All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya
"Pak, tadi ada yang mencari di luar."Widi, sekretaris ku masuk setelah mengetuk pintu. Dia mengatakan kalau tadi ada seseorang yang mencariku."Siapa?" Selidikku."Saudara Pak Andra, katanya.""Lalu, di mana dia sekarang?" Aku kembali bertanya."Sudah pergi. Sepertinya dia sedang terburu-buru," jawab Widi."Dan saudara Bapak tadi bilang kalau ....""Sudah, kamu keluar sekarang. Selesaikan tugasmu," usirku sebelum Widi menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu keluar ruangan dengan tatapan yang entah, terlebih saat dia melihat ke arah Sania yang duduk di sofa sambil menyilangkan kedua tangannya.Aku menarik napas kasar, lalu membetulkan baju yang sedikit acak-acakan. Sania mendekat dan menarikku hingga kami sama-sama terjatuh ke sofa dengan posisi Sania dia bawah."Kamu tidak ingin melanjutkannya?" bisik Sania di telinga.Perlahan aku berdiri lalu kembali menjatuhkan bobot tubuhku ke atas sofa."Tidak bisa kalau sekarang, tapi ... aku akan datang ke rumah kita setelah dari kantor nanti." Ak
Setelah merasa sedikit tenang, aku berjalan cepat menuju tempat parkir. Yang ada di pikiranku saat itu adalah, ingin secepatnya sampai di rumah dan mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Perjalanan yang biasanya kutempuh selama tiga puluh menit, kini hanya butuh setengah saja. Dan saat mobil perlahan masuk ke halaman rumah, terlihat beberapa orang sedang membongkar tenda dan merapikan beberapa kursi di sana. Bergitu aku turun dari mobil, mereka menatapku dengan pandangan sinis bahkan ada yang mencebik sambil membuang muka.Kulangkahkan kaki ke dalam rumah yang begitu sepi. Hanna, putri pertamaku yang melihat aku datang berlari menyambut dan memelukku, seolah ingin mengatakan sesuatu padaku. Namun bocah perempuan berusia lima tahun ini hanya diam sambil menyembunyikan wajahnya di dada."Hanna, Mama mana?" tanyaku sambil mengusap kepalanya. Namun Hanna hanya diam saja.Dari dalam, terdengar suara orang berjalan. Dan dari ambang pintu antara ruang tengah dan ruang tamu, kulihat
"Andra, tolong bereskan baju-baju Haikal. Ibu akan membantu mertuamu menyiapkan sarapan," kata ibu saat aku baru keluar dari kamar mandi.Aku termangu di depan pintu beberapa saat lamanya. Baju Haikal? Pasti Laila menyimpannya di lemari anak-anak, pikirku .Aku bergegas menuju kamar anak-anak, dan membuka lemari baju bermaksud mengambil baju Haikal, seperti permintaan ibu. Tapi di dalam lemari, aku hanya menemukan beberapa baju bayi yang sudah usang dan beberapa selimut mereka. Kuedarkan pandangan ke laci, lalu membukanya satu per satu. Namun, tidak ada baju Haikal di sana. Hanya ada beberapa mainan mereka yang tertata rapi. Aku mengacak rambut kasar, sambil mendengkus kesal. Karena aku tidak bisa menemukan baju anak bungsuku.Tok tok tok ....Aku menoleh saat pintu diketuk, ibu berdiri di ambang pintu sambil menggendong Haikal, dia memandangku aneh."Sudah kamu siapkan baju Haikal?" tanyanya."Bu ... aku tidak tahu di mana Laila menyimpannya," kataku lirih. Kutundukkan kepala saat i
Saat keluarga Laila membawa Haikal, aku sengaja tidak ingin melihat kepergiannya. Entah kenapa, hatiku begitu sakit ketika melihat mereka membawa Haikal keluar dari rumah. Begitu sakitnya hingga aku memilih untuk menyandarkan tubuh ke dinding dan membiarkannya melorot ke lantai.Aku tidak pernah dekat dengan anak-anak, namun saat aku tidak melihat keberadaan mereka di rumah saat aku pulang kerja, hal itu membuat sesuatu terasa ada yang kurang. Lalu kini, Haikal harus meninggalkan rumah ini karena dia butuh kasih sayang seorang ibu. Ingin sekali aku protes pada keluarga Laila agar tidak membawa anakku bersama mereka, namun kata-kataku hanya sampai sebatas angan-angan saja. Bagiamana bisa, Haikal menganggap Alya sebagai pengganti ibunya, sementara dia sendiri masih seorang pelajar SMA, yang lebih suka menghabiskan waktunya bersama teman-temannya.Aku menarik napas, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Semua yang terjadi di rumah ini begitu cepat da tiba-tiba."Papa ... Hanna mau
"Aku ada urusan kantor sebentar, Bu," jawabku berbohong. Aku tidak ingin ibu bertanya lebih banyak lagi."Tidak bisakah urusannya ditunda sebentar? Kamu kan, masih cuti," ucapnya."Ya tidak bisa, dong Bu. Aku kan pimpinan di sana."Kulihat ibu menarik napas dalam, lalu melihat ke arah Hanna kemudian menggeleng."Andra ... apakah kamu yang memakaikan baju Hanna? Ini terbalik," ujarnya sambil membuka baju Hanna.Aku menepuk jidat. Setelah ibu mambalik bajunya, Hanna tersenyum. Ah, pantesan tadi dia terlihat seperti tercekik lehernya, karena bagian belakang aku taruh di depan."Jadi ... enggak apa-apa kan, Bu, kalau kutinggal sebentar?" pintaku hati-hati."Pergilah. Tapi jangan lama-lama, karena ibu sedang membereskan kamar Hanna. Sebentar lagi dia akan tidur di sini bersama dengan baby sitter nya nanti," ujarnya.Kutinggalkan Hanna bersama ibu. Perasaan terasa begitu lega ketika kakiku telah melangkah keluar rumah. Ah ... tentu saja aku merasa lega, karena tidak lagi harus melihat bayan
Hana Sakit ****Kutinggalkan begitu saja mi yang sedang kumakan dan bergegas mencari kunci mobil. Yang ada di kepalaku saat itu, aku harus secepatnya pulang agar kejadian yang menimpa Laila tidak terulang.Kutatap Sania yang masih tertidur pulas, rasanya tidak tega untuk membangunkannya serta memberi tahu kalau aku akan pulang dan memilih meninggalkan sebuah pesan yang kutulis dalam selembar kertas lalu meninggalkannya di atas meja.Jalanan kota masih cukup ramai, karena belum terlalu malam. Masih sekitar pukul 11 malam, mungkin aku tadi yang tidur terlalu awal, hingga merasa waktu berjalan lambat. Ketika mobil memasuki halaman rumah, terlihat ibu mondar-mandir di teras sambil menggendong Hanna."Bu, bagaimana keadaan Hanna?" tanyaku sambil memegang keningnya. Terasa sangat panas."Panasnya belum turun, malah makin tinggi. Kamu kenapa baru mengangkat telepon, padahal ibu sudah menghubungimu sejak sore tadi," oceh ibu dengan nada panik."Bu, kita bahas nanti saja. Sekarang, kita ba
Mencari Babysitter ****"Laila." Aku kembali memanggil namanya berharap dia akan mendatangiku seperti yang selalu dilakukan setiap kali aku memanggilnya.Akan tetapi, jangankan mendatangiku, Laila bahkan sama sekali tidak menoleh. Dia terus berjalan lurus seolah menembus dinding."Laila!" Aku kembali meneriakkan nama Laila."Andra, sadar ... Laila sudah meninggal. Apa yang kamu lakukan di sini?"Aku tergagap, buru-buru menoleh ke belakang dan kudapati ibu telah berdiri di belakangku sambil menepuk pundakku. Ibu memandangku dengan tatapan aneh. Atau mungkin berpikir kalau aku sedang bermimpi sambil berjalan."Ibu, Laila ... dia ke sana," kataku sambil menunjuk ke arah Laila menghilang.Ibu menarik napas dalam, dan kembali menepuk-nepuk pundakku. "Apakah kamu bermimpi bertemu Laila?" tanyanya. Benar sekali dugaanku, ternyata ibu mengira aku bermimpi."Entahlah, Bu," ujarku lirih. Kuusap wajahku kasar, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hening. Hanya denting jam di dinding yang
All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya
Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,
Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa
Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska
Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter
Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa
Menikahlah Denganku***"Mas ... kamu ini kenapa, sih?"Alya bertanya, wajahnya terlihat sedikit bingung. Melihat dia yang kebingungan, membuatnya terlihat semakin menggemaskan, terlebih, dengan kedua pipi yang merona merah.Aku mengeluarkan cincin yang kubeli beberapa waktu yang lalu, namun belum sempat memberikan padanya karena menunggu waktu yang tepat, dan sepertinya, waktu itu telah datang untukku memasang cincin itu di jari manisnya."Mas, ini ...."Alya menggantung kalimatnya ketika aku meraih tangannya, serta menyematkan cincin di jari manisnya. "Aku, Andra Haruki, duda dengan dua orang anak. Hari ini memintamu untuk menjadi istriku, maukah kamu menikah denganku?" Tanyaku pada Alya.Mata gadis itu berbinar, wajahnya yang sejak tadi bersemu merah, kini makin merona. Dia memandang tanpa berkedip pada jari manisnya, jari yang baru saja kusematkan cincin di sana. Beberapa kali dia mengerjap, meskipun dia masih belum berkata, namun dari bahasa tubuhnya, bisa kulihat pancaran kebah
Mas Ilham dan Nirmala****Berkali-kali aku menghela napas dalam, kepalaku kembali berdenyut setiap kali aku mengingat kalimat demi kalimat yang diucapkan Wida tadi.Seumur hidup, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang dia sebarkan tersebut. Bahkan, seandainya diberi kesempatan untuk terlahir kembali pun, aku tetap akan memilih untuk dilahirkan menjadi diriku saat ini, sebagai lelaki normal yang mencintai wanita dan mempunyai anak.Kusandarkan punggungku di sandaran kursi dan memejamkan mata. Pengakuan Wida tadi, membuatku berpikir sejenak tentang apa yang dia katakan. Dia bilang kalau dirinya menaruh perasaan terhadap Rio selama ini, namun yang aku tidak mengerti, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan isi hatinya atau setidaknya, menunjukkan rasa sukanya terhadap Rio.Jangan-jangan selama ini aku saja yang tidak peka dengan perubahan sikapnya setiap kali bertemu dengan Rio.Lalu ingatanku melayang pada sebuah kejadian beberapa waktu yang lalu.Seperti biasanya, aku selal
Cemburu Yang Membutakan ***"Apakah saya pernah berbuat suatu kesalahan padamu, Wida?"Aku kembali bertanya pada Wida yang masih bersimpuh di lantai, karena sejak tadi, dia hanya menangis sambil mengucapkan kata maaf tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya kesalahan yang telah dia lakukan. Meskipun sekilas, aku sudah mempunyai gambaran tersendiri. Wida, sudah cukup lama gadis itu bekerja di perusahaan tempat aku bekerja. Sebelum menjadi sekretarisku, dia dulu bekerja di bagian administrasi. Entah bagaimana ceritanya, sehingga dia mendapatkan posisi sebagai sekertaris. Awalnya aku sering salah memanggil namanya, karena dia memiliki nama yang hampir sama dengan sekretaris sebelumnya, Widi, yang mengundurkan diri setelah melahirkan anak pertamanya, iya, nama mereka hanya beda satu huruf saja, Widi, Wida.Aku berjalan menjauh dari Wida, kubuka sedikit pintu untuk melihat ke luar. Aku tidak ingin keributan di dalam ruang kerjaku ada yang menguping, kemudian menyebarkan berita palsu dan tid