Richard's
Aku memaki dalam hati karena dua alasan yang berbeda. Pertama karena aku ceroboh tak memikirkan apa yang keluar dari mulutku, dan yang kedua karena ekspresi memohon yang kulihat di wajah Mira membua pikiranku berkelana liar. Aku mengutuki reaksi tubuhku yang terlalu jujur dan mendamba.
Keadaan Madame Louisa adalah sesuatu yang amat rahasia. Hanya sedikit dari kami yang mengetahuinya. Kunjungan oleh keluarga pun dibatasi. Aku sudah bersumpah untuk tak menyebarkan informasi ini pada orang - orang yang tak berkepentingan meskipun nyawa adalah taruhannya. Namun dengan hanya satu pertanyaan dan ekspresi mengiba dari Mira, semuanya keluar begitu saja dari mulutku.
Gadis ini amat berbahaya bagiku. Namun selayaknya ngengat dan api, aku tak bisa menjauh dari Mira. Semua tentangnya seolah menjadi candu bagiku.
“Mira. Maafkan aku.”Kalimat yang diucapkan Richard tadi pagi terus saja terngiang di kepalaku dengan gaung tak menyenangkan yang membuat kepalaku menjadi pening. Sekarang sudah jam sebelas malam, dan aku sama sekali belum mengantuk. Mataku masih terbuka lebar tanpa ada tanda - tanda untuk mengakhiri hari dan beristirahat. Padahal besok aku harus bersiap untuk kelas pagi bersama JJ, bertemu dengan Granny Louisa, ijin yang entah bagaimana akhirnya kudapatkan dari Richard dan Daddy, sebelum sore harinya harus bersiap untuk jamuan minum teh barsama para putri bangsawan di rumah Mademoiselle Viella. Semoga aku tak salah mengingat namanya. Dia adalah putri Grand Duke satu - satunya, dan merupakan salah seorang yang berpengarih di kerajaan dan pemerintahan. Aku ingat JJ dan Richard bilang aku harus terlihat baik di depannya.Sesuatu yang tak kumengerti ka
“Anda mengerti, Mademoiselle?”Aku tersenyum kecil dan mengangguk pada JJ yyang duduk di depanku. “Kau sudah mengatakannya… sekitar tiga hingga lima kali sejak pertama kali kau memberikan list nama ini padaku beberapa hari yang lalu. Ri…” Aku berdehem saat tenggorokanku mendadak tercekat saat mengucapkan nama itu, aku mengedikpan mataku bberapa kali untuk mengembalikan fokusku. “Richard juga sudah memberitahuku siapa saja yang harus aku waspadai di sana. Jangan khawatir, aku memiliki ingatan yang kuat.”“Maafkan aku, Mademoiselle. Saya hanya mengkhawatirkan Anda.”Wajahku sedikit mengeras saat aku mendengar kalimat maaf JJ. Rasanya seperti ada sesuatu yang meremas dadaku dan membantingnya ke tanah hingga membuat nafasku menjadi sesak. Sekilas aku melirik ke arah kananku di mana Richard berdiri dengan siaga mengawalku. Tak ada kalimat sapa dan basa basi hari ini darinya. Kemarin pun, setelah kejadian itu, dia langsung beranjak berdiri dan mengatakan keperluannya datang mencariku denga
"Mereka?" Aku bertanya dengan alis berkerut. Mereka ini siapa lagi? Bukankah Putra Mahkota sudah diamankan dan diawasi agar selalu jauh dari istana?"Banyak yang menginginkan kehancuran kita." Hanya Itu saja penjelasan dari Granny Louisa sebelum berpaling pada Corrine dan berkata dengan nada yang lebih serius. Ada peringatan juga di dalamnya. "Terutama kau, Corry. Kau harus semakin waspada dengan circle pertemanan yang kau punya di sekitar istana. Jangan mudah percaya meskipun itu dengan orang yang kau anggap paling dekat denganmu."Corrine seperti sedikit kaget mendengar peringatan tersebut. Sesaat, kukira dia akan menyanggah, namun sesaat kemudian, dia mengangguk. Senyum lebar kembali terpulas di bibirnya."Aku tahu, Granny. Granny tak perlu khawatir berlebihan. Aku bisa menjaga diriku sendiri." Lalu dia mendesah seolah - olah sedang kesal. "Lagipula, Mama pun sudah melarangku untuk melibatkan diri dalam acara - acara non formal kerajaan yang dia rasa tak penting. Bisa Granny bayan
Richard menggeleng dengan wajah prihatin, menjawab pertanyaanku. Pasti wajahku saat ini terlihat menyedihkan dan putus asa sekali. Pertama kali harus menghadiri acara kebangsawanan setelah aku pindah ke istana, dan aku harus menghadirinya sendirian tanpa pendamping! “Aku akan berada di sana bersama dengan para mengawal yang lain.” Dia menunjuk pada satu ruang terbuka dengan jendela besar di depannya di mana aku bisa melihat beberapa pria dengan busana yang mirip dengan yang Richard kenakan duduk dan berdiri. Ada yang saling bercengkerama dengan suara rendah, ada pula yang hanya diam saja sambil memperhatikan. "Lalu aku? Aku akan sendirian di…." "Hei, chill." Chill?! Di saat seperti ini? Apa dia bercanda?! "Corrine tak bisa datang, tapi ada Lyn di dalam. Setidaknya ada satu orang yang kau kenal di sana, okay?
"Mungkin ini waktunya kau menyerah dan melepaskan pujaan hatimu." Pujaan hati? Lyn sedang curhat tentang orang yang dia taksir? Aku tersenyum kecil membayangkannya. Mungkin aku bisa mendekatinya dengan ini? Lagipula, aku harus berada di sini karena aku tak bisa ke mana - mana saat ini. Akan terasa aneh jika aku mendadak keluar dari bilik ini dan menyapa mereka, bukan? "Apakah menyerah ada dalam kamusku? Aku sudah menunggu Richard amat lama. Aku menunggu kegilaannya akan Arlaine mereda. Saat dia patah hati karena pertunangan kakakku, aku menghiburnya. Aku nyaris bersorak girang saat Arlaine pergi, akhirnya aku bisa memiliki Richard untukku sendiri. Tapi Nona kecil itu sudah terlanjur datang dan menyita segalanya." Jeda sebentar. "Dibandingkan Arlaine, Mira bukanlah tandingan. Aku hanya perlu bersabar sebentar lagi, dan dia akan kembali padaku. Seperti yang seh
Richard'sAda hal yang harus kulakukan malam ini atas perintah Pak Tua. Hal yang cukup penting dan rahasia. Namun, aku tak bisa berkonsentrasi dengan baik. Selalu saja pikiranku kembali dan hanya kembali pada Mira; bibirnya yang bergetar, kedua matanya yang berkaca - kaca dan memancarkan kesedihan dan dadanya yang naik turun karena tarikan nafasnya yang tak beraturan. Semua itu adalah gambaran yang kudapat sebelum Mira mendorongku kuat dan membanting pintu kamar mandi di depan wajahku.Dan tak berhenti sampai di situ, aku malah dengan pengecutnya pergi dari sana dan menghindari Mira untuk makan malam. Ya, aku belum menemuinya lagi sejak tadi petang. Aku menelan ludah gusar dan sekali lagi mengusak rambutku yang sudah sedikit panjang akhir - akhir ini. Berusaha mengenyahkan Mira sebentar dari kepalaku karena aku harus menyelesaikan apa yang menjadi tugasku sekarang. Ponsel yang kuletakkan di meja nakas kini berdering. Dari tempatku yang sedang bersandar di kepala ranjang dengan hanya
Richard'sSuara pelan dan ragu - ragu itu menyapa telingaku, seketika membuat jantungku berdetak kencang dan tubuhku memberikan reaksi yang aneh. Teman kecil di bawah sana yang sempat tertidur setelah beberapa saat lalu mati - matian kutenangkan kini bangkit kembali dengan kebutuhan yang lebih menuntut daripada sebelumnya.Aku berdiri dan berbalik menghadap gadis mungil dengan pipi dan hidung merah yang menggunakan mantel tebal di atas piyama tidurnya. Dengan sebelah tangan, aku menutup bagian tengah tubuhku yang semakin memberontak ingin mengambil alih kontrol diriku. Dengan rambut tergerai sedikit berantakan terkena angin malam dan beberapa anak rambut yang membingkai wajahnya, gadi itu terlihat luar biasa syurgawi. Rasanya seperti dia tak seharusnya berada di bumi."Mira." Aku berdehem saat suaraku pecah, dan mengulanginya sekali lagi. "Mira. Kau belum tidur? Ini sudah amat malam."Gadis itu berkedip. Matanya sayu, jelas antara sudah mengantuk, atau malah dia baru bangun tidur. Bib
Aku bangun terlambat pagi ini. Wajar saja, semalam aku tidur menjelang subuh. Wajahku seketika memerah saat mengingat apa yang terjadi semalam.“Dieu, apa yang kulakukan.” Memang terdengar seperti kalimat penyesalan, tapi apa yang tergambar di wajahku adalah kebalikannya. Rona bahagia dan mata yang berninar ini sama sekali bukan ekspresi dari orang yang sedang menyesal.Madam Marceu belum masuk ke kamarku. Aku bangun sendiri dan bersiap sendiri kali ini. Bukan masalah besar. Aku tak memiliki jadwal apa pun hari ini sampai nanti sore, yang merupakan evaluasi dari acara minum teh yang kuhadiri kemarin.Aku menyisir rambutku ke belakang dan membiarkannya tergerai. Akhir-akhir ini, gaya rambut seperti ini yang aku suka. Jadi aku membiarkannya seperti ini. Setelah selesai bersiap dan yakin aku cukup ‘layak’ untuk keluar dari kamar, aku beranjak keluar dari kamarku. “Aneh, kenapa Madam Marceu belum kemari? Biasanya jilka aku belum bangun sampai jam segini, dia akan membangunkanku dan memba
Kali ke dua aku naik pesawat. Aku gugup, dan terus menerus ke toilet sejak tadi. Ada satu penjaga yang mengawalku sampai aku boarding nanti. Namun aku menolak untuk terus diikuti sampai Indonesia.Di sini aku memang keluarga kerajaan, tapi di sana aku bukan siapa-siapa. Untunglah Daddy mau mengerti hal ini. Aku sedang menunggu panggilan untuk boarding. Dan lagi-lagi, aku teringat akan alasanku pergi."Stop, Mira. Terima saja. Cinta pertamamu tak berjalan lancar. Kau harus melupakannya."Aku menarik satu kali nafas panjang tepat saat panggilan pertama pesawat yang akan membawaku ke Indonesia terdengar. Aku dan beberapa penumpang pesawat lainnya mengantri untuk verifikasi terakhir sebelum masuk pesawat dan masuk dengan tertib.Tak seperti penerbanganku sebelumn
Granny melarangku untuk berpikir pergi dari sini adalah yang terbaik. Bahkan setelah dua hari berlalu. Dia ingin aku kuat, dan dia meyakinkan bahwa semua yang ada di sini keluargaku. Bahwa aku tak sendirian di sini."Kita bisa mengganti pengawalmu jika kau tak ingin bertemu dengan Richard. Tapi aku tak setuju jika kau pergi meninggalkan kami. Semua keributan ini akhirnya berakhir, dan kita bisa hidup dengan tenang bersama, kenapa kau malah memikirkan untuk pergi?"Dari situ aku sadar, Granny benar. Bagi semua orang, ini adalah kemenangan. Hanya aku yang merasa kalah dalam hal ini, dan itu karena Richard. Aku merasa buruk setelah mendengar hal itu."Maaf, aku jadi egois."Granny Louisa menggeleng. "Kau memang tak bisa kembali ke sana, tapi kau bisa berkunjung sebent
Richard'sAku menonton berita di televisi dengan tatapan puas. Phillip, ibunya, JJ, Cedric dan anak buahnya yang terbukti membelot sudah diringkus. Pengadilan kasus mereka memang belum ditetapkan kapan, namun, mereka tak akan lepas dari sanksi sosial kali ini. Dulu, Pak Tua terlalu baik hati untuk mengumumkan perbuatan mereka pada media. Namun sekarang tidak lagi."Makanlah dulu. Kau memang sudah tampak sehat, tapi kau masih perlu banyak waktu dan asupan bagus untuk memulihkan tenagamu."Aku mendongak menatap gadis yang beberapa hari terakhir menemaniku di sini. Dia gesit dan telaten mengurusku. Itu hal yang bagus, bukan? Saat terbaring tak berdaya, ada seseorang yang tulus mengurusmu.Betapa beruntungnya diriku?"Lyn.."
Aku meninggalkan Corrine berdua dengan Abe Villich di balkon rumah sakit agar mereka saling berbicara. Semoga saja keputusanku tak salah. Aku sedikit khawatir karena Corrine terlihat amat pucat dan kaget saat melihat Abe ada di sana. Pria itu pasti mengikuti kami tadi saat keluar untuk berbicara.Aku masih berada di balik pintu balkon selama beberapa saat, hanya untuk memastikan bahwa Corrine baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berniat menguping. Aku masih ingat apa yang dilakukan Abe pada Corrine dulu hingga membuat Corrine yang biasanya ceria menjadi amat pendiam dan tertekan."Katakan, Corry. Apa yang mereka katakan tentangmu sehingga kau ikut tanpa perlawanan seperti itu." Suara Abe dingin dan tegas. Bahkan aku yang bukan lawan bicaranya saja berjengit, apalagi Corrine.Aku bisa mendengar suara tangis saat ak
“Tak bisakah kita sedikit lebih cepat?” Aku memajukan tubuhku untuk berbicara pada supir dengan nada tak sabar.“Cherie…”Kurasakan tangan Daddy menggengam tanganku dan meremasnya pelan. Mungkin menegur, atau mungkin juga sekedar menguatkanku karena kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan putus asa. Namun aku kembali ke kursiku dan duduk dengan rapi. Mencoba untuk tenang meskipun rasanya sudah tak karuan lagi di dalam diriku.Tiga jam lalu kami dihubungi oleh Corrine yang berbicara dengan sangat cepat dan nyaris tak jelas tentang jangan pulang ke istana dan pergi ke tempat lain karena istana tak aman. Dia tak menjelaskan lebih jauh dan hanya terus mengulang kalimat itu. Kami baru saja sampai di istana, namun kami tak masuk dan langsung melanjutkan k
Richard’sPolisi dan pasukan tambahan datang tepat waktu untuk menyelamatkan kami. Seperti dugaanku, ada beberapa orang dari pasukan Cedric yang membelot dan berkhianat dengan pria itu. Hal itu membuat pasukan yang kubawa menjadi kalang kabut dan kami sempat terpukul mundur karena bingung siapa lawan dan kawan di sini.Untungnya, polisi ada yang membawa senapan paintball sehingga kami bisa menandai siapa saja yang berkhianat dengan peluru cat merah di punggungnya. Ini membantu kami mengidentifikasi siapa yang berada di tim kami dan tim lawan.Corrine sempat di bawa ke ruangan lain oleh Phillip, tapi aku berhasil mengejarnya setelah menumbangkan Cedric dengan mematahkan bahunya.“Sorry, Pal, tapi kau pantas mendapatkannya. Ibi bahkan tak setimpal dengan
Aku terbelalak tak mempercayai mataku. Di depan kami, muncul dua orang yang sama sekali tak kuduga akan kutemui di sini. Mereka yang menjadi dalang penculikan Corrine? Kenapa?!“Cedric? JJ?” Aku mengucap dengan nada tak percaya. “Why?! Kenapa kalian melakukan ini?”“Apakah itu belum jelas, mademoiselle?”JJ menjawab sembari berjalan melenggang mendekat pada Putra Mahkota… bukan. Richard memanggilnya Phillip, karena dia sudah bukan lagi Putra Mahkota. JJ mendekat pada Phillip dan mereka mulai menempelkan tubuh mereka satu sama lain. Pemandangan yang langsung membuatku mual! Rupanya JJ adalah partner sesama jenis Phillip?! Bukankah…“Oh, maafkan, kami terlalu larut dalam dunia kami yang penuh cinta. JJ. Kekasih
Richard’s“Akhirnya kalian datang juga. Aku terkesan.”“Kau…”“Apa maksudnya ini?!”Pertanyaan Mira dan pak Tua saling bersahutan saat melihat pemilik rumah yang dan sandera yang mereka cari sedang duduk sambil bermain catur di ruang baca. Aku menggertakkan gigi dan mengepalkan tinjuku erat. Mencoba menahan amarahku yang meperti mengancam ingin menelanku bulat-bulat.Aku sudah memiliki kecurigaan sejak menemukan lokasi di mana Corrine berada. Tak banyak yang tahu bahwa rumah ini bukan lagi milik Abe Villich. Namun aku dan Cedric adalah sedikit di antara orang-orang yang tahu bahwa sejak Arlaine meninggal. Rumah ini dibeli oleh Abe Villich sebagai hadiah pernikahan untuk Arlaine
Granny Louisa menangis tersedu mendengar cerita tentang Corrine dariku.Pada akhirnya, aku tak punya pilihan untuk tidak mengatakannya. Lagi pula, mengenai hal ini, aku juga butuh berdiskusi tentang beberapa hal. Tentang apa peranku di sini. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan jika penjahatnya benar-benar tertangkap. Atau bagaimana caranya agar penjahatnya tertangkap dan Corrine kembali pada kami dengan selamat.Betul kata Daddy. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan di saat seperti ini. Betul kata Madame Villich, aku hanya boneka di sini yang tak akan bisa menggantikan posisi siapa pun. Aku muncul hanya karena panggung terlalu sepi."Richard sedang mencarinya, Granny. Aku yakin dia pasti akan berusaha dengan seksama dan membawa Corrine pulang dengan selamat."