Runduih Ameh seakan menyatu dengan sarungnya.
Berulang kali Puti Tan mencoba menariknya, tetapi pedang itu tidak bergerak sama sekali. Dengan wajah cemberut, Puti Tan mengembalikan pedang itu kepada Kuranji.
“Ini, kukembalikan,” kata Puti Tan, menjejalkan Runduih Ameh ke tangan Kuranji. “Pedang ini hanya mengenali tuannya.”
Kuranji menyeringai canggung. “Memang belum pernah ada orang lain yang menyentuhnya.”
Melihat ekspresi bersalah Kuranji, Puti Tan merasa tidak enak hati dan berusaha menghiburnya. “Hei, Kuranji! Kamu beruntung! Cepat cabut! Aku ingin melihatnya. Pasti pedang itu luar biasa sampai-sampai ia tak mengizinkan orang lain untuk menjamahnya.”
Seberkas cahaya menyilaukan memancar ketika Kuranji menarik gagang pedang. Puti Tan menyipitkan mata. Ia baru membuka lebar matanya tatkala bias sinar dari pedang Kuranji perlahan memudar.
Tangan Puti Tan terulur, ingin merasakan kehalusan ukiran yang menghiasi gagang dan permukaan pedang milik Kuranji.
“Runduih Ameh! Kuranji, ini … ini … sungguh Pedang Pusaka Runduih Ameh?”
“Puti … mengenali pedang ini?” tanya Kuranji heran.
Kakek Petapa mengatakan bahwa pedang itu telah disembunyikan selama ratusan tahun dan dijaga oleh keluarganya secara turun-temurun. Bagaimana bisa Puti Tan mengenalinya dalam sekelip mata?
“Aku pernah melihat gambarnya di ruang baca ayahku.”
Sejak kecil, Puti Tan sering menemani ayahnya di ruang baca ataupun menghabiskan waktu seorang diri di sana saat ia merasa bosan. Dengan ingatannya yang tajam, Puti Tan merekam dengan sangat baik semua informasi yang diserapnya. Ia tidak hanya mengenali bentuk pusaka langka, tetapi juga tokoh-tokoh yang berpengaruh di dunia persilatan.
Sret! Sreet!
Kuranji melompat bangkit begitu mendengar suara mencurigakan dari semak-semak, bergegas ia menutup jendela.
Saat kembali melintasi Puti Tan, Kuranji berkata pelan, “Tetaplah di sini dan jangan bersuara! Aku akan mengecek keluar.”
Dengan sekali lompatan, Kuranji mendarat di tanah. Matanya tajam mengawasi sekitar. Malam telah merangkak kelam, tetapi Kuranji sudah terbiasa memandang dalam gelap. Lima tahun tinggal di gua, matanya sangat terlatih tanpa cahaya, hanya mengandalkan bias sinar rembulan yang menerobos masuk melalui lubang pada langit-langit gua.
“Keluar kalian!”
Hening. Hanya desau angin malam yang menyahuti seruan Kuranji.
“Baiklah. Rupanya kalian ingin bermain-main denganku,” geram Kuranji, berkata pelan.
Tangannya bergerak mencabut Runduih Ameh dari sarungnya, kemudian melibas udara kosong dengan kibasan cepat. Seberkas cahaya pelangi menghantam semak-semak, diiringi jerit kesakitan. Beberapa bayangan hitam terlihat melompat ke udara, keluar dari tempat persembunyian mereka.
Bayangan tersebut serentak berkelebat cepat, menyerang Kuranji. Netra awas Kuranji menangkap kilatan cahaya pedang yang memantul tertimpa sinar rembulan.
Ting! Ting! Ting!
Denting pedang beradu memecah keheningan malam.
Suit! Suiiit!
Lengking suara siulan membentot komplotan bayangan hitam untuk segera meninggalkan Kuranji.
“Tolooong!”
“Puti!” Kuranji baru menyadari bahwa orang-orang yang menyerangnya hanya bertujuan untuk mengalihkan perhatiannya. Mereka mengincar Puti Tan.
“Berhenti!”
Kuranji memburu bayangan hitam yang membawa kabur Puti Tan. Namun, komplotan yang tadi pergi, kini kembali menyerang dirinya. Tentu saja aksi tersebut bertujuan menghambat usaha Kuranji untuk menyelamatkan Puti Tan.
‘Aku harus melumpuhkan mereka dalam waktu singkat.’ Kuranji membatin resah, kemudian memapas kerimbunan semak di dekatnya.
Ranting-ranting kecil berterbangan. Kuranji segera menyambar potongan ranting tersebut. Disertai dengan pengerahan tenaga dalam, dia melempar potongan ranting di genggamannya kepada orang-orang yang berkamuflase menyerupai gelapnya malam.
Suara bergedebuk terdengar beruntun sebanyak tiga kali. Tiga sosok tumbang sekaku kayu.
“Berengsek! Lepaskan kami!”
“Kau akan merasakan akibatnya karena berani mencelakai kami!”
Kuranji mengabaikan umpatan penuh kemarahan itu. Ia melompat memburu lelaki yang membawa kabur Puti Tan.
Lelaki itu memanggul Puti Tan di pundaknya, seperti sekarung pasir.
“Berhenti! Serahkan wanita itu!” Kuranji berseru lantang saat ia nyaris kehilangan jejak.
“Haha … ambil sendiri kalau engkau bisa!” balas gema sebuah suara, dengan sosok yang telah menghilang ditelan gelapnya malam.
Lelaki penculik itu pasti telah melakukan sesuatu pada Puti Tan hingga gadis tersebut tak bersuara sama sekali.
“Argh, sial! Ke mana dia membawa Puti Tan?” Kali ini Kuranji benar-benar kehilangan jejak.
Seketika Kuranji duduk bersila. Memejamkan mata dan mempertajam pendengarannya, Kuranji memusatkan pikiran untuk melacak jejak lelaki yang melarikan Puti Tan. Cuping telinga Kuranji berkedut. Selang beberapa waktu, sudut bibirnya melengkung naik seiring dengan kelopak matanya yang membuka perlahan.
Di sisi lain hutan nan kelam itu, lelaki yang menculik Puti Tan mengerem langkahnya. Ia menoleh ke segala arah. Setelah yakin suasana aman, ia mulai menurunkan Puti Tan dari pundaknya, membaringkan wanita itu di atas rerumputan. Seringai lapar tercetak nyata di bibirnya.
“Engkau cantik sekali, Nona. Terlalu bodoh jika aku menyerahkan dirimu kepada Kavland begitu saja,” gumam lelaki itu seraya membelai pipi Puti Tan dengan jemarinya. “Aku yang bekerja keras, mengapa dia yang harus menikmati hasilnya? Itu tidak adil, bukan?”
Puti Tan tentu saja tidak menyahut. Ia bahkan tidak dapat merasakan bahaya yang mengancam kehormatan dan keselamatan dirinya.
“Baiklah, Nona. Aku akan mengambil bagianku lebih dulu.” Lelaki itu mulai menarik lepas selendang yang membelit pinggang Puti Tan, lalu melemparnya ke sembarang arah.
Dinginnya malam memantik gairah lelaki itu untuk menunduk, mendekati wajah Puti Tan dengan deru napas yang mulai memburu.
Sedikit lagi bibir keduanya bertaut, Puti Tan tersadar, membeliak kaget. Refleks ia mendorong lelaki itu.
Tak menyangka mangsanya akan terjaga dan melancarkan serangan mendadak, lelaki itu terjengkang.
Puti Tan segera bangkit dan berusaha melarikan diri, tetapi gerakan lelaki itu lebih gesit. Begitu mampu menguasai situasi, lelaki itu melesat, menarik jatuh Puti Tan yang belum berdiri dengan sempurna.
“Engkau tidak akan bisa kabur dariku, Nona!” kata lelaki itu, tersenyum mengejek sembari mengunci Puti Tan dengan kedua tangannya ke tanah.
Puti Tan terus memberontak, tetapi tenaganya masih lemah.
“Haha … perlawananmu membuatku semakin bergairah, Nona!”
Puih!
“Kamu menjijikkan!” maki Puti Tan setelah meludahi wajah lelaki itu.
“Oooh, engkau suka bermain kasar rupanya,” sinis lelaki itu, menahan geram. “Baiklah. Akan kuturuti kemauanmu.”
Lelaki itu kemudian melancarkan serangan erotis secara paksa.
Puti Tan berpaling ke kiri dan ke kanan, berjuang menghindari serangan bibir dari penjahat kelamin yang telah diselimuti kabut nafsu.
Bugh!
Sebuah hantaman, dari potongan kayu sebesar lengan orang dewasa, melempar lelaki itu jatuh dari tubuh Puti Tan.
“Kurang ajar! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku, hah?!” Lelaki itu meledak marah, lalu tegak, mencabut pedangnya.
Matanya yang semula dipenuhi gairah kama sutera seketika mengobarkan api kemarahan dan dendam.
Puti Tan bergegas bangkit, bersembunyi di balik sebatang pohon. Cemas-cemas ia mengintip, menembus kegelapan yang diterangi oleh temaram pendar rembulan.
Shuuut!
Helaian daun berterbangan laksana kepingan logam tipis, menyasar tubuh lelaki itu, membuatnya sibuk mengayun pedang untuk merontokkan daun-daun yang mematikan tersebut.
“Pengecut! Tunjukkan wajahmu! Ayo bertarung secara jantan!”
“Aku di belakangmu.” Kuranji menyahut santai, tegak dengan kedua tangan terlipat ke belakang.
Lelaki itu berbalik. “Berani merusak kesenanganku, engkau akan berakhir di tanganku! Hiyaaa!”
“Kuranji, awas!”
Hi, Sobat Readers ... Senang bisa bertemu dengan kalian lagi. Ini karya pertama Iffah yang berbau pendekar. Mohon dukungan review, bintang 5, dan gem-nya ya, Sobat Readers. I love y'all <3
Lawan merangsek maju. Pedangnya membelah udara laksana busur panah. Ujung pedang yang tajam mengarah tepat ke jantung Kuranji. Kuranji berkelit dengan mencondongkan badan ke belakang. Mata pedang lawan menebas udara kosong, hanya beberapa senti di atas badan Kuranji. Sebuah tebasan kini mengarah ke kaki Kuranji. Kuranji melompat. Selama beberapa waktu Kuranji hanya terus bertahan, membuat lawan merasa diremehkan. “Pengecut! Lawan aku! Jangan terus menghindar!” “Baik. Kau yang minta.” Swuush! Embusan angin mengiring helaian daun yang meluncur deras dari genggaman Kuranji. Seketika lawan sibuk memapas daun-daun yang telah menjelma bagai helaian timah itu. Sehelai daun berhasil menggores lengan kanan atas lawan. Tatapan matanya berkilat marah. Ia tidak terima Kuranji berhasil melukainya hanya dengan sehelai daun. “Keluarkan pedangmu, Pengecut!” “Tidak perlu!” Kuranji tidak akan pernah menggunakan pedangnya jika tidak terpaksa. Penolakan Kuranji semakin membakar kemarahan di dad
Matahari sepenggalan naik. Kuranji dan Puti Tan telah meninggalkan hutan, memasuki sebuah perkampungan. Suasana tampak lengang. Rutinitas pagi yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk petani tidak terlihat sama sekali. Perkampungan itu seperti sebuah desa mati yang diselimuti kabut horor. “Kuranji, apa yang telah terjadi dengan kampung ini? Lihat!” Kuranji mengedarkan pandangan. Jalan kecil yang mereka lalui menyimpan keanehan. Bakul dan cangkul berceceran. Bahkan, bungkusan bekal makanan memamerkan isinya yang berhamburan. “Aku juga tidak tahu.” Mereka terus berjalan, memperhatikan segala kejanggalan yang ada dengan tatapan awas. “Tunggu, Kuranji!” Puti Tan menahan langkah Kuranji kala netra cokelat terangnya mendarat pada sebuah pekarangan rumah panggung. “Pintu rumah itu sampai lepas dan berserakan di halaman.” Puti Tan menunjuk daun pintu kayu yang tergeletak di atas rerumputan. “Itu juga. Menurut kamu … ini … penjarahan kampung?” Netra kelam Kuranji mengikuti ke mana pun jar
“Ampun! Ampun!” “Cepat ikat mereka semua!” Bugh! Jerit kesakitan saling bersambut dengan perintah bernada sangar dan tendangan. Bahkan, tak jarang diiringi pula dengan hantaman senjata tumpul. Sekumpulan lelaki muda, berusia di bawah empat puluh tahun, tak kuasa melawan keganasan sekelompok pria bertopeng. Siapa pun yang berani memberontak akan berakhir dengan babak belur. Kedua tangan mereka diikat ke belakang, dipaksa melangkah mengikuti perintah gerombolan penjahat itu. Drap! Drap! Terdengar derap langkah kuda berlari kencang. Debu jalanan berterbangan ketika kuda-kuda itu berhenti dengan kaki depan terangkat tinggi. “Naikkan mereka!” perintah lelaki bertopeng yang berada di posisi paling depan. Para penduduk kampung itu pun dilempar ke atas kuda dalam posisi menelungkup, melintang di depan sang joki. Kedua kaki mereka juga diikat, disusul dengan mata yang ditutup rapat. Dua orang dari pemuda kampung itu mencuri kesempatan untuk melarikan diri di saat gerombolan penjahat
Entah dari mana datangnya, sesosok lelaki berlumuran darah seakan jatuh dari langit, terempas tepat di depan Puti Tan.Grep!Kuranji menarik mundur Puti Tan dan menyembunyikan gadis itu di belakang punggungnya.‘Tumben Puti Tan syok. Bukankah dulu dia sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini?’ Kuranji membatin tak percaya pada reaksi yang ditunjukkan oleh Puti Tan.Kuranji mungkin lupa bahwa waktu dan keadaan dapat mengubah seseorang. Lima tahun bukan waktu yang lama, tetapi juga tidak bisa dibilang singkat. Banyak hal yang dapat terjadi selama kurun waktu tersebut, termasuk kemungkinan terjadinya perubahan perilaku, kebiasaan, dan sifat seseorang.“Cepat periksa dia!” desak Puti Tan, menekan Kuranji untuk berjongkok.Kuranji memeriksa denyut nadi lelaki tersebut.“Bagaimana? Dia … tewas?”“Mn.”Setelah mampu menguasai diri dari rasa terkejutnya, Puti Tan ikut berjongkok di samping Kuranji. Ia mengamati tubuh kaku yang berlumuran darah itu dengan saksama. Saat ia menoleh pada Ku
“Uh! Tempat apa ini?” Puti Tan menutup hidung. Sementara Kuranji hanya menahan napas. “Tidak usah banyak cingcong! Masuk!” Si Kumis Berantakan, yang sedari awal selalu menentang Kuranji dan Puti Tan, menendang pantat Kuranji, masuk ke sebuah rumah berdinding bambu. Bukan. Bangunan itu tidak terlihat seperti rumah, melainkan sebuah kandang. Lantainya berupa tanah kering yang retak dilanda kemarau. Pada beberapa titik bahkan ditutupi oleh sisa kotoran hewan yang telah mengering, menguarkan aroma tidak sedap. Nyaris saja Kuranji tersungkur akibat tendangan tak terduga tersebut. Untungnya ia cepat menguasai keseimbangan. Dua pengawal lainnya menyeret paksa Puti Tan untuk masuk ke kandang. Puti Tan menepis tangan mereka. “Aku bisa jalan sendiri!” Dengan terpaksa dan menggerutu, Puti Tan menyusul Kuranji, masuk ke kandang sambil menutup hidung dengan jari telunjuk. Si Kumis Berantakan mengunci pintu kandang tersebut dengan palang kayu, lalu merantainya erat-erat. “Kalian,” tunjuk Si
“Datuk, tidak baik menakut-nakuti tamu yang singgah di kampung kita,” tegur lelaki berkopiah. “Nanti tidak ada lagi yang berani datang ke sini. Kita juga yang rugi.”“Siapa yang menakut-nakuti? Tadi kau sendiri yang mengatakan kampung kita sedang tidak aman. Kau menjilat ludah yang terbuang? Tidak jijik?”“Ehem!” Kuranji mendeham untuk menengahi perdebatan dua pengunjung kedai itu. “Kalau boleh tahu, ada kasus apa sampai warga di kampung ini merasa terancam?”Lelaki berkopiah menggerakkan jari telunjuk. Kuranji pun mencondongkan badan ke depan.“Apa kalian berdua tidak mendengar kejadian tragis sore ini?”“Ah, itu ….”“Kalian tahu?”“Sekilas. Tidak tahu pasti detailnya.”“Lelaki yang tewas itu adalah korban keempat dalam dua minggu terakhir. Sementara yang dilaporkan hilang, tidak tahu pasti berapa jumlahnya.” Ekspresi lelaki berkopiah itu tampak lebih serius saat melanjutkan ceritanya. “Dan tetua kampung kami, dia … pemimpin yang jujur dan setia menapak di jalan yang lurus. Tak disan
Krieeet!Daun jendela perlahan menyibak. Dua sosok pria berpakaian serba hitam melompat masuk, dengan tubuh seringan kapas. Mereka mendarat di lantai papan tanpa menimbulkan suara.Keduanya mengendap-endap menuju dipan, tempat di mana Kuranji berbaring. Salah satu dari mereka memberi kode dengan anggukan kepala. Gerakan tersebut samar terlihat berkat bantuan pendar rembulan. Lantas, keduanya serempak menyergap Kuranji.Grep!Kuranji menyambar tangan mereka yang terulur. Gesit ia memelintir tangan kedua orang itu, lalu menerjang mereka hingga keduanya terempas ke dinding.“Bagaimana bisa?”“T–tidak mungkin!”Kedua pria itu tak percaya Kuranji masih terjaga dan sanggup memberikan perlawanan kepada mereka.“Di atas langit, masih ada langit,” balas Kuranji dengan nada dingin.“Walau kau kebal dari pengaruh asap itu, kau tidak akan bisa lolos dari seranganku.”Hop!Lelaki pertama melompat bangkit, langsung membombardir Kuranji dengan jurus jitu. Gerakan tangan dan kakinya sangat cepat, mem
Gedebuk!“Ampun! Ampun! T–tolong … lepaskan saya ….”Menutupi wajahnya dengan topeng macan berwarna hitam pekat, Kardit Masiak yang duduk di atas kursi kebesarannya mengusap dagu, memindai sekilas sosok pria berusia empat puluhan yang tersungkur di lantai, setelah didorong keras.Sekujur tubuh lelaki itu gemetar. Keringat dingin membasahi pakaian yang dikenakannya.“Maaf, Ketua. Kami gagal menjalankan misi. Sebagai gantinya, kami membawa lelaki ini.”Puk!Kardit Masiak menepis kuat lengan kursi yang didudukinya. Ia bangkit dengan wajah merah padam.“Pendekar Sabuk Maut, Pendekar Pedang Kilat. Ck! Nama besar kalian telah kehilangan pamor?”“Ampun, Ketua. Kami mengaku salah. Kami terlalu meremehkan lawan.” Lelaki yang berjuluk Pendekar Pedang Kilat menunduk takzim dengan tangan menyatu di depan dada.Lirikan tajam dari balik topeng Kardit Masiak memaksa Pendekar Sabuk Maut untuk ikut bicara.“Kali ini, yang menyewa rumah itu sepertinya bukan saudagar kaya, Ketua. Tidak ada barang berhar
Hop! Hop!Empat orang pria bertopeng mendarat di hadapan Kirai, juga menghentikan ayunan kaki Mahzar yang berlari beberapa langkah di belakang sang adik.Keduanya dikepung dengan senjata yang terhunus di tangan lawan.“Ini area terlarang. Enyah dari sini sebelum tubuh kalian berubah menjadi daging cincang!” ancam salah satu dari mereka, dengan postur tubuh paling tinggi.Mahzar dan Kirai serentak melangkah mundur, saling beradu punggung. Netra mereka awas mengamati gerak-gerik lawan.“Haha … kalian penguasa yang salah kaprah,” ledek Mahzar. “Sejak kapan jalan umum diakui sebagai milik pribadi atau kelompok, heh? Jangan mimpi! Penjahat seperti kalian cuma bisa menyengsarakan rakyat.”“Kurang ajar! Masih bau kencur, tapi tidak tahu caranya menghargai orang yang lebih tua.”Mahzar menyeringai. “Dan orang tua seperti kalian, tidak bisa memberi contoh yang baik.”Meski tak dapat melihat wajah keempat orang itu, kemarahan salah satu dari mereka cukup menjadi petunjuk bagi Mahzar bahwa kompl
“Kalian kenapa? Perang dingin?” tanya Kirai, melirik heran pada Kuranji dan Puti Tan.Mereka terus mengayun langkah mendahuluinya dengan saling berdiam diri. Tidak ada yang menanggapi pertanyaannya.“Sst! Jangan ikut campur urusan mereka. Pura-pura tidak tahu saja,” bisik Mahzar, menyikut Kirai. “Namanya juga sepasang kekasih. Pasti ada bumbu pertengkaran kecil, biar makin lengket.”“Apaan sih!” Kirai cemberut.“Kamu … jangan bilang kamu jatuh hati sama dia,” imbuh Mahzar, melempar lirik pada Kuranji. “Dia sudah jadi milik orang. Lebih baik mundur dengan teratur.”Bugh!“Akh!”Nasihat Mahzar dibalas Kirai dengan hantaman siku pada dada sang kakak.“Kalau ngomong, pakai filter. Sembarangan, asal tuduh. Belum tentu mereka pacaran.”“Marah berarti iya,” ledek Mahzar sambil mengusap-usap dadanya yang terasa sakit. “Eh, dari mana kamu tahu mereka bukan sepasang kekasih?”Kirai mengancakkan tinju. “Mau hadiah bogem mentah dariku?”“Cih!” Mahzar mendecih, memilih berhenti menggoda sang adik.
“Huh! Kelihatan saja gampang. Ternyata butuh perjuangan ekstra.”Kuranji berbaring kelelahan, telentang di lantai ruang baca Tuan Guru Tan. Entah sudah berapa kali ia melatih jurus Menghapus Jejak. Walau berhasil menyusun rapi tumpukan buku milik sang guru, masih saja ada yang acak.“Cih! Lemah! Baru beberapa kali latihan sudah keok,” ledek Tuan Guru Tan, melirik sekilas pada Kuranji sambil menikmati secangkir kopi pahit.Napas Kuranji masih ngos-ngosan. “Aduh, Tuan Guru … gerakannya memang sederhana, tapi menguras tenaga dalam.”“Itu karena kau gagal berkali-kali.” Tuan Guru Tan bangkit, melangkah menuju pintu. “Kalau ingin tahu kabar ayahmu, teruslah berlatih. Aku hanya akan memberitahumu setelah kau berhasil menguasai jurus itu.”Kuranji terlonjak duduk, berputar menghadap Tuan Guru Tan. “Tapi, Guru—”“Kau menyerah?”“Tidak, tidak!”“Bagus! Lanjutkan latihanmu!”Tuan Guru Tan menghilang di balik pintu, lagi-lagi meninggalkan Kuranji seorang diri.Jika menuruti lemahnya badan, Kuran
“Tuan Guru, otakku masih terlalu cetek untuk memikirkan hal-hal berat. Lagi pula, aku laki-laki, Tuan Guru. Masa badan kekar begini mainannya bunga.” Kuranji cengengesan.“Bocah semprul!”Tuan Guru Tan mengibaskan tangan, seketika sekumpulan buku, yang berserakan di lantai, melayang ke arah Kuranji, seperti sekawanan lebah yang sedang marah.“Ampun, Tuan Guru! Ampun!” Kuranji melindungi wajah dengan kedua lengannya.Setelah serangan mendadak itu mereda, Tuan Guru Tan bersungut-sungut. “Orang tua lagi serius malah diajak bercanda.”“Hehe … biar tidak cepat pulang ke balik papan, Tuan Guru.”Hanya saat bersama Tuan Guru Tan Kuranji bisa menjadi diri sendiri dan bersikap kekanak-kanakan.“Kuranjiii!”“Iya, iya. Maaf!” Wajah Kuranji berubah serius begitu menerima pelototan dari Tuan Guru Tan.Berulang kali Tuan Guru Tan mendesah.“Kuranji, lima tahun yang lalu, seharusnya usiamu delapan belas tahun.”“Benar, Tuan Guru.”“Artinya, sudah dua belas tahun waktu berlalu, sejak aku membawamu pu
“Tuan Guru, kita sudah sepakat untuk pergi bersama.”“Kali ini, aku sungguh minta maaf, dengan sepuluh jari serta kepala. Kalian pergilah! Aku percaya kalian bisa menyelesaikannya tanpa aku.”“Tapi, Tuan Guru—”“Tolong ….”Dua rekan Tuan Guru Tan mendesah lesu. Jika Tuan Guru Tan telah menggunakan salah satu kata ajaib andalannya, maka tidak ada yang dapat mengubah keputusannya.“Baiklah. Mohon doa restu, Tuan Guru.” Dua lelaki itu menangkupkan tangan di depan dada seraya membungkuk takzim.Tuan Guru Tan meremas pundak keduanya. “Ingat, libatkan Allah dalam segala ucapan dan tindakan! Sekuat apa pun kita sebagai manusia, semua itu tidak akan berguna tanpa rida–Nya.”Sepeninggal kedua rekannya, Tuan Guru Tan memeriksa kereta kuda dan jejak di sekitarnya.Ia berjongkok, meraba jejak kaki kecil yang tercetak samar di atas permukaan jalan. Perlahan ia mulai bangkit dan menyusuri jejak itu.Jejak itu berhenti di tepi sebuah jembatan. Di bawahnya, mengalir sungai berair jernih, cukup dalam
“Hiyaa! Ck, ck, ck! Hiyaa!”Sais menyemangati kuda penarik kereta yang dikendalikannya. Sesekali ia melecut pelan.Hop! Hop!Beberapa lelaki bertopeng yang berbalut pakaian serba hitam tiba-tiba mencegat laju kereta. Ngeeehk!Dua ekor kuda putih meringkik kencang ketika sang kusir menarik tali kekang dengan kuat.Seorang lelaki berusia tiga puluhan dan bocah berumur enam tahun berguncang hebat.“Ayah, aku takut!”“Tidak apa-apa. Ada ayah di sini,” timpal sang ayah seraya merangkul putranya.Setelah kereta tak lagi bergoyang, lelaki itu melepaskan dekapannya pada sang bocah. Ia menangkup pipi anaknya, menatap lembut dengan seulas senyum yang memancar hangat.“Kalau terjadi sesuatu pada ayah, pergilah sejauh mungkin dan jangan pernah menoleh ke belakang!”Lelaki itu menyelipkan sebuah botol kecil ke dalam genggaman putranya. “Jaga baik-baik botol ini!”Suara di luar kereta mulai terdengar berisik. Lelaki itu dapat menerka dengan jelas, sedang berlangsung perkelahian hebat disertai peng
“Masih ingat jalan pulang, hm?”Tuan Guru Tan memasang wajah cemberut.“Ayah, aku hanya sedikit bersenang-senang di luar,” sahut Puti Tan, merengek manja.Seperti biasa, Tuan Guru Tan tidak pernah bisa mempertahankan kemarahan pada sang putri semata wayangnya untuk waktu yang lama.“Setidaknya, ayah senang kau pulang baik-baik saja.”Senyum ceria terbit di wajah Puti Tan. Ia melepaskan diri dari dekapan sang ayah, lalu menyambar lengan Kuranji.“Berkat dia. Ayah tidak lupa, ‘kan?”Netra tenang dan berwibawa milik Tuan Guru Tan menyipit untuk sesaat. Mungkin sedang mencoba menelanjangi sebagian wajah Kuranji yang tersembunyi di balik topeng.Menyadari sang guru menatapnya dalam, Kuranji mengulurkan tangan, menjabat erat sembari mencium takzim punggung tangan lelaki berjenggot itu.“Kuranji?” tebak Tuan Guru Tan.“Iya, Tuan Guru.”“Ih, ayah curang. Kok bisa sih ayah mengenali Kuranji secepat itu?”Awalnya, Puti Tan berniat untuk mengerjai Tuan Guru Tan, agar ia bisa menggoda lelaki tua
Set! Set!Kardit Masiak melesat cepat, terlihat seperti kelebat bayangan hitam yang melintas dengan kecepatan cahaya, berpindah dari satu sisi hutan ke sudut lainnya.Sesaat ia berhenti, memindai kegelapan sekitar dengan netra elangnya. Mendengar suara gerakan yang mencurigakan dari arah belakang, lelaki itu berbalik. ‘Hmm, itu pasti mereka.’Bergegas ia melesat, mendatangi sumber suara tersebut.“Sial! Tidak ada siapa-siapa,” gerutu Kardit Masiak, memperhatikan belukar di hadapannya. “Aku yakin tadi mendengar gerakan dari arah sini.”Netra tajamnya memicing, mengawasi kerimbunan semak yang bergoyang-goyang. Saat ia hendak mengayun langkah untuk memeriksanya, seekor ayam hutan terbang menghambur, mengagetkan dirinya.“Sial! Aku tertipu.” Kardit Masiak berbalik pergi.Beberapa menit sebelum Kardit Masiak tiba di tempat itu …Grep!Hop!Kuranji menyambar pinggang Puti Tan, membawa gadis itu melompat ke dalam lubang.Begitu kaki mereka menjejak tanah, pintu belukar itu pun menutup dengan
Blam!Runduih Ameh menancap pada mata kanan si naga hitam.Makhluk jadi-jadian milik Pendekar Sabuk Maut itu pun menggelinjang liar dengan mulut yang menganga lebar.Runduih Ameh masih terus bergerak, memberikan dorongan kuat hingga si naga hitam terlempar jatuh dan kembali ke bentuk aslinya begitu menyentuh tanah.Jruuung!Swuut!Runduih Ameh melesat balik kepada tuannya.Pendekar Sabuk Maut muntah darah. Ia melotot, tak percaya.“K–kau … s–siapa kau sebenarnya, h–hah?!” tanya Pendekar Sabut Maut sembari membungkuk, memegang dada.Kuranji mengelus pedang pusakanya. Menatap dingin pada Pendekar Sabuk Maut, ia menjawab acuh tak acuh, “Kau tak layak berkenalan denganku.”“B–bang … akh! Uhuk!”Umpatan Pendekar Sabuk Maut tercekat di tenggorokan, berganti dengan rintih kesakitan yang disusul dengan batuk darah.Di sisi lain, beberapa meter dari tempat Kuranji berdiri, Mahzar tampak kewalahan mengimbangi kelebat pedang milik lawannya.Cresh!Senjata milik Pendekar Pedang Kilat berhasil meny