Malam itu semakin gelap, dan ketegangan di desa kecil itu kian terasa. Gidi, yang telah melangkah jauh ke dalam dunia gelap, kini kembali. Namun, kehadirannya berbeda—penuh kelelahan, dan ekspresi wajahnya menunjukkan banyak beban. Kuro, yang sempat terjebak dalam dunia kegelapan, kini sudah kembali pada dirinya sendiri, berkat usaha Gidi untuk menyelamatkannya.Di rumah Hana dan Akihiro, suasana semakin menegangkan. Akihiro terbaring lemah, tubuhnya semakin tak bertenaga. Hana di samping suaminya, menggenggam erat tangan Akihiro, mencoba memberi semangat. "Akihiro, apa yang akan terjadi pada Kuro?" tanyanya dengan suara gemetar.Akihiro, meski tubuhnya semakin lemah, berusaha membuka mata dan menatap istrinya. "Aku... aku percaya pada Gidi, Hana. Dia pasti bisa menyelamatkan Kuro."Namun, sebelum Hana bisa memberi jawaban, suara ledakan yang mengerikan mengguncang rumah mereka. Dinding bergetar, dan suasana menjadi semakin mencekam. Hana, dengan cepat, berlari menuju jendela untuk me
Setelah kehancuran yang menghancurkan desa mereka, Kuro dan Gidi melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan tempat yang hancur dan penuh kenangan. Gidi yang terluka parah, memaksakan dirinya untuk bertahan, sementara Kuro, meskipun baru saja dibebaskan dari kegelapan, merasakan beban berat di pundaknya."Kita harus cepat," kata Gidi dengan suara yang serak, meskipun jelas terlihat bahwa tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Kuro mengangguk, menatap Gidi dengan penuh kekhawatiran, namun tahu bahwa mereka tidak memiliki banyak pilihan. Dunia mereka kini telah berubah, dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah mencari tempat yang aman."Mereka akan mengejar kita," ujar Kuro, memikirkan bahaya yang terus mengintai mereka. "Di Gunung Kiryu, kita mungkin bisa menemukan perlindungan."Gidi menatap Kuro dengan mata yang penuh makna. "Kita harus sampai ke sana. Tapi jangan berharap kita akan tenang. Gunung Kiryu menyimpan banyak rahasia dan bahaya, tetapi itu mungkin satu-satunya tempat yang masih
Mereka akhirnya tiba di sebuah gua besar di lereng Gunung Kiryu. Udara di sana lebih sejuk, dan suara angin yang bertiup melewati celah-celah batu menciptakan harmoni yang menenangkan. Kuro dan Gidi melangkah masuk dengan hati-hati, mata mereka menyesuaikan diri dengan kegelapan yang menyelimuti bagian dalam gua."Kita bisa bertahan di sini untuk sementara waktu," kata Gidi sambil menyalakan obor kecil yang ia bawa.Kuro mengamati sekeliling. Dinding gua itu kokoh, tinggi, dan memiliki banyak cabang lorong yang bisa menjadi tempat persembunyian. Lantai berbatu cukup rata, meskipun beberapa bagian masih kasar dan berbahaya. Mereka bisa merasakan aroma kelembapan bercampur dengan udara dingin dari dalam."Setidaknya, tempat ini lebih aman daripada desa," ujar Kuro.Gidi mengangguk. "Kita perlu membuat tempat ini lebih nyaman. Aku akan mencari kayu kering untuk api. Kau bisa mengeksplorasi bagian dalam gua dan mencari sumber air."Tanpa banyak bicara, mereka segera berpencar menjalankan
Langkah kaki bergema di lorong gua yang sunyi. Kuro dan Gidi menahan napas, tubuh mereka menegang. Suara itu semakin dekat, membuat keduanya bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.Gidi merapatkan tubuhnya ke dinding batu, sementara Kuro menggenggam gagang pisaunya dengan erat. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena ancaman yang mungkin datang, tetapi juga karena perasaan aneh yang terus mengganggunya sejak tadi malam.Tiba-tiba, bayangan hitam muncul di ujung lorong. Sosok itu berhenti, lalu perlahan melangkah maju, memperlihatkan wajahnya di bawah cahaya redup obor.Seorang pria tua, berjubah panjang dengan rambut putih yang tergerai. Matanya tajam dan penuh wibawa."Jadi... kalian akhirnya sampai di sini," katanya dengan suara dalam dan bergetar.Kuro dan Gidi saling berpandangan, tidak mengenali sosok itu. Tapi ada sesuatu dalam tatapan pria tua itu yang membuat Kuro merasakan ikatan yang aneh."Siapa kau?" tanya Kuro, masih waspada.Pria itu tersenyum tipis, lalu menghe
Kuro merasakan denyut energi dari pedang di tangannya. Cahaya keemasan berpendar dari bilahnya, seakan merespons keberadaannya. Gidi berdiri di sampingnya, matanya waspada menatap pintu gua yang sebentar lagi akan diterobos oleh para pemburu Ordo Kegelapan."Kuro, kau harus bersiap," kata Gidi. "Mereka bukan lawan biasa."Pria tua itu, yang masih belum menyebutkan namanya, menatap Kuro dengan penuh keyakinan. "Pedang itu telah memilihmu. Sekarang, pertanyaannya adalah... apakah kau akan menerima takdirmu?"Suara benturan keras menggema dari luar gua. Batu-batu berjatuhan dari langit-langit. Kuro menelan ludah, jari-jarinya semakin erat menggenggam pedangnya."Aku tidak punya pilihan lain, bukan?" gumamnya.Pria tua itu mengangguk. "Kau selalu punya pilihan. Tapi hanya satu jalan yang bisa menyelamatkan dunia ini."Tiba-tiba, dinding gua di bagian depan meledak, menghantam ke dalam dengan kekuatan luar biasa. Debu dan pecahan batu berhamburan. Dari balik kabut asap, beberapa sosok berj
Angin malam bertiup kencang di atas tebing tempat Kuro berdiri. Tubuhnya masih dipenuhi sisa energi pertempuran sebelumnya, napasnya tersengal. Gidi berdiri di sampingnya dalam wujud manusianya, menatap jauh ke arah kegelapan di cakrawala."Ragnor berhasil kabur," kata Gidi. "Tapi aku yakin dia akan kembali, lebih kuat dari sebelumnya."Kuro mengangguk, menggenggam pedangnya lebih erat. "Aku bisa merasakannya... Aku bisa merasakan kekuatan di dalam diriku, tapi aku belum benar-benar mengendalikannya."Gidi menatap Kuro dengan penuh perhatian. "Kekuatanmu itu bukan sekadar warisan Naga Emas, Kuro. Itu adalah sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin belum pernah muncul di dunia ini sebelumnya."Kuro menunduk, merasakan kehangatan yang masih berdenyut di dadanya. Saat ia menghadapi Ragnor, sesuatu dalam dirinya telah terbangun—sebuah kekuatan yang bukan berasal dari pedang, melainkan dari dirinya sendiri.Sejak pertarungan itu, penglihatannya terasa berbeda. Saat malam semakin laru
Kuro berdiri di tengah lapangan luas yang dikelilingi oleh hutan lebat. Langit masih kelam, menyisakan semburat oranye di ufuk timur. Angin berhembus sejuk, menggoyangkan dedaunan di sekitarnya. Di hadapannya, Gidi berdiri dengan tangan terlipat, matanya menatap Kuro dengan penuh harapan dan kewaspadaan."Kekuatan api Naga Emas bukan sekadar kekuatan biasa," kata Gidi. "Jika kau bisa mengendalikannya, kau bisa menjadi petarung yang tak terkalahkan. Tapi jika kau ceroboh, kau bisa menghancurkan diri sendiri."Kuro menelan ludah. Meskipun ia telah melihat sekilas kekuatannya saat melawan Ragnor, ia masih belum memahami sepenuhnya apa yang terjadi dalam tubuhnya. Ia bisa merasakan energi itu mengalir dalam darahnya, tetapi ia belum tahu bagaimana cara memanggilnya sesuka hati."Jadi, dari mana kita mulai?" tanya Kuro.Gidi mengangkat satu jari. "Pertama-tama, kita harus membangunkan sumber api dalam tubuhmu."Gidi berjalan mendekat dan menekan dadanya dengan telapak tangan. Tiba-tiba, Ku
Kuro berdiri tegak di tengah hutan, dadanya naik turun dengan napas berat setelah sesi pelatihan yang melelahkan bersama Gidi. Ia sudah mulai memahami dasar pengendalian api, tapi hatinya masih dipenuhi kebingungan. Ada sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami—kekuatan yang terasa jauh lebih besar dari sekadar mengendalikan api.Gidi mengamatinya dari kejauhan, melihat wajah muridnya yang masih dipenuhi pertanyaan. “Apa yang kau rasakan, Kuro?” tanyanya dengan suara tenang.Kuro menggeleng pelan. “Aku... merasa ada sesuatu yang tertahan dalam diriku. Setiap kali aku menggunakan api, ada kekuatan lain yang ingin keluar, tapi aku tidak bisa mengendalikannya.”Gidi menyeringai. “Itu karena kau belum benar-benar menyadari siapa dirimu. Kuro, kau bukan hanya seorang petarung biasa. Di dalam dirimu, ada sesuatu yang jauh lebih besar.” Ia berjalan mendekat dan menepuk bahu Kuro. “Hari ini, kita akan membantumu menemukannya.”Kuro menatap Gidi penuh harap. “Bagaimana car
Kuro berdiri di tepi tebing, memandangi cakrawala yang dipenuhi cahaya mentari pagi. Angin berhembus menerpa wajahnya, membawa hawa segar yang bertolak belakang dengan kobaran api yang kini ia rasakan di dalam dirinya. Setelah pertemuannya dengan Jiwa Naga, kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya terasa jauh lebih stabil, namun ada satu hal yang masih mengganjal: ia belum sepenuhnya menguasainya.Gidi, sang mentor, berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. “Apa yang kau pikirkan, Kuro?” tanyanya.“Aku bisa merasakan api dalam diriku jauh lebih kuat dari sebelumnya,” jawab Kuro, “tapi aku juga merasa… belum benar-benar bisa mengendalikannya.”Gidi tersenyum kecil. “Itu wajar. Menerima kekuatan tidak sama dengan mengendalikannya. Api adalah elemen yang kuat, tetapi juga liar. Jika kau ingin benar-benar menguasainya, kau harus belajar menjinakkannya.”Kuro menatap Gidi penuh kebingungan. “Menjinakkan api?”“Ya,” Gidi menoleh padanya. “Api bukan hanya soal kekuatan atau kehancuran. Ia bi
Kuro berdiri tegak di tengah hutan, dadanya naik turun dengan napas berat setelah sesi pelatihan yang melelahkan bersama Gidi. Ia sudah mulai memahami dasar pengendalian api, tapi hatinya masih dipenuhi kebingungan. Ada sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami—kekuatan yang terasa jauh lebih besar dari sekadar mengendalikan api.Gidi mengamatinya dari kejauhan, melihat wajah muridnya yang masih dipenuhi pertanyaan. “Apa yang kau rasakan, Kuro?” tanyanya dengan suara tenang.Kuro menggeleng pelan. “Aku... merasa ada sesuatu yang tertahan dalam diriku. Setiap kali aku menggunakan api, ada kekuatan lain yang ingin keluar, tapi aku tidak bisa mengendalikannya.”Gidi menyeringai. “Itu karena kau belum benar-benar menyadari siapa dirimu. Kuro, kau bukan hanya seorang petarung biasa. Di dalam dirimu, ada sesuatu yang jauh lebih besar.” Ia berjalan mendekat dan menepuk bahu Kuro. “Hari ini, kita akan membantumu menemukannya.”Kuro menatap Gidi penuh harap. “Bagaimana car
Kuro berdiri di tengah lapangan luas yang dikelilingi oleh hutan lebat. Langit masih kelam, menyisakan semburat oranye di ufuk timur. Angin berhembus sejuk, menggoyangkan dedaunan di sekitarnya. Di hadapannya, Gidi berdiri dengan tangan terlipat, matanya menatap Kuro dengan penuh harapan dan kewaspadaan."Kekuatan api Naga Emas bukan sekadar kekuatan biasa," kata Gidi. "Jika kau bisa mengendalikannya, kau bisa menjadi petarung yang tak terkalahkan. Tapi jika kau ceroboh, kau bisa menghancurkan diri sendiri."Kuro menelan ludah. Meskipun ia telah melihat sekilas kekuatannya saat melawan Ragnor, ia masih belum memahami sepenuhnya apa yang terjadi dalam tubuhnya. Ia bisa merasakan energi itu mengalir dalam darahnya, tetapi ia belum tahu bagaimana cara memanggilnya sesuka hati."Jadi, dari mana kita mulai?" tanya Kuro.Gidi mengangkat satu jari. "Pertama-tama, kita harus membangunkan sumber api dalam tubuhmu."Gidi berjalan mendekat dan menekan dadanya dengan telapak tangan. Tiba-tiba, Ku
Angin malam bertiup kencang di atas tebing tempat Kuro berdiri. Tubuhnya masih dipenuhi sisa energi pertempuran sebelumnya, napasnya tersengal. Gidi berdiri di sampingnya dalam wujud manusianya, menatap jauh ke arah kegelapan di cakrawala."Ragnor berhasil kabur," kata Gidi. "Tapi aku yakin dia akan kembali, lebih kuat dari sebelumnya."Kuro mengangguk, menggenggam pedangnya lebih erat. "Aku bisa merasakannya... Aku bisa merasakan kekuatan di dalam diriku, tapi aku belum benar-benar mengendalikannya."Gidi menatap Kuro dengan penuh perhatian. "Kekuatanmu itu bukan sekadar warisan Naga Emas, Kuro. Itu adalah sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin belum pernah muncul di dunia ini sebelumnya."Kuro menunduk, merasakan kehangatan yang masih berdenyut di dadanya. Saat ia menghadapi Ragnor, sesuatu dalam dirinya telah terbangun—sebuah kekuatan yang bukan berasal dari pedang, melainkan dari dirinya sendiri.Sejak pertarungan itu, penglihatannya terasa berbeda. Saat malam semakin laru
Kuro merasakan denyut energi dari pedang di tangannya. Cahaya keemasan berpendar dari bilahnya, seakan merespons keberadaannya. Gidi berdiri di sampingnya, matanya waspada menatap pintu gua yang sebentar lagi akan diterobos oleh para pemburu Ordo Kegelapan."Kuro, kau harus bersiap," kata Gidi. "Mereka bukan lawan biasa."Pria tua itu, yang masih belum menyebutkan namanya, menatap Kuro dengan penuh keyakinan. "Pedang itu telah memilihmu. Sekarang, pertanyaannya adalah... apakah kau akan menerima takdirmu?"Suara benturan keras menggema dari luar gua. Batu-batu berjatuhan dari langit-langit. Kuro menelan ludah, jari-jarinya semakin erat menggenggam pedangnya."Aku tidak punya pilihan lain, bukan?" gumamnya.Pria tua itu mengangguk. "Kau selalu punya pilihan. Tapi hanya satu jalan yang bisa menyelamatkan dunia ini."Tiba-tiba, dinding gua di bagian depan meledak, menghantam ke dalam dengan kekuatan luar biasa. Debu dan pecahan batu berhamburan. Dari balik kabut asap, beberapa sosok berj
Langkah kaki bergema di lorong gua yang sunyi. Kuro dan Gidi menahan napas, tubuh mereka menegang. Suara itu semakin dekat, membuat keduanya bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.Gidi merapatkan tubuhnya ke dinding batu, sementara Kuro menggenggam gagang pisaunya dengan erat. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena ancaman yang mungkin datang, tetapi juga karena perasaan aneh yang terus mengganggunya sejak tadi malam.Tiba-tiba, bayangan hitam muncul di ujung lorong. Sosok itu berhenti, lalu perlahan melangkah maju, memperlihatkan wajahnya di bawah cahaya redup obor.Seorang pria tua, berjubah panjang dengan rambut putih yang tergerai. Matanya tajam dan penuh wibawa."Jadi... kalian akhirnya sampai di sini," katanya dengan suara dalam dan bergetar.Kuro dan Gidi saling berpandangan, tidak mengenali sosok itu. Tapi ada sesuatu dalam tatapan pria tua itu yang membuat Kuro merasakan ikatan yang aneh."Siapa kau?" tanya Kuro, masih waspada.Pria itu tersenyum tipis, lalu menghe
Mereka akhirnya tiba di sebuah gua besar di lereng Gunung Kiryu. Udara di sana lebih sejuk, dan suara angin yang bertiup melewati celah-celah batu menciptakan harmoni yang menenangkan. Kuro dan Gidi melangkah masuk dengan hati-hati, mata mereka menyesuaikan diri dengan kegelapan yang menyelimuti bagian dalam gua."Kita bisa bertahan di sini untuk sementara waktu," kata Gidi sambil menyalakan obor kecil yang ia bawa.Kuro mengamati sekeliling. Dinding gua itu kokoh, tinggi, dan memiliki banyak cabang lorong yang bisa menjadi tempat persembunyian. Lantai berbatu cukup rata, meskipun beberapa bagian masih kasar dan berbahaya. Mereka bisa merasakan aroma kelembapan bercampur dengan udara dingin dari dalam."Setidaknya, tempat ini lebih aman daripada desa," ujar Kuro.Gidi mengangguk. "Kita perlu membuat tempat ini lebih nyaman. Aku akan mencari kayu kering untuk api. Kau bisa mengeksplorasi bagian dalam gua dan mencari sumber air."Tanpa banyak bicara, mereka segera berpencar menjalankan
Setelah kehancuran yang menghancurkan desa mereka, Kuro dan Gidi melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan tempat yang hancur dan penuh kenangan. Gidi yang terluka parah, memaksakan dirinya untuk bertahan, sementara Kuro, meskipun baru saja dibebaskan dari kegelapan, merasakan beban berat di pundaknya."Kita harus cepat," kata Gidi dengan suara yang serak, meskipun jelas terlihat bahwa tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Kuro mengangguk, menatap Gidi dengan penuh kekhawatiran, namun tahu bahwa mereka tidak memiliki banyak pilihan. Dunia mereka kini telah berubah, dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah mencari tempat yang aman."Mereka akan mengejar kita," ujar Kuro, memikirkan bahaya yang terus mengintai mereka. "Di Gunung Kiryu, kita mungkin bisa menemukan perlindungan."Gidi menatap Kuro dengan mata yang penuh makna. "Kita harus sampai ke sana. Tapi jangan berharap kita akan tenang. Gunung Kiryu menyimpan banyak rahasia dan bahaya, tetapi itu mungkin satu-satunya tempat yang masih
Malam itu semakin gelap, dan ketegangan di desa kecil itu kian terasa. Gidi, yang telah melangkah jauh ke dalam dunia gelap, kini kembali. Namun, kehadirannya berbeda—penuh kelelahan, dan ekspresi wajahnya menunjukkan banyak beban. Kuro, yang sempat terjebak dalam dunia kegelapan, kini sudah kembali pada dirinya sendiri, berkat usaha Gidi untuk menyelamatkannya.Di rumah Hana dan Akihiro, suasana semakin menegangkan. Akihiro terbaring lemah, tubuhnya semakin tak bertenaga. Hana di samping suaminya, menggenggam erat tangan Akihiro, mencoba memberi semangat. "Akihiro, apa yang akan terjadi pada Kuro?" tanyanya dengan suara gemetar.Akihiro, meski tubuhnya semakin lemah, berusaha membuka mata dan menatap istrinya. "Aku... aku percaya pada Gidi, Hana. Dia pasti bisa menyelamatkan Kuro."Namun, sebelum Hana bisa memberi jawaban, suara ledakan yang mengerikan mengguncang rumah mereka. Dinding bergetar, dan suasana menjadi semakin mencekam. Hana, dengan cepat, berlari menuju jendela untuk me