"Woe... Cam! Cam! Waduh, dia sudah pergi duluan," ketika sebuah lemparan tombak hampir mengenai pelipisku.
Oke oke... Aku masih harus berpikir sembari mengalahkan mereka. Lagian, siapa sebenarnya mereka dan apa mau mereka terhadap kami. Beberapa dugaan sudah muncul di kepalaku, namun tak satu pun yang bisa kuterima meskipun sangat mungkin itu benar.
"Woy, apa salah kami woy?" teriakku yang hanya beradu dengan udara.
"Sekhtay, skyutin, entahli," tak bisa kupahami apa yang mereka katakan.
"What, is that even language?" sambil melompat, menahan tendangan, dan sebuah salto ke balakang sebelum mengambil langkah macan.
Krek-krek-krek... Suara itu berpadu dengan gesekan dedaunan. Kulihat salah seorang dari pasukan itu memutar sebuah tuas di punggungnya. Putaran itu membuat setiap barian pasukan lainnya untuk terdiam. Bilah-bilah tombak yang terpatri di genggaman mereka pun dibiarkan menyandarkan pangkalnya di bumi.
"Jiwa, tersesat, waktu!"
Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu
Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil
Kaki kami melangkah hampir bersamaan, hampir sejajar. Dengan wajah yang tak lagi tertunduk, aku kembali menatap matanya dengan kemantapan. Lelaki itu, Mas Gavin, sebaliknya memberiku senyum yang begitu ringan. Seolah hanya dengan membalas senyumannya segala yang berat pun terangkat.“Bisa melompati waktu, bisa berpindah ruang, bahkan bisa silat, tak akan cukup Mas!” terangku kepadanya dengan senyum simpul untuk mengatakan yang sejujurnya.“Ya... aku paham, mengatasi tingakatan pasukan zirah saja sudah sangat menyulitkan. Kurasa, di sini kita yang menjadi buron bukan? Menjadi sasaran tidak bisa hanya dengan modal sembarang lari saja,” ucapnya sangat startegis dan memang begitulah yang hendak kukatakan kepadanya.Lampu kelap-kelip di Angkringan Pak Darmadi sayup-sayup kami tinggalkan dengan sepuluh langkah kemudian. Ketika siulan penyanyi di angkringan tersebut masih bersahutan dengan suara alap-alap kami mengambil segenggam kekuatan yang h
Suara itu membangunkan kesadaranku, meski ragaku masih terlelap. Aku tahu Camelia sedang mengusahakan segala yang ia bisa agar perjalanan pertama kami tak berisi kekacauan. Namun, sepertinya kami berdua adalah anak badai. Berhadapan dengan kami, bahkan sejak pertama bertemu adalah pertikaian. Apakah sudah saatnya aku tersadar dan mengagetkannya. Ia mungkin akan merasa menjadi guru paling berhasil sebab dengan cepat seorang amatir telah sejajar dengannya. Atau, kalau ia seorang perempuan pencemburu, dan sepertinya menyenangkan melihat wajahnya yang terlipat – aku harus lebih berhati-hati dalam menunjukkan kemampuanku.Aku harus bangun pelan-pelan seperti kukang yang enggan melepaskan batang pohon. Mataku harus terbuka pelan-pelan dan dengan sebuah usaha, kurasa bisa kujalarkan urat-urat di bola mataku untuk memerah. Ia akan melihatku seperti manusia pada umumnya, makhluk yang membutuhkan wkatu untuk sekedar bangkit dari keterlelapannya. Ta
Para pemburu yang mengincar kami pun mulai bergumam. Setidaknya, ada beberapa suara yang kudengar penuh keraguan. Rasa menyerah sudah meracuni pikiran mereka. Harapan mendapat hadiah besar hanyalah mimpi kolot yang mungkin lebih baik dihindari, setidaknya untuk hari itu, saat itu, momen itu – ketika mereka merasakan kesia-siaan menghadapi kami hanya bermodalkan kekuatan yang setengah-setengah. Spang... percikan besi yang memantul di udara seeperti pertemuan baja dengan batu api. Seorang pemburu dengan nekat menerjang bebarisan pemburu yang sudah ragu-ragu. Tatapan matanya yang tajam membuat barisan keraguan di belakangnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Beberapa dari mereka memilih untuk berpaling dan pergi. Namun, banyak juga dari mereka yang justru menunggui kami sebagai tontonan akhir pekan.&nbs
Sudah empat dari sepuluh makhluk yang terkumpul. Nantinya, setelah semuanya terkumpul akan terbit sepuluh pilar yang menyangga perputaran waktu. Sekarang, semua yang tampak aman dalam aliran waktu hanyalah jalur semu. Rasa aman dan nyaman hanyalah dimiliki oleh para makhluk yang ketakutan. Sementara, mereka yang paham bahwa tak ada yang aman dalam setiap langkah dapat menerima keabadian. Mengapa demikian? Bisa kubayangkan pertanyaan itu yang akan dilontarkan semua makhluk. Tidakkah kau, kalian, berpikir bahwa dalam rasa aman yang ada hanyalah rayuan? Padahal, kapan saja kau bisa tersandung kerikil kecil dan terluka karenanya. Padahal, dalam sebuah tidur panjang siapa saja bisa menghadapi kematian. Paddahal, dalam setiap makanan bisa jadi menimbulkan penyakit bukan?Lihatlah para makhluk penghuni lipatan dimensi, ketika kesepuluh pilar itu telah berkumpul, akan kutunjukkan siapa Aku!
Sepuluh meter ke depan dan hidup tak benar-benar menunjukkan apa-apa yang bisa kusentuh di sana. Setiap hari kabut adalah teman yang membelai kesejukan. Ia sendiri adalah jelmaan kesejukan yang juga memiliki kengerian. Aku tak pernah tahu apa atau siapa yang akan tiba-tiba mucul dari balik ringainya. Bisa saja seorang yang membawa celurit dengan muka berdarah. Bisa jadi sekepak sayap bidadari yang menyadarkan lamunanku bahwa tak selamanya kecantikan itu harus digapai di surga saja. Atau… akan kutemukan jalan mencapai segala masa dengan menembusnya. Kuceritakan ini pada Camelia yang mungkin saja menitipkan kehadirannya pada setiap tetes embun di antara kabut ini.Sudah hampir satu tahun aku telah menjadi manusia biasa. Tak ada lagi kepakan sayap walet yang menembus ruang dan waktu. Tak ada secarik kertas pun yang mau menampung rencanaku, setidaknya begitulah lamunanku. Aku seperti dirayu untuk berkata, “Sudahlah, terima saja ini dengan kepuasan! Hidupku sudah kemb
Satu-satunya kamar yang masih bersinar malam ini hanyalah kamar kosku saja. Semua lelah pikiran dari para penghuni kos lainnya menjelma gelap tanpa bayang-bayang. Entah, kurasa sudah hampir tiga jam aku berbaring dalam diam, menatap langit-langit kamarku yang berisi bayangannya. Siluet jam pasir itu sudah menjelma keyakinan dalam dadaku. Namun, harus seperti apa aku memberitahunya. Masa’ aku yang ngomong kalau ia adalah lelaki yang ditakdirkan untukku? Bukankah perempuan-perempuan di masa ini hanyalah manusia-manusia pemalu yang memilih menunggu dan terdahului daripada segera melangkah dan mendapatkan. Ah, kenapa aku galau begini? Bukankah aku bukan perempuan dari zaman ini? Bahkan, aku sendiri bukanlah penghuni dimensi ini.“Arrrrrghhhhhhh... apa sih yang kulakukan?” sekejap aku sudah bangun dari keterbaringanku. Kutatap wajahku di depan cermin yang tergantung di sebelah pintu. Merah mukaku seperti seorang badut yang terlalu banyak memakai
Sudah empat dari sepuluh makhluk yang terkumpul. Nantinya, setelah semuanya terkumpul akan terbit sepuluh pilar yang menyangga perputaran waktu. Sekarang, semua yang tampak aman dalam aliran waktu hanyalah jalur semu. Rasa aman dan nyaman hanyalah dimiliki oleh para makhluk yang ketakutan. Sementara, mereka yang paham bahwa tak ada yang aman dalam setiap langkah dapat menerima keabadian. Mengapa demikian? Bisa kubayangkan pertanyaan itu yang akan dilontarkan semua makhluk. Tidakkah kau, kalian, berpikir bahwa dalam rasa aman yang ada hanyalah rayuan? Padahal, kapan saja kau bisa tersandung kerikil kecil dan terluka karenanya. Padahal, dalam sebuah tidur panjang siapa saja bisa menghadapi kematian. Paddahal, dalam setiap makanan bisa jadi menimbulkan penyakit bukan?Lihatlah para makhluk penghuni lipatan dimensi, ketika kesepuluh pilar itu telah berkumpul, akan kutunjukkan siapa Aku!
Para pemburu yang mengincar kami pun mulai bergumam. Setidaknya, ada beberapa suara yang kudengar penuh keraguan. Rasa menyerah sudah meracuni pikiran mereka. Harapan mendapat hadiah besar hanyalah mimpi kolot yang mungkin lebih baik dihindari, setidaknya untuk hari itu, saat itu, momen itu – ketika mereka merasakan kesia-siaan menghadapi kami hanya bermodalkan kekuatan yang setengah-setengah. Spang... percikan besi yang memantul di udara seeperti pertemuan baja dengan batu api. Seorang pemburu dengan nekat menerjang bebarisan pemburu yang sudah ragu-ragu. Tatapan matanya yang tajam membuat barisan keraguan di belakangnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Beberapa dari mereka memilih untuk berpaling dan pergi. Namun, banyak juga dari mereka yang justru menunggui kami sebagai tontonan akhir pekan.&nbs
Suara itu membangunkan kesadaranku, meski ragaku masih terlelap. Aku tahu Camelia sedang mengusahakan segala yang ia bisa agar perjalanan pertama kami tak berisi kekacauan. Namun, sepertinya kami berdua adalah anak badai. Berhadapan dengan kami, bahkan sejak pertama bertemu adalah pertikaian. Apakah sudah saatnya aku tersadar dan mengagetkannya. Ia mungkin akan merasa menjadi guru paling berhasil sebab dengan cepat seorang amatir telah sejajar dengannya. Atau, kalau ia seorang perempuan pencemburu, dan sepertinya menyenangkan melihat wajahnya yang terlipat – aku harus lebih berhati-hati dalam menunjukkan kemampuanku.Aku harus bangun pelan-pelan seperti kukang yang enggan melepaskan batang pohon. Mataku harus terbuka pelan-pelan dan dengan sebuah usaha, kurasa bisa kujalarkan urat-urat di bola mataku untuk memerah. Ia akan melihatku seperti manusia pada umumnya, makhluk yang membutuhkan wkatu untuk sekedar bangkit dari keterlelapannya. Ta
Kaki kami melangkah hampir bersamaan, hampir sejajar. Dengan wajah yang tak lagi tertunduk, aku kembali menatap matanya dengan kemantapan. Lelaki itu, Mas Gavin, sebaliknya memberiku senyum yang begitu ringan. Seolah hanya dengan membalas senyumannya segala yang berat pun terangkat.“Bisa melompati waktu, bisa berpindah ruang, bahkan bisa silat, tak akan cukup Mas!” terangku kepadanya dengan senyum simpul untuk mengatakan yang sejujurnya.“Ya... aku paham, mengatasi tingakatan pasukan zirah saja sudah sangat menyulitkan. Kurasa, di sini kita yang menjadi buron bukan? Menjadi sasaran tidak bisa hanya dengan modal sembarang lari saja,” ucapnya sangat startegis dan memang begitulah yang hendak kukatakan kepadanya.Lampu kelap-kelip di Angkringan Pak Darmadi sayup-sayup kami tinggalkan dengan sepuluh langkah kemudian. Ketika siulan penyanyi di angkringan tersebut masih bersahutan dengan suara alap-alap kami mengambil segenggam kekuatan yang h
Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil
Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu
"Woe... Cam! Cam! Waduh, dia sudah pergi duluan," ketika sebuah lemparan tombak hampir mengenai pelipisku.Oke oke... Aku masih harus berpikir sembari mengalahkan mereka. Lagian, siapa sebenarnya mereka dan apa mau mereka terhadap kami. Beberapa dugaan sudah muncul di kepalaku, namun tak satu pun yang bisa kuterima meskipun sangat mungkin itu benar."Woy, apa salah kami woy?" teriakku yang hanya beradu dengan udara."Sekhtay, skyutin, entahli," tak bisa kupahami apa yang mereka katakan."What, is that even language?" sambil melompat, menahan tendangan, dan sebuah salto ke balakang sebelum mengambil langkah macan.Krek-krek-krek... Suara itu berpadu dengan gesekan dedaunan. Kulihat salah seorang dari pasukan itu memutar sebuah tuas di punggungnya. Putaran itu membuat setiap barian pasukan lainnya untuk terdiam. Bilah-bilah tombak yang terpatri di genggaman mereka pun dibiarkan menyandarkan pangkalnya di bumi."Jiwa, tersesat, waktu!"
Tidak seperti makhluk manapun yang mengalami gejolak dari retakan waktu, mereka berdiri dengan lukisan senyum yang tak disangkakan. Sementara aku duduk di singgasanaku dan melihat segala sudut pandangan mereka, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu cocok menjalankan tugas ini. Namun, mereka harus menerima ujian untuk mengakhiri segala masa menyenangkan. Seorang penjaga waktu yang seharusnya menikmati perjalanan panjangnya di semsta yang tak berbatas dan seorang manusia yang kehilangan ingatannya dalam kilas-kilas – tak ada pasangan yang lebih sesuai sebagai pemegang jiwa kabut selain mereka. Sesuatu yang tampak lemah, tetapi tak akan ada yang menyangka kalau di balik sleimut kabut itu ada serbuan kengerian yang mampu menaklukkan siapa saja.**“Camelia, apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kenapa kamu gak takut sama sekali Mas?”“Lagi
Allahu Akbar... Allahu Akbar...Laa Ilaa Ha IllallahSentuhan tangan lembab di bahu kananku membuat segala kantuk lenyap. Bahu itu datang bersamaan dengan akhir lirik dari Adzan Subuh. Pada sebuah masjid yang menandai Keislaman Kraton Mataram di Yogyakarta, di situlah kuserahkan segala lelahku malam lalu. Aku sendiri tak benar-benar ingat bagaimana aku bisa ke sini. Lagi-lagi yang hinggap dalam ingatanku justru serpihan memori dan cambukan sulur beringin di udara. Aku semakin tahu, ini bukan hanya sekedar pengalaman mental, tetapi lebih dari itu, alam bawah sadarku sedang melihat sesuatu yang tak biasa.Sebasuh air pada muka dan aku mulai mengingat langkah pertamaku malam lalu. Seusai terkalut oleh sesuatu yang tak wajar aku pun tertunduk. Setengah kesadaranku mengangkat tubuhku ke badan motor.Tiga aliran air pada lenganku mengingatkanku pada cerita yang lain. Hari-hari ketika aku melihat sosok perempuan di bangku cokelat Malioboro. Bukanka