“Tidak, bukan seperti itu maksudku.”“Kamu juga ingin aku merawat anak itu? Kamu pikir hatiku ini batu hah?”Apa yang dipikirkannya itu? Sungguh tidak masuk akal. meski bayinya memang tidak bersalah tapi aku tidak akan pernah mau merawat bayi itu. Ibunya masih ada, kenapa harus aku yang merawatnya.Dia pikir hal ini akan membuatku luluh? Aku bahkan semakin marah.“Siapa tahu dengan mengasuh bayi bisa memancing agar dirimu bisa cepat hamil. Maaf kalau aku membuatmu tersinggung.”Sebelah sudut bibiku terangkat, “Tidak perlu.” Kusodorkan kertas yang berada di atas nakas.Setelah melakukan pemeriksaan sebelum ke kantor tadi, aku tahu alasan tubuhku belakangan ini begitu lemas. Bukan hanya karena masalah dengan Mas Hasbi tapi karena memang kondisiku. Mungkin jika ketahuan lebih awal Mas Hasbi tidak akan membawa wanita itu dan aku akan semakin lama dibohonginya.“Ka-kamu ha-mil, sayang.” Wajahnya terlihat syok, detik berikutnya dia menarikku ke dalam pelukannya.Entah harus bahagia atau tid
Aku menggigit bibir menahan tawa melihat wajah ketakutan Mas Hasbi, dia pasti tahu jika ucapan ayah tidak pernah main-main. Ayah selalu bersikap tegas, dulu saja Mas Hasbi tidak mudah mendapatkan restu ayah dan sekarang dia memperlakukanku seperti ini.“Mana mungkin, mana mungkin aku berani menyakiti Ambar. Aku akan menjaganya, Yah.”“Ayah percaya padamu. Sebentar lagi statusmu akan bertambah.”“Sudah, Yah. Ayah datang-datang langsung menceramahi Mas Hasbi. Ayo duduk dulu, aku buatkan minum.”“Biar aku saja yang buatkan, sayang. Ayah mau teh atau kopi?” Mas Hasbi begitu sigap.Lihat saja, sejauh apa aku membalasmu, Mas. Aku bukan orang penyabar yang menunggumu mendapatkan balasan atas kesalahan yang telah kau perbuat. Tidak ada larangan membalas perbuatanmu itu, sah sah saja. Tapi memang lebih baik membalas kejahatan dengan kebaikan namun sayang hatiku sepertinya tidak selapang itu.“Teh saja, tidak usah pakai gula.”Ayah tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat Mas Hasbi yang su
[Aku tidak membelikan apapun untuk Ambar!]Akhirnya pesan balasan dari Mas Hasbi muncul juga. Sudah pasti akan ada adu mulut diantara mereka jika saja salah satu tidak ada yang mengalah.[Tidak apanya. Jelas-jelas dia memamerkan gelangnya itu, dia bilang itu pemberian darimu.] -Nafisha.[Aku tidak membelikannya, paling dia beli sendiri. Sudahlah jangan meributkan hal seperti ini, kalau mau ya tinggal beli.] -Mas Hasbi.[Kirim uangnya, uang yang kemarin kamu kirim sudah habis.] -Nafisha.[Habis? Kamu menggunakannya untuk apa? Seharusnya cukup untuk satu bulan, jangan terlalu boros.Aku sudah keluar banyak uang untuk rumah itu.] -Mas Hasbi.Apa jangan-jangan uang tabungan kami yang dipakainya untuk membelikan rumah wanita itu. Aku tidak akan ikhlas.Aku yang menemani Mas Hasbi dari bawah dan dia yang menikmati hasil kerja keras suamiku? Enak saja.Soal barang-barang yang sudah kuberikan pada ibu mertua dan juga saudara Mas Hasbi yang lain tak akan kuambil kembali karena memang pantang ba
Tidak habis pikir dengan apa yang dilakukannya, kenapa aku harus dipertemukan dengan manusia sampah macam dia. Tapi fakta tak bisa kupungkiri, lelaki itu adalah ayah dari anakku.Kuhela nafas berkali-kali, memikirkan ini bisa membuat tekanan darah naik. Bagaimana pun sekarang kesehatanku lebih penting, jangan sampai kehamilan ini bermasalah gara-gara dia.Sekarang yang terpenting aku harus membuatnya percaya jika aku memang sudah menerimanya kembali, jika tidak seperti itu akan sulit bagiku merebut sertifikat rumahnya.[Sayang, pedangan rujak tidak jualan. Bagaimana?] Dia mengirimkan pesan disertai foto tempat biasa penjual rujak itu mangkal.Baru saja akan membalas pesannya, aku malah mendapat panggilan video dari Mas Hasbi.Layar ponsel penuh dengan wajahnya sebelum kamera beralih ke kamera belakang dan memperlihatkan dengan jelas lapak itu yang kosong.“Apa aku harus cari di tempat lain?” tanyanya.“Hm, cari yang dekat pasar kalau begitu.” Itu jelas lebih jauh tapi resikonya memang
Bab 13Menikahi Ambar bukan keinginanku, atas desakan Ibu dan juga Mbak Tyas aku melakukan ini. Bahkan aku harus rela meninggalkan Nafisha.Mendiang ayahku memiliki banyak hutang pada rentenir membuat keluargaku hidup serba kekurangan.Di tengah himpitan ekonomi ibu meminta agar aku mendekati Ambar, wanita yang sama sekali tidak kukenal sebelumnya. Ambar adalah anak semata wayang Pak Suseno, pemilik usaha properti yang cabangnya sudah ada dimana-mana.Awalnya aku menolak karena memiliki Nafisha, tapi tidak tega melihat kondisi keluargaku sendiri yang bisa dibilang sudah sangat memprihatinkan. Berpikir mungkin ini memang jalan yang terbaik, bukan tidak pernah mencoba mencari pinjaman ke tempat lain tapi siapa yang mau memberikan pinjaman tanpa ada jaminan, saat itu kami hanya tinggal di rumah kontrakan.Mendekati Ambar tidaklah mudah, dia bukan wanita yang luluh oleh sebuah rayuan. Aku sendiri bahkan kagum padanya karena tidak seperti wanita pada umumnya yang akan luluh oleh ketampanan.
POV Hasbi“Ya, keluargaku semua tahu soal ini. Aku … membelikannya rumah. Tapi aku akan mengambilnya kembali. Aku mengakui semua kesalahanku.”Tak berani menatapnya, aku menunduk. Pasrah dengan apa reaksi Ambar.Apa yang sudah kulakukan memang sangat keterlaluan. Dia pasti berpikir aku tidak tahu diri.Aku tersentak saat dia tiba-tiba kembali menggenggam tanganku, “Aku kecewa padamu dan juga pada keluargamu, Mas. Kuberikan waktu untukmu mengembalikan apa yang bukan hakmu. Aku tidak akan marah dan mengadukan ini pada ayah.”Kondisi ayah mertuaku memang terlihat baik tapi jika dia tahu hal seperti ini bisa saja kondisi kesehatannya langsung menurun.“Aku akan mengambilnya sekarang juga.”Ambar menahan tanganku, “Kamu sudah lelah dari tadi pulang pergi terus, Mas. Masih ada besok.”Senyumnya membuatku lega.Aku malu, sangat malu karena menyia-nyiakan wanita sebaik Ambar. Setelah ini aku tidak akan lagi berbuat hal yang macam-macam, tidak peduli dengan ancaman Nafisha. Jika memang dia ing
POV Hasbi“Ka-kamu ….”“Hari juga aku menjatuhkan talak padamu, kamu bukan istriku lagi.” Sekian lama menahan akhirnya bisa juga aku mengucapkan itu.“Mas.”“Maaf, Nafisha. Tapi selama ini aku sudah sabar, dari awal ini memang salah. Jangan khawatir soal anak, aku tidak akan lepas tanggung jawab. Tolong segera urus sertifikat itu, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Ambar jika tahu kamu menggadaikan sertifikat itu.”Nafisha menahan tanganku, “mas, aku tidak mau berpisah denganmu. Aku sudah mengorbankan segalanya untukmu.”Aku tersenyum sinis, “kau yang mau mengorbankan dirimu sendiri, bukan aku yang meminta.”Tidak peduli melihat Nafisha yang menangis sesegukan. Aku sudah sangat pusing, dia begitu menyusahkan. Tidak pernah sekalipun dia berubah. Jika bukan karena ancaman, dan juga anak aku mungkin dari dulu sudah meninggalkannya.Pulang ke rumah Ambar sudah menungguku, menyambut dengan senyum manis.“Mas mau dibuatkan minum apa?”Bukannya bertanya soal sertifikat dia malah menawark
POV Ambar“A-apa ini?”“Perlu aku bacakan?” Aku meraih kertas itu dari tangan Mas Hasbi, “ini surat cerai, kita akan berpisah! Apa masih kurang jelas, Mas?”Mas Hasbi menggeleng, “ti-tidak, aku tidak ingin kita berpisah. Bukankah kita sudah memulai semuanya dari awal, kamu sudah memaafkanku bukan?”"Ya, aku memang sudah memaafkanmu, Mas. Tapi bukan berarti aku mau menerimamu kembali. Awalnya memang aku pernah berpikir seperti itu namun saat aku akan melakukannya semakin banyak kebusukanmu yang terbongkar jadi aku tidak bisa mengambil keputusan lain selain berpisah.Aku juga lelah selalu dihubungi oleh istri mudamu itu, dia menelpon kadang memaki kadang juga mohon-mohon agar membujukmu untuk bisa rujuk dengannya.”Ya, Nafisha meang melakukan itu. Terlihat jelas jika dia tidak ingin berpisah dari Mas Hasbi, aku pun tidak ingin memperebutkan lelaki seperti Mas Hasbi. Dia sudah pernah berkhianat sekali dan masih ada kemungkinan dia melakukan hal yang sama kedepannya dan aku tidak mau samp
POV Ambar“A-apa ini?”“Perlu aku bacakan?” Aku meraih kertas itu dari tangan Mas Hasbi, “ini surat cerai, kita akan berpisah! Apa masih kurang jelas, Mas?”Mas Hasbi menggeleng, “ti-tidak, aku tidak ingin kita berpisah. Bukankah kita sudah memulai semuanya dari awal, kamu sudah memaafkanku bukan?”"Ya, aku memang sudah memaafkanmu, Mas. Tapi bukan berarti aku mau menerimamu kembali. Awalnya memang aku pernah berpikir seperti itu namun saat aku akan melakukannya semakin banyak kebusukanmu yang terbongkar jadi aku tidak bisa mengambil keputusan lain selain berpisah.Aku juga lelah selalu dihubungi oleh istri mudamu itu, dia menelpon kadang memaki kadang juga mohon-mohon agar membujukmu untuk bisa rujuk dengannya.”Ya, Nafisha meang melakukan itu. Terlihat jelas jika dia tidak ingin berpisah dari Mas Hasbi, aku pun tidak ingin memperebutkan lelaki seperti Mas Hasbi. Dia sudah pernah berkhianat sekali dan masih ada kemungkinan dia melakukan hal yang sama kedepannya dan aku tidak mau samp
POV Hasbi“Ka-kamu ….”“Hari juga aku menjatuhkan talak padamu, kamu bukan istriku lagi.” Sekian lama menahan akhirnya bisa juga aku mengucapkan itu.“Mas.”“Maaf, Nafisha. Tapi selama ini aku sudah sabar, dari awal ini memang salah. Jangan khawatir soal anak, aku tidak akan lepas tanggung jawab. Tolong segera urus sertifikat itu, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Ambar jika tahu kamu menggadaikan sertifikat itu.”Nafisha menahan tanganku, “mas, aku tidak mau berpisah denganmu. Aku sudah mengorbankan segalanya untukmu.”Aku tersenyum sinis, “kau yang mau mengorbankan dirimu sendiri, bukan aku yang meminta.”Tidak peduli melihat Nafisha yang menangis sesegukan. Aku sudah sangat pusing, dia begitu menyusahkan. Tidak pernah sekalipun dia berubah. Jika bukan karena ancaman, dan juga anak aku mungkin dari dulu sudah meninggalkannya.Pulang ke rumah Ambar sudah menungguku, menyambut dengan senyum manis.“Mas mau dibuatkan minum apa?”Bukannya bertanya soal sertifikat dia malah menawark
POV Hasbi“Ya, keluargaku semua tahu soal ini. Aku … membelikannya rumah. Tapi aku akan mengambilnya kembali. Aku mengakui semua kesalahanku.”Tak berani menatapnya, aku menunduk. Pasrah dengan apa reaksi Ambar.Apa yang sudah kulakukan memang sangat keterlaluan. Dia pasti berpikir aku tidak tahu diri.Aku tersentak saat dia tiba-tiba kembali menggenggam tanganku, “Aku kecewa padamu dan juga pada keluargamu, Mas. Kuberikan waktu untukmu mengembalikan apa yang bukan hakmu. Aku tidak akan marah dan mengadukan ini pada ayah.”Kondisi ayah mertuaku memang terlihat baik tapi jika dia tahu hal seperti ini bisa saja kondisi kesehatannya langsung menurun.“Aku akan mengambilnya sekarang juga.”Ambar menahan tanganku, “Kamu sudah lelah dari tadi pulang pergi terus, Mas. Masih ada besok.”Senyumnya membuatku lega.Aku malu, sangat malu karena menyia-nyiakan wanita sebaik Ambar. Setelah ini aku tidak akan lagi berbuat hal yang macam-macam, tidak peduli dengan ancaman Nafisha. Jika memang dia ing
Bab 13Menikahi Ambar bukan keinginanku, atas desakan Ibu dan juga Mbak Tyas aku melakukan ini. Bahkan aku harus rela meninggalkan Nafisha.Mendiang ayahku memiliki banyak hutang pada rentenir membuat keluargaku hidup serba kekurangan.Di tengah himpitan ekonomi ibu meminta agar aku mendekati Ambar, wanita yang sama sekali tidak kukenal sebelumnya. Ambar adalah anak semata wayang Pak Suseno, pemilik usaha properti yang cabangnya sudah ada dimana-mana.Awalnya aku menolak karena memiliki Nafisha, tapi tidak tega melihat kondisi keluargaku sendiri yang bisa dibilang sudah sangat memprihatinkan. Berpikir mungkin ini memang jalan yang terbaik, bukan tidak pernah mencoba mencari pinjaman ke tempat lain tapi siapa yang mau memberikan pinjaman tanpa ada jaminan, saat itu kami hanya tinggal di rumah kontrakan.Mendekati Ambar tidaklah mudah, dia bukan wanita yang luluh oleh sebuah rayuan. Aku sendiri bahkan kagum padanya karena tidak seperti wanita pada umumnya yang akan luluh oleh ketampanan.
Tidak habis pikir dengan apa yang dilakukannya, kenapa aku harus dipertemukan dengan manusia sampah macam dia. Tapi fakta tak bisa kupungkiri, lelaki itu adalah ayah dari anakku.Kuhela nafas berkali-kali, memikirkan ini bisa membuat tekanan darah naik. Bagaimana pun sekarang kesehatanku lebih penting, jangan sampai kehamilan ini bermasalah gara-gara dia.Sekarang yang terpenting aku harus membuatnya percaya jika aku memang sudah menerimanya kembali, jika tidak seperti itu akan sulit bagiku merebut sertifikat rumahnya.[Sayang, pedangan rujak tidak jualan. Bagaimana?] Dia mengirimkan pesan disertai foto tempat biasa penjual rujak itu mangkal.Baru saja akan membalas pesannya, aku malah mendapat panggilan video dari Mas Hasbi.Layar ponsel penuh dengan wajahnya sebelum kamera beralih ke kamera belakang dan memperlihatkan dengan jelas lapak itu yang kosong.“Apa aku harus cari di tempat lain?” tanyanya.“Hm, cari yang dekat pasar kalau begitu.” Itu jelas lebih jauh tapi resikonya memang
[Aku tidak membelikan apapun untuk Ambar!]Akhirnya pesan balasan dari Mas Hasbi muncul juga. Sudah pasti akan ada adu mulut diantara mereka jika saja salah satu tidak ada yang mengalah.[Tidak apanya. Jelas-jelas dia memamerkan gelangnya itu, dia bilang itu pemberian darimu.] -Nafisha.[Aku tidak membelikannya, paling dia beli sendiri. Sudahlah jangan meributkan hal seperti ini, kalau mau ya tinggal beli.] -Mas Hasbi.[Kirim uangnya, uang yang kemarin kamu kirim sudah habis.] -Nafisha.[Habis? Kamu menggunakannya untuk apa? Seharusnya cukup untuk satu bulan, jangan terlalu boros.Aku sudah keluar banyak uang untuk rumah itu.] -Mas Hasbi.Apa jangan-jangan uang tabungan kami yang dipakainya untuk membelikan rumah wanita itu. Aku tidak akan ikhlas.Aku yang menemani Mas Hasbi dari bawah dan dia yang menikmati hasil kerja keras suamiku? Enak saja.Soal barang-barang yang sudah kuberikan pada ibu mertua dan juga saudara Mas Hasbi yang lain tak akan kuambil kembali karena memang pantang ba
Aku menggigit bibir menahan tawa melihat wajah ketakutan Mas Hasbi, dia pasti tahu jika ucapan ayah tidak pernah main-main. Ayah selalu bersikap tegas, dulu saja Mas Hasbi tidak mudah mendapatkan restu ayah dan sekarang dia memperlakukanku seperti ini.“Mana mungkin, mana mungkin aku berani menyakiti Ambar. Aku akan menjaganya, Yah.”“Ayah percaya padamu. Sebentar lagi statusmu akan bertambah.”“Sudah, Yah. Ayah datang-datang langsung menceramahi Mas Hasbi. Ayo duduk dulu, aku buatkan minum.”“Biar aku saja yang buatkan, sayang. Ayah mau teh atau kopi?” Mas Hasbi begitu sigap.Lihat saja, sejauh apa aku membalasmu, Mas. Aku bukan orang penyabar yang menunggumu mendapatkan balasan atas kesalahan yang telah kau perbuat. Tidak ada larangan membalas perbuatanmu itu, sah sah saja. Tapi memang lebih baik membalas kejahatan dengan kebaikan namun sayang hatiku sepertinya tidak selapang itu.“Teh saja, tidak usah pakai gula.”Ayah tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat Mas Hasbi yang su
“Tidak, bukan seperti itu maksudku.”“Kamu juga ingin aku merawat anak itu? Kamu pikir hatiku ini batu hah?”Apa yang dipikirkannya itu? Sungguh tidak masuk akal. meski bayinya memang tidak bersalah tapi aku tidak akan pernah mau merawat bayi itu. Ibunya masih ada, kenapa harus aku yang merawatnya.Dia pikir hal ini akan membuatku luluh? Aku bahkan semakin marah.“Siapa tahu dengan mengasuh bayi bisa memancing agar dirimu bisa cepat hamil. Maaf kalau aku membuatmu tersinggung.”Sebelah sudut bibiku terangkat, “Tidak perlu.” Kusodorkan kertas yang berada di atas nakas.Setelah melakukan pemeriksaan sebelum ke kantor tadi, aku tahu alasan tubuhku belakangan ini begitu lemas. Bukan hanya karena masalah dengan Mas Hasbi tapi karena memang kondisiku. Mungkin jika ketahuan lebih awal Mas Hasbi tidak akan membawa wanita itu dan aku akan semakin lama dibohonginya.“Ka-kamu ha-mil, sayang.” Wajahnya terlihat syok, detik berikutnya dia menarikku ke dalam pelukannya.Entah harus bahagia atau tid
“Oh, temannya Mbak Tyas.”Kemarin Mbak Tyas mengatakan jika wanita ini adalah orang yang membantunya menyiapkan acara syukuran. Aku jadi mencurigai Mbak Tyas.Ada dua kemungkinan. Bisa jadi Mbak Tyas tahu dan mencoba menutupi atau dia tidak tahu dan sama denganku yang dibodohi oleh Mas Hasbi. Tidak mungkin juga menuduh tanpa bukti, jika tidak benar jatuhnya fitnah.Tidak boleh gegabah dan menciptakan masalah baru.“Vivi sudah mau pulang?”“Iya, Bu. Mungkin beberapa hari tidak kesini karena suamiku pulang,” ucapnya lalu melirik sekilas pada Mas Hasbi yang memalingkan wajahnya ke arah lain.“Aku antar Vivi dulu ya, Bu.”Aku masih diam melihat Mbak Tyas dan wanita itu keluar. Mas Hasbi berdiri mematung di tempatnya. Mungkin jika aku tidak datang dia yang akan mengantarkan istrinya itu pulang.“Kasihan ya suaminya kerja di luar kota. Kenapa dia tidak ikut saja? Sedang hamil pasti tidak mudah tinggal sendirian.”“Makanya biasa ibu memintanya datang kesini, kasihan kalau sendirian di rumahn