Kram Perut

“Saya kenapa? Harusnya tante yang menguatkan kami menjalani takdir yang telah Allah berikan, ini malah sebaliknya, menjadi gunting dalam lipatan. Ingat tante, dalam islam memang di perbolehkan beristri lebih dari satu, tapi jika mampu. Kalau tidak mampu cukup satu! Dan saat ini Ridwan belum mampu, jadi berhenti menyodorkan segala macam perempuan ke hadapan saya. Karena saya tidak TERTARIK!!” ucap Ridwan memotong ucapan tantenya itu. 

Mama Anita terlihat cemas melihat Ridwan yang biasanya sopan kepada yang lebih tua kini seperti tak ada sopan santunnya. 

“Nak, nggak boleh ngomong gitu. Biar bagaimanapun tante Ani bermaksud baik, dia cuma ingin melihat keluarga kita memiliki penerus.” Mama Anita membuka suara. 

“Tenang, Ma! Tanpa penerus pun, keluarga Adi Brata akan berjaya dan di kenang selamanya,” jawab Ridwan telak. 

Ku pegang tangan lelaki halalku, memberi kode agar menyudahi adu mulut yang tak akan ada habisnya, apalagi jika sudah mama yang bicara, maka tak akan bisa di bantah. 

Mas Ridwan melirik sekilas, lalu mengusap mukanya. 

“Ma, kami pamit dulu.” Mas Ridwan menarik tanganku, tanpa salim dan permisi kami meninggalkan rumah mertuaku. 

Ting... ting... ting! 

Beberapa kali notifikasi pesan di hapeku berbunyi, tapi aku tak berniat untuk melihatnya, pasti mama yang mengirim pesan, mengomel tentang kelakuan mas Ridwan. 

“Sayang, kamu nggak lapar?” tanya suamiku. 

“Lapar!”

“Mau makan apa?” tanyanya. 

“Apa aja, asal sama kamu!” ucapku, lalu menutup mulut menahan tawa. 

“Cie-cie, aku di gombalin!” ledek mas Ridwan. 

“Hahahaha,” kami tertawa bersama. 

Begitulah kami, setelah sepuluh tahun menikah, kami sudah saling tau karakter masing-masing. 

Kali ini aku memutuskan untuk makan di tempat makanan siap saji, rasanya makan ayam yang di goreng crispy cocok, selain karena minim rempah, juga karena penyajiannya yang cepat. 

Mas Ridwan memegang tanganku, kami melangkah masuk ke tempat makan, mas Ridwan menyuruhku mencari tempat duduk, dia yang mengantri untuk memesan, di pojok kiri ruangan terlihat meja kosong, saat berjalan ke arah tersebut, seorang gadis tak sengaja menabrakku. 

“Ma— af, maaf, Mbak! Saya nggak sengaja, saya buru-buru,” ucapnya sambil menangkupkan kedua jari di depan dadanya. 

“Nggak apa-apa,” jawabku memaklumi. 

Setelah mengatakan hal itu, dia permisi pergi, setengah berlari dia keluar dari tempat ini, nampak raut kecemasan dari wajahnya. Saat akan kembali melangkah, kakiku menginjak sesuatu. Pandangan ku arahkan ke lantai, sebuah dompet berwarna pink bergambar hello kitty mengganjal kakiku. 

“Mungkin punya cewek tadi,” gumamku, sambil memungut benda itu. 

Setelah duduk di kursi yang masih kosong, aku membuka dompet tersebut, ingin mencari tau identitas pemiliknya, syukur-syukur jika bisa ku kembalikan. 

Aku tersenyum melihat isi dompet itu, sebuah KTP dan uang dua ribu rupiah. Isinya sama persis dengan isi dompet mas Ridwan. Suamiku itu, tipe orang yang paling malas pegang uang banyak, semua uangnya dia beri kepadaku. Setiap dia menginginkan sesuatu, pasti akan memintaku untuk membelikannya, awal menikah aku selalu berkata kalau dia anak manja, karena semua kebutuhannya pasti dia adukan kepadaku. 

Tapi seiring berjalannya waktu, aku bersyukur dia tak suka memegang uang, jadi urusan keuangan bisa ku kontrol. 

“Hayo... lagi ngapain?” tanya mas Ridwan, dia meletakkan nampan berisi tiga bungkus nasi, empat bungkus ayam, saus, sambel, dua gelas minuman bersoda, satu botol air mineral dan masing-masing dua cup puding serta es krim. 

“Ini, tadi ada yang nabrak aku, terus dompetnya jatuh, aku buka cari identitasnya, ternyata dompetnya kayak dompetmu, Mas! Isinya cuma uang bergambar Pattimura,” kelasku sambil terkekeh. 

“Berarti aku sama dia berjodoh!” ucap mas Ridwan bercanda. 

Aku menghentikan suapan yang baru akan ku lakukan, menatap tak suka ke arah suamiku. Menyadari aku menatapnya, mas Ridwan nyengir kuda. 

“Maaf, bercanda!” ucapnya. 

Aku mencebik, lalu melanjutkan makan. Kemarin aku masih rela mas Ridwan menikah lagi, tapi sekarang aku jengkel setiap mendengar atau berbicara soal istri kedua, menikah lagi. 

“Mas, habis makan kita antar dompetnya ke alamat yang ada di KTP yah!” pintaku. 

Mas Ridwan hanya mengangguk lalu melanjutkan makannya. 

***** 

Sudah dua hari setelah pemeriksaan di rumah sakit, obat yang di berikan dokter lumayan manjur, mual dan muntah di pagi hari berkurang, rencana aku ingin memasak makanan kesukaan mas Ridwan. Sebagai balasan karena telah sabar menghadapi semua keinginanku yang absurd. 

Aku melangkah ke dapur, kakiku terasa lengket karena debu. Aku baru ingat, sudah tiga hari dapur belum di pel, karena mas Ridwan melarangku mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang berat. 

Ku langkahkan kaki ke tempat penyimpanan kain pelikat, lalu mengambil air dalam ember, menuangkan cairan pembersih lantai, dengan telaten ku pel lantai dapur. Merasa tanggung, ku lanjutkan mengepel ruang tengah dan ruang tamu. 

Belum setengah ruang tamu ku pel, perutku terasa keram, seperti orang yang makan haid. Aku langsung melepaskan gagang pel, tanganku gemetar memegangi perut yang semakin keram. 

Pelan aku melangkah ke sofa, duduk dengan kaki ku angkat naik ke tempat duduk dan meluruskannya, karena keramnya tak juga berhenti, ku putuskan berbaring saja. 

Keram di perut kini mulai menjalar ke punggungku, rasanya ada seutas tali tang di tarik dari punggung ke perut.

Aku ingin menghubungi mas Ridwan tapi hapeku di kamar, keringat sebesar bulir jagung mulai muncul di keningku. Tanganku pun sudah mulai dingin. 

“Ya Allah, aku kenapa? Lindungi aku dan bayi yang ada dalam kandunganku.”

Aku mulai menangis sesenggukan, merutuki diri, kenapa harus mengepel lantai, pasti karena itu perutku sakit, semoga saja bayiku tak kenapa-kenapa, lantunan shalawat tak lepas dari bibirku, di selingi dengan istigfar, beberapa saat keramnya mulai berkurang. 

Kulirik jam di dinding, ternyata setengah jam lagi, mas Ridwan akan pulang makan siang, lebih baik ku tidurkan saja, semoga di jalan tidak macet pikirku. 

Baru saja rasanya aku memejamkan mata, sebuah tepukan di pipi membangunkanku, benar saja mas Ridwan sudah datang. 

“Kok, tidur di sini? Terus itu kain pel kenapa ada di situ?” tanya mas Ridwan bertubi-tubi. 

Belum sempat ku jawab, perutku terasa sakit, ada yang mendesak ingin keluar, aku bangkit untuk ke kamar mandi, baru selangkah kakiku melangkah. 

“Awwwwww!” pekikku. 

Ternyata mas Ridwan telah menggendongku, dia berlari membawaku ke mobil, aku yang tak tau apa-apa hanya diam, memandangi wajah pucat suamiku, belum sepenuhnya sadar apa yang terjadi, rasanya ada cairan basah yang mengalir turun dari sela paha, saat ku lihat, darah segar kini telah memenuhi betisku. 

“Mas!” lirihku, wajahku pasti sudah sangat pias, rasa takut dengan cepat muncul, entah mengapa pendengaran kurang tiba-tiba mendengung. Mataku berkunang-kunang. Masih dapat ku rasakan tangan mas Ridwan mengelus lembut bahuku, memanggil namaku, namun mataku tak kuasa terbuka.