Mereka akhirnya tiba di sebuah gua besar di lereng Gunung Kiryu. Udara di sana lebih sejuk, dan suara angin yang bertiup melewati celah-celah batu menciptakan harmoni yang menenangkan. Kuro dan Gidi melangkah masuk dengan hati-hati, mata mereka menyesuaikan diri dengan kegelapan yang menyelimuti bagian dalam gua.
"Kita bisa bertahan di sini untuk sementara waktu," kata Gidi sambil menyalakan obor kecil yang ia bawa. Kuro mengamati sekeliling. Dinding gua itu kokoh, tinggi, dan memiliki banyak cabang lorong yang bisa menjadi tempat persembunyian. Lantai berbatu cukup rata, meskipun beberapa bagian masih kasar dan berbahaya. Mereka bisa merasakan aroma kelembapan bercampur dengan udara dingin dari dalam. "Setidaknya, tempat ini lebih aman daripada desa," ujar Kuro. Gidi mengangguk. "Kita perlu membuat tempat ini lebih nyaman. Aku akan mencari kayu kering untuk api. Kau bisa mengeksplorasi bagian dalam gua dan mencari sumber air." Tanpa banyak bicara, mereka segera berpencar menjalankan tugas masing-masing. Kuro berjalan lebih dalam ke dalam gua, mencoba menemukan sumber air. Langkahnya berhati-hati, karena dinding gua terkadang licin akibat tetesan air yang mengalir perlahan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong sempit, Kuro mendengar suara gemericik air. Ia mempercepat langkahnya dan menemukan sebuah kolam kecil yang cukup jernih. Air itu mengalir dari celah batuan di atas, membentuk aliran kecil yang tenang. Kuro mencelupkan tangannya ke dalam air, merasakan kesejukannya. Ini akan sangat membantu mereka bertahan hidup. Saat ia kembali ke tempat Gidi, lelaki itu sudah menumpuk beberapa ranting kering dan mulai membuat api. Cahaya oranye mulai menerangi gua, memberikan kehangatan yang sangat mereka butuhkan. "Ada sumber air di dalam," kata Kuro. "Kita bisa menggunakannya untuk minum dan membersihkan diri." Gidi tersenyum tipis. "Bagus. Berarti kita hanya perlu mencari makanan sekarang." Malam itu, Kuro dan Gidi duduk mengitari api kecil. Mereka berbagi makanan seadanya yang mereka bawa dari perjalanan, sebagian besar berupa roti kering dan sedikit buah yang mereka temukan di hutan. "Kita tidak bisa terus mengandalkan persediaan ini," kata Gidi. "Besok kita harus berburu atau mencari makanan lain." Kuro mengangguk. "Aku bisa membantu. Aku pernah belajar cara berburu dari Ayah." Gidi memandang Kuro sejenak, lalu berkata, "Apa kau merasa lebih baik sekarang?" Kuro tahu maksudnya. Ia pernah dikuasai kegelapan, tetapi berkat Gidi, ia telah terbebas dari itu. Namun, bekasnya masih ada, seperti bayangan samar yang kadang mengusik pikirannya. "Aku masih mencoba memahami semuanya," kata Kuro pelan. "Tapi aku merasa... lebih bebas." Gidi menepuk bahunya. "Itu yang terpenting. Yang kita butuhkan sekarang adalah bertahan hidup dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dunia ini." Mereka terdiam sejenak, menikmati kehangatan api di tengah udara dingin yang menyelimuti gua. Keesokan harinya, mereka mulai beradaptasi dengan kehidupan baru di dalam gua. Gidi membuat alat sederhana dari ranting dan batu untuk berburu. Ia juga mulai menyiapkan perangkap untuk menangkap hewan kecil yang mungkin lewat di sekitar gua. Sementara itu, Kuro menjelajahi area di luar gua. Ia menemukan banyak pohon buah liar yang bisa menjadi sumber makanan. Ia juga mengumpulkan dedaunan kering dan ranting untuk memperkuat tempat tinggal mereka. Ketika sore tiba, mereka sudah memiliki persediaan makanan lebih banyak, termasuk beberapa ikan yang Kuro tangkap di sungai kecil dekat gua. "Sepertinya kita bisa bertahan di sini lebih lama dari yang kita kira," kata Kuro sambil menatap api unggun yang kembali mereka nyalakan. Gidi mengangguk. "Ya, tapi kita tetap harus waspada. Kita tidak tahu siapa atau apa yang mungkin datang ke sini." Kuro menatap ke arah mulut gua, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dunia di luar sana mungkin sudah berubah, tapi di tempat ini, mereka memiliki kesempatan untuk memulai kembali. Namun, sebuah perasaan aneh mengusik pikirannya. Sesuatu akan terjadi. Ia bisa merasakannya. Dan malam itu, angin yang berhembus ke dalam gua membawa suara samar yang terdengar seperti bisikan. Sebuah pertanda bahwa bahaya belum benar-benar pergi. Kuro terbangun di tengah malam. Api unggun yang mereka buat sudah mulai meredup, hanya menyisakan bara merah yang berkedip di kegelapan. Angin dingin menerobos masuk ke dalam gua, membuat tubuhnya sedikit menggigil. Namun, bukan udara malam yang membuatnya terbangun, melainkan suara samar yang didengarnya beberapa saat lalu. Ia menoleh ke arah Gidi, yang masih tertidur lelap di dekat api. Napasnya teratur, wajahnya tetap tenang seolah tidak terganggu oleh apa pun. Kuro mengerutkan kening. "Apa aku hanya berhalusinasi?" pikirnya. Tapi suara itu terdengar lagi. Bisikan lirih, seperti seseorang tengah berbicara pelan di ujung lorong gua yang gelap. Jantung Kuro berdebar. Ia menelan ludah dan bangkit perlahan, berusaha tidak membuat suara. Dengan hati-hati, ia melangkah menuju bagian dalam gua, tempat lorong-lorong bercabang yang belum mereka jelajahi sepenuhnya. Setiap langkahnya menggema di ruangan batu yang luas. Bayangan tubuhnya bergetar di dinding gua akibat pantulan cahaya bara api yang semakin redup. Bisikan itu semakin jelas. Kali ini, bukan hanya suara samar, melainkan seperti gumaman dalam bahasa yang asing. Kuro mencoba menangkap maknanya, tapi tidak bisa. Ia menghentikan langkahnya saat melihat sesuatu di kejauhan—cahaya redup berwarna kebiruan yang tampak berpendar di ujung lorong. Matanya menyipit. "Apa itu?" Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara dari belakang. "Kuro?" Kuro tersentak dan berbalik. Gidi berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi curiga. "Apa yang kau lakukan?" tanya Gidi, suaranya sedikit berbisik namun tegas. Kuro menoleh lagi ke lorong di depannya. Cahaya kebiruan itu sudah menghilang. Begitu pula dengan suara bisikan tadi. "Aku... aku mendengar sesuatu," jawabnya jujur. Gidi menghela napas dan berjalan mendekat. Ia melirik ke arah lorong gelap itu sebelum kembali menatap Kuro. "Kita sudah cukup mengalami hal aneh di desa," katanya. "Jangan bertindak gegabah." Kuro menatap Gidi dengan serius. "Aku yakin mendengar sesuatu. Dan ada cahaya aneh di sana barusan." Gidi tidak langsung membantah. Ia menatap lorong gelap itu cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Baiklah. Tapi kita tidak akan menjelajahinya sekarang. Besok pagi, setelah matahari terbit, kita bisa melihat lebih jelas." Kuro ingin protes, tapi ia tahu Gidi benar. Jika mereka menjelajah sekarang tanpa persiapan, itu bisa menjadi bencana. Dengan berat hati, ia mengangguk. "Baiklah." Pagi datang dengan sinar matahari yang menyelinap masuk ke dalam gua melalui celah-celah batu. Kuro dan Gidi sudah bersiap dengan obor serta pisau kecil untuk berjaga-jaga. Mereka melangkah ke dalam lorong gua yang semalam Kuro lihat bercahaya. Suasananya lebih terang sekarang, meskipun tetap suram dan dipenuhi bayangan. Beberapa meter ke dalam, mereka menemukan sesuatu yang membuat mereka terdiam. Dinding gua di depan mereka penuh dengan ukiran kuno. Simbol-simbol misterius, gambar-gambar makhluk aneh, dan pola-pola rumit menghiasi batuan. Gidi menyentuh salah satu ukiran itu dengan hati-hati. "Ini bukan buatan manusia biasa." Tapi sebelum mereka bisa menganalisis lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari kejauhan. Mereka membeku. Bukan suara hewan. Bukan suara angin. Tapi suara seseorang. Dan mereka tidak sendirian di gua ini.Langkah kaki bergema di lorong gua yang sunyi. Kuro dan Gidi menahan napas, tubuh mereka menegang. Suara itu semakin dekat, membuat keduanya bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.Gidi merapatkan tubuhnya ke dinding batu, sementara Kuro menggenggam gagang pisaunya dengan erat. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena ancaman yang mungkin datang, tetapi juga karena perasaan aneh yang terus mengganggunya sejak tadi malam.Tiba-tiba, bayangan hitam muncul di ujung lorong. Sosok itu berhenti, lalu perlahan melangkah maju, memperlihatkan wajahnya di bawah cahaya redup obor.Seorang pria tua, berjubah panjang dengan rambut putih yang tergerai. Matanya tajam dan penuh wibawa."Jadi... kalian akhirnya sampai di sini," katanya dengan suara dalam dan bergetar.Kuro dan Gidi saling berpandangan, tidak mengenali sosok itu. Tapi ada sesuatu dalam tatapan pria tua itu yang membuat Kuro merasakan ikatan yang aneh."Siapa kau?" tanya Kuro, masih waspada.Pria itu tersenyum tipis, lalu menghe
Kuro merasakan denyut energi dari pedang di tangannya. Cahaya keemasan berpendar dari bilahnya, seakan merespons keberadaannya. Gidi berdiri di sampingnya, matanya waspada menatap pintu gua yang sebentar lagi akan diterobos oleh para pemburu Ordo Kegelapan."Kuro, kau harus bersiap," kata Gidi. "Mereka bukan lawan biasa."Pria tua itu, yang masih belum menyebutkan namanya, menatap Kuro dengan penuh keyakinan. "Pedang itu telah memilihmu. Sekarang, pertanyaannya adalah... apakah kau akan menerima takdirmu?"Suara benturan keras menggema dari luar gua. Batu-batu berjatuhan dari langit-langit. Kuro menelan ludah, jari-jarinya semakin erat menggenggam pedangnya."Aku tidak punya pilihan lain, bukan?" gumamnya.Pria tua itu mengangguk. "Kau selalu punya pilihan. Tapi hanya satu jalan yang bisa menyelamatkan dunia ini."Tiba-tiba, dinding gua di bagian depan meledak, menghantam ke dalam dengan kekuatan luar biasa. Debu dan pecahan batu berhamburan. Dari balik kabut asap, beberapa sosok berj
Angin malam bertiup kencang di atas tebing tempat Kuro berdiri. Tubuhnya masih dipenuhi sisa energi pertempuran sebelumnya, napasnya tersengal. Gidi berdiri di sampingnya dalam wujud manusianya, menatap jauh ke arah kegelapan di cakrawala."Ragnor berhasil kabur," kata Gidi. "Tapi aku yakin dia akan kembali, lebih kuat dari sebelumnya."Kuro mengangguk, menggenggam pedangnya lebih erat. "Aku bisa merasakannya... Aku bisa merasakan kekuatan di dalam diriku, tapi aku belum benar-benar mengendalikannya."Gidi menatap Kuro dengan penuh perhatian. "Kekuatanmu itu bukan sekadar warisan Naga Emas, Kuro. Itu adalah sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin belum pernah muncul di dunia ini sebelumnya."Kuro menunduk, merasakan kehangatan yang masih berdenyut di dadanya. Saat ia menghadapi Ragnor, sesuatu dalam dirinya telah terbangun—sebuah kekuatan yang bukan berasal dari pedang, melainkan dari dirinya sendiri.Sejak pertarungan itu, penglihatannya terasa berbeda. Saat malam semakin laru
Kuro berdiri di tengah lapangan luas yang dikelilingi oleh hutan lebat. Langit masih kelam, menyisakan semburat oranye di ufuk timur. Angin berhembus sejuk, menggoyangkan dedaunan di sekitarnya. Di hadapannya, Gidi berdiri dengan tangan terlipat, matanya menatap Kuro dengan penuh harapan dan kewaspadaan."Kekuatan api Naga Emas bukan sekadar kekuatan biasa," kata Gidi. "Jika kau bisa mengendalikannya, kau bisa menjadi petarung yang tak terkalahkan. Tapi jika kau ceroboh, kau bisa menghancurkan diri sendiri."Kuro menelan ludah. Meskipun ia telah melihat sekilas kekuatannya saat melawan Ragnor, ia masih belum memahami sepenuhnya apa yang terjadi dalam tubuhnya. Ia bisa merasakan energi itu mengalir dalam darahnya, tetapi ia belum tahu bagaimana cara memanggilnya sesuka hati."Jadi, dari mana kita mulai?" tanya Kuro.Gidi mengangkat satu jari. "Pertama-tama, kita harus membangunkan sumber api dalam tubuhmu."Gidi berjalan mendekat dan menekan dadanya dengan telapak tangan. Tiba-tiba, Ku
Kuro berdiri tegak di tengah hutan, dadanya naik turun dengan napas berat setelah sesi pelatihan yang melelahkan bersama Gidi. Ia sudah mulai memahami dasar pengendalian api, tapi hatinya masih dipenuhi kebingungan. Ada sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami—kekuatan yang terasa jauh lebih besar dari sekadar mengendalikan api.Gidi mengamatinya dari kejauhan, melihat wajah muridnya yang masih dipenuhi pertanyaan. “Apa yang kau rasakan, Kuro?” tanyanya dengan suara tenang.Kuro menggeleng pelan. “Aku... merasa ada sesuatu yang tertahan dalam diriku. Setiap kali aku menggunakan api, ada kekuatan lain yang ingin keluar, tapi aku tidak bisa mengendalikannya.”Gidi menyeringai. “Itu karena kau belum benar-benar menyadari siapa dirimu. Kuro, kau bukan hanya seorang petarung biasa. Di dalam dirimu, ada sesuatu yang jauh lebih besar.” Ia berjalan mendekat dan menepuk bahu Kuro. “Hari ini, kita akan membantumu menemukannya.”Kuro menatap Gidi penuh harap. “Bagaimana car
Kuro berdiri di tepi tebing, memandangi cakrawala yang dipenuhi cahaya mentari pagi. Angin berhembus menerpa wajahnya, membawa hawa segar yang bertolak belakang dengan kobaran api yang kini ia rasakan di dalam dirinya. Setelah pertemuannya dengan Jiwa Naga, kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya terasa jauh lebih stabil, namun ada satu hal yang masih mengganjal: ia belum sepenuhnya menguasainya.Gidi, sang mentor, berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. “Apa yang kau pikirkan, Kuro?” tanyanya.“Aku bisa merasakan api dalam diriku jauh lebih kuat dari sebelumnya,” jawab Kuro, “tapi aku juga merasa… belum benar-benar bisa mengendalikannya.”Gidi tersenyum kecil. “Itu wajar. Menerima kekuatan tidak sama dengan mengendalikannya. Api adalah elemen yang kuat, tetapi juga liar. Jika kau ingin benar-benar menguasainya, kau harus belajar menjinakkannya.”Kuro menatap Gidi penuh kebingungan. “Menjinakkan api?”“Ya,” Gidi menoleh padanya. “Api bukan hanya soal kekuatan atau kehancuran. Ia bi
Angin malam bertiup lembut di Desa Kamashiro, menggoyangkan dedaunan pohon sakura yang sedang bermekaran. Cahaya bulan purnama menyinari rumah-rumah kayu tradisional yang berjajar rapi di sepanjang jalan desa. Anak-anak masih berlarian di halaman rumah mereka, sementara para petani baru saja pulang dari ladang, membawa hasil panen musim ini. Malam ini terasa begitu damai, seakan dunia sedang beristirahat dalam ketenangan.Di sebuah rumah besar di tepi desa, seorang pria tinggi dengan rambut hitam panjang duduk di beranda. Akihiro Kamashiro, kepala desa sekaligus seorang pendekar legendaris, tengah mengasah pedangnya yang telah menemaninya selama bertahun-tahun. Wajahnya tegas namun penuh kebijaksanaan. Ia sesekali melirik ke dalam rumah, ke arah seorang wanita yang tengah menimang seorang anak kecil."Kuro sudah tertidur?" tanya Akihiro dengan suara lembut.Wanita itu, Hana, tersenyum tipis sambil mengusap rambut anak mereka yang baru berusia lima tahun. "Ya. Dia kelelahan bermain seh
Di tengah reruntuhan desa Kamashiro yang terbakar, Akihiro berdiri dengan napas tersengal. Tubuhnya penuh luka, darah mengalir dari pelipis dan lengannya yang sobek. Di depannya, Ryukiro berdiri tegap, pedang panjangnya masih berlumuran darah.Hana berlutut di samping Akihiro, tangannya gemetar saat mencoba menghentikan pendarahan suaminya. Mata mereka bertemu—ada ketakutan, tetapi juga tekad yang tak tergoyahkan.“Kita tidak bisa mundur, Hana,” bisik Akihiro. “Aku akan menahan Ryukiro… kau harus pergi.”Hana menggeleng keras. “Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!”Ryukiro tertawa dingin. “Sudah terlambat untuk melarikan diri. Keluarga Kamashiro akan musnah malam ini.”Akihiro mengangkat pedangnya, meskipun tangannya gemetar. “Selama aku masih berdiri, kau tidak akan menyentuh Hana atau anakku.”Ryukiro bergerak cepat—terlalu cepat. Dalam sekejap, pedangnya hampir menyentuh leher Akihiro. Tapi Hana melompat ke depan, menangkis serangan dengan sebilah pisau pendek.Akihiro tidak menyi
Kuro berdiri di tepi tebing, memandangi cakrawala yang dipenuhi cahaya mentari pagi. Angin berhembus menerpa wajahnya, membawa hawa segar yang bertolak belakang dengan kobaran api yang kini ia rasakan di dalam dirinya. Setelah pertemuannya dengan Jiwa Naga, kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya terasa jauh lebih stabil, namun ada satu hal yang masih mengganjal: ia belum sepenuhnya menguasainya.Gidi, sang mentor, berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. “Apa yang kau pikirkan, Kuro?” tanyanya.“Aku bisa merasakan api dalam diriku jauh lebih kuat dari sebelumnya,” jawab Kuro, “tapi aku juga merasa… belum benar-benar bisa mengendalikannya.”Gidi tersenyum kecil. “Itu wajar. Menerima kekuatan tidak sama dengan mengendalikannya. Api adalah elemen yang kuat, tetapi juga liar. Jika kau ingin benar-benar menguasainya, kau harus belajar menjinakkannya.”Kuro menatap Gidi penuh kebingungan. “Menjinakkan api?”“Ya,” Gidi menoleh padanya. “Api bukan hanya soal kekuatan atau kehancuran. Ia bi
Kuro berdiri tegak di tengah hutan, dadanya naik turun dengan napas berat setelah sesi pelatihan yang melelahkan bersama Gidi. Ia sudah mulai memahami dasar pengendalian api, tapi hatinya masih dipenuhi kebingungan. Ada sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami—kekuatan yang terasa jauh lebih besar dari sekadar mengendalikan api.Gidi mengamatinya dari kejauhan, melihat wajah muridnya yang masih dipenuhi pertanyaan. “Apa yang kau rasakan, Kuro?” tanyanya dengan suara tenang.Kuro menggeleng pelan. “Aku... merasa ada sesuatu yang tertahan dalam diriku. Setiap kali aku menggunakan api, ada kekuatan lain yang ingin keluar, tapi aku tidak bisa mengendalikannya.”Gidi menyeringai. “Itu karena kau belum benar-benar menyadari siapa dirimu. Kuro, kau bukan hanya seorang petarung biasa. Di dalam dirimu, ada sesuatu yang jauh lebih besar.” Ia berjalan mendekat dan menepuk bahu Kuro. “Hari ini, kita akan membantumu menemukannya.”Kuro menatap Gidi penuh harap. “Bagaimana car
Kuro berdiri di tengah lapangan luas yang dikelilingi oleh hutan lebat. Langit masih kelam, menyisakan semburat oranye di ufuk timur. Angin berhembus sejuk, menggoyangkan dedaunan di sekitarnya. Di hadapannya, Gidi berdiri dengan tangan terlipat, matanya menatap Kuro dengan penuh harapan dan kewaspadaan."Kekuatan api Naga Emas bukan sekadar kekuatan biasa," kata Gidi. "Jika kau bisa mengendalikannya, kau bisa menjadi petarung yang tak terkalahkan. Tapi jika kau ceroboh, kau bisa menghancurkan diri sendiri."Kuro menelan ludah. Meskipun ia telah melihat sekilas kekuatannya saat melawan Ragnor, ia masih belum memahami sepenuhnya apa yang terjadi dalam tubuhnya. Ia bisa merasakan energi itu mengalir dalam darahnya, tetapi ia belum tahu bagaimana cara memanggilnya sesuka hati."Jadi, dari mana kita mulai?" tanya Kuro.Gidi mengangkat satu jari. "Pertama-tama, kita harus membangunkan sumber api dalam tubuhmu."Gidi berjalan mendekat dan menekan dadanya dengan telapak tangan. Tiba-tiba, Ku
Angin malam bertiup kencang di atas tebing tempat Kuro berdiri. Tubuhnya masih dipenuhi sisa energi pertempuran sebelumnya, napasnya tersengal. Gidi berdiri di sampingnya dalam wujud manusianya, menatap jauh ke arah kegelapan di cakrawala."Ragnor berhasil kabur," kata Gidi. "Tapi aku yakin dia akan kembali, lebih kuat dari sebelumnya."Kuro mengangguk, menggenggam pedangnya lebih erat. "Aku bisa merasakannya... Aku bisa merasakan kekuatan di dalam diriku, tapi aku belum benar-benar mengendalikannya."Gidi menatap Kuro dengan penuh perhatian. "Kekuatanmu itu bukan sekadar warisan Naga Emas, Kuro. Itu adalah sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin belum pernah muncul di dunia ini sebelumnya."Kuro menunduk, merasakan kehangatan yang masih berdenyut di dadanya. Saat ia menghadapi Ragnor, sesuatu dalam dirinya telah terbangun—sebuah kekuatan yang bukan berasal dari pedang, melainkan dari dirinya sendiri.Sejak pertarungan itu, penglihatannya terasa berbeda. Saat malam semakin laru
Kuro merasakan denyut energi dari pedang di tangannya. Cahaya keemasan berpendar dari bilahnya, seakan merespons keberadaannya. Gidi berdiri di sampingnya, matanya waspada menatap pintu gua yang sebentar lagi akan diterobos oleh para pemburu Ordo Kegelapan."Kuro, kau harus bersiap," kata Gidi. "Mereka bukan lawan biasa."Pria tua itu, yang masih belum menyebutkan namanya, menatap Kuro dengan penuh keyakinan. "Pedang itu telah memilihmu. Sekarang, pertanyaannya adalah... apakah kau akan menerima takdirmu?"Suara benturan keras menggema dari luar gua. Batu-batu berjatuhan dari langit-langit. Kuro menelan ludah, jari-jarinya semakin erat menggenggam pedangnya."Aku tidak punya pilihan lain, bukan?" gumamnya.Pria tua itu mengangguk. "Kau selalu punya pilihan. Tapi hanya satu jalan yang bisa menyelamatkan dunia ini."Tiba-tiba, dinding gua di bagian depan meledak, menghantam ke dalam dengan kekuatan luar biasa. Debu dan pecahan batu berhamburan. Dari balik kabut asap, beberapa sosok berj
Langkah kaki bergema di lorong gua yang sunyi. Kuro dan Gidi menahan napas, tubuh mereka menegang. Suara itu semakin dekat, membuat keduanya bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.Gidi merapatkan tubuhnya ke dinding batu, sementara Kuro menggenggam gagang pisaunya dengan erat. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena ancaman yang mungkin datang, tetapi juga karena perasaan aneh yang terus mengganggunya sejak tadi malam.Tiba-tiba, bayangan hitam muncul di ujung lorong. Sosok itu berhenti, lalu perlahan melangkah maju, memperlihatkan wajahnya di bawah cahaya redup obor.Seorang pria tua, berjubah panjang dengan rambut putih yang tergerai. Matanya tajam dan penuh wibawa."Jadi... kalian akhirnya sampai di sini," katanya dengan suara dalam dan bergetar.Kuro dan Gidi saling berpandangan, tidak mengenali sosok itu. Tapi ada sesuatu dalam tatapan pria tua itu yang membuat Kuro merasakan ikatan yang aneh."Siapa kau?" tanya Kuro, masih waspada.Pria itu tersenyum tipis, lalu menghe
Mereka akhirnya tiba di sebuah gua besar di lereng Gunung Kiryu. Udara di sana lebih sejuk, dan suara angin yang bertiup melewati celah-celah batu menciptakan harmoni yang menenangkan. Kuro dan Gidi melangkah masuk dengan hati-hati, mata mereka menyesuaikan diri dengan kegelapan yang menyelimuti bagian dalam gua."Kita bisa bertahan di sini untuk sementara waktu," kata Gidi sambil menyalakan obor kecil yang ia bawa.Kuro mengamati sekeliling. Dinding gua itu kokoh, tinggi, dan memiliki banyak cabang lorong yang bisa menjadi tempat persembunyian. Lantai berbatu cukup rata, meskipun beberapa bagian masih kasar dan berbahaya. Mereka bisa merasakan aroma kelembapan bercampur dengan udara dingin dari dalam."Setidaknya, tempat ini lebih aman daripada desa," ujar Kuro.Gidi mengangguk. "Kita perlu membuat tempat ini lebih nyaman. Aku akan mencari kayu kering untuk api. Kau bisa mengeksplorasi bagian dalam gua dan mencari sumber air."Tanpa banyak bicara, mereka segera berpencar menjalankan
Setelah kehancuran yang menghancurkan desa mereka, Kuro dan Gidi melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan tempat yang hancur dan penuh kenangan. Gidi yang terluka parah, memaksakan dirinya untuk bertahan, sementara Kuro, meskipun baru saja dibebaskan dari kegelapan, merasakan beban berat di pundaknya."Kita harus cepat," kata Gidi dengan suara yang serak, meskipun jelas terlihat bahwa tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Kuro mengangguk, menatap Gidi dengan penuh kekhawatiran, namun tahu bahwa mereka tidak memiliki banyak pilihan. Dunia mereka kini telah berubah, dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah mencari tempat yang aman."Mereka akan mengejar kita," ujar Kuro, memikirkan bahaya yang terus mengintai mereka. "Di Gunung Kiryu, kita mungkin bisa menemukan perlindungan."Gidi menatap Kuro dengan mata yang penuh makna. "Kita harus sampai ke sana. Tapi jangan berharap kita akan tenang. Gunung Kiryu menyimpan banyak rahasia dan bahaya, tetapi itu mungkin satu-satunya tempat yang masih
Malam itu semakin gelap, dan ketegangan di desa kecil itu kian terasa. Gidi, yang telah melangkah jauh ke dalam dunia gelap, kini kembali. Namun, kehadirannya berbeda—penuh kelelahan, dan ekspresi wajahnya menunjukkan banyak beban. Kuro, yang sempat terjebak dalam dunia kegelapan, kini sudah kembali pada dirinya sendiri, berkat usaha Gidi untuk menyelamatkannya.Di rumah Hana dan Akihiro, suasana semakin menegangkan. Akihiro terbaring lemah, tubuhnya semakin tak bertenaga. Hana di samping suaminya, menggenggam erat tangan Akihiro, mencoba memberi semangat. "Akihiro, apa yang akan terjadi pada Kuro?" tanyanya dengan suara gemetar.Akihiro, meski tubuhnya semakin lemah, berusaha membuka mata dan menatap istrinya. "Aku... aku percaya pada Gidi, Hana. Dia pasti bisa menyelamatkan Kuro."Namun, sebelum Hana bisa memberi jawaban, suara ledakan yang mengerikan mengguncang rumah mereka. Dinding bergetar, dan suasana menjadi semakin mencekam. Hana, dengan cepat, berlari menuju jendela untuk me