“Jangan bergerak! Aku akan mengobatimu.” Kuranji menahan Puti Tan yang berniat untuk bangkit setelah siuman.
“Aku—”
“Kau terluka dan pingsan.”
“Siapa kamu? Di mana ini?”
“Kau tidak perlu tahu siapa aku. Kau aman di sini,” sahut Kuranji, meraih lengan Puti Tan.
Saat wanita itu tidak sadarkan diri, ia mengumpulkan ramuan herbal dan menghaluskannya.
“Aku ingin duduk.”
Melihat raut canggung yang membias pada wajah cantik Puti Tan, Kuranji akhirnya membantu gadis itu untuk duduk dan bersandar pada dinding kayu yang berlubang.
Ya. Kuranji beruntung menemukan pondok terbengkalai, bekas peristirahatan para pemburu. Walau mengalami kerusakan di sana-sini, setidaknya pondok tua itu masih cukup layak dijadikan tempat bermalam untuk sementara waktu. Kuranji hanya perlu mencari dedaunan hutan untuk menambal sela-sela dinding yang bolong serta sebagian atap yang bocor.
Setelah Puti Tan bersandar dengan nyaman, Kuranji melanjutkan niatnya mengobati luka gadis itu. Ia merobek lengan baju Puti Tan hingga ke siku.
“Lukanya lumayan lebar dan dalam. Butuh waktu beberapa hari untuk sembuh.”
Puti Tan mengamati gerakan Kuranji yang tengah mengobati luka-lukanya dengan sangat hati-hati.
“Ishsh,” desis Puti Tan, menahan perih. Tanpa sadar jemari kirinya mencekal pergelangan tangan Kuranji.
Saat netra cokelat terang milik Puti Tan tertumbuk pada bekas luka berbentuk bulan sabit pada punggung tangan Kuranji, sebuah bayangan berkelebat dalam ingatan Puti Tan.
“Ayah, lihat! Aku berhasil membuatnya,” seru Puti Tan kecil seraya tersenyum lebar, berlari membawa sebuah sendok berisi cairan karamel yang masih panas dan belum mengeras.
Puti Tan kecil senang sekali memakan permen karamel. Ia baru saja belajar membuat sendiri dan berniat memamerkan hasil kerja kerasnya kepada sang ayah.
“Puti, awas!” teriak Kuranji, melihat sebuah kayu bulat melintang di jalan yang akan dilewati oleh Puti Tan.
Sayang Puti Tan terlambat bereaksi. Gadis itu pun tersandung dan oleng.
Kuranji mengulurkan tangan, berusaha menangkap Puti Tan agar tidak jatuh, tapi tenaganya tidak cukup kuat untuk menahan bobot Puti Tan. Mereka akhirnya terjatuh. Sendok berisi karamel panas yang dipegang Puti Tan terlepas, lalu mendarat di punggung tangan Kuranji, meninggalkan bekas luka bakar berbentuk bulat sabit.
Puti Tan mendongak. Di saat bersamaan, Kuranji juga menoleh kepadanya. Tatapan keduanya saling mengunci selama beberapa waktu.
Merasa malu, Puti Tan menundukkan pandangan. Tatapannya mendarat pada sepasang tahi lalat yang berjajar secara diagonal pada lengan Kuranji yang masih dicekalnya.
“Kuranji ….” Tatapan Puti Tan kembali melekat pada sepasang netra kelam Kuranji.
Kuranji tersenyum tipis. “Aku tidak menyangka Puti akan mengenaliku secepat ini.”
Jemari Puti Tan perlahan melonggar, meninggalkan pergelangan tangan Kuranji. Jemari lentik itu dengan bergetar menjangkau topeng yang menutupi sebagian wajah Kuranji.
Kuranji memiringkan kepala, menjauh dari jangkauan Puti Tan. “Biarkan aku mengobatimu lebih dulu.”
“Oh, maaf.” Semburat merah jambu merona pada pipi Puti Tan. Ia membuang pandang ke luar pondok, lewat jendela yang menganga lebar.
Hening. Tak ada yang bicara hingga Kuranji selesai membalur luka Puti Tan dengan ramuan herbal, lalu membalutnya dengan kulit batang talas. Terasa perih memang, tapi itu dapat mempercepat proses penyembuhan luka.
“Terima kasih,” bisik Puti Tan, menarik lepas tangannya dari cekalan Kuranji.
“Itu cuma bantuan kecil,” timpal Kuranji, ikut duduk bersandar di sisi kanan Puti Tan. “Selama di Perguruan, Puti telah melakukan banyak hal untukku.”
“Aku tak pernah menghitungnya.”
Setelah lima tahun berpisah, begitu bertemu lagi, suasana canggung tercipta di antara keduanya.
Diam-diam Kuranji melirik Puti Tan dengan ekor matanya. ‘Puti Tan terlihat lebih kurus sekarang.’
Puti Tan pun curi-curi pandang pada Kuranji. ‘Aku tak menyangka Kuranji bisa segagah ini setelah lima tahun menghilang.’
“Puti—”
“Kamu—”
Kuranji dan Puti Tan sama-sama tersenyum malu saat keduanya bicara secara bersamaan.
“Puti dulu!”
“Kamu dulu!”
Lagi-lagi mereka berkata serentak. Keduanya tertawa canggung.
Setelah cukup lama hening, akhirnya Puti Tan buka suara, “Apa hidupmu baik-baik saja lima tahun ini? Ke mana kamu menghilang?”
Kuranji menghela napas dalam-dalam. Binar matanya tiba-tiba saja diselimuti kabut sendu.
“Ceritanya panjang. Aku tak menyangka akan bertemu lagi dengan Puti.”
“Aku ingin mendengarnya.”
Hari itu, setelah Kuranji tafakur selama beberapa waktu di pusara sang guru, ia kembali masuk ke gua.
Kuranji mengeluarkan kitab kuno dari balik baju dan meletakkan benda berharga itu di atas meja batu, di mana ia menemukan pedang pusaka Runduih Ameh. Dari sekian banyak lorong yang pernah ia masuki di Gua Pelangi, hanya lorong itu yang memiliki ruang bagian dalam paling luas. Setelah sebagian langit-langitnya runtuh akibat teriakan panik Kuranji begitu mencabut pedang, ruangan tersebut tampak lebih luas.
Kuranji duduk bersila. Jemarinya mulai membuka lembaran kitab kuno warisan sang guru. Kening Kuranji mengerut menyaksikan tulisan arab melayu. Jujur, ia tidak begitu pandai membaca tulisan tersebut. Anehnya, tulisan tersebut seakan bergerak merasuki jiwa Kuranji, memberikan pemahaman yang membuatnya terkagum-kagum.
“Wow, kelihatannya kitab tua ini berisi ilmu kanuragan yang luar biasa!”
Ketika halaman dalam kitab tersebut mulai memperlihat gambar berupa jurus bela diri, tubuh Kuranji bangkit dengan sendirinya, seakan ada kekuatan gaib yang menariknya untuk mempraktikkan jurus tersebut.
Entah berapa lama Kuranji menghabiskan waktu untuk melatih satu jurus pembuka itu. Tubuhnya telah bermandi peluh. Anehnya, ia merasa lebih bugar, walaupun napasnya sedikit tersengal.
Kuranji mengempaskan bokong di lantai tanah yang keras.
“Aku tak percaya, akhirnya aku bisa merasakan kekuatan spiritual dalam diriku,” oceh Kuranji seorang diri. “Tunggu! Bukankah ini hari ulang tahunku?”
Kuranji baru saja teringat bahwa hari itu adalah tanggal dua belas Agustus. Setiap kali meninggalkan padepokan, ia selalu mengingat tanggal dengan baik. Jadi, dia tidak mungkin salah hitung. Kuranji merasa bahwa kemampuannya saat ini merupakan sebuah hadiah ulang tahun yang indah. Bahkan, tahun ini adalah tahun terindah dalam hidupnya.
Hari demi hari terus berganti. Tak terasa, lima tahun sudah waktu berlalu. Selama itu, Kuranji menghabiskan waktu untuk berlatih seorang diri. Ketika ia membuka halaman terakhir kitab kuno warisan sang guru, Kuranji menemukan sehelai kertas dan sepucuk surat dengan sampul lusuh. Noda berwarna kecokelatan menghiasi beberapa sudut amplop surat itu.
‘Anak Moeda, saat kau membatja soerat ini, artinja akoe telah selesai menoenaiken toegaskoe oentoek mendjaga pedang poesaka Roendoeih Ameh dan kau telah mempeladjari semua djurus dalam kitab ini. Temoeken pasangannja agar ilmoemoe sampoerna. Djika kau telah menemukennja, beriken soerat dalam kitab itoe kepada orang toea atau wali pemegang pasangan pedang poesaka Roendoeih Ameh.’
Kuranji melipat kertas itu. Jemarinya kemudian menarik amplop yang masih terselip dalam helaian kitab warisan sang guru.
Hati Kuranji tergelitik untuk mengintip isi surat itu, tetapi kemudian diurungkannya. Bagaimanapun, surat tersebut adalah amanah yang harus ia sampaikan kepada si penerima. Sungguh tidak pantas bila ia melanggar batas privasi orang lain. Kuranji lantas melipat surat lusuh itu dan menyelipkannya ke balik baju.
Hening.
Kuranji hanyut dalam kenangannya selama menyepi di dalam gua. Sungguh terlalu singkat waktu kebersamaannya dengan sang guru.
“Apakah itu … pedang pusaka yang kamu ceritakan?” tanya Puti Tan memecah hening, melirik sebilah pedang yang diletakkan Kuranji di sisi kanannya. “Boleh aku melihatnya?”
Kuranji tersentak. “Huh?”
“Pedang itu,” ulang Puti Tan.
“Oh.” Kuranji meraih pedangnya dan menyodorkan kepada Puti Tan.
Saat Puti Tan menarik pedang itu keluar dari sarungnya, sesuatu yang aneh terjadi.
Runduih Ameh seakan menyatu dengan sarungnya. Berulang kali Puti Tan mencoba menariknya, tetapi pedang itu tidak bergerak sama sekali. Dengan wajah cemberut, Puti Tan mengembalikan pedang itu kepada Kuranji. “Ini, kukembalikan,” kata Puti Tan, menjejalkan Runduih Ameh ke tangan Kuranji. “Pedang ini hanya mengenali tuannya.” Kuranji menyeringai canggung. “Memang belum pernah ada orang lain yang menyentuhnya.” Melihat ekspresi bersalah Kuranji, Puti Tan merasa tidak enak hati dan berusaha menghiburnya. “Hei, Kuranji! Kamu beruntung! Cepat cabut! Aku ingin melihatnya. Pasti pedang itu luar biasa sampai-sampai ia tak mengizinkan orang lain untuk menjamahnya.” Seberkas cahaya menyilaukan memancar ketika Kuranji menarik gagang pedang. Puti Tan menyipitkan mata. Ia baru membuka lebar matanya tatkala bias sinar dari pedang Kuranji perlahan memudar. Tangan Puti Tan terulur, ingin merasakan kehalusan ukiran yang menghiasi gagang dan permukaan pedang milik Kuranji. “Runduih Ameh! Kuranji,
Lawan merangsek maju. Pedangnya membelah udara laksana busur panah. Ujung pedang yang tajam mengarah tepat ke jantung Kuranji. Kuranji berkelit dengan mencondongkan badan ke belakang. Mata pedang lawan menebas udara kosong, hanya beberapa senti di atas badan Kuranji. Sebuah tebasan kini mengarah ke kaki Kuranji. Kuranji melompat. Selama beberapa waktu Kuranji hanya terus bertahan, membuat lawan merasa diremehkan. “Pengecut! Lawan aku! Jangan terus menghindar!” “Baik. Kau yang minta.” Swuush! Embusan angin mengiring helaian daun yang meluncur deras dari genggaman Kuranji. Seketika lawan sibuk memapas daun-daun yang telah menjelma bagai helaian timah itu. Sehelai daun berhasil menggores lengan kanan atas lawan. Tatapan matanya berkilat marah. Ia tidak terima Kuranji berhasil melukainya hanya dengan sehelai daun. “Keluarkan pedangmu, Pengecut!” “Tidak perlu!” Kuranji tidak akan pernah menggunakan pedangnya jika tidak terpaksa. Penolakan Kuranji semakin membakar kemarahan di dad
Matahari sepenggalan naik. Kuranji dan Puti Tan telah meninggalkan hutan, memasuki sebuah perkampungan. Suasana tampak lengang. Rutinitas pagi yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk petani tidak terlihat sama sekali. Perkampungan itu seperti sebuah desa mati yang diselimuti kabut horor. “Kuranji, apa yang telah terjadi dengan kampung ini? Lihat!” Kuranji mengedarkan pandangan. Jalan kecil yang mereka lalui menyimpan keanehan. Bakul dan cangkul berceceran. Bahkan, bungkusan bekal makanan memamerkan isinya yang berhamburan. “Aku juga tidak tahu.” Mereka terus berjalan, memperhatikan segala kejanggalan yang ada dengan tatapan awas. “Tunggu, Kuranji!” Puti Tan menahan langkah Kuranji kala netra cokelat terangnya mendarat pada sebuah pekarangan rumah panggung. “Pintu rumah itu sampai lepas dan berserakan di halaman.” Puti Tan menunjuk daun pintu kayu yang tergeletak di atas rerumputan. “Itu juga. Menurut kamu … ini … penjarahan kampung?” Netra kelam Kuranji mengikuti ke mana pun jar
“Ampun! Ampun!” “Cepat ikat mereka semua!” Bugh! Jerit kesakitan saling bersambut dengan perintah bernada sangar dan tendangan. Bahkan, tak jarang diiringi pula dengan hantaman senjata tumpul. Sekumpulan lelaki muda, berusia di bawah empat puluh tahun, tak kuasa melawan keganasan sekelompok pria bertopeng. Siapa pun yang berani memberontak akan berakhir dengan babak belur. Kedua tangan mereka diikat ke belakang, dipaksa melangkah mengikuti perintah gerombolan penjahat itu. Drap! Drap! Terdengar derap langkah kuda berlari kencang. Debu jalanan berterbangan ketika kuda-kuda itu berhenti dengan kaki depan terangkat tinggi. “Naikkan mereka!” perintah lelaki bertopeng yang berada di posisi paling depan. Para penduduk kampung itu pun dilempar ke atas kuda dalam posisi menelungkup, melintang di depan sang joki. Kedua kaki mereka juga diikat, disusul dengan mata yang ditutup rapat. Dua orang dari pemuda kampung itu mencuri kesempatan untuk melarikan diri di saat gerombolan penjahat
Entah dari mana datangnya, sesosok lelaki berlumuran darah seakan jatuh dari langit, terempas tepat di depan Puti Tan.Grep!Kuranji menarik mundur Puti Tan dan menyembunyikan gadis itu di belakang punggungnya.‘Tumben Puti Tan syok. Bukankah dulu dia sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini?’ Kuranji membatin tak percaya pada reaksi yang ditunjukkan oleh Puti Tan.Kuranji mungkin lupa bahwa waktu dan keadaan dapat mengubah seseorang. Lima tahun bukan waktu yang lama, tetapi juga tidak bisa dibilang singkat. Banyak hal yang dapat terjadi selama kurun waktu tersebut, termasuk kemungkinan terjadinya perubahan perilaku, kebiasaan, dan sifat seseorang.“Cepat periksa dia!” desak Puti Tan, menekan Kuranji untuk berjongkok.Kuranji memeriksa denyut nadi lelaki tersebut.“Bagaimana? Dia … tewas?”“Mn.”Setelah mampu menguasai diri dari rasa terkejutnya, Puti Tan ikut berjongkok di samping Kuranji. Ia mengamati tubuh kaku yang berlumuran darah itu dengan saksama. Saat ia menoleh pada Ku
“Uh! Tempat apa ini?” Puti Tan menutup hidung. Sementara Kuranji hanya menahan napas. “Tidak usah banyak cingcong! Masuk!” Si Kumis Berantakan, yang sedari awal selalu menentang Kuranji dan Puti Tan, menendang pantat Kuranji, masuk ke sebuah rumah berdinding bambu. Bukan. Bangunan itu tidak terlihat seperti rumah, melainkan sebuah kandang. Lantainya berupa tanah kering yang retak dilanda kemarau. Pada beberapa titik bahkan ditutupi oleh sisa kotoran hewan yang telah mengering, menguarkan aroma tidak sedap. Nyaris saja Kuranji tersungkur akibat tendangan tak terduga tersebut. Untungnya ia cepat menguasai keseimbangan. Dua pengawal lainnya menyeret paksa Puti Tan untuk masuk ke kandang. Puti Tan menepis tangan mereka. “Aku bisa jalan sendiri!” Dengan terpaksa dan menggerutu, Puti Tan menyusul Kuranji, masuk ke kandang sambil menutup hidung dengan jari telunjuk. Si Kumis Berantakan mengunci pintu kandang tersebut dengan palang kayu, lalu merantainya erat-erat. “Kalian,” tunjuk Si
“Datuk, tidak baik menakut-nakuti tamu yang singgah di kampung kita,” tegur lelaki berkopiah. “Nanti tidak ada lagi yang berani datang ke sini. Kita juga yang rugi.”“Siapa yang menakut-nakuti? Tadi kau sendiri yang mengatakan kampung kita sedang tidak aman. Kau menjilat ludah yang terbuang? Tidak jijik?”“Ehem!” Kuranji mendeham untuk menengahi perdebatan dua pengunjung kedai itu. “Kalau boleh tahu, ada kasus apa sampai warga di kampung ini merasa terancam?”Lelaki berkopiah menggerakkan jari telunjuk. Kuranji pun mencondongkan badan ke depan.“Apa kalian berdua tidak mendengar kejadian tragis sore ini?”“Ah, itu ….”“Kalian tahu?”“Sekilas. Tidak tahu pasti detailnya.”“Lelaki yang tewas itu adalah korban keempat dalam dua minggu terakhir. Sementara yang dilaporkan hilang, tidak tahu pasti berapa jumlahnya.” Ekspresi lelaki berkopiah itu tampak lebih serius saat melanjutkan ceritanya. “Dan tetua kampung kami, dia … pemimpin yang jujur dan setia menapak di jalan yang lurus. Tak disan
Krieeet!Daun jendela perlahan menyibak. Dua sosok pria berpakaian serba hitam melompat masuk, dengan tubuh seringan kapas. Mereka mendarat di lantai papan tanpa menimbulkan suara.Keduanya mengendap-endap menuju dipan, tempat di mana Kuranji berbaring. Salah satu dari mereka memberi kode dengan anggukan kepala. Gerakan tersebut samar terlihat berkat bantuan pendar rembulan. Lantas, keduanya serempak menyergap Kuranji.Grep!Kuranji menyambar tangan mereka yang terulur. Gesit ia memelintir tangan kedua orang itu, lalu menerjang mereka hingga keduanya terempas ke dinding.“Bagaimana bisa?”“T–tidak mungkin!”Kedua pria itu tak percaya Kuranji masih terjaga dan sanggup memberikan perlawanan kepada mereka.“Di atas langit, masih ada langit,” balas Kuranji dengan nada dingin.“Walau kau kebal dari pengaruh asap itu, kau tidak akan bisa lolos dari seranganku.”Hop!Lelaki pertama melompat bangkit, langsung membombardir Kuranji dengan jurus jitu. Gerakan tangan dan kakinya sangat cepat, mem
Hop! Hop!Empat orang pria bertopeng mendarat di hadapan Kirai, juga menghentikan ayunan kaki Mahzar yang berlari beberapa langkah di belakang sang adik.Keduanya dikepung dengan senjata yang terhunus di tangan lawan.“Ini area terlarang. Enyah dari sini sebelum tubuh kalian berubah menjadi daging cincang!” ancam salah satu dari mereka, dengan postur tubuh paling tinggi.Mahzar dan Kirai serentak melangkah mundur, saling beradu punggung. Netra mereka awas mengamati gerak-gerik lawan.“Haha … kalian penguasa yang salah kaprah,” ledek Mahzar. “Sejak kapan jalan umum diakui sebagai milik pribadi atau kelompok, heh? Jangan mimpi! Penjahat seperti kalian cuma bisa menyengsarakan rakyat.”“Kurang ajar! Masih bau kencur, tapi tidak tahu caranya menghargai orang yang lebih tua.”Mahzar menyeringai. “Dan orang tua seperti kalian, tidak bisa memberi contoh yang baik.”Meski tak dapat melihat wajah keempat orang itu, kemarahan salah satu dari mereka cukup menjadi petunjuk bagi Mahzar bahwa kompl
“Kalian kenapa? Perang dingin?” tanya Kirai, melirik heran pada Kuranji dan Puti Tan.Mereka terus mengayun langkah mendahuluinya dengan saling berdiam diri. Tidak ada yang menanggapi pertanyaannya.“Sst! Jangan ikut campur urusan mereka. Pura-pura tidak tahu saja,” bisik Mahzar, menyikut Kirai. “Namanya juga sepasang kekasih. Pasti ada bumbu pertengkaran kecil, biar makin lengket.”“Apaan sih!” Kirai cemberut.“Kamu … jangan bilang kamu jatuh hati sama dia,” imbuh Mahzar, melempar lirik pada Kuranji. “Dia sudah jadi milik orang. Lebih baik mundur dengan teratur.”Bugh!“Akh!”Nasihat Mahzar dibalas Kirai dengan hantaman siku pada dada sang kakak.“Kalau ngomong, pakai filter. Sembarangan, asal tuduh. Belum tentu mereka pacaran.”“Marah berarti iya,” ledek Mahzar sambil mengusap-usap dadanya yang terasa sakit. “Eh, dari mana kamu tahu mereka bukan sepasang kekasih?”Kirai mengancakkan tinju. “Mau hadiah bogem mentah dariku?”“Cih!” Mahzar mendecih, memilih berhenti menggoda sang adik.
“Huh! Kelihatan saja gampang. Ternyata butuh perjuangan ekstra.”Kuranji berbaring kelelahan, telentang di lantai ruang baca Tuan Guru Tan. Entah sudah berapa kali ia melatih jurus Menghapus Jejak. Walau berhasil menyusun rapi tumpukan buku milik sang guru, masih saja ada yang acak.“Cih! Lemah! Baru beberapa kali latihan sudah keok,” ledek Tuan Guru Tan, melirik sekilas pada Kuranji sambil menikmati secangkir kopi pahit.Napas Kuranji masih ngos-ngosan. “Aduh, Tuan Guru … gerakannya memang sederhana, tapi menguras tenaga dalam.”“Itu karena kau gagal berkali-kali.” Tuan Guru Tan bangkit, melangkah menuju pintu. “Kalau ingin tahu kabar ayahmu, teruslah berlatih. Aku hanya akan memberitahumu setelah kau berhasil menguasai jurus itu.”Kuranji terlonjak duduk, berputar menghadap Tuan Guru Tan. “Tapi, Guru—”“Kau menyerah?”“Tidak, tidak!”“Bagus! Lanjutkan latihanmu!”Tuan Guru Tan menghilang di balik pintu, lagi-lagi meninggalkan Kuranji seorang diri.Jika menuruti lemahnya badan, Kuran
“Tuan Guru, otakku masih terlalu cetek untuk memikirkan hal-hal berat. Lagi pula, aku laki-laki, Tuan Guru. Masa badan kekar begini mainannya bunga.” Kuranji cengengesan.“Bocah semprul!”Tuan Guru Tan mengibaskan tangan, seketika sekumpulan buku, yang berserakan di lantai, melayang ke arah Kuranji, seperti sekawanan lebah yang sedang marah.“Ampun, Tuan Guru! Ampun!” Kuranji melindungi wajah dengan kedua lengannya.Setelah serangan mendadak itu mereda, Tuan Guru Tan bersungut-sungut. “Orang tua lagi serius malah diajak bercanda.”“Hehe … biar tidak cepat pulang ke balik papan, Tuan Guru.”Hanya saat bersama Tuan Guru Tan Kuranji bisa menjadi diri sendiri dan bersikap kekanak-kanakan.“Kuranjiii!”“Iya, iya. Maaf!” Wajah Kuranji berubah serius begitu menerima pelototan dari Tuan Guru Tan.Berulang kali Tuan Guru Tan mendesah.“Kuranji, lima tahun yang lalu, seharusnya usiamu delapan belas tahun.”“Benar, Tuan Guru.”“Artinya, sudah dua belas tahun waktu berlalu, sejak aku membawamu pu
“Tuan Guru, kita sudah sepakat untuk pergi bersama.”“Kali ini, aku sungguh minta maaf, dengan sepuluh jari serta kepala. Kalian pergilah! Aku percaya kalian bisa menyelesaikannya tanpa aku.”“Tapi, Tuan Guru—”“Tolong ….”Dua rekan Tuan Guru Tan mendesah lesu. Jika Tuan Guru Tan telah menggunakan salah satu kata ajaib andalannya, maka tidak ada yang dapat mengubah keputusannya.“Baiklah. Mohon doa restu, Tuan Guru.” Dua lelaki itu menangkupkan tangan di depan dada seraya membungkuk takzim.Tuan Guru Tan meremas pundak keduanya. “Ingat, libatkan Allah dalam segala ucapan dan tindakan! Sekuat apa pun kita sebagai manusia, semua itu tidak akan berguna tanpa rida–Nya.”Sepeninggal kedua rekannya, Tuan Guru Tan memeriksa kereta kuda dan jejak di sekitarnya.Ia berjongkok, meraba jejak kaki kecil yang tercetak samar di atas permukaan jalan. Perlahan ia mulai bangkit dan menyusuri jejak itu.Jejak itu berhenti di tepi sebuah jembatan. Di bawahnya, mengalir sungai berair jernih, cukup dalam
“Hiyaa! Ck, ck, ck! Hiyaa!”Sais menyemangati kuda penarik kereta yang dikendalikannya. Sesekali ia melecut pelan.Hop! Hop!Beberapa lelaki bertopeng yang berbalut pakaian serba hitam tiba-tiba mencegat laju kereta. Ngeeehk!Dua ekor kuda putih meringkik kencang ketika sang kusir menarik tali kekang dengan kuat.Seorang lelaki berusia tiga puluhan dan bocah berumur enam tahun berguncang hebat.“Ayah, aku takut!”“Tidak apa-apa. Ada ayah di sini,” timpal sang ayah seraya merangkul putranya.Setelah kereta tak lagi bergoyang, lelaki itu melepaskan dekapannya pada sang bocah. Ia menangkup pipi anaknya, menatap lembut dengan seulas senyum yang memancar hangat.“Kalau terjadi sesuatu pada ayah, pergilah sejauh mungkin dan jangan pernah menoleh ke belakang!”Lelaki itu menyelipkan sebuah botol kecil ke dalam genggaman putranya. “Jaga baik-baik botol ini!”Suara di luar kereta mulai terdengar berisik. Lelaki itu dapat menerka dengan jelas, sedang berlangsung perkelahian hebat disertai peng
“Masih ingat jalan pulang, hm?”Tuan Guru Tan memasang wajah cemberut.“Ayah, aku hanya sedikit bersenang-senang di luar,” sahut Puti Tan, merengek manja.Seperti biasa, Tuan Guru Tan tidak pernah bisa mempertahankan kemarahan pada sang putri semata wayangnya untuk waktu yang lama.“Setidaknya, ayah senang kau pulang baik-baik saja.”Senyum ceria terbit di wajah Puti Tan. Ia melepaskan diri dari dekapan sang ayah, lalu menyambar lengan Kuranji.“Berkat dia. Ayah tidak lupa, ‘kan?”Netra tenang dan berwibawa milik Tuan Guru Tan menyipit untuk sesaat. Mungkin sedang mencoba menelanjangi sebagian wajah Kuranji yang tersembunyi di balik topeng.Menyadari sang guru menatapnya dalam, Kuranji mengulurkan tangan, menjabat erat sembari mencium takzim punggung tangan lelaki berjenggot itu.“Kuranji?” tebak Tuan Guru Tan.“Iya, Tuan Guru.”“Ih, ayah curang. Kok bisa sih ayah mengenali Kuranji secepat itu?”Awalnya, Puti Tan berniat untuk mengerjai Tuan Guru Tan, agar ia bisa menggoda lelaki tua
Set! Set!Kardit Masiak melesat cepat, terlihat seperti kelebat bayangan hitam yang melintas dengan kecepatan cahaya, berpindah dari satu sisi hutan ke sudut lainnya.Sesaat ia berhenti, memindai kegelapan sekitar dengan netra elangnya. Mendengar suara gerakan yang mencurigakan dari arah belakang, lelaki itu berbalik. ‘Hmm, itu pasti mereka.’Bergegas ia melesat, mendatangi sumber suara tersebut.“Sial! Tidak ada siapa-siapa,” gerutu Kardit Masiak, memperhatikan belukar di hadapannya. “Aku yakin tadi mendengar gerakan dari arah sini.”Netra tajamnya memicing, mengawasi kerimbunan semak yang bergoyang-goyang. Saat ia hendak mengayun langkah untuk memeriksanya, seekor ayam hutan terbang menghambur, mengagetkan dirinya.“Sial! Aku tertipu.” Kardit Masiak berbalik pergi.Beberapa menit sebelum Kardit Masiak tiba di tempat itu …Grep!Hop!Kuranji menyambar pinggang Puti Tan, membawa gadis itu melompat ke dalam lubang.Begitu kaki mereka menjejak tanah, pintu belukar itu pun menutup dengan
Blam!Runduih Ameh menancap pada mata kanan si naga hitam.Makhluk jadi-jadian milik Pendekar Sabuk Maut itu pun menggelinjang liar dengan mulut yang menganga lebar.Runduih Ameh masih terus bergerak, memberikan dorongan kuat hingga si naga hitam terlempar jatuh dan kembali ke bentuk aslinya begitu menyentuh tanah.Jruuung!Swuut!Runduih Ameh melesat balik kepada tuannya.Pendekar Sabuk Maut muntah darah. Ia melotot, tak percaya.“K–kau … s–siapa kau sebenarnya, h–hah?!” tanya Pendekar Sabut Maut sembari membungkuk, memegang dada.Kuranji mengelus pedang pusakanya. Menatap dingin pada Pendekar Sabuk Maut, ia menjawab acuh tak acuh, “Kau tak layak berkenalan denganku.”“B–bang … akh! Uhuk!”Umpatan Pendekar Sabuk Maut tercekat di tenggorokan, berganti dengan rintih kesakitan yang disusul dengan batuk darah.Di sisi lain, beberapa meter dari tempat Kuranji berdiri, Mahzar tampak kewalahan mengimbangi kelebat pedang milik lawannya.Cresh!Senjata milik Pendekar Pedang Kilat berhasil meny