"Ternyata rumor itu beneran ya, Va," kata Tio saat kami secara kebetulan bertemu di tempat fotokopi. Dia sudah berdiri di depan etalase sewaktu aku tiba. Aku tidak menoleh dan sibuk membalas pesan Acha yang menanyakan keberadaanku saat ini. "Rumor apaan?"Biarpun cowok, tapi Tio ini suka bergosip. Dia bisa mengetahui berita-berita teraktual di kampus, bahkan dari anak-anak fakultas lain. Sepertinya rambut kribonya itu sanggup menampung beberapa isu sekaligus. "Yang calon suami lo itu."Kali ini, aku menoleh dan mengernyit. "Calon suami?" Sejak kapan aku punya calon suami? Pacar aja tidak ada. Seluruh penghuni semesta juga tahu kalau aku jomblo. Bahkan aku lupa kapan terakhir punya pacar. Sepertinya … kelas dua belas SMA dan aku terpaksa memutuskannya karena harus fokus mempersiapkan ujian nasional. "Calon suami lo serem. Pantes aja Galih nggak bisa ngelawan waktu digebukin."Aku refleks mendorong bahu pemuda berambut kribo itu. "Mulut lo, ah. Gue mana punya calon suami, sih!"Kala
Siapa pun pasti akan jantungan kalau anaknya tiba-tiba pulang tengah malam bersama seorang pria. Ibu sampai menutup pintu lagi saking tidak percayanya bahwa ini adalah aku. Beliau baru kembali membuka pintu setelah aku merengek di teras.Semua ini gara-gara kekonyolan Bang Ayas yang langsung tancap gas ke Semarang tanpa mempertimbanhkan banyak hal. Mungkin dia mengira kalau Jakarta ke sini cukup dua jam. Buktinya, dia ngeyel dan tidak mengindahkan laranganku. "Sampai kapan pun kamu akan tetap overthinking kalau saya belum ketemu Ibu." Begitu ucap Bang Ayas, si keras kepala yang nekat di luar batas. "Ini Ibu tidak sedang mimpi, kan?" Berkali-kali Ibu mengucek mata. Dia sampai memandangi telapak kakiku yang jelas-jelas menapak di teras. Kemudian, tatapannya beralih pada Bang Ayas yang berdiri di sampingku. "Iya, Bu. Ini Resva," sahutku dengan lesu. Energiku sudah habis untuk berdebat dengan Bang Ayas. Selama perjalanan berjam-jam pula, kami tidak mampir ke rest area. Sungguh stamina
"Resva, tolong sampaikan maaf ke ibumu, ya. Tante sama Om akan ke Semarang setelah urusan Ezra selesai."Ini bukan kali pertama Tante Fatma mengirimiku pesan, tapi entah mengapa sekarang jantungku berdetak tak keruan, meletup-letup seperti kembang api yang membuncah di ketinggian. Aku masih menahan senyum, masih belum percaya kalau Bang Ayas ternyata serius akan melamarku. Kemarin waktu di Semarang, dia mati-matian meyakinkan aku yang meragukan dirinya. "Saya berani bersumpah, Resva, kalau kamu bukan pelarian. Saya benar-benar ingin hidup sama kamu."Tidak hanya itu saja, lelaki itu juga meyakinkan Ibu setelah malam sebelumnya ternyata meminta izin untuk menjadi calon suamiku. Mungkin, yang Bang Ayas lakukan kemarin tidak bisa disebut sebagai lamaran karena dia datang tanpa keluarga. Pun tak ada prosesi yang sebagaimana mestinya. Kemarin itu lebih tepat jika dikatakan sebagai pendekatan Bang Ayas kepada Ibu. Dan setelah dipikir-pikir, sepertinya tidak salah kalau aku mempercayainy
Jangan tanya bagaimana rasanya terpergok sama orang yang sudah dikenal lama. Beuh … pakai sandal beda sebelah mah kalah! Ini tuh seperti … ah entahlah! Mau salahin Bang Ezra yang nyelonong masuk, tapi salah Bang Ayas juga kenapa memberi tahu akses masuk apartemennya. "Kan kemarin dia nganter saya. Otomatis dia jadi tau." Bang Ayas ngeles mode on. Rasanya ingin kutimpuk laki-laki itu pakai dispenser! Ya, bagaimana tidak? Walaupun Bang Ezra menerobos masuk, kalau kami sedang duduk anteng kan pasti semua akan baik-baik saja. Aku tidak perlu menanggung malu segunung! Pokoknya semua pangkal permasalahan ada di Bang Ayas. Titik! Katanya sakit, eh tangannya aktif banget ke mana-mana. Untung kemejaku tidak sampai ditanggalkan. Bicara soal kemeja, asli sumpah aku tidak sadar kenapa bisa kecolongan. Mana kutahu kalau diam-diam tangan Bang Ayas bergerilya melepas kancing satu per satu. Gila banget nggak, sih?"Kan kamu juga yang copot kaos saya."Tolong ya, tolong. Ini fitnah kejam. Mana ad
"Percaya sama saya, Resva."Aku tersenyum. Memangnya di dunia ini masih ada orang yang bisa dipercaya? Sepertinya, aku hanya bisa percaya sama Ibu. Bahkan pada diriku sendiri pun aku ragu. Aku masih bisa tersenyum sekarang, tapi hati menangis direjang kenyataan bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan. "Ezra suka ngaco kalau ngomong," kata Bang Ayas lagi. Dia berhasil mencegat dan menahanku di teras. "Tolong, Va. Jangan percaya sama Ezra.""Iya," sahutku singkat. Bang Ayas mendekat, hendak meraih tanganku. Namun, aku segera mundur agar bisa menghindar darinya. "Aku percaya sama Bang Ayas." Aku menatapnya lekat-lekat. "Aku percaya kalo Bang Ayas masih mencintai Diandra."Lelaki itu membeliak. Dia mengerjap-ngerjap. Mulutnya sempat terbuka, tapi tak kunjung bersuara. Sepertinya dia kehilangan kata-kata untuk menyangkal ucapanku. Apa yang terucap dari orang yang sedang marah biasanya adalah sebuah kejujuran. Apalagi yang refleks dilontarkan tanpa sempat dipikiran, berarti memang suda
"Kok, mendadak sekali, Va. Kamu tidak sedang isi, kan?"Tuh, kan. Gara-gara Bang Ayas dan kedua orang tuanya mendesak nikah secepatnya, pikiran Ibu jadi ke mana-mana. Aku sampai kehabisan kata-kata untuk meyakinkan agar Ibu percaya bahwa anak gadisnya masih perawan. Lagi pula, mana berani sih aku macam-macam? Lupakan. Tolong lupakan insiden di apartemen Bang Ayas. Itu semua di luar skenario hidupku. Oke? Anggap saja kehadiran Bang Ezra waktu itu sebagai malaikat penyelamat karena aku dan Bang Ayas tidak sampai bablas. "Jadi, kamu mau, Va?" tanya Ibu lagi dari sambungan telepon. "Bu …." Aku mengerang sambil menyugar rambut sendiri yang seperti rambut singa. "Resva mau fokus sama skripsi dulu."Ibu memang tidak pernah mendesakku untuk lulus tepat waktu. Namun, sebagai anak, aku harus tahu diri agar tidak terlalu lama menjadi beban. Aku harus selesai kuliah tahun ini dan punya penghasilan sendiri. Lagi pula, ada alasan penting mengapa aku tidak serta merta mengiyakan ajakan Bang Aya
"Aku suka sama kamu, tapi aku nggak mungkin rebut kamu dari Bang Ayas. Aku nggak mau dia patah hati lagi.""Kamu satu-satunya cewek yang bisa bikin Bang Ayas move on, Va.""Aku ke London buat lupain kamu.""Dan Liana cuma pelarian, biar Bang Ayas percaya kalo aku udah lupain kamu."Kalimat-kalimat itu berputar di kepala. Berdengung di telinga. Berulang-ulang serupa playlist yang otomatis berulang sepanjang malam. Sungguh. Ini sulit di percaya. Bang Ezra menyukaiku? Tidak mungkin. Dan yang lebih mustahil lagi adalah ketika dia mengatakan bahwa Bang Ayas lebih dulu mencintaiku. Kapan? Kami kenal saja baru hitungan bulan, jauh setelah Bang Ezra pergi ke London dan jadian sama Liana. Gila! Aku yakin saat ini sedang menghadapi kakak beradik yang gila, yang tak bisa kumengerti apa kemauannya, apa maksud di balik semua kebaikannya kepadaku. Bang Ezra baik. Sangat baik. Di mataku, dia adalah sosok kakak yang menyenangkan. Sering tiba-tiba mengajak nonton, membelikan buku, atau sekadar mene
Kamar dekat tangga dijadikan tempat MUA yang cukup ternama untuk menyulap aku, Acha, dan Tante Fatma. Aku menjadi orang terakhir yang mendapat giliran karena tadi sempat terjebak kemacetan. Acha dan Tante Fatma sudah rapi, mereka pamit ke lantai atas. Mungkin akan berdiskusi sebelum berangkat ke hotel di mana acara pertunangan digelar. MUA yang menanganiku tinggal memberikan sentuhan terakhir ketika tiba-tiba Bang Ayas menyelonong masuk karena pintu sengaja tidak ditutup. Dia berdiri di sampingku, tapi justru melihat ke cermin. Mungkin pantulan wajahku lebih cantik ketimbang aslinya. "Ini nggak bisa ditutup pakai kain atau apa gitu, Mbak?" tanya Bang Ayas. Aku menatap ke cermin, memperhatikan Bang Ayas yang sedang menunjuk bahuku yang terbuka. "Emang modelnya begini, Mas. Jadi aneh kalo dipakein kain," jawab MUA dengan ramah. Bang Ayas menggerutu seakan tidak setuju denan kebaya seragam keluarga. Punyaku dan Acha satu model. Sama-sama berlengan pendek dengan bagian bahu terbuka.