Aku mengerjapkan mata, nampak bayangan plavon berwarna putih. Kembali ku tutup mata, sepertinya aku sedang bermimpi.
Sayup-sayup ku dengar suara lantunan ayat suci Al-Quran, dari suaranya aku tersenyum, pasti mas Ridwan. Lelaki halalku itu memang paling suka mengaji, apalagi kalau sedang menunggu waktu shalat subuh.
Aku tertegun, kembali ku buka mata, cahaya lampu yang teranang kembali membuatku harus mengerjapkan mataku berkali-kali, berusaha untuk beradaptasi dengan cahaya yang ada di ruangan itu.
Berangsur-angsur penglihatanku telah kembali, aku mengedarkan pandangan.
“Aku dimana?” tanyaku, sambil berusaha bangkit.
“Auuuuu,” teriakku. Nyeri terasa menjalar dari perutku.
Mas Ridwan berhenti memurojaah hafalan, dia gehas mendekat kearah ku.
“Mau kemana sayang? Jangan bergerak dulu!” ujar mas Ridwan. Nampak dari caranya memandang terlihat rasa khawatir.
“Mas, aku kenapa? Perutku kok sakit?” tanyaku.
Ku tatap lekat mata elang lelakiku itu, dia hanya terdiam, ada embun di kelopak matanya. Hatiku kini gusar, aku memegang perutku, rasa nyeri yang menjalar kembali menyerang, perutku seperti tebal, ada beberapa lapisan, aku kembali mengedarkan pandangan.
Aku terkejut, baru menyadari kalau ternyata di tanganku terpasang infus, aku tiba-tiba menggigil, mas Ridwan memegang tanganku. Memanggil-manggil namaku, namun tak ku acuhkan.
“Ya Allah, aku kenapa?” lirihku.
Aku menutup mata, mencoba menenangkan diri, namun tak bisa aku malah merasa sesak. Kembali ku buka mata.
“Ma, kamu nggak kenapa-kenapa kan?” tanya mas Ridwan.
Kali ini kulihat embun yang sedari tadi menggantung telah jatuh membasahi pipinya.
Suamiku bukan lelaki cengeng, tetapi kenapa dia menangis?
“Mas! Aku kenapa? Perutku kenapa?” tanyaku setengah memaksa.
“Mas akan cerita, tapi kamu janji nggak bakalan histeris,” ucap mas Ridwan.
Aku mengangguk, ku tetap matanya, menunggu penjelasan. Mas Ridwan menarik kursi yang tadi dia pakai mengaji, dia mendekatkan kursi ke ranjang, lalu duduk menghadap ke arahku.
Dia menggenggam jari-jari tangan dan menciumnya berkali-kali.
“Maafkan Mas, Mas nggak punya pilihan lain,” ucapnya. Suaranya bergetar menahan tangis yang sepertinya sudah lama dia tahan.
“Kok minta maaf sih? Aku mau kamu cerita, bukan mau dengar permintaan maafmu!” jawabku ketus.
Mas Ridwan menunduk semakin dalam, bahunya terguncang, kali ini lelakiku betul-betul menangis.
“Maafkan, Mas. Mas nggak bisa menyelamatkan anak kita.”
Ucapannya bagai palu yang baru saja menghantam dadaku, sesak yang sedari tadi ku rasakan makin bertambah.
“Tidak! Kamu bohong kan, Mas?! Kamu Cuma mau ngerjain aku, kayak yang waktu aku ulang tahun kan? Jawab, Mas!” tanyaku tanpa jeda.
Ku pukul bahunya berkali-kali, tapi tak ada reaksi, dia membiarkanku menyakitinya, tanganku tak berhenti mencubit lengannya, menarik rambutnya agar dia mendongak, menatapku, tapi dia semakin menunduk.
Rasa nyeri di perutku kini menjalar ke punggung, sensasi sakitnya dua kali lipat dari yang pertama. Tanganku berhenti memukuli mas Ridwan, ku pegang perutku menahan sakit.
Merasakan aku tak lagi memukulnya, mas Ridwan mengangkat kepalanya, melihatku meringis membuatnya terlihat khawatir. Dia langsung berdiri, berlari keluar kamar, tak lama dia kembali dengan beberapa orang yang dari pakaiannya pasti dokter dan perawat.
Mereka menyuruhku berbaring, mau tak mau aku harus menurut, lalu mereka mulai mengecek denyut nadi, tekanan darah sampai memeriksa luka yang ada di perutku.
“Ibu jangan terlalu banyak berkuat, nanti jahitannua bisa lepas,” ucap dokter yang baru saja melakukan observasi kepadaku.
Setelah berbicara sebentar dengan mas Ridwan, mereka pamit untuk kembali ke ruangan.
“Dek, kamu nggak boleh banyak bergerak,” ucap mas Ridwan.
“Mas, kok kamu tega sama aku? Kamu kan tau aku menginginkan anak ini, kenapa kamu tidak berusaha mempertahankannya?” tanyaku dengan wajah di penuhi air mata.
Mas Ridwan masih terdiam, bahkan menatapku pun dia enggan.
“Mas! Jawab!” teriakku.
“Maaf, dia sudah keluar sebelum aku membawamu ke rumah sakit,” jawab mas Ridwan lirih.
Aku terdiam, kembali membuka lembaran ingatan yang terakhir ku ingat, tidak butuh waktu lama, akhirnya rentetan ingatan kembali terurai.
Aku tergugu, ternyata semua salahku, aku menangis meraung-raung.
“Maafkan aku Mas, aku yang membunuh anak kita!” ucapku di sela tangis.
Mas Ridwan menggeleng, lalu merengkuhku ke dalam pelukannya. Kami menangis bersamaan.
“Mas, maafkan aku,” ulangku lagi.
“Kamu nggak salah, mas yang salah membiarkan mu mengerjakan pekerjaan rumah, harusnya aku mencarikanmu asisten rumah tangga,” ucap mas Ridwan.
*****
Setelah dua minggu di rumah sakit aku sudah di bolehkan pulang, mama Anita hampir tiap hari datang menjengukku, menemani bergantian dengan mas Ridwan.
Berangsur-angsur perasaanku sudah bisa menerima apa yang menjadi takdir kami, togh setelah keadaanku pulih, aku dan mas Ridwan bisa program lagi untuk mendapatkan anak.
Aku sedang menunggu mas Ridwan, ketika mama Anita datang bersama dengan tante Ani dan wanita yang waktu itu datang ke rumah mama. Kalau tak salah namanya Siska.
“Gimana keadaan kamu?” tanya tante Ani ketika baru saja masuk ke ruang perawatan ku.
“Baik tante,” ucapku sekenanya.
Dia tak mendekat ke arahku, malah langsung duduk di sofa yang berada di sudut kamar, begitu pun dengan Siska, mama Anita mendekatiku, mengecup pipi kiri dan kanan, lalu bertanya apakah aku sudah makan, kubjawab dengan sebuah anggukan. Mama Anita menyuruhku kembali istirahat, aku menutup mata mencoba untuk tidur, mertuaku mulai memperbaiki selimutan lalu ikut duduk bersama tante Ani, kami semua menunggu mas Ridwan yang sementara dalam perjalanan.
“Mbak, gimana? Sudah tanya Ridwan? Dia mau kan?” Kudengar tante Ani bertanya sesuatu kepada mama.
“Jangan bicara di sini yah An, nanti kita lanjutkan di rumah saja,” ucap mama, entah masalah apa yang mereka sedang bahas.
“Memang kenapa Mbak? Kebetulan ada Siska juga, supaya dia lebih termotivasi mendekati Ridwan, kalau dia dengar sendiri kalau Mbak setuju dan Ridwan juga tak keberatan.” Kata-kata tante Ani, membuatku tak jadi terlelap. Mata tetap ku tutup, tapi pendengaran ku pertajam.
“Ya, pokonya jangan bicara di sini. Nanti biar Siska ikut ke rumah juga,” jawab mama Anita.
“Ta— “
“Assalamu’alaikum.” Terdengar salam dari luar, pintu di dorong perlahan, wajah mas Ridwan menyembul, wajah yang tadinya cerah, langsung berubah masam ketika melihat siapa yang ada di dalam ruangan.
Mas Ridwan melangkah ke arahku, mengelus rambut dan mengecup kening, dia lalu duduk di kursi, samping ranjang tempat aku berbaring.
“Mas, kapan kita pulang?” tanyaku ketika suamiku baru saja menempelkan bokong ke kursi.
“Kamu sudah bisa bangun?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Tunggu suster datang dulu, setelah itu kita siap-siap pulang.”
Tak berselang lama, suster yang kami tunggu akhirnya datang juga, dia membawa kwitansi pembayaran, dan beberapa macam obat. Setelah menjelaskan cara minumnya, suster itu pamit keluar kamar.
“Ma, ayo kita pulang,” ajak mas Ridwan setelah semua barang selesai di bawa ke mobil.
Mama yang sedang asyik bercerita perlahan bangkit.
“Wan, Siska ikut di mobil kalian yah! Tante sama mama kamu mau singgah sebentar di swalayan,” ucap tante Ani yang ikut bangkit bersama mama.
“Ngapain Siska ikut kami?” tanya mas Ridwan, wajahnya di tekuk delapan, ketika berbicara dengan tante Ani.
“Wan, dia mau ke rumah, tapi kasian kalau dia ikut kita ke swalayan, tau kan kalau emak-emak belanja, lama dan rempong, takutnya dia bete nunggu,” jelas tante Ani.
“Mau ngapain dia ke rumah?” tanya mas Ridwan lagi.
“Mau main, Mas!” jawab Siska memotong cepat.
“Di rumahku tak ada tempat mainan.” Jawaban mas Ridwan membuat Siska terdiam, aku menahan tawa sampai perutku sakit.
Mas Ridwan mengangkatku dari tempat tidur dan menggendonku, menurunkan badanku yang sedikit berisi ini ke kursi roda, kemudian mendorong ku meninggalkan kamar perawatan.
Sepanjang koridor, mas Ridwan tak berhenti membuatku tertawa dengan leluconnya. Mereka bertiga mengikuti dari belakang.
Sampai di parkiran, aku kembali di gendong masuk ke dalam mobil.
“Kamu ngapain?”
“Kamu ngapain?”Mas Ridwan menegur Siska yang tiba-tiba saja masuk ke mobil kami.“Uhuk... uhuk,” aku terbatuk karena menahan tawa.“A— nu, mama kamu nyuruh aku ikut di mobil kalian,” ucapnya dengan wajah tertekuk.“Ngapain ikut kami?” tanya mas Ridwan lagi.“Kan aku mau ke rumah kalian!”“Ngapain ke rumahku?” tanya mas Ridwan, dia tak memberi jeda untuk wanita itu berfikir.Karena tak mendapatkan jawaban, mas Ridwan mendekat ke pintu yang dekat dengan Siska, dia lalu membukanya.“Silahkan turun, atau mau aku seret!” tegas mas Ridwan.Dengan terpaksa Siska turun dari mobil, aku masih menutup mulut, tawa sudah menggelitik tenggorokan.Bum!!!Pintu mobil di banting dengan kencang, Siska nampak berlari mengejar mobil mama yang baru saja memutar haluan.“Huahahaha,” tawaku pecah, aku memegang perut yang
Prang!Mas Ridwan melempar botol parfum yang kebetulan ada di nakas samping pintu, kami semua melihat ke arahnya, aku begidik ngeri, melihat mata suamiku menatap nyalang ke arah tantenya.“Keluar kamu dari rumahku!” usir mas Ridwan.Aku menutup mulut, selama sepuluh tahun menikah, baru kali ini ku dengar mas Ridwan memanggil keluarganya dengan bsebutan KAMU, biasanya dia sangat sopan kepada orang lain.Aku berusaha bangkit dari posisi tidur, ingin menenangkan dia, namun kondisiku tak memungkinkan, perutku rasanya di sayat jika aku banyak bergerak.Tante Ani masih terpaku di tempatnya, dia berkacak pinggang seolah menantang mas Ridwan.“Wan, sadar kamu, Istrimu itu sudah memberimu minum darah h*id, jadi kamu menurut seperti ini,” ucap tante Ani.Mama Anita hanya menutup mulut, tak menyangka sepupunya akan berkata seperti itu.
“Kamu tidak perlu membayar uang yang tadi asal kamu mau mengabulkan permintaanku,” ucapku cepat.“A— pa, itu Bu?!” tanyanya ragu.“Kamu harus menikah dengan suamiku!”Mata gadis itu membulat, dia menutup mulut dengan kedua tangan, aku melipat tangan depan dada. Menunggu sampai rasa terkejutnya hilang, wajar jika dia syok mendengar perkataanku barusan.Wanita mana yang tak kaget jika di datangi seorang perempuan, lalu memintanya menjadi istri dari suaminya, tentu banyak yang menolak.“Bagaimana?” tanyaku akhirnya, gadis itu masih menunduk, tak berani menatap ke arahku, dari tangannya yang memilin ujung kemejanya, bisa ku pastikan dia sedang gelisah atau takut.“Tidak usah takut, aku bukan orang jahat,” lanjutku ketika sekian lama aku menunggu tapi dia tak menjawab.“Ke— napa, Ibu mau, saya menikah dengan suami Ibu?” tanyanya kemudian.“Aku
Baru saja kulipat mukenah yang kupakai shalat, tatkala terdengar ketukan di pintu depan. Ku lirik jam butut yang menggantung di dinding. Jam satu dini hari, kembali terdengar ketukan, kali ini suara perempuan sedang memberi salam.Aku melangkah cepat membuka pintu, takutnya tetangga ada yang butuh bantuan.Ceklek!Anak kunci ku putar dan membuka pintu, aku terkejut melihat orang yang baru saja datang. Hatiku sedikit takut, jangan sampai dia akan meminta uangnya sekarang.“Boleh saya masuk?” tanya wanita itu dengan sopan.Aku mengangguk lalu bergeser memberi jalan kepadanya. Setelah dia masuk dan duduk di kursi plastik, aku lalu berkata.“Aku belum punya uangnya, bukankah saya meminta Anda untuk kembali besok?” tanyaku langsung, tak ingin berbasa-basi.“Aku ke sini buk
“Kamu dari mana?” pertanyaan mas Ridwan mengagetkanku, ku lihat dia sudah suduk di tepi tempat tidur dengan wajah datar yang tak bisa ku artikan.“Dari rumah teman!” ucapku biasa saja. Aku melangkah masuk, meraih handuk yang tersampir di samping dinding lemari, bermaksud mandi dan beristirahat. Karena semalam suntuk tak tidur.“Apakah harus sampai bermalam? Istri macam apa yang keluar tanpa minta izin kepada suaminya?” tanya mas Ridwan bertubi-tubi.Baiklah, sepertinya dia ingin menguji kesabaranku saat ini, apa dia tak tau kalau semalaman aku menunggunya pulang dari makan malam, bersama calon istri barunya.“Aku sudah menelpon tapi hape kamu mati!” jawabku masih dengan nada sesantai mungkin.“Siapa bilang? Sepanjang malam hapeku aktif dan tak satu kalipun kamu menelpon!” ucapnya dengan tatapan yang masih sulit ku artikan.Keningku terangkat mendengar perkataan mas Ridwan, rasanya a
"Auww!" Entah bagaimana, mas Ridwan telah menarikku kedalam rengkuhannya, membawaku ke peraduan kami, meneguk surga dunia bersama.Dua jam berlalu, aku telah membersihkan diri, begitupun dengan mas Ridwan. Kini aku sedang berbaring di dalam pelukan lelaki halalku, dia mengelus rambut yang masih setengah basah."Mas, menikahlah!" uckapku langsung, tak ada kalimat pembuka, togh intinya juga ke arah itu."Kamu ngomong apa sih!" ucap mas Ridwan, dia menjauhkan kepalaku dari dirinya, kemudian bangkit dan duduk di tepi ranjang yang masih berantakan."Saya serius, menikahlah agar mama senang!" ulangku, tangan membingkai wajah teduh mas Ridwan. Lelakiku menatap tak percaya, wajahnya yang tadinya ramah, kini terlihat dingin."Tidurlah, nanti kita bicarakan lagi," ucapnya, dia melepaskan tanganku dari wajahnya."Tidak! Keputusannya harus malam ini!" tolakku, tanganku kini memegang tangannya, ku pandang mas Ridwan de
Tiba-tiba saja mama menamparku, tangan yang ku ulurkan, beralih memegang pipi yang terasa panas bekas tangan mama.Ku alihkan pandangan pada mas Ridwan, lelakiku itu hanya tertunduk, tak ada raut kaget atau marah seperti biasanya."Ma ... .""Apa? Kamu mau tanya kenapa mama tampar kamu? Mama kecewa sama kamu, apa maksud kamu jalan sama laki-laki lain? Kamu mau balas Ridwan, karena dia bakal nikah lagi?" tanya Mama berturut-turut.Aku menelan ludah, mendengar pertanyaan wanita yang aku hormati itu, sepertinya dia salah paham, tapi kenapa ada tuduhan aku jalan dengan lelaki lain? Sepertinya ada yang sedang mencari muka kepada Mama, aku tidak boleh biarkan ini terjadi."Apa Siska yang kasih tau Mama?" tanyaku datar, mataku menatap wajah mertuaku."Kamu tidak perlu tau siapa yang menyampaikan info itu, yang harus kamu tau kalau semua kebusukan mu sudah Mama tau, jadi jangan berharap Mama akan bersikap se
"Jangan keras-keras, nanti mama dengar!" larangnya lagi. Bukannya menuruti kemauan mas Ridwan, aku malah semakin ingin meninggikan suara, kalau perlu berteriak, sampai mama tau kalau aku sedang tak baik-baik saja."Memangnya kenapa? Apa yang harus kita sembunyikan dari mama kamu? Bukannya dia akan senang jika kita ribut?" tanyaku bertubi-tubi. Rasa hormat yang selama ini ku tunjukkan kepada suamiku sekarang tak lagi ada."Ma, dengar penjelasanku dulu!" Mas Ridwan memegang tanganku."Lepaskan, aku tak sudi di sentuh kamu! Ceraikan aku sekarang!""Rahma! Jaga omongan kamu, perkataan itu doa, sampai detik ini aku tidak pernah berniat menceraikanmu dan jangan berharap aku akan memikirkannya!" teriak mas Ridwan, kali ini terlihat wajahnya memerah karena marah.Aku membuang pandangan, malas melihat wajah lelakiku, setelah kemarin dia hanya diam saja, sekarang dia malah ingin berbicara baik-baik."Duduklah, banya
Seminggu berlalu, Ridwan dan Alana sedang duduk di tempat tidur, hari ini adalah hari kepulangan mereka.Terlihat jelas raut gelisah di wajah keduanya. "Apa kamu tidak apa-apa, kalau sebentar aku kembali ke rumah bersama Rahma?" tanya Ridwan. Dia terlihat ragu menyampaikan hal tersebut, setelah seminggu kebersamaan mereka.Ridwan tidak bisa berbohong, kalau selama seminggu bersama Alana, dia jarang memikirkan Rahma, Alana sangat pintar memanjakan dan mensrik perhatiannya."Ya enggaklah, Mas. Mbak Rahma kan istri mu juga, masa aku marah," ucap Alana santai. Walaupun di dalam hatinya ada rasa tidak tega berpisah dengan Ridwan. Tapi, dia sangat tahu diri, kalau apa yang telah dia dapatkan selama ini karena belas kasihan Rahma yang mau berbagi suami dengannya."Nanti aku akan bicarakan kepada Rahma untuk jadwal kalian berdua, tapi kalau kamu punya hari yang kamu inginkan, akan aku beritahu dia," ucap Ridwan lagi."Untuk sekarang, aku ikut keputusan Mbak Rahma aja. Tapi, aku tidak yakin ka
POV. Ridwan"Maaf, aku malu," jawabnya singkat.Aku menghembuskan napas kasar, tidak mengerti jalan pikiran gadis yang sudah menjadi istri keduaku ini, bagaimana mungkin dia menahan lapar sehari semalam hanya karena malu. "Rahma, dimana kamu bertemu wanita seperti ini!" protesku dalam hati.Selesai makan, kami meninggalkan hotel, tujuan utamanya adalah berbelanja, tapi karena hotel tempat kami menginap jauh dari pusat kota, akhirnya kami harus menempuh perjalanan dua jam untuk ke toko pakaian.Alana sempat menolak, dia bahkan tak keberatan jika harus memakai mukenah saja jika di kamar. Tentunya aku menolak, selain karena mukenah bukan pakaian, aku juga ragu, apakah nantinya mukenah tersebut akan tetap suci jika di pakai seharian, padahal mukenah di pakai untuk shalat.Sampai do kota, hari sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk shalat Maghrib terlebih dahulu, baru mencari makan malam, karena perjalanan yang cukup jauh membuat aku cepat lapar.Sepanjang perjalanan, sampai kami makan m
POV. RidwanKudekati dia, lalu mengecek kondisi nadinya, sangat lemah, mau tak mau ku angkat gadis itu ke tempat tidur, aku kembali ke kamar ku, mengambil minyak angiy yang selalu di sediakan Rahma di dalam tas, ku oleskan di hidung dan dahi Alana.Wajahku pucat, jantungku berdetak begitu kencang, aku takut dia kenapa-kenapa dan Rahma menyalahkan aku.Tak berapa lama, ku lihat dia mulai membuka mata, segera ku raih botol mineral di atas meja di samping televisi."Minum," perintahku, botol air mineral ku dorong ke depan wajahnya.Dia bergeming, bahkan menatapku saja tidak. "Minum!" ulangku dengan suara keras. Aku paling tidak suka dengan perempuan yang keras kepala, aku suka wanita yang penurut seperti Rahma.Dia masih terdiam, namun air mata mulai menetes di matanya yang sayu."Hey, kenapa kamu menangis? Aku hanya menyuruh mu minum!" seruku.Dia mengalihkan pandangannya ke arahku. "Kalau tidak ingin bertanggungjawab, kenapa harus menikahi ku?" tanyanya.Aku terdiam, melihat sorot mat
POV. Ridwan."Kamu sudah makan?" tanyaku pada gadis yang sekarang duduk di samping, sedari tadi hening, sejak meninggalkan kantor KUA wanita yang baru saja ku nikahi hanya diam.Aku berusaha mencairkan suasana, walaupun kata Rahma aku orangnya cuek, tapi rasanya tidak nyaman kalau seperti ini."Sudah," ucap Alana singkat.Aku hanya mengangguk, rencana awal ingin mengajaknya makan ternyata tidak bisa terealisasi. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, jarak hotel dan kantor KUA cukup jauh, karena hotel tersebut berada di pinggir kota.Setelah menempuh perjalanan dua jam dalam keheningan, akhirnya kami sampai di sebuah bangunan yang cukup megah, warna putih dengan pilar besar menjadi daya tarik tersendiri, apalagi bangunan tersebut berada di pinggir kota, di mana masih jarang bangunan besar dan bagus.Mobil ku parkir, setelah kami sampai di tempat parkir yang berada di belakang gedung."Ayo," ajakku kepada Alana, dia hanya mengangguk, lalu terlihat memperbaiki jilbab dan merapikan bajuny
Siska terbangun ketika mendengar suaraku yang meneriakinya. Namun, bukannya kaget atau merasa bersalah, dia malah tersenyum."Ngapain kamu di sini?" tanyaku lagi."Aku istirahat di sini, memangnya kenapa?" tanya Siska."Kamu nggak punya malu yah? Ini tuh, tempat tidur aku, kamu nggak punya hak masuk dan tidur di kamar aku seenaknya!" seruku. Bahkan tanganku sudah siap terangkat untuk menunjuk-nunjuk wajahnya."Hahahaha, sekarang ini masih kamarmu, tapi sebentar lagi akan jadi kamarku," jawab Siska, bukannya berdiri, di malah kembali merebahkan diri, bahkan berguling di atas kasurku, dia pun seolah menampilkan pose yang memikat. Tapi, rasanya aku ingin muntah."Tidak masalah, kalau nanti kamar ini akan jadi kamarmu, tapi bukan sekarang. Jadi, aku mau kamu pergi dari sini!" Aku meraih kakinya satu, lalu menariknya dengan sekuat tenaga, hingga dia ikut terseret dan jatuh kelantai.BughSuara badannya terjatuh, persis seperti pohon kelapa yang tumbang."Hey, berani yah kamu, awas saja kal
Selama di perjalanan, Mas Ridwan tak melepas tanganku, dia berkali-kali meremas telapak tanganku. Aku hanya diam, pandangan ku menatap lurus ke depan, aku tidak mau menengok ke arah suamiku yang terlihat gagah itu.Mas Ridwan pun tak berkomentar apa-apa, hanya dering telpon yang terdengar selama perjalanan kami. Mama tak berhenti menelpon mas Ridwan.Satu jam kemudian, kami sudah sampai di kantor KUA, tempat suamiku dan Alana akan menikah.Mas Ridwan memarkir mobilnya, sebelum turun dia membawa tanganku yang dia genggaman ke dadanya, terdengar suara jantungnya yang berdetak lebih cepat."Aku masih berharap kamu berubah pikiran," ucapnya.Aku menunduk, rasanya detik itu juga aku ingin mengangguk dan berkata, aku tidak sanggup untuk di duakan. Tapi, ingatanku kembali lagi ke rumah, terbayang wajah mertuaku, sepupunya dan Siska, wanita yang sangat menginginkan mas Ridwan."Aku ikhlas," hanya itu yang bisa ku ucapkan.Mas Ridwan menarik tubuhku, lalu membawaku kedalam pelukannya, kami sal
"Jangan keras-keras, nanti mama dengar!" larangnya lagi. Bukannya menuruti kemauan mas Ridwan, aku malah semakin ingin meninggikan suara, kalau perlu berteriak, sampai mama tau kalau aku sedang tak baik-baik saja."Memangnya kenapa? Apa yang harus kita sembunyikan dari mama kamu? Bukannya dia akan senang jika kita ribut?" tanyaku bertubi-tubi. Rasa hormat yang selama ini ku tunjukkan kepada suamiku sekarang tak lagi ada."Ma, dengar penjelasanku dulu!" Mas Ridwan memegang tanganku."Lepaskan, aku tak sudi di sentuh kamu! Ceraikan aku sekarang!""Rahma! Jaga omongan kamu, perkataan itu doa, sampai detik ini aku tidak pernah berniat menceraikanmu dan jangan berharap aku akan memikirkannya!" teriak mas Ridwan, kali ini terlihat wajahnya memerah karena marah.Aku membuang pandangan, malas melihat wajah lelakiku, setelah kemarin dia hanya diam saja, sekarang dia malah ingin berbicara baik-baik."Duduklah, banya
Tiba-tiba saja mama menamparku, tangan yang ku ulurkan, beralih memegang pipi yang terasa panas bekas tangan mama.Ku alihkan pandangan pada mas Ridwan, lelakiku itu hanya tertunduk, tak ada raut kaget atau marah seperti biasanya."Ma ... .""Apa? Kamu mau tanya kenapa mama tampar kamu? Mama kecewa sama kamu, apa maksud kamu jalan sama laki-laki lain? Kamu mau balas Ridwan, karena dia bakal nikah lagi?" tanya Mama berturut-turut.Aku menelan ludah, mendengar pertanyaan wanita yang aku hormati itu, sepertinya dia salah paham, tapi kenapa ada tuduhan aku jalan dengan lelaki lain? Sepertinya ada yang sedang mencari muka kepada Mama, aku tidak boleh biarkan ini terjadi."Apa Siska yang kasih tau Mama?" tanyaku datar, mataku menatap wajah mertuaku."Kamu tidak perlu tau siapa yang menyampaikan info itu, yang harus kamu tau kalau semua kebusukan mu sudah Mama tau, jadi jangan berharap Mama akan bersikap se
"Auww!" Entah bagaimana, mas Ridwan telah menarikku kedalam rengkuhannya, membawaku ke peraduan kami, meneguk surga dunia bersama.Dua jam berlalu, aku telah membersihkan diri, begitupun dengan mas Ridwan. Kini aku sedang berbaring di dalam pelukan lelaki halalku, dia mengelus rambut yang masih setengah basah."Mas, menikahlah!" uckapku langsung, tak ada kalimat pembuka, togh intinya juga ke arah itu."Kamu ngomong apa sih!" ucap mas Ridwan, dia menjauhkan kepalaku dari dirinya, kemudian bangkit dan duduk di tepi ranjang yang masih berantakan."Saya serius, menikahlah agar mama senang!" ulangku, tangan membingkai wajah teduh mas Ridwan. Lelakiku menatap tak percaya, wajahnya yang tadinya ramah, kini terlihat dingin."Tidurlah, nanti kita bicarakan lagi," ucapnya, dia melepaskan tanganku dari wajahnya."Tidak! Keputusannya harus malam ini!" tolakku, tanganku kini memegang tangannya, ku pandang mas Ridwan de