"Mereka bicara apa?" tanya Arunika dengan suara bergetar. "Aku juga tidak begitu jelas mendengarnya, Kak. Yang kutangkap hanyalah sesuatu tentang menyerahkan sertifikat rumah sebagai salah satu cara untuk membayar utang Pak Abhimanyu terhadap Delia," jelas Evelyn. "Utang?" Arunika menggeleng tak mengerti. "Iya, Pak Abhimanyu tidak ingin menerima bantuan keuangan dari Delia dengan begitu saja. Dia berniat mengembalikan semua bantuan keuangan yang telah diberikan oleh Delia secara bertahap. Langkah pertamanya adalah dengan memberikan sertifikat rumah sebagai jaminan," papar Evelyn panjang lebar. "Oh, jadi benar apa yang dia jelaskan padaku dulu," gumam Arunika. "Sepertinya Pak Abhimanyu memiliki harga diri yang tinggi. Dia tidak ingin dibantu secara cuma-cuma. Dengan begitu, dia tidak perlu merasa berutang budi," ujar Evelyn. "Tetap saja aku marah, Mbak. Dia tidak mau membagi masalahnya denganku," ucap Arunika pelan. "Kak ...." Evelyn tersenyum lembut. "Jujur, awalnya aku
Tepat pukul lima pagi, Arunika terbangun. Dia spontan menoleh ke samping dan bernapas lega saat mendapati Abhimanyu masih terlelap dalam posisi tengkurap. Arunika terkikik geli. Diusapnya punggung lebar yang lengket oleh keringat itu. "Mas, sudah pagi. Mas tidak berangkat ke kantor?" tanya Arunika lembut. "Hm," gumam Abhimanyu sambil susah payah membuka kelopak matanya. "Arun? Jam berapa sekarang?" "Jam lima," jawab Arunika seraya membelai pipi sang suami. "Ah, aku tidak ada acara ke manapun. Jadwal hari ini adalah mengobati rindu bersama kamu." Tanpa aba-aba, Abhimanyu menarik tubuh Arunika mendekat, lalu memeluknya erat. "Tidur lagi, yuk," ajak Abhimanyu. Tentu saja Arunika menyambut ajakan suaminya dengan senang hati. Dia tak tahu bahwa di luar sana, Delia tengah merencanakan sesuatu. Istri kedua Abhimanyu itu keluar dari rumah secara terburu-buru. Dia sempat berpapasan dengan Masayu di ruang tengah dan menyunggingkan senyum sekilas. "Mau ke mana subuh-subuh begini,
"Bapak Ranu Wijaya adalah majikan saya dulu," ujar Evelyn, membuat Delia terbelalak. "Ra-Ranu?" Delia tergagap. "Dia adalah mendiang suamiku." "Betul sekali." Evelyn tersenyum lebar. Namun, bagi Delia, senyum itu tampak menakutkan. "Ta-tapi, aku tidak pernah melihatmu di rumah. Kamu bekerja sebagai apa? Asisten rumah tangga, atau ...." "Saya bekerja di rumah utama, sedangkan Bapak Ranu menempatkan Anda di villa," terang Evelyn, memotong kalimat Delia begitu saja. "Oh, pantas saja. Kita tidak pernah bertemu," gumam Delia seraya mundur beberapa langkah, menjauh dari Evelyn. "Lalu, pesan dari siapa yang ingin kamu sampaikan?" "Oh, itu." Evelyn kembali tersenyum. "Kemarin waktu Nyonya Besar menyuruh saya ke pasar, tanpa sengaja saya bertemu dengan anak angkat Pak Ranu. Namanya Rimba. Anda masih ingat, kan?" "Rimba?" ulang Delia. "Iya, Rimba. Pemuda yang Anda usir beberapa hari setelah berpulangnya Pak Ranu," terang Evelyn. "Jadi ... dia sekarang ada di Jakarta?" desis D
Abhimanyu dan Arunika benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk bercumbu dan bercengkerama. Sedari pagi hingga menjelang siang, pasangan suami istri itu sama sekali tak turun dari ranjang. Arunika pun merasa sia-sia mandi, karena saat ini dia kembali berkeringat dan dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Arunika dan Abhimanyu berbaring berhadapan. Tubuh keduanya hanya ditutupi selimut. Beberapa saat lamanya mereka tak saling bicara, hanya saling tatap dengan sorot penuh cinta, sampai akhirnya Abhimanyu membuka suara terlebih dulu. "Waktunya makan siang, Run," bisik Abhimanyu lembut. "Aku lelah, Mas," sahut Arunika manja. "Kutelepon Ijah, ya. Biar dia yang membawa makan siang kemari," cetus Abhimanyu. "Ehm, aku ingin makan siang di luar," pinta Arunika. "Boleh! Mau makan siang di mana," tawar Abhimanyu. "Di mana saja. Terserah Mas Abhim. Jangan yang terlalu mahal, Mas. Ingat, kita harus irit sampai utang-utang kita pada Delia terbayar lunas," tutur Arunika. "Iya,
Abhimanyu baru keluar dari kamar Arunika saat waktu sudah menjelang petang. Itupun hanya untuk mengambil laptop di kamar Delia. Nahas, saat dirinya hendak keluar, saat itu pula pegangan pintu kamar diputar dari luar.Abhimanyu mendadak tegang. Apalagi saat melihat Delia muncul di hadapannya. Wanita berambut lurus sebahu itu awalnya tampak kusut. Dia langsung berubah ceria ketika menyadari bahwa Abhimanyu tengah berada di dalam kamarnya. "Bhim? Kamu di sini?" seru Delia. "Sedang menungguku pulang, ya?" terkanya.Abhimanyu menanggapinya dengan senyuman kecut. "Aku mau mengambil laptop. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan pada Arun," jawab Abhimanyu seraya mengangkat tas laptop."Oh, jadi kamu mau kembali ke kamar Kak Arun?" tanya Delia sinis."Apakah salah? Bukankah sudah berhari-hari kita bersama? Seharusnya sekarang giliran Arun," tegas Abhimanyu.Delia kebingungan menimpali. Raut wajahnya tegang, memikirkan kata-kata yang akan dia rangkai untuk mencegah Abhimanyu pergi. Namun, dia tak
"Maaf, Kak Arun. Bukannya saya bermaksud menggurui, tapi segala sesuatu memang ada risikonya. Kita berharap saja supaya reaksi Pak Abhimanyu tidak mengecewakan," tutur Evelyn hati-hati. "Aku percaya pada Mas Abhim. Kuharap dia bisa menemukan jalan keluar," gumam Arunika lirih. "Delia tidak tahu jika Rimba telah membangun kekayaannya sendiri. Dia tetap bisa hidup meskipun tanpa warisan Kakek Ranu. Berdasarkan informasi yang kuterima, Rimba menempuh jalur hukum dan segera membawa masalah ini ke pengadilan. Kemungkinan dalam beberapa hari ini," papar Evelyn panjang lebar. "Ah, jadi itu artinya Mas Abhim juga ...." "Kita tidak tahu pasti kelanjutan kasus ini, Kak. Kita juga tidak bisa menduga-duga," tutur Evelyn, menyela kata-kata Arunika begitu saja. "Aku serahkan saja semuanya pada Tuhan. Apapun yang terjadi, semoga aku selalu diberi kekuatan untuk menghadapi segala hal ke depannya. Aku akan berusaha untuk tidak berpikir terlalu berat, supaya sakit kepala dan vertigoku tidak kambuh,
"Kita mengalami masalah yang sama. Dari semalam kita sudah berdiskusi tentang segala hal. Ke kantor pengacara juga bersama. Begitu juga saat bertemu dengan Rimba dan pihak kepolisian!" papar Abhimanyu panjang lebar. "Dan sekarang aku ingin menenangkan pikiranku bersama Arunika. Hanya dia yang bisa menghilangkan kegelisahanku!" lanjut Abhimanyu, yang seketika membuat Delia terdiam. Kesedihan dan rasa kecewa, terpancar jelas di wajah wanita yang sudah dua kali menikah itu. Lain halnya dengan Arunika yang tersenyum lebar di balik pintu kamar. Tak sabar ingin menemui suaminya, Arunika langsung membuka pintu lebar-lebar dan menghambur ke pelukan Abhimanyu. "Mas, aku kangen," bisiknya dengan nada dibuat-buat, untuk membuat marah Delia. Istri kedua Abhimanyu itu tak bisa lagi mengendalikan diri. Dia menghentakkan kaki seperti anak kecil yang tak mendapat jatah permen. Delia pun berbalik menuju kamarnya sendiri. Melihat hal itu, Abhimanyu hanya menggelengkan kepala pelan. "Aku ti
"Siapa kamu?" Delia menatap Wildan curiga. Kembali dia mengamati pria tampan itu lekat-lekat. Kulit Wildan tampak bersih dan terawat. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, menyisakan beberapa helai yang menghiasi dahi. Alis tebal, sekilas mirip dengan Abhimanyu. Iris mata gelapnya terlihat begitu teduh. Hidung mancung Wildan, menjadi daya tarik tersendiri. Terlebih lesung pipi yang muncul saat dia tersenyum atau tertawa. Perhatian Delia kemudian berpindah pada cincin permata Blue Sapphire yang tersemat di jari kelingking Wildan. Sudah jelas bahwa pria itu bukanlah orang biasa. "Kata Said, kamu anggota VIP juga di tempat ini. Apa betul?" selidik Delia. "Said?" Wildan mengangkat satu alisnya. "Satpam klub yang berjaga di depan," jelas Delia. "Oh, jadi dia bernama Said? Aku hanya mengenal wajah, tanpa tahu nama," tutur Wildan. Delia semakin tertarik dengan pria asing itu. Pembawaannya ramah dan menyenangkan. Berbeda jauh dengan sikap Abhimanyu kepadanya. "Kita cari