**
Khek... khek... Khek... Camelia yang terlalu lama terlena oleh perjalanan berabad-abadnya dan Gavin yang mulai menyadari ingatannya. Tahukah kau semua peristiwa itu memiliki permulaan? Akan kuceritakan padamu serpihan dari peristiwa itu.
**
Setiap makhluk berawal dari cahaya, tak terkecuali manusia. Cahaya itu menjelma sebagai jiwa yang nantinya akan dipecah dalam dua nyawa. Masing-masing nyawa memiliki masa hidupnya sendiri-sendiri. Jika kau tahu ledakan pertama yang memecah semesta dalam beragam galaksi. Jika kau tahu tentang kabut asap tebal sebelum dan sesudah ledakan. Tahukah kau unsur- unsur dasar manusia diambil dari setiap hal yang berserpih dari ledakan itu? Dan, setiap serpihan itu membawa pantulan cahaya pertama dari singgasana-Nya.
Salah seorang makhluk yang nantinya memilih menjadi manusia, tercipta dari serpihan kabut itu sendiri. Hanya saja, ketika ia akhirnya menjelma sebagai asap mengambang dari potongan kabut itu, ia belum sadar kalau dirinya ditakdirkan menemukan pasangan yang serupa, yang pada jiwanya diselimuti oleh kabut.
Miliaran tahun lalu, cerita ini adalah ilmu bagi setiap yang diciptakan. Hanya saja, lambat laun setiap makhluk terlalu sibuk dengan kehidupannya sampai lupa bagaimana mereka memilih untuk tercipta.
Hari itu waktu belum berjalan maju, tidak juga mundur. Detik waktu adalah ingatan yang mulai muncul sejak makhluk memutuskan kapan ia dilahirkan. Setelah ledakan itu terjadi, pantulan singgasana-Nya yang terserap puing-puing semesta pun mulai berkelana. Puing-puing itu ada yang jatuh di zaman purbakala, ada yang jatuh di era industri pertama, dan ada yang jatuh di akhir abad jagad raya.
Jika kau ingat kembali, manusia begitu suka mengambil nama benda sebagai julukan sebuah sifat. "Hai kau kepala batu!", "Tangan besinya mendiamkan isi ruangan", "Dia manusia berotak emas!", "Kesedihan bertubi-tubi membuatnya bermental baja". Batu, besi, emas, dan baja adalah bagian kecil dari puing-puing ledakan penciptaan. Hanya saja, manusia lupa ada makhluk lain selain dirinya yang mengambil sifat-sifat dari puing-puing itu.
**
Aku mengingat diriku sebagai awan kabut yang meloloskan diri kawananku yang pekat. Ketika itu, aku tak tahu apakah ada yang mengikuti jejakku. Pikiranku hanya berkelana begitu saja, di ruang hampa semesta sebelum kuputuskan menjadi apa. Ketika itu, sebercak ilmu tentang penciptaan menempel di tubuh kabutku bersamaan dengan datangnya cahaya putih kemuning yang mengisi ruang kosong kabutku.
Dalam sebercak ilmu itu pula, cahaya putih kemuning menjadi aku, nyawa yang mampu berpikir. Berbagai nama-nama sederhana mulai muncul sebagai kata-kata, meski aku tak bisa mengucapkannya. Dalam angan-anganku setelah itu, ada ratusan pintu yang mengambang di langit semesta dan aku tahu harus memilih salah satu pintu untuk menjadikanku sebagai makhluk.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk memilih. Sebuah pintu berwarna cokelat tua dengan kepala burung terpahat di bagian atasnya. Burung itu tampak pintar dengan satu bulatan kacamata menempel di depan mata kanannya. Sementara itu, rantai dari kacamata itu menjuntai ke bawah, mengikat sebuah tabung simetris dalam posisi vertikal. Sejumlah pasir mengisi tabung atasnya dan secara cepat mengisi tabung di bawahnya. Secepat itu pula posisi tabung berubah, tabung yang sudah penuh oleh pasir berputar ke atas untuk kembali mengisi pasangannya yang telah kosong.
Aku hanya berdiri di depannya dalam waktu yang tak terasa dan pintu itu pun terbuka. Tahu-tahu aku sudah berada dalam sebuah keranjang yang dihiasi bebungaan. Samar-samar kurasakan getaran. Ternyata, benih kabutku memunculkan tangan dan kaki. Kurasakan pula bulatan besar yang menjadi kepalaku. Satu hal lagi yang begitu kuingat, tabung simetris yang berisi pasir, serupa dengan yang terpajang di pintu masuk duduk di keranjangku. Sebuah tangan menggerakkan jam pasir itu dan bergeraklah ia begitu cepat. Sampai-sampai tak terlihat lagi perpindahan tabung atas dan bawah, yang kuketahui selanjutnyan hanyalah rasa kantuk yang begitu berat membuat tatapan pertamaku sebagai makhluk yang berbeda harus menjadi gelap kembali.
***
"Akan kupertemukan makhluk dari kabut itu dengan perjalanan berjuta tahun ke depan, ketika suara kendaraan di zaman itu memekakkan telinganya. Ketika akhirnya ia akan berjalan di berbagai masa hanya untuk bertemu lelaki yang jiwanya diselimuti kabut,"
Ngek... Ngek...
Kerata Sandclock membunyikan peluitnya yang serepa gesekan senar biola oleh pemusik amatir. Tak ada satu pun makhluk penjaga waktu yang menyukai suaranya, tapi tak juga ada langkah dari Masinis Agung untuk menggantinya dengan suara yang lain.
Jika kau bertanya siapa sebenarnya makhluk penjaga waktu itu? Mereka tak ubahnya berfisik seperti manusia, namun mereka juga memiliki organ yang membuat mereka bernapas di ruang hampa. Alat pernapasan itu serupa jarum jam di leher dengan panah yang menunjuk ke dagu. Jarum jam itu menyatu bersama kulit dan ketika ia berputar di ruang hampa, di saat itulah mereka membutuhkannya untuk bernapas.
Ngek... Ngek...
Ketika bunyi itu terdengar lagi maka berbarisan makhluk penjaga waktu akan berlarian menuju pintu yang sesuai dengan nomor kerja mereka.
"Camlia... Camlia... Mana jam pasirmu?" Seorang lelaki bertopi putih dengan seragam serupa polisi, hanya saja warnanya hijau tosca dengan celananya yang putih juga.
"Beres, semua masuk ke kantong!" perempuan inilah yang mewujud setelah serpihan kabut penciptaan semesta memasuki pintu berjam-pasir.
"Hei... Kau harus memegangnya dengan seimbang, jangan sembarangan memasukkannya ke dalam kantong pinggangmu!"
Ngek... Ngek...
Ini adalah panggilan terakhir. Tanpa terlalu memedulikan ucapan pimpinannya tadi, ia pun bergegas melompat ke dalam gerbong. Swes... Kereta melaju dalam kedipan mata yang bahkan belum selesai terkatup. Lelaki yang menegurnya lenyap dari tatapan. Ia melenggang saja ke dalam gerbong dan melupakan jam pasirnya.
"Hari ini akan ada retakan di bumi ya, emmm... Tahun 2015 ya! Kadang bosen aja sih, kerjaan ini kok kayak tukang reparasi aja," ia bergumam sendiri, "Ah, sudahlah yang penting biasanya aku bisa ngambil beberapa barang yang tersesat di langit waktu untuk kubawa pulang. Lumayanlah, masa baktiku tinggal 5 retakan waktu lagi, setelah itu aku bisa berkelana dan memilih salah satu dunia untuk berlabuh, menjadi salah satu makhluk abadi di sana."
Nguueeeek...
Suara biola dari pemusik amatir seperti dipelintir di dalam telinganya. Ia sadar ini belum waktunya mendarat, namun lorong kereta di depan matanya seperti berliuk-liuk. Ketika itulah ia sadar kalau ia tak benar-benar memegang jam pasirnya. Ketika ia hendak mengeluarkan jam itu dari kantong pinggangnya, semua sudah terlambat. Ia pun tersedot dalam liukan waktu. "Ah, sepertinya pengabdianku pada retakan waktu harus bertambah lagi!" ungkapnya dengan tenang sebab ia tahu cara untuk kembali ke dunianya.
Nguuuuuek... Suara itu pun berhenti di ruang batas antara waktu. Langit diselubungi petir. Sebagian makhluk menganggapnya sebagai mimpi. Di ruang batas waktu inilah terkadang seseorang bertamu dengan yang tak pernah dikenalnya. Meski begitu, di ruang batas ini pulalah ketidaksiagaan bisa membuat nyawa siapapun melayang.
Kala itulah Camlia melihat ruh seorang lelaki yang dipenjarakan oleh jeruji berpetir. Sementara itu, sorak-sorai teriakan ksatria-ksatri berzirah mencambuk-cambuk jeruji itu dengan rantai besi. Bukan untuk menyiksanya, tatapi hanya untuk menakutinya.
"Waduh, aku gak mau ikut campur dengan masalah kayak gini," Camlia mengotak-atik mur dan baut pada alas duduk jam pasirnya. Ia tahu, dengan mengubah beberapa posisi pengait ia akan mampu kembali ke dunianya.
Hanya saja...
"Kau... Kau yang di sana! Tolong aku! Tolong aku! Tolong aku!" ruh lelaki dalam jeruji itu memanggilnya.
Dalam batin Camlia tidak mungkin sebuah ruh yang tak memiliki kekuasaan ruang dan waktu dapat memanggilnya. Seorang makhluk penjaga waktu harus menyentuh ruh itu agar bisa berbicara dengannya. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Kerlap-kerlip sinar kuning merembes dari pipi kanan ruh lelaki itu. Camlia mengusap matanya pelan-pelan. Sekali lagi ia amati lelaki itu. Sebuah siluet jam pasir tergambar di pipinya.
"Apakah itu mirip dengan punyaku?" Tanpa pikir panjang ia pun melompati sambaran petir - membuat para ksatria berzirah keheranan. Tak ada yang bisa dilihat mereka, tapi petir-petir menyambar tak karuan, seolah ada yang mengganggu alam jahil mereka.
Sleeeeessss...
"Biasanya aku menggunakan alat ini untuk menambal retakan waktu, kini aku justru menggunakannya untuk meretakkan fragmen mimpi... Arghhhh... Enam retakan lagi, enam retakan lagi, aku yakin gak ada yang tahu apa yang terjadi," gumamnya.
"Aku tak paham maksudmu, tapi terima kasih!"
"Jam pasir di pipimu itu?"
"Hah? Jam pasir? Jam pasir apa?"
Camlia pun heran siluet iti seperti lenyap di telan kulit pipi lelaki itu. Namun, ia tak bisa berhenti meracau dalam batinnya tentang bagaimana mungkin ruh lelaki itu bisa bicara dengannya. Ah, sudahlah.
"Aku harus pergi ke dunia jam pasir, pergilah mumpung mereka masih kebingungan dengan cambukan petir yang kacau balau,"
"Terima kasih... Emmmm!"
"Camlia!"
"Oh, baik Camelia, aku Gavin!
"Manusia aneh, kita tak akan bertemu lagi! Nama tak lagi penting."
Nguuuuueeek...
Dunia terbengkok dan Camlia pun tersedot ke dalamnya meniggalkan Gavin dalam tanda tanya.
***
Hari ini, langit mendung seperti biasanya. Namun, aku tahu hujan urung datang menyapa. Rasa dari panas terik matahari masih menembus ruang-ruang kosong dari geliat awan. Pancarannya membuat siapa pun berpeluh, bahkan pepohonan pun kehausan. Seperti yang kulihat pada lalu-lalang pejalan kaki di atas trotoar. Sesekali mereka berhenti di rombong-rombong minuman dingin. Banyak dari mereka yang menggunakan apa saja sebagai kipas untuk menebar angin pada leher dan badan mereka. Sementara aku, terpaku pada bangku cokelat itu.
Setiap kulihat bangku ini dalam keadaan kosong, aku selalu melihat sosok wanita yang tak pernah kutemui sebelumnya. Bangku cokelat di pedistrian Malioboro, Yogyakarta, yang seperti menyimpan jejak cerita.
Ingatanku berkabut, namun aku tahu sekelebat itu adalah kibar rambutnya yang hitam dan lurus. Ketebalannya tak benar-benar mampu diterpa angin. Sejak hari itu, aku sering meghabiskan waktu senggang untuk berdiam diri di sini, di bangku cokelat Malioboro. Satu hingga dua jam tak melakukan apa-apa, kecuali lebar pandang mataku ke segala arah untuk menyamarkan tujuanku. Berkali aku selalu menoleh ke kiri dan ingatanku kembali berkabut.
Dari sebuah kibar rambut menjadi setengah wajah yang memunggungi tatapanku. Segaris senyum kusadari datang dari setengah garis muka bagian kanan miliknya. Aku semakin tahu ia perempuan beralis tebal yang lebih sering mengatup mulut setelah senyumnya yang ringkas.
Dalam sejenak aku hanua berharap tak dianggap sebagai orang gila. Waktu berlalu di pengujung Januari. Kabut tipis turun dari langit bersama sisa gerimis. Pukul 16.00 waktu Yogyakarta, orang-orang kembali berlalu lalang untuk menanamkan rindu. Setidaknya itulah yang mungkin diingat manusia-manusia melankolis sepertiku. Jogja sudah seperti rumah bagiku. Terlalu nyaman sampai terasa begitu menakutkan. Setiap sudutnya menyuarakan kata pulang dengan kelirisan.
Namun bukan hanya itu, perempuan holografik yang membiarkan berkas senyumnya berulang kali jatuh di kehitaman rambutnya itu membuatku terus termenung. Siapa ia? Ataukah, aku melihat sesosok makhluk halus? Namun, tak sedikitpun kurasakan garis ketakutan setiap pertemuan mayaku dengannya. Tak juga ada perunbahan dari rona wajahnya, hanya sebilah senyum dan terpaan angin yang tak mampu mengibas rambutnya. Begitu terus, tanpa bisa kutatap dari sisinya yang lain.
Namun, dalam serak-serak suara yang seperti radio yang kehilangan sinyal, Gavin mendengar bayang-bayang perempuan itu berujar.
"Camelia!"
***
Selembar kertas, bolpoin, dan tarian jemari di atas layar ponsel menghentikan langkahku sore ini. Pada waktu yang serupa biasanya kukunjungi bangku itu, aku memilih untuk memikirkannya. Dia, bayang-bayang perempuan berparas cantik, bernada liris dengan suaranynya yang dalam. Dia, yang setelah sekian ratus hari hanya membiarkan kelebat rambutnya. Senyum dan sapanya yang lebih dahulu menyimpan kata-kata, kini telah reda. Ia menyebut, "Camelia!" kata yang mungkin adalah namanya, mengalihkan kekosongan kertasku pada masa sebelum lamunanku."Hoe Gav!" Seorang laki-laki melewatinya tanpa melupakan sebuah sapaan. Kurasa, dia kakak angkatanku. Dia belum lulus ya? Atau, lagi bekerja jadi staff di sini? Ah, untuk apa aku membingungkan diriku sendiri. Bagiku, sore ini bukan kakak angkatan itu yang penting.Pena di tangan kananku sedang asik menuliskan kata Camelia. Aku hanya menulis untuk melihat apakah aku akan mengingat sesuatu sebelum bayangannya. Biasanya, ketika aku
Allahu Akbar... Allahu Akbar...Laa Ilaa Ha IllallahSentuhan tangan lembab di bahu kananku membuat segala kantuk lenyap. Bahu itu datang bersamaan dengan akhir lirik dari Adzan Subuh. Pada sebuah masjid yang menandai Keislaman Kraton Mataram di Yogyakarta, di situlah kuserahkan segala lelahku malam lalu. Aku sendiri tak benar-benar ingat bagaimana aku bisa ke sini. Lagi-lagi yang hinggap dalam ingatanku justru serpihan memori dan cambukan sulur beringin di udara. Aku semakin tahu, ini bukan hanya sekedar pengalaman mental, tetapi lebih dari itu, alam bawah sadarku sedang melihat sesuatu yang tak biasa.Sebasuh air pada muka dan aku mulai mengingat langkah pertamaku malam lalu. Seusai terkalut oleh sesuatu yang tak wajar aku pun tertunduk. Setengah kesadaranku mengangkat tubuhku ke badan motor.Tiga aliran air pada lenganku mengingatkanku pada cerita yang lain. Hari-hari ketika aku melihat sosok perempuan di bangku cokelat Malioboro. Bukanka
Tidak seperti makhluk manapun yang mengalami gejolak dari retakan waktu, mereka berdiri dengan lukisan senyum yang tak disangkakan. Sementara aku duduk di singgasanaku dan melihat segala sudut pandangan mereka, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu cocok menjalankan tugas ini. Namun, mereka harus menerima ujian untuk mengakhiri segala masa menyenangkan. Seorang penjaga waktu yang seharusnya menikmati perjalanan panjangnya di semsta yang tak berbatas dan seorang manusia yang kehilangan ingatannya dalam kilas-kilas – tak ada pasangan yang lebih sesuai sebagai pemegang jiwa kabut selain mereka. Sesuatu yang tampak lemah, tetapi tak akan ada yang menyangka kalau di balik sleimut kabut itu ada serbuan kengerian yang mampu menaklukkan siapa saja.**“Camelia, apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kenapa kamu gak takut sama sekali Mas?”“Lagi
"Woe... Cam! Cam! Waduh, dia sudah pergi duluan," ketika sebuah lemparan tombak hampir mengenai pelipisku.Oke oke... Aku masih harus berpikir sembari mengalahkan mereka. Lagian, siapa sebenarnya mereka dan apa mau mereka terhadap kami. Beberapa dugaan sudah muncul di kepalaku, namun tak satu pun yang bisa kuterima meskipun sangat mungkin itu benar."Woy, apa salah kami woy?" teriakku yang hanya beradu dengan udara."Sekhtay, skyutin, entahli," tak bisa kupahami apa yang mereka katakan."What, is that even language?" sambil melompat, menahan tendangan, dan sebuah salto ke balakang sebelum mengambil langkah macan.Krek-krek-krek... Suara itu berpadu dengan gesekan dedaunan. Kulihat salah seorang dari pasukan itu memutar sebuah tuas di punggungnya. Putaran itu membuat setiap barian pasukan lainnya untuk terdiam. Bilah-bilah tombak yang terpatri di genggaman mereka pun dibiarkan menyandarkan pangkalnya di bumi."Jiwa, tersesat, waktu!"
Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu
Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil
Kaki kami melangkah hampir bersamaan, hampir sejajar. Dengan wajah yang tak lagi tertunduk, aku kembali menatap matanya dengan kemantapan. Lelaki itu, Mas Gavin, sebaliknya memberiku senyum yang begitu ringan. Seolah hanya dengan membalas senyumannya segala yang berat pun terangkat.“Bisa melompati waktu, bisa berpindah ruang, bahkan bisa silat, tak akan cukup Mas!” terangku kepadanya dengan senyum simpul untuk mengatakan yang sejujurnya.“Ya... aku paham, mengatasi tingakatan pasukan zirah saja sudah sangat menyulitkan. Kurasa, di sini kita yang menjadi buron bukan? Menjadi sasaran tidak bisa hanya dengan modal sembarang lari saja,” ucapnya sangat startegis dan memang begitulah yang hendak kukatakan kepadanya.Lampu kelap-kelip di Angkringan Pak Darmadi sayup-sayup kami tinggalkan dengan sepuluh langkah kemudian. Ketika siulan penyanyi di angkringan tersebut masih bersahutan dengan suara alap-alap kami mengambil segenggam kekuatan yang h
Suara itu membangunkan kesadaranku, meski ragaku masih terlelap. Aku tahu Camelia sedang mengusahakan segala yang ia bisa agar perjalanan pertama kami tak berisi kekacauan. Namun, sepertinya kami berdua adalah anak badai. Berhadapan dengan kami, bahkan sejak pertama bertemu adalah pertikaian. Apakah sudah saatnya aku tersadar dan mengagetkannya. Ia mungkin akan merasa menjadi guru paling berhasil sebab dengan cepat seorang amatir telah sejajar dengannya. Atau, kalau ia seorang perempuan pencemburu, dan sepertinya menyenangkan melihat wajahnya yang terlipat – aku harus lebih berhati-hati dalam menunjukkan kemampuanku.Aku harus bangun pelan-pelan seperti kukang yang enggan melepaskan batang pohon. Mataku harus terbuka pelan-pelan dan dengan sebuah usaha, kurasa bisa kujalarkan urat-urat di bola mataku untuk memerah. Ia akan melihatku seperti manusia pada umumnya, makhluk yang membutuhkan wkatu untuk sekedar bangkit dari keterlelapannya. Ta
Sudah empat dari sepuluh makhluk yang terkumpul. Nantinya, setelah semuanya terkumpul akan terbit sepuluh pilar yang menyangga perputaran waktu. Sekarang, semua yang tampak aman dalam aliran waktu hanyalah jalur semu. Rasa aman dan nyaman hanyalah dimiliki oleh para makhluk yang ketakutan. Sementara, mereka yang paham bahwa tak ada yang aman dalam setiap langkah dapat menerima keabadian. Mengapa demikian? Bisa kubayangkan pertanyaan itu yang akan dilontarkan semua makhluk. Tidakkah kau, kalian, berpikir bahwa dalam rasa aman yang ada hanyalah rayuan? Padahal, kapan saja kau bisa tersandung kerikil kecil dan terluka karenanya. Padahal, dalam sebuah tidur panjang siapa saja bisa menghadapi kematian. Paddahal, dalam setiap makanan bisa jadi menimbulkan penyakit bukan?Lihatlah para makhluk penghuni lipatan dimensi, ketika kesepuluh pilar itu telah berkumpul, akan kutunjukkan siapa Aku!
Para pemburu yang mengincar kami pun mulai bergumam. Setidaknya, ada beberapa suara yang kudengar penuh keraguan. Rasa menyerah sudah meracuni pikiran mereka. Harapan mendapat hadiah besar hanyalah mimpi kolot yang mungkin lebih baik dihindari, setidaknya untuk hari itu, saat itu, momen itu – ketika mereka merasakan kesia-siaan menghadapi kami hanya bermodalkan kekuatan yang setengah-setengah. Spang... percikan besi yang memantul di udara seeperti pertemuan baja dengan batu api. Seorang pemburu dengan nekat menerjang bebarisan pemburu yang sudah ragu-ragu. Tatapan matanya yang tajam membuat barisan keraguan di belakangnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Beberapa dari mereka memilih untuk berpaling dan pergi. Namun, banyak juga dari mereka yang justru menunggui kami sebagai tontonan akhir pekan.&nbs
Suara itu membangunkan kesadaranku, meski ragaku masih terlelap. Aku tahu Camelia sedang mengusahakan segala yang ia bisa agar perjalanan pertama kami tak berisi kekacauan. Namun, sepertinya kami berdua adalah anak badai. Berhadapan dengan kami, bahkan sejak pertama bertemu adalah pertikaian. Apakah sudah saatnya aku tersadar dan mengagetkannya. Ia mungkin akan merasa menjadi guru paling berhasil sebab dengan cepat seorang amatir telah sejajar dengannya. Atau, kalau ia seorang perempuan pencemburu, dan sepertinya menyenangkan melihat wajahnya yang terlipat – aku harus lebih berhati-hati dalam menunjukkan kemampuanku.Aku harus bangun pelan-pelan seperti kukang yang enggan melepaskan batang pohon. Mataku harus terbuka pelan-pelan dan dengan sebuah usaha, kurasa bisa kujalarkan urat-urat di bola mataku untuk memerah. Ia akan melihatku seperti manusia pada umumnya, makhluk yang membutuhkan wkatu untuk sekedar bangkit dari keterlelapannya. Ta
Kaki kami melangkah hampir bersamaan, hampir sejajar. Dengan wajah yang tak lagi tertunduk, aku kembali menatap matanya dengan kemantapan. Lelaki itu, Mas Gavin, sebaliknya memberiku senyum yang begitu ringan. Seolah hanya dengan membalas senyumannya segala yang berat pun terangkat.“Bisa melompati waktu, bisa berpindah ruang, bahkan bisa silat, tak akan cukup Mas!” terangku kepadanya dengan senyum simpul untuk mengatakan yang sejujurnya.“Ya... aku paham, mengatasi tingakatan pasukan zirah saja sudah sangat menyulitkan. Kurasa, di sini kita yang menjadi buron bukan? Menjadi sasaran tidak bisa hanya dengan modal sembarang lari saja,” ucapnya sangat startegis dan memang begitulah yang hendak kukatakan kepadanya.Lampu kelap-kelip di Angkringan Pak Darmadi sayup-sayup kami tinggalkan dengan sepuluh langkah kemudian. Ketika siulan penyanyi di angkringan tersebut masih bersahutan dengan suara alap-alap kami mengambil segenggam kekuatan yang h
Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil
Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu
"Woe... Cam! Cam! Waduh, dia sudah pergi duluan," ketika sebuah lemparan tombak hampir mengenai pelipisku.Oke oke... Aku masih harus berpikir sembari mengalahkan mereka. Lagian, siapa sebenarnya mereka dan apa mau mereka terhadap kami. Beberapa dugaan sudah muncul di kepalaku, namun tak satu pun yang bisa kuterima meskipun sangat mungkin itu benar."Woy, apa salah kami woy?" teriakku yang hanya beradu dengan udara."Sekhtay, skyutin, entahli," tak bisa kupahami apa yang mereka katakan."What, is that even language?" sambil melompat, menahan tendangan, dan sebuah salto ke balakang sebelum mengambil langkah macan.Krek-krek-krek... Suara itu berpadu dengan gesekan dedaunan. Kulihat salah seorang dari pasukan itu memutar sebuah tuas di punggungnya. Putaran itu membuat setiap barian pasukan lainnya untuk terdiam. Bilah-bilah tombak yang terpatri di genggaman mereka pun dibiarkan menyandarkan pangkalnya di bumi."Jiwa, tersesat, waktu!"
Tidak seperti makhluk manapun yang mengalami gejolak dari retakan waktu, mereka berdiri dengan lukisan senyum yang tak disangkakan. Sementara aku duduk di singgasanaku dan melihat segala sudut pandangan mereka, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu cocok menjalankan tugas ini. Namun, mereka harus menerima ujian untuk mengakhiri segala masa menyenangkan. Seorang penjaga waktu yang seharusnya menikmati perjalanan panjangnya di semsta yang tak berbatas dan seorang manusia yang kehilangan ingatannya dalam kilas-kilas – tak ada pasangan yang lebih sesuai sebagai pemegang jiwa kabut selain mereka. Sesuatu yang tampak lemah, tetapi tak akan ada yang menyangka kalau di balik sleimut kabut itu ada serbuan kengerian yang mampu menaklukkan siapa saja.**“Camelia, apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kenapa kamu gak takut sama sekali Mas?”“Lagi
Allahu Akbar... Allahu Akbar...Laa Ilaa Ha IllallahSentuhan tangan lembab di bahu kananku membuat segala kantuk lenyap. Bahu itu datang bersamaan dengan akhir lirik dari Adzan Subuh. Pada sebuah masjid yang menandai Keislaman Kraton Mataram di Yogyakarta, di situlah kuserahkan segala lelahku malam lalu. Aku sendiri tak benar-benar ingat bagaimana aku bisa ke sini. Lagi-lagi yang hinggap dalam ingatanku justru serpihan memori dan cambukan sulur beringin di udara. Aku semakin tahu, ini bukan hanya sekedar pengalaman mental, tetapi lebih dari itu, alam bawah sadarku sedang melihat sesuatu yang tak biasa.Sebasuh air pada muka dan aku mulai mengingat langkah pertamaku malam lalu. Seusai terkalut oleh sesuatu yang tak wajar aku pun tertunduk. Setengah kesadaranku mengangkat tubuhku ke badan motor.Tiga aliran air pada lenganku mengingatkanku pada cerita yang lain. Hari-hari ketika aku melihat sosok perempuan di bangku cokelat Malioboro. Bukanka