Berulangkali Mas Deno mencoba melepaskan gandengan tanganku. Berulangkali juga aku menggandeng tangan kekarnya. Jujur saja, sebenarnya aku hendak meluapkan amarahku padanya. Karena dia telah berani pergi tanpa seizinku. Sejak tadi aku sibuk mencari keberadaan kekasihku itu, namun tak kudapati keberadaannya. Hingga membuat aku memutuskan untuk jalan-jalan ke luar mengendarai mobil, menghalau rasa suntuk sekaligus juga mencarinya.Eh, ternyata aku melihat kekasihku itu tengah berdiri di dekat warung kecil. Ada anaknya, pembantu dan juga lelaki yang berpakaian security. Ingin rasanya aku menjelaskan semuanya ke bocah kecil itu kalau aku adalah calon mama tirinya. Namun, dia sudah keburu pergi dibawa oleh pembantunya itu. Tapi aku sempat bicara, entah dia mengerti dengan apa yang kukatakan atau bagaimana. Yang penting aku sudah mengatakan yang sebenarnya.‘’Mas, kenapa sih kamu ini?’’ kesalku karena sejak tadi dia seperti menghindar dariku.‘’Humm. Kamu sih, jangan didekat anakku bersikap
Yang ditanya malah mematung dengan ekspresi yang sulit untuk kuterjemahkan. Apa anakku tak jadi beli es krim kesukaannya? Kalau tak jadi, lalu Naisya ke mana dibawa oleh security baruku itu?‘’Bi?’’ panggilku, sengaja aku menaikkan suara agar wanita itu tersadar dalam lamunannya. Entah apa yang tengah di pikirkannya kali ini. Tak biasanya si bibi termenung bak patung yang dipajang.‘’Ah ya, ma’af, Bu.’’ Aku menggeleng seketika.‘’Ada apa sih, Bi? Bibi ada masalah apa? Coba cerita ke aku. Mana tahu aku punya solusi atau sekurangnya bisa membuat Bibi lega setelah menceritakan semuanya.’’ Aku menepuk lengan wanita separuh baya itu dengan pelan.‘’Bibi nggak ada masalah apa-apa. Hanya saja Bibi kepikiran sama lelaki yang bernama Dodo itu. Dia mencurigakan banget, Bu,’’ bisiknya padaku. Tentu membuat aku tersenyum lebar. Entah ke berapa kalinya si bibi mengatakan hal ini padaku. Kuhela napas dengan pelan.‘’Ya Allah! Udah sering aku bilangin ke Bibi. Itu cuman perasaan Bibi aja kali. Sesop
Taxi sudah memasuki pekarangan rumah sakit yang berukuran besar itu. Aku bergegas merogoh tas dan menyerahkan ongkosnya pada si sopir.‘’Makasih, Mba.’’ Aku menyahut dengan anggukan dan senyuman ramah. Langsung aku turun, lalu melangkah untuk memasuki rumah sakit. Namun, langkahku terhenti seketika.‘’Masih mau kamu menampakkan muka setelah apa yang kamu lakukan pada Mamaku? Iya?!’’Ya Allah! Jadi mama masuk rumah sakit karena penyakitnya kambuh setelah aku menceritakan semuanya pada mama? Tapi, bukankah ini semua salah lelaki itu. Dia yang menjadi sumber masalah. Dia yang mendatangkan masalah. Kenapa malah menuduh aku?‘’Hei, Deno! Ini semua salah kamu. Kenapa kamu malah nyalahin aku? Mama kamu sakit, itu semua gara-gara sikap busukmu itu!’’Membuat amarahku menjadi dibuatnya. Mamanya masuk rumah sakit gegara aku sendiri? Padahal itu atas kesalahannya. Kalau saja dia tak selingkuh, ini semua tak kan terjadi. Penyakit mama tak kan kambuh. Kenapa dia tak sadar dengan kesalahannya sendi
‘’Nel, jangan bohongi diri kamu. Aku tahu luka di hati kamu begitu dalam. Walaupun aku nggak pernah merasakannya. Jangan siksa diri kamu kayak gini.’’Dalam hati aku membenarkan ucapan lelaki itu, namun di sisi lain aku bingung. Dia kok bisa sebaik ini padaku? Apa dia ada maksud lain?‘’Jika melepaskan adalah terbaik untuk kamu dan membuat rasa luka kamu berkurang, maka lepaskanlah dia. Ma’af karena aku terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga kamu,’’ lirihnya yang membuat aku menoleh padanya.Kupandangi wajahnya sejenak. Seperti dia ikhlas mengatakan semua dari hatinya. Dari sorot mata lelaki itu tak ada tersimpan kebohongan di sana, tulus. Apa aku terlalu mencurigainya? Apa karena aku yang trauma dengan lelaki yang bermanis mulut seperti suamiku? Kuakui kini tak mudah bagiku untuk mempercayai lelaki.‘’Kamu benar, Ren. Makasih banyak ya. Kamu udah mau support aku dan selalu baik sama aku,’’ kataku pelan. Seketika senyuman terbit di bibirnya.‘’Sama-sama. Itu udah tugas aku unt
‘’Gimana Bibi bisa berjanji kalo Mas Reno terus saja memaksa. Dia itu paling nggak bisa melihat Ibu sedih atau Ibu dalam bahaya. Karena dia cinta banget sama Ibu.’’Ucapan bibi mampu membuat aku terkesiap. Jadi selama ini dia menyukaiku? Itu alasannya selama ini membantuku? Ah, tak mungkin! Si bibi pasti hanya bercanda, tapi ekspresinya tampak serius.‘’Bi, apaan sih. Bibi pasti bercanda,’’ kataku terkekeh dan menggeleng berkali-kali.‘’Buat apa Bibi bercanda sama Ibu? Tapi, apa nggak bisa Ibu menilai sendiri bagaimana Mas Reno memperlakukan Ibu?’’Membuat aku kembali terpikir bagaimana lelaki itu yang selalu membantu dan menjagaku selama di rumah sakit. Dia begitu sangat memperhatikanku, mulai dari makanan. Dia tak membolehkanku memakan makanan dari rumah sakit. Hingga membuat dia selalu membelikanku nasi Padang di luar. Satunya lagi, ketika aku dibawa dan disekap oleh orang jahat yang kuyakin adalah suruhan mas Deno atau si pelakor.Dia juga yang berhasil menyelamatkanku walaupun
‘’Ah, hampir saja susu yang kubikin jadi dingin karena melamun. Astaghfirullah!’’ Sejak tadi tanganku mengaduk susu dan melamun panjang, hingga aku tersadar dari lamunan. Bergegas aku melangkah ke ruang bermain anakku.‘’Sayang, ini susunya. Adik minum dulu ya.’’ Kubantu Naisya, karena gelas sebesar itu tentu berat tangan mungilnya memegang.‘’Ma, Adik pengen punya temen,’’ rengeknya yang membuat aku terkesiap. Mulutnya belemotan susu membuat aku gemes sekali melihat anak semata wayangku itu.‘’Kan ada Mama sama Bibi. Adik punya temen ntar kalo udah sekolah aja ya,’’ kataku lembut sambil meletakkan gelas kosong itu di nakas.Ya, memang Naisya tak memiliki teman. Dia sejak dulu bermain hanya sama papanya, bibi Sumi dan aku. Bukan apa-apa, aku hanya tak ingin Naisya terpengaruh dari lingkungan pertemanannya. Seperti yang kulihat dari tetangga sebelah kiri rumah, anak mereka selalu diperbolehkan bermain benda canggih itu bahkan dibelikan jika tak ada. Tentu akan membuat mereka kecanduan
Azan zuhur berkumandang membuat aku tersadar dari lamunanku. Seketika membuat rindu hadir, aku rindu bermunajat pada Sang Maha Kuasa, rindu mengadu pada-Nya di sepertiga malam. Ya, kini aku tengah kedatangan tamu, makanya aku tak bisa melaksanakan kewajiban empat raka’at itu.‘’Alhamdulillah Ya Allah. Aku masih hidup sampe sekarang,’’ lirihku sambil mengusap muka.Aku bersyukur sekali karena masih bisa menghirup udara hari ini, masih bisa membuka mata. Padahal aku kemarin kecelakaan dan pernah juga disekap oleh penjahat dalam keadaan lemah tak berdaya, tapi Alhamdulillah Allah masih memberikan kesempatan hidup untukku, Dia masih memberikan aku kesempatan untuk memperbanyak ibadah dan amal baik. Apalagi aku masih punya Naisya yang masih kecil, tentu butuh bimbingan dan didikan dariku.Aku melangkah ke luar dari kamar menuju teras. Sesekali bolehlah aku duduk di teras sambil menanti angin segar dari pepohonan di depan rumah. Aku suntuk sekali karena akhir-akhir ini aku lebih memilih tak
POV Bibi SumiSebenarnya aku tak percaya pada lelaki yang baru saja menjadi security di sini. Tapi apalah daya, tak mungkin aku melarang Bu Nelda untuk pergi refreshing. Karena dia juga butuh menenangkan pikirannya dengan jalan-jalan ke luar, apalagi konflik rumah tangga yang dipikulnya akhir ini, ditambah mertua si ibu yang masuk rumah sakit. Tapi suaminya tak mengizinkan Bu Nelda untuk membezuk sang mertua. Aku tak terbayangkan bagaimana hancur hatinya sekarang dan begitu banyak beban pikirannya, jika aku di posisi Bu Nelda pasti aku akan gila atau memilih mengakhiri hidup.‘’Kasihan sekali kamu, Dik,’’ gumamku dalam hati sambil menatap Naisya yang tengah asyik bermain.Anak seusia dia masih butuh kasih sayang dari kedua orangtuanya. Dia tak tahu apa-apa, dia tak tahu konflik yang tengah menimpa kedua orangtuanya hingga dia terpisah dari sang papa. Bu Nelda pun tak salah dan tak egois menurutku, karena tak pantas rasanya mempertahankan lelaki biadab seperti Pak Deno.‘’Bi, Bibi kok