Alya Salah Paham***“Andra, bapak akan ke ruangan dokter bersama ibu, tolong kamu jaga sebentar adikmu,” ucap bapak sambil menepuk pelan pundakku, hingga membuat lamunanku buyar.“I---iya, Pak,” jawabku gugup, lalu aku melihat ponsel yang masih kupegang dengan Rio di ujung telepon.“Andra … apakah terjadi sesuatu dengan Rahma?” tanya Rio, sepertinya dia tadi mendengar ucapan bapak saat berbicara denganku.“Oh, tentu saja sesuatu terjadi pada Rahma, dan kamu juga tahu apa yang dialaminya,” jawabku kemudian, berusaha, menepis segala prasangka yang kini memenuhi isi kepala.“Ah … aku tidak tahu harus berbicara apa denganmu. Sepertinya saat ini emosi dan mood kamu sedang tidaak baik, hingga membuatmu mudah tersinggung. Selain itu, kamu juga tidak memberitahu apa yang terjadi pada Rahma, hingga tidak menghubungiku sama sekali semalam. Padahal aku sudah menunggumu dengan rencana yang telah kita susun sebelumnya, tapi … sudahlah.” Ada kekecewaan dari nada bicara Rio, kusadari, aku pun mempu
Masalah Baru***“Sania, Sania ….” Aku memanggil Sania pelan begitu aku mengangkat tubuh ringkihnya dan merebahkannya di atas sofa. “Suci, tolong ambilkan minyak kayu putih.” Pintaku pada Suci, segera wanita itu berlari ke dalam dan kembali dalam beberapa saat sambil membawa botol minyak kayu putih. Dan dengan cekatan, Suci mengoles minyak kayu putih di kening dan hidung Sania, untuk merangsang Indera penciumannya.Aku mengeluarkan ponsel dari saku baju, mencari nomor tante Mutia untuk memberitahukan paddanya tentang kondisi Sania. Sejenak aku ragu, haruskah kukatakan pada tante Mutia tentang Sania? Akhirnya aku kembali memasukkan ponsel ke dalam saku, urung untuk memberitahu tante Sania dan berpikir, mungkin lebih baik jika aku menelepon Alya.Kukeluarkan kembali ponsel, dan mencoba untuk menelepon nomor Alya. Namun setelah beberapa kali mencoba, aku harus menelan kekecewaan, karena Alya mematikan ponselnya. Tanpa berpikir panjang, kuraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja, be
Lebih Baik Berpisah***“Kamu masih mencintainya, kan, Mas?” Alya mengulang kalimatnya. Dadaku tiba-tiba terasa sesak, tidak tahu harus dari mana aku menjelaskan pada Alya apa yang sebenarnya terjadi, tentang kedatangan Sania ke rumah, yang aku sendiri tidak pernah menduga dia akan begitu nekat datang ke rumahku, mengingat kondisi tubuhnya yang begitu lemah dan harus tergantung dengan obat agar tetap membuatnya bertahan hidup. Ingin sekali aku menjelaskan pada Alya, kalau hubunganku dengan Sania hanya sebatas teman, seperti yang pernah kuceritakan padanya, namun semua kalimat itu hanya sebatas angan-angan dan tidak pernah keluar dari mulutku.“Kamu hanya salah paham saja, apa yang kamu dengar dari Sania, tidak semuanya benar,” ucapku sejurus kemudian, sebuah kalimat yang sama seperti yang kukatakan sebelumnya.Terdengar Alya menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. Lalu dia mengarahkan pandangannya ke samping, seolah enggan untuk menatap wajahku. Apakah saat ini aku terlihat
Pilihan Yang Sulit***Tanpa berpikir lebih lama, aku langsung menyambar kunci mobil dan melajukannya menuju rumah sakit yang dimaksud oleh tante Mutia. Mendengar Sania dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri, membuatku begitu cemas, hingga mampu mengantikan perasaan dilema yang kualami karena hubunganku dengan Alya.“Andra, Sania … dia di sana,” ucap tante Mutia saat melihatku datang, dia membawaku ke sebuah ruangan di mana Sania dirawat. “Bagaimana keadaannya, Tante?” Tanyaku sambil melihat Sania dari jendela kaca. Wanita yang berdiri di sebelahku ini menggeleng lemah, kemudian punggung tangannya menghapus air mata yang mulai membasahi kedua pipinya.“Kamu sendiri tahu, kan, kondisinya. Kalau kesempatan Sania untuk hidup kecil, tante sangat takut ….” Ucap tante Mutia dengan suara bergetar, bukan itu saja, bahkan kini tubuhnya ikut bergetar karena menangis.Kuusap lembut punggung tante Mutia, mencoba memberikan kekuatan untuknya agar kuat menerima segala kemungkin
Rencana Nikah Kontrak***Tepukan di punggung membuatku kaget sekaligus penasaran hingga serta merta membuatku menoleh, melihat ke arah suara. Kudapati Rio yang menatapku heran, lalu dia bertanya, “Sudah mau pergi?”“Iya, begitulah, kamu sendiri?” ucapku sambil melihat dan memastikan kalau dia memang datang sendiri.“Seperti yang kamu lihat,” jawabnya sambil menarik kursi dan mengempas bobot tubuhnya kasar di atasnya. “Apakah kamu ada urusan? Kalau tidak ada, temanilah aku ngobrol. Aku butuh seseorang untuk mendengarkanku.”Rio melanjutkan bicara, sambil menarik kursi yang ada di sebelahnya agar aku duduk di sana. Meskipun dengan sedikit berat hati, aku kembali meletakkan bobot tubuhku di sana. Dengan begitu, aku bisa berbicara dengan Rio secara langsung, membahas sesuatu yang sempat tertunda beberapa waktu yang lalu, mungkin aku juga akan meminta maaf padanya karena tidak memberi kabar di hari di mana kami berencana membebaskan Rahma waktu itu. Mungkin dengan berbicara dengan Rio, a
Siapa Dini?***Pertemuanku dengan Rio, membuatku berpikir tentang banyak hal tentang sesuatu yang selama ini tidak sekalipun terbersit dalam pikiranku. Selama ini aku selalu berpikir, hidup yang kujalani sangat keras dan berliku. Aku juga selalu melihat dan sering merasa iri atas kehidupan mereka, orang-orang yang kuanggap beruntung karena mereka selalu menunjukkan sisi bahagia ketika bersamaku. Namun sejak mendengar cerita Rio, padanganku tentang semua itu berubah. Apa yang kulihat, tidaklah selalu sama dengan kenyataan hidup yang sedang mereka hadapi.Hal itu mengingatkanku akan kalimat Rio yang pernah dia ucapkan padaku saat itu, ketika aku baru saja kehilangan Laila. Dia mengatakan kalau aku adalah tipe orang yang kurang berempathy, tidak perduli dengan keadaan orang lain dan cenderung egois karena terlalu memikirkan diri sendiri, sehingga aku sering melewatkan kesedihan dan kesusahan yang sedang dihadapi oleh mereka, bahkan orang terdekatku sekalipun sering kuabaikan, karena ket
Namanya Dini***Bergegas aku menuju rak untuk mengambil sesuatu, lebih tepatnya, agar aku bisa melihat dengan jelas gadis yang bernama Dini. Meskipun ini terkesan konyol, karena sengaja untuk mencari tahu seseorang dengan menguping pembicaraan mereka. Bukan itu saja, aku juga sengaja mencuri pandang ke arahnya. Ini benar-benar gila, padahal bisa saja dia adalah orang yang berbeda dan kebetulan saja memiliki nama yang sama dengan nama gadis yang sempat disebutkan oleh Rio kemarin.Dari tempatku berdiri, aku berusaha melihat dengan jelas wajah gadis bernama Dini itu. Tidak ada yang istimewa dengannya, dari apa yang kulihat, dia tidak berbeda dengan gadis lainnya. Seorang gadis muda, mungkin seumuran dengan Alya, dengan make up tipis menghiasi wajahnya yang sedikit tirus dan pucat. Atau … mungkin kulitnya memang sangat putih sehingga cenderung terkesan pucat? Ah … kenapa aku harus memperhatikannya sampai begitu detail? Ini gila!Aku membuang napas kasar saat meninggalkan mini market, se
Sebuah Kebetulan? --- “Mas Andra kenal?” tanya Alya sekali lagi.Aku tertegun, ada sebuah keraguan di hati. Apakah aku akan menceritakan apa yang kuketahui atau tetap berpura-pura tidak mengetahui apa-apa? Namun, bukankah ini kesempatan yang baik untukku agar aku bisa kembali menjalin komunikasi dengannya? Setidaknya untuk saat ini, ketika dia berada di dekatku. “Alya, sebenarnya… ada sesuatu yang ingin Mas ceritakan padamu,” kataku ragu. Kulihat Alya mengernyitkan dahi sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Dia seolah sedang memikirkan sesuatu.“Apakah itu tentang kita? Kalau Mas Andra ingin membahas itu, sebaiknya jangan usah,” ucapnya kemudian.Aku menghela nafas panjang, benar sekali dugaanku, Alya masih belum siap membahas apa pun yang berhubungan dengan hubungan kami. Dan cara terbaik agar bersedia berbicara denganku adalah membahas sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan kami. “Bukan, Alya, tapi ini tentang Rio,” jawabku. Kulihat ekspresi wajah Alya sedikit berubah
All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya
Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,
Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa
Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska
Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter
Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa
Menikahlah Denganku***"Mas ... kamu ini kenapa, sih?"Alya bertanya, wajahnya terlihat sedikit bingung. Melihat dia yang kebingungan, membuatnya terlihat semakin menggemaskan, terlebih, dengan kedua pipi yang merona merah.Aku mengeluarkan cincin yang kubeli beberapa waktu yang lalu, namun belum sempat memberikan padanya karena menunggu waktu yang tepat, dan sepertinya, waktu itu telah datang untukku memasang cincin itu di jari manisnya."Mas, ini ...."Alya menggantung kalimatnya ketika aku meraih tangannya, serta menyematkan cincin di jari manisnya. "Aku, Andra Haruki, duda dengan dua orang anak. Hari ini memintamu untuk menjadi istriku, maukah kamu menikah denganku?" Tanyaku pada Alya.Mata gadis itu berbinar, wajahnya yang sejak tadi bersemu merah, kini makin merona. Dia memandang tanpa berkedip pada jari manisnya, jari yang baru saja kusematkan cincin di sana. Beberapa kali dia mengerjap, meskipun dia masih belum berkata, namun dari bahasa tubuhnya, bisa kulihat pancaran kebah
Mas Ilham dan Nirmala****Berkali-kali aku menghela napas dalam, kepalaku kembali berdenyut setiap kali aku mengingat kalimat demi kalimat yang diucapkan Wida tadi.Seumur hidup, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang dia sebarkan tersebut. Bahkan, seandainya diberi kesempatan untuk terlahir kembali pun, aku tetap akan memilih untuk dilahirkan menjadi diriku saat ini, sebagai lelaki normal yang mencintai wanita dan mempunyai anak.Kusandarkan punggungku di sandaran kursi dan memejamkan mata. Pengakuan Wida tadi, membuatku berpikir sejenak tentang apa yang dia katakan. Dia bilang kalau dirinya menaruh perasaan terhadap Rio selama ini, namun yang aku tidak mengerti, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan isi hatinya atau setidaknya, menunjukkan rasa sukanya terhadap Rio.Jangan-jangan selama ini aku saja yang tidak peka dengan perubahan sikapnya setiap kali bertemu dengan Rio.Lalu ingatanku melayang pada sebuah kejadian beberapa waktu yang lalu.Seperti biasanya, aku selal
Cemburu Yang Membutakan ***"Apakah saya pernah berbuat suatu kesalahan padamu, Wida?"Aku kembali bertanya pada Wida yang masih bersimpuh di lantai, karena sejak tadi, dia hanya menangis sambil mengucapkan kata maaf tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya kesalahan yang telah dia lakukan. Meskipun sekilas, aku sudah mempunyai gambaran tersendiri. Wida, sudah cukup lama gadis itu bekerja di perusahaan tempat aku bekerja. Sebelum menjadi sekretarisku, dia dulu bekerja di bagian administrasi. Entah bagaimana ceritanya, sehingga dia mendapatkan posisi sebagai sekertaris. Awalnya aku sering salah memanggil namanya, karena dia memiliki nama yang hampir sama dengan sekretaris sebelumnya, Widi, yang mengundurkan diri setelah melahirkan anak pertamanya, iya, nama mereka hanya beda satu huruf saja, Widi, Wida.Aku berjalan menjauh dari Wida, kubuka sedikit pintu untuk melihat ke luar. Aku tidak ingin keributan di dalam ruang kerjaku ada yang menguping, kemudian menyebarkan berita palsu dan tid