neng kene," langkahnya pelan, namun mantap. Otot kakinya yang besar bisa diibaratkan pembuat gempa di pelataran pafing kampus. Dia Kurnia, satu di antara seniman kampus yang masih aktif sampai harus menunda setahun lagi untuk lulus.

"Oh hoe hoe," meskipun aku menangkap kehadiranya, namun aku masih terpaku pada secarik kertas di atas meja. Kurnia pun tahu aku tidak sedang bisa diganggu. Ia berlalu dengan isyarat tatapan mata. Seketika itu, aku sadar pula kalau langit sedang mendung. Kelakar perasaanku berlanjut dengan menganggap bahwa hari yang pengap ini sudah tak kuasa meneteskan banyak keringat. Jika satu tubuhku ini sudah kuyup bagaimana dengan yang lain? Langit seolah sedang mengumpulkan evaporasi dari setiap keringat manusia untuk menciptakan hujan.

Kriek... Kriek... Aku seperti mendengar suara jendela tua yang dibuka. Sejenak nama Camelia lebur dalam sepersekian detik bunyi itu. Kualihkan pandanganku ke berbagai jendela yang mungkin bisa di tangkap mataku. Aku tahu, ini seharusnya sia-sia. Namun, instingku mengatakan untuk tetap melakukannya.

Mana ada? Sudah pasti, gak mungkin jendela kampus ini ada yang terbuka. Semua jendela di kampus ini sudah memiliki peredam. Bahkan, tempat yang kududuki ini saja jauh dari jendela. Hanya ada tembok batu dan lalu lalang mahasiswa yang hendak memhakhiri senjanya hari ini.

Kriek.... Kreek... Apakah mengingat Camelia membuatku bukan hanya terbayang wajahnya, tetapi kehadirannya yang mengeluarkan suara. Setiap dera suaranya yang hanya satu kata itu pelan-pelan mengguratksn sketsa kehadirannya, yang apakah hanya sekedar lamunan atau kenangan silam.

Tulisan di atas kertasku berlanjut begitu saja. Jemariku menangkap inspirasi lebih cepat daripada otakku. Tak lagi kuhiraukan suara gemeretak jendela tua yang terbuka. Oh... Aku tahu, dari Elegi Esok Pagi sampai tetra lirik Camelia. Bukankah penyanyi itu pernah berkata...

Esok pagi kau buka jendela

Kan kau dapati seikat kembang merah

...

Dan kenangan

Disini kau petikkan kembang

Oh Camelia, katakanlah ini satu mimpiku

Seolah aku menemukan cerita yang kusambung sekenanya dari Ebiet G.Ade yang samar-samar memetik gitar dalam lamunanku. Aku sendiri tak menyangka, pada lirik itu kutemuan pintalan cerita ringkas.

Andai ada secangkir kopi di hadapanku sekarang. Andai secangkir cokelat yang menggantikan kopi. Andai, ah setidaknya, teh sajalah tak apa. Di sini tak akn bisa kutemukan minuman itu. Aku pun memutuskan berjalan. Dengan cepat gerakan jariku mencari kedua lagu itu di youtube sembari memasang headset di telingaku. Harus cepat, sebelum segala yang terangkai kembali memudar.

Aku tak mau muluk-muluk menganggap ini sebagai sebuah kekuatan spiritual atau semacamnya. Masih sangat mungkin ingatanku terbuka dengan sebuah cara yang tak pernah kusangka. Bagaimanapun, aku cuma manusia. Jika aku penah mengalami sebuah kecelakaan dan gagar otak, mungkin saja ingatanku hilang, bahkan sampai peristiwa yang tidak kuinginkan itu terjadi. Bagaimana jika aku pernah koma, namun ketika tersadar aku hanya mengingat keesokan hari yang kualami. Bagaimana jika bercak-bercak kehadiran Camelia di bangku cokelat Malioboro adalah bagian dari ingatanku yang terbuka? Apakah aku perlu ke psikolog? Atau, ke Kyai? Aku yakin keduanya punya caranya maisng-masing untuk menarasikan peristiwa yang kualami.

Bayang kehadirannya di atas bangku cokelat itu harus kuingat. Selain rambutnya, apa yang ia lakukan? Ia melihat arah yang berlawanan dari tatapanku. Jika harus kulihat peta Malioboro dalam ingatanku, kurasa ia sedang menatap Hotel Garuda Indonesia di sebalah utara.

Arah kibar rambutnya menunjukkan datangnya angin dari arah selatan. Jika kurunut kembali pesisir pantai adalah bibir kehidupan di selatan Yogyakarta. Tanpa ada tetes hujan yang berbulir di kilat bola matanya. Meski hanya sekilas, kurasa aku tahu angin itu berembus di penghujung musim panas. Umumnya setiap penghujung musim panas, di hotel itu seringkali diadakan event kesenian. Lima tahun silam, aku pun pernah mendapat undangan hanya untuk sekedar meenonton penganugerahan teater pada seorang seniman kawakan yang sekarang sudah almarhum, Djaduk Ferianto. Jika kurunut tanda-tandanya, apakah ini sebuah perpisahan? Sebuah salam terakhir sebelum akhirnya terpaan hujan pun berdatangan. Apakah pada masa itu, ketika ia duduk di sini dan memalingkan wajahnya adalah sebuah akhir dari perjalanan kata-kataku kepadanya?

Kriek... Kriek... Suara itu terdengar lagi dengan volume yang lebih tinggi. Kutoleh ke berbagai arah. Aku tak menemukan apa-apa. Kulihat ke atas dan ke bawah, tak juga kutemukan sesuatu yang janggal. Sampai... Pada suatu arah yang sudah kutoleh tadi. Tatapanku sekilas melihat kembali arah selatan, mengambang sampai 3 meter-an di atas permukaan tanah. Ruang di depan mataku tersayat. Sepasang mata dengan jelas melihat ke arahku. Sepasang mata berwarna kekuningan dengan bola mata berwaena putih susu.

Suuuet... Ruang yang terbelah itu lenyap, begitu pula sepasang mata itu. Seperti seseorang yang kalut dan mencoba menutupi tetes keringat dingin di kepalaku, aku berlari ke arah suara itu. Kepada retakan yang memunculkan sepasang mata, namun tak ada yang menyadarinya. Aku berjalan dalam kelalahan pikiranku, mempertarungkam kewarasan dan diorama ilusi yang terlalu sering bermunculan. Tapi, jika itu ilusi kenapa hanya kulihat Camelia di bangku Cokelat Malioboro? Jika memang ilusi, kenapa kulihat retakan itu di kampus dengan sepasang mata yang tajam menatapku? Atau, ini hanyalah bagian dari serpihan ingatanku yang masih harus kugali lebih dalam lagi? Tak ada gunanya aku cuma berdiam, hanya dengan melangkah bisa kucerna lagi jala kehidupan ini.

Dalam langkah yang mengikuti tiupan angin senja. Mendung yang tipis pun telah menggelap. Aku tahu tak seharusnua kuhabiskan waktuku di jalanan. Tapi, harus kuterima setiap tetes hujan, membiarkan serbuan mereka sebagai pembuka ingatanku.

Related chapters

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Pertemuan Dua Masa

    Allahu Akbar... Allahu Akbar...Laa Ilaa Ha IllallahSentuhan tangan lembab di bahu kananku membuat segala kantuk lenyap. Bahu itu datang bersamaan dengan akhir lirik dari Adzan Subuh. Pada sebuah masjid yang menandai Keislaman Kraton Mataram di Yogyakarta, di situlah kuserahkan segala lelahku malam lalu. Aku sendiri tak benar-benar ingat bagaimana aku bisa ke sini. Lagi-lagi yang hinggap dalam ingatanku justru serpihan memori dan cambukan sulur beringin di udara. Aku semakin tahu, ini bukan hanya sekedar pengalaman mental, tetapi lebih dari itu, alam bawah sadarku sedang melihat sesuatu yang tak biasa.Sebasuh air pada muka dan aku mulai mengingat langkah pertamaku malam lalu. Seusai terkalut oleh sesuatu yang tak wajar aku pun tertunduk. Setengah kesadaranku mengangkat tubuhku ke badan motor.Tiga aliran air pada lenganku mengingatkanku pada cerita yang lain. Hari-hari ketika aku melihat sosok perempuan di bangku cokelat Malioboro. Bukanka

    Last Updated : 2021-07-24
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Akhir dari Sebuah Liburan

    Tidak seperti makhluk manapun yang mengalami gejolak dari retakan waktu, mereka berdiri dengan lukisan senyum yang tak disangkakan. Sementara aku duduk di singgasanaku dan melihat segala sudut pandangan mereka, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu cocok menjalankan tugas ini. Namun, mereka harus menerima ujian untuk mengakhiri segala masa menyenangkan. Seorang penjaga waktu yang seharusnya menikmati perjalanan panjangnya di semsta yang tak berbatas dan seorang manusia yang kehilangan ingatannya dalam kilas-kilas – tak ada pasangan yang lebih sesuai sebagai pemegang jiwa kabut selain mereka. Sesuatu yang tampak lemah, tetapi tak akan ada yang menyangka kalau di balik sleimut kabut itu ada serbuan kengerian yang mampu menaklukkan siapa saja.**“Camelia, apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kenapa kamu gak takut sama sekali Mas?”“Lagi

    Last Updated : 2021-07-25
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Tetesan Pertama dari Butiran Pasir

    "Woe... Cam! Cam! Waduh, dia sudah pergi duluan," ketika sebuah lemparan tombak hampir mengenai pelipisku.Oke oke... Aku masih harus berpikir sembari mengalahkan mereka. Lagian, siapa sebenarnya mereka dan apa mau mereka terhadap kami. Beberapa dugaan sudah muncul di kepalaku, namun tak satu pun yang bisa kuterima meskipun sangat mungkin itu benar."Woy, apa salah kami woy?" teriakku yang hanya beradu dengan udara."Sekhtay, skyutin, entahli," tak bisa kupahami apa yang mereka katakan."What, is that even language?" sambil melompat, menahan tendangan, dan sebuah salto ke balakang sebelum mengambil langkah macan.Krek-krek-krek... Suara itu berpadu dengan gesekan dedaunan. Kulihat salah seorang dari pasukan itu memutar sebuah tuas di punggungnya. Putaran itu membuat setiap barian pasukan lainnya untuk terdiam. Bilah-bilah tombak yang terpatri di genggaman mereka pun dibiarkan menyandarkan pangkalnya di bumi."Jiwa, tersesat, waktu!"

    Last Updated : 2021-07-28
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Deja Vu

    Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu

    Last Updated : 2021-07-29
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Dari Sini Kita Baru Benar-Benar Melangkah

    Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil

    Last Updated : 2021-07-30
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Lentara di Persimpangan Jalan

    Kaki kami melangkah hampir bersamaan, hampir sejajar. Dengan wajah yang tak lagi tertunduk, aku kembali menatap matanya dengan kemantapan. Lelaki itu, Mas Gavin, sebaliknya memberiku senyum yang begitu ringan. Seolah hanya dengan membalas senyumannya segala yang berat pun terangkat.“Bisa melompati waktu, bisa berpindah ruang, bahkan bisa silat, tak akan cukup Mas!” terangku kepadanya dengan senyum simpul untuk mengatakan yang sejujurnya.“Ya... aku paham, mengatasi tingakatan pasukan zirah saja sudah sangat menyulitkan. Kurasa, di sini kita yang menjadi buron bukan? Menjadi sasaran tidak bisa hanya dengan modal sembarang lari saja,” ucapnya sangat startegis dan memang begitulah yang hendak kukatakan kepadanya.Lampu kelap-kelip di Angkringan Pak Darmadi sayup-sayup kami tinggalkan dengan sepuluh langkah kemudian. Ketika siulan penyanyi di angkringan tersebut masih bersahutan dengan suara alap-alap kami mengambil segenggam kekuatan yang h

    Last Updated : 2021-08-01
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Para Pemburu yang Membisu, Para Pemburu yang Menyeringai

    Suara itu membangunkan kesadaranku, meski ragaku masih terlelap. Aku tahu Camelia sedang mengusahakan segala yang ia bisa agar perjalanan pertama kami tak berisi kekacauan. Namun, sepertinya kami berdua adalah anak badai. Berhadapan dengan kami, bahkan sejak pertama bertemu adalah pertikaian. Apakah sudah saatnya aku tersadar dan mengagetkannya. Ia mungkin akan merasa menjadi guru paling berhasil sebab dengan cepat seorang amatir telah sejajar dengannya. Atau, kalau ia seorang perempuan pencemburu, dan sepertinya menyenangkan melihat wajahnya yang terlipat – aku harus lebih berhati-hati dalam menunjukkan kemampuanku.Aku harus bangun pelan-pelan seperti kukang yang enggan melepaskan batang pohon. Mataku harus terbuka pelan-pelan dan dengan sebuah usaha, kurasa bisa kujalarkan urat-urat di bola mataku untuk memerah. Ia akan melihatku seperti manusia pada umumnya, makhluk yang membutuhkan wkatu untuk sekedar bangkit dari keterlelapannya. Ta

    Last Updated : 2021-08-07
  • LANGIT KABUT CAMELIA   Elang dan Landak Hari ini Bersahabat

    Para pemburu yang mengincar kami pun mulai bergumam. Setidaknya, ada beberapa suara yang kudengar penuh keraguan. Rasa menyerah sudah meracuni pikiran mereka. Harapan mendapat hadiah besar hanyalah mimpi kolot yang mungkin lebih baik dihindari, setidaknya untuk hari itu, saat itu, momen itu – ketika mereka merasakan kesia-siaan menghadapi kami hanya bermodalkan kekuatan yang setengah-setengah. Spang... percikan besi yang memantul di udara seeperti pertemuan baja dengan batu api. Seorang pemburu dengan nekat menerjang bebarisan pemburu yang sudah ragu-ragu. Tatapan matanya yang tajam membuat barisan keraguan di belakangnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Beberapa dari mereka memilih untuk berpaling dan pergi. Namun, banyak juga dari mereka yang justru menunggui kami sebagai tontonan akhir pekan.&nbs

    Last Updated : 2021-08-09

Latest chapter

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Jam Pasir di Ujung Perburuan

    Sudah empat dari sepuluh makhluk yang terkumpul. Nantinya, setelah semuanya terkumpul akan terbit sepuluh pilar yang menyangga perputaran waktu. Sekarang, semua yang tampak aman dalam aliran waktu hanyalah jalur semu. Rasa aman dan nyaman hanyalah dimiliki oleh para makhluk yang ketakutan. Sementara, mereka yang paham bahwa tak ada yang aman dalam setiap langkah dapat menerima keabadian. Mengapa demikian? Bisa kubayangkan pertanyaan itu yang akan dilontarkan semua makhluk. Tidakkah kau, kalian, berpikir bahwa dalam rasa aman yang ada hanyalah rayuan? Padahal, kapan saja kau bisa tersandung kerikil kecil dan terluka karenanya. Padahal, dalam sebuah tidur panjang siapa saja bisa menghadapi kematian. Paddahal, dalam setiap makanan bisa jadi menimbulkan penyakit bukan?Lihatlah para makhluk penghuni lipatan dimensi, ketika kesepuluh pilar itu telah berkumpul, akan kutunjukkan siapa Aku!

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Elang dan Landak Hari ini Bersahabat

    Para pemburu yang mengincar kami pun mulai bergumam. Setidaknya, ada beberapa suara yang kudengar penuh keraguan. Rasa menyerah sudah meracuni pikiran mereka. Harapan mendapat hadiah besar hanyalah mimpi kolot yang mungkin lebih baik dihindari, setidaknya untuk hari itu, saat itu, momen itu – ketika mereka merasakan kesia-siaan menghadapi kami hanya bermodalkan kekuatan yang setengah-setengah. Spang... percikan besi yang memantul di udara seeperti pertemuan baja dengan batu api. Seorang pemburu dengan nekat menerjang bebarisan pemburu yang sudah ragu-ragu. Tatapan matanya yang tajam membuat barisan keraguan di belakangnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Beberapa dari mereka memilih untuk berpaling dan pergi. Namun, banyak juga dari mereka yang justru menunggui kami sebagai tontonan akhir pekan.&nbs

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Para Pemburu yang Membisu, Para Pemburu yang Menyeringai

    Suara itu membangunkan kesadaranku, meski ragaku masih terlelap. Aku tahu Camelia sedang mengusahakan segala yang ia bisa agar perjalanan pertama kami tak berisi kekacauan. Namun, sepertinya kami berdua adalah anak badai. Berhadapan dengan kami, bahkan sejak pertama bertemu adalah pertikaian. Apakah sudah saatnya aku tersadar dan mengagetkannya. Ia mungkin akan merasa menjadi guru paling berhasil sebab dengan cepat seorang amatir telah sejajar dengannya. Atau, kalau ia seorang perempuan pencemburu, dan sepertinya menyenangkan melihat wajahnya yang terlipat – aku harus lebih berhati-hati dalam menunjukkan kemampuanku.Aku harus bangun pelan-pelan seperti kukang yang enggan melepaskan batang pohon. Mataku harus terbuka pelan-pelan dan dengan sebuah usaha, kurasa bisa kujalarkan urat-urat di bola mataku untuk memerah. Ia akan melihatku seperti manusia pada umumnya, makhluk yang membutuhkan wkatu untuk sekedar bangkit dari keterlelapannya. Ta

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Lentara di Persimpangan Jalan

    Kaki kami melangkah hampir bersamaan, hampir sejajar. Dengan wajah yang tak lagi tertunduk, aku kembali menatap matanya dengan kemantapan. Lelaki itu, Mas Gavin, sebaliknya memberiku senyum yang begitu ringan. Seolah hanya dengan membalas senyumannya segala yang berat pun terangkat.“Bisa melompati waktu, bisa berpindah ruang, bahkan bisa silat, tak akan cukup Mas!” terangku kepadanya dengan senyum simpul untuk mengatakan yang sejujurnya.“Ya... aku paham, mengatasi tingakatan pasukan zirah saja sudah sangat menyulitkan. Kurasa, di sini kita yang menjadi buron bukan? Menjadi sasaran tidak bisa hanya dengan modal sembarang lari saja,” ucapnya sangat startegis dan memang begitulah yang hendak kukatakan kepadanya.Lampu kelap-kelip di Angkringan Pak Darmadi sayup-sayup kami tinggalkan dengan sepuluh langkah kemudian. Ketika siulan penyanyi di angkringan tersebut masih bersahutan dengan suara alap-alap kami mengambil segenggam kekuatan yang h

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Dari Sini Kita Baru Benar-Benar Melangkah

    Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Deja Vu

    Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Tetesan Pertama dari Butiran Pasir

    "Woe... Cam! Cam! Waduh, dia sudah pergi duluan," ketika sebuah lemparan tombak hampir mengenai pelipisku.Oke oke... Aku masih harus berpikir sembari mengalahkan mereka. Lagian, siapa sebenarnya mereka dan apa mau mereka terhadap kami. Beberapa dugaan sudah muncul di kepalaku, namun tak satu pun yang bisa kuterima meskipun sangat mungkin itu benar."Woy, apa salah kami woy?" teriakku yang hanya beradu dengan udara."Sekhtay, skyutin, entahli," tak bisa kupahami apa yang mereka katakan."What, is that even language?" sambil melompat, menahan tendangan, dan sebuah salto ke balakang sebelum mengambil langkah macan.Krek-krek-krek... Suara itu berpadu dengan gesekan dedaunan. Kulihat salah seorang dari pasukan itu memutar sebuah tuas di punggungnya. Putaran itu membuat setiap barian pasukan lainnya untuk terdiam. Bilah-bilah tombak yang terpatri di genggaman mereka pun dibiarkan menyandarkan pangkalnya di bumi."Jiwa, tersesat, waktu!"

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Akhir dari Sebuah Liburan

    Tidak seperti makhluk manapun yang mengalami gejolak dari retakan waktu, mereka berdiri dengan lukisan senyum yang tak disangkakan. Sementara aku duduk di singgasanaku dan melihat segala sudut pandangan mereka, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu cocok menjalankan tugas ini. Namun, mereka harus menerima ujian untuk mengakhiri segala masa menyenangkan. Seorang penjaga waktu yang seharusnya menikmati perjalanan panjangnya di semsta yang tak berbatas dan seorang manusia yang kehilangan ingatannya dalam kilas-kilas – tak ada pasangan yang lebih sesuai sebagai pemegang jiwa kabut selain mereka. Sesuatu yang tampak lemah, tetapi tak akan ada yang menyangka kalau di balik sleimut kabut itu ada serbuan kengerian yang mampu menaklukkan siapa saja.**“Camelia, apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kenapa kamu gak takut sama sekali Mas?”“Lagi

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Pertemuan Dua Masa

    Allahu Akbar... Allahu Akbar...Laa Ilaa Ha IllallahSentuhan tangan lembab di bahu kananku membuat segala kantuk lenyap. Bahu itu datang bersamaan dengan akhir lirik dari Adzan Subuh. Pada sebuah masjid yang menandai Keislaman Kraton Mataram di Yogyakarta, di situlah kuserahkan segala lelahku malam lalu. Aku sendiri tak benar-benar ingat bagaimana aku bisa ke sini. Lagi-lagi yang hinggap dalam ingatanku justru serpihan memori dan cambukan sulur beringin di udara. Aku semakin tahu, ini bukan hanya sekedar pengalaman mental, tetapi lebih dari itu, alam bawah sadarku sedang melihat sesuatu yang tak biasa.Sebasuh air pada muka dan aku mulai mengingat langkah pertamaku malam lalu. Seusai terkalut oleh sesuatu yang tak wajar aku pun tertunduk. Setengah kesadaranku mengangkat tubuhku ke badan motor.Tiga aliran air pada lenganku mengingatkanku pada cerita yang lain. Hari-hari ketika aku melihat sosok perempuan di bangku cokelat Malioboro. Bukanka

DMCA.com Protection Status