Sementara Daffa Ardiansyah terdiam memikirkan apa yang dikatakan Nilam. "Apa maksud ucapan wanita itu? Aku tidak mengerti?"Gegas, ia mengirimkan sebuah pesan singkat. Ia ingin membuat janji bertemu dengan Nilam dan membicarakan hal yang diucapkan saat di telepon.Dengan perasaan gelisah, Nilam mengiyakan keinginan Daffa Ardiansyah. Pada malam itu juga, Nilam berniat menemui Daffa di sebuah tempat. Jauh dari keramaian. Dan cukup mereka yang akan mengetahui pertemuan ini.Sesuai kesepakatan bersama. Entahlah Nilam sudah tidak bisa menahan lagi, ia harus perlahan melepaskan satu persatu beban yang sudah sangat berat dipundaknya."Sayang, aku pamit dulu ya. Ingin menemui seseorang," pamitnya pada William."Kok mendadak? Memang siapa yang akan kau temui malam-malam begini?" Dengan penasaran Willy mencecar banyak pertanyaan."Aku hanya ingin menemui teman-temanku, Mas. Rindu saja, hanya acara kecil. Kamu tidak perlu ikut," ucapnya lagi menenangkan. Ia bergegas saja pergi tanpa mendengar
"Mas William?" ucap Nilam tidak percaya. Suaminya tiba-tiba saja datang tanpa ia tahu."Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku, Nilam? Kenapa kamu tipu aku mentah-mentah begini? Asal kamu tahu, meski aku seorang pria, aku juga bisa merasa sakit. Jika ada sebuah rahasia besar, namun kamu menutupinya!" ucap William merasa tidak dihargai menjadi suami."Mas? Ini tidak seperti yang kau dengar. Aku bisa jelaskan semua. Tolong, percayalah padaku," jelas Nilam pada William.Ia melangkahkan kaki mendekati Willy. Dan berusaha memeluknya. Namun pria itu menghindarinya.Merasa wanita itu telah banyak membohonginya. Rasanya seperti tidak ada harapan lagi untuk bisa mempercayai ucapan istrinya itu."Sayang, dengarkan! Kepada kalian, aku ingin mengungkapkan satu hal!" teriak Nilam pada akhirnya.Ia sudah tidak mampu lagi membohongi semua keluarga William atau Daffa. Ia harus mengakhiri semuanya.William dan Daffa terdiam dan membiarkan Nilam bicara. "Mas Willy. Sebenarnya, aku bukanlah istrim
"Tolong lepaskan aku, Mas! Sakit!"Nilam berusaha keras menghentikan William yang sangat erat memegang tangannya.Tiada daya, wanita itu telah berada di mobil William. Sementara Daffa tidak dapat melakukan apapun. Ia masih berdiri dengan pikiran yang kosong. Mencerna semua yang di laluinya malam ini. Ingin juga mengikuti mereka ke kantor polisi.Namun, ia berpikir kembali. Jika Luna menceritakan kejadian awal itu. Ia bersama Shireen ikut juga terseret ke penjara. Karena mereka-lah dalang di balik semuanya.Yang masih tidak bisa di terima oleh akal sehatnya, adalah wajah Luna yang menjadi Nilam. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?Sementara di dalam mobil William ...Pria itu mengendarai kendaraannya dalam laju yang kencang. Ia sesekali melirik wajah mendiang sang istri duduk disampingnya.Cih!"Bagaimana bisa kamu melakukan semua ini? Bagaimana bisa kamu menggunakan wajah istriku tanpa seizin kami! Wanita kurang ajar!" umpatnya tiada henti.Nilam hanya bisa menangis histeris. Jika
Saat mendengarkan ucapan Daffa, tubuh Shireen mendadak dingin.Ia ingin mendengarkan ucapan suaminya diulang. "Apa kau bilang, Mas?"Daffa yang malas mengulang perkataannya, dengan mata elang menatap tajam Shireen. "Kamu tuli!" Daffa menyibak rambut Shireen dengan kasarnya. Dan berbicara setengah berteriak, "Luna masih hidup Shireen!"Tubuh yang tadinya dingin menjadi gemetar. Bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah ia menyaksikan sendiri dengan Daffa saat acara pemakaman Luna berlangsung?"Kamu pasti banyak pikiran, Mas. Hingga kau berkata yang bukan-bukan. Luna sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Dan bagaimana mungkin ia bisa hidup kembali? Setelah kita menyaksikan sendiri acara pemakaman itu!" bantah Shireen tak percaya."Aku sama halnya dengan kamu. Sebelumnya, aku tidak percaya dengan apa yang ku lihat sendiri. Namun kenyataannya berbeda, bahwa Luna masih hidup. Dan dia berganti wajah sebagai Nilam!"Deg!Darahnya seakan berhenti. Masih tidak percaya pada penjelasan Daffa selanjutn
Di dalam genangan air. Ia menenggelamkan seluruh tubuh ke dalamnya. Bayangan Nilam yang selama ini berada di sampingnya masih hangat rasa. Ulahnya yang membuat dia tersenyum setiap harinya membuat Willy rindu.Di dalam air ia memejamkan kedua mata. Ia merasakan kehilangan Nilam yang selalu berada di sisinya saat ini."Astaga! Kenapa aku malah memikirkan wanita itu! Tidak! Ini tidak benar. Aku tidak boleh memikirkan wanita itu lagi! Ia wanita penjahat! Ia menipu semua orang. Wanita itu pantas di hukum!"William segera keluar dari bak mandi, menarik handuk berwarna putih di gantungan di atas kamar mandi.Ia melingkarkan handuk di perut dan mengunci bagian ujung handuk di pinggang.Langkahnya yang semula tegap dan berkarisma, kali ini terlihat gontai. Kedua kakinya berjalan melambat.Karena beratnya dipikiran itulah yang membuat kedua kaki itu enggan untuk digerakkan."Tuhan . . Kuatkan hamba."Setelah ia selesai mengenakan pakaiannya dengan rapi. Willy meraih ponsel yang berada di atas
Tidak ada yang bersuara. Hanya langkah mereka patuh mengikuti langkah kaki para polisi.Di RSUD ...Anita dan Seno tidak dapat membendung air mata. Ketegangan dan kegelisahan bercampur menjadi satu.Anita memegang erat lengan Seno, menutupi ketakutan itu. Harapan terbesarnya adalah pernyataan akan mayat itu adalah putri mereka tidak benar.William yang juga belum siap akan kenyataan terburuk, berjalan mondar mandir di depan ruang patologi forensik. Menunggu para petugas medis melakukan tes DNA lengkap."Kenapa kerja mereka lama sekali! Aku muak menunggu lama-lama!" ucap William dengan emosi."Tunggulah dengan sabar Pak Willy," titah salah satu anggota kepolisian.Anita melepaskan pegangan tangan dari lengan Seno, dan mulai menggerakkan kakinya menuju William.Anita menyuruhnya duduk agar bisa lebih tenang."Willy, sabarlah. Mama juga merasakan kesedihan yang lebih darimu. Aku masih berharap jika mayat itu bukan Nilam putriku. Aku tidak akan bisa hidup tanpa dia ..." Seno yang menahan
Pandangan mata Anita gelap, tubuhnya lemas dan terhuyung jatuh di pelukan Luna. Wanita itu tak sadarkan diri.Seno dan Luna panik. Ia tidak menyangka Anita sampai pingsan karena kenyataan ini."Nyonya Anita! Nyonya bangun!" Luna memanggil dengan menepuk-nepuk bahunya.Seno berjalan cepat memutari setengah meja dan memaksa membawa Anita. "Pak polisi! Kembalikan wanita itu ke sel!" teriak Seno.Gegas, ia membopong tubuh Anita menuju rumah sakit. Hati Luna seakan tersayat, ia telah menganggap wanita itu sebagai ibunya sendiri. Dan kini, melihat ia lemah seperti itu, ia tidak kuasa menahan sakitnya juga.Tetes demi tetesan air mata mulai membanjiri kedua pipi. Langkah terasa berat, terpaksa ia gerakan karena dua polisi itu menggelandangnya. Kedua pria berseragam itu mendorongnya masuk kembali ke sel sampai ia terjatuh ke lantai.Tawa riang Weni terdengar memekik telinga Luna. Tampaknya ia sangat bahagia melihat penderitaan Luna.Tubuhnya meringkuk, wajahnya menghadap tembok dengan warna
Di rumah sakit umum daerah...Seno tampak panik. Ia duduk dengan menutup wajahnya sambil menunggu dokter keluar dari ruangan.Sesekali ia melihat jam di tangannya yang sudah bergulir 18 menit. Dia berdecak kesal, akan kinerja dokter yang tidak bisa bekerja dengan cepat. Menengok ke arah pintu beberapa kali, memastikan pintu itu terbuka segera. Pada menit ke-20 barulah pintu ruang itu terbuka, seorang dokter pria baru keluar dari sana berjalan menghampiri Seno, menjelaskan keadaan Anita."Maaf Tuan Seno, saya ingin menjelaskan jika Nyonya Anita mengalami stres berat. Stres berat dapat terjadi bila seseorang mengalami tekanan mental atau emosional yang berlebihan, apakah sebelumnya Nyonya Anita memiliki masalah besar?" tanya dokter setelah menjelaskan."Benar, Dok. Ada banyak masalah akhir-akhir ini di keluarga kami.""Jika tidak di tangani segera, Nyonya akan sering mengalami hal seperti mudah gelisah, merasa frustrasi, mudah tersinggung. Merasa dirinya tidak berharga, serta merasa
"Tidak, Dokter. Saya akan menemani istri saya, saya tidak akan meninggalkan dia.""Oke baiklah. Anda bisa masuk ke ruangannya. Ada ruang khusus didalam untuk Anda beristirahat. Jika Anda lapar cafe dekat dengan ruangan ini.""Terimakasih, Dokter."*****Saat yang ditunggu William telah berlalu. Ia melihat jari Luna bergerak-gerak. Terlihat kedua matanya mengerjap beberapa kali. Dan tak lama kemudian -- kedua mata itu terbuka."Luna? Kamu sudah sadar?" William bertanya dengan mata berkaca-kaca.Luna kesulitan berbicara, karena kulit wajahnya masih terasa kaku, dan perih. "Ya"Hanya jawaban singkat yang dia bisa dengar. William bergegas keluar, dan memberitahu dokter, jika istrinya telah sadar.Tak lama kemudian William kembali bersama dokter. Pria berkulit putih susu, berambut pirang itu segera mengecek kondisi Luna.Beberapa peralatan medis ia gunakan untuk mengecek keadaan Luna. "Kondisi fisik Nyonya Luna baik. Kita bisa menunggu sampai besok. Saya akan buka perban besok pagi.""Syu
Beberapa saat berlalu -- Angel telah sembuh dan diperbolehkan pulang.Wajahnya terlihat penuh dengan sukacita. Karena sebentar lagi, Anita mengatakan jika orang tuanya akan melangsungkan sebuah pernikahan.Sebenarnya gadis kecil itu merasa bingung -- meski ia masih batita, ia sempat berpikir, kenapa mereka harus menikah lagi? Bukankah mereka sudah menjadi pasangan suami istri? Ia tidak berani menanyakan hal itu pada Mama atau Papanya. Cukup melihat mereka bahagia -- ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. Dan mamanya telah menjanjikan jika adik baby sudah sembuh -- boleh dibawa pulang. Ia telah menyiapkan nama yang indah untuk Putri Shiren itu. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Luna dan William tampak menggendong seorang bayi mungil. Dengan riangnya Angel berlari ke arah mereka dan menyambut kedatangan bayi itu di rumahnya."Mama ... Angel telah menyiapkan sebuah nama untuk adik Baby. Bolehkah aku memberi nama Feby?" tanya Angel."Tentu boleh, dong, Sayang." Luna memberi seny
Mereka terkejut melihat mangkuk berisi bubur itu terjatuh setelah seseorang membuangnya paksa.Luna melihat siapa yang melakukan itu -- ternyata Papa Seno. Lekas ia berdiri. "Tega sekali Papa melakukan semua ini? Tidak-kah Papa tahu, jika Angel tidak mau makan? Lihatlah keadaannya sekarang?" bantah Luna.Seno mengacungkan jari telunjuknya. "Siapa kamu? Atas izin siapa kamu berani bicara lantang terhadapku, hah!""Aku minta maaf, Papa. Tapi baru saja Angel mau membuka mulutnya. Dan sekarang, bubur itu sudah dilantai.""Cukup! Aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan Papa! Siapa yang mengizinkan kalian menginjakkan kaki di rumah ini?" bentak Seno -- wajahnya tampak merah padam."Aku, Mas! Sudah! Biarkan mereka disini menemani Angel." Anita meminta Seno dengan harapan."Oppa ... Kenapa Oppa kejam pada Mama dan Papa Angel? Kenapa Oppa memisahkan Angel dengan mereka?" tanya Angel dengan terisak.Anita memeluk tubuh kecil Angel. Ia tidak ingin gadis kecil itu menangis. Baru saja ia te
Sudah beberapa waktu lamanya akhirnya pintu ruang persalinan kembali terbuka. Mereka yang menunggu dari tadi segera menghampiri dokter yang baru keluar melewati pintu -- wajahnya terlihat sedih. Seperti ada sesuatu yang baru saja terjadi.Namun pikiran itu segera ditepis oleh Luna, semoga yang ia pikirkan tidak seperti yang sedang terjadi."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apakah kalian berhasil menyelamatkan keduanya?" Daffa memulai pertanyaan. Dalam beberapa saat pria yang mengenakan jas putih itu diam. Membuat semua yang berada di sana merasa tidak tenang. Diamnya dokter itu -- sudah mewakili jawabannya. Daffa yang memiliki status sebagai suami Shireen, lekas masuk begitu saja ke ruangan persalinan tersebut. Diikuti oleh Luna dan William.Langkah mereka terhenti, setelah melihat seorang perawat menutup tubuh Shireen dengan kain putih sampai atas kepala. Dan perawat lain sibuk membersihkan bayi yang tampak masih merah berlumuran darah -- Setelah beberapa saat -- mereka men
"Luna ... Perutku sakit!"Luna seketika panik. Ia lekas berteriak meminta pertolongan. Beberapa pria berseragam datang, dan memapahnya."Bawa dia kerumah sakit!" titah seorang polisi dengan pangkat tinggi."Berapa usia kandungannya? Apa dia akan melahirkan?" gumam Luna.Ia ikut mendampingi Shireen ke rumah sakit. Dengan mobil salah satu anggota polisi. "Bertahanlah Shireen ..." ucap Luna menguatkan.Ia menggenggam tangan Shireen erat. Ia tidak tahu bagaimana rasanya akan melahirkan. Banyak wanita mengatakan jika sakitnya luar biasa. Kontraksi menjelang persalinan sedikit banyak mirip dengan kram saat menstruasi. Bedanya, kontraksi ini akan terasa beberapa kali lebih berat daripada kram perut menstruasi. Rasa kontraksi juga mirip seperti perut kembung atau 'begah'.Sudah berbagai upaya Luna untuk bisa mendapatkan momongan. Namun tidak ada hasilnya. Selama tujuh tahun ia mendambakan seorang bayi, namun ia masih belum diberi kepercayaan juga.Teringat saat William melakukan dengannya.
Hari itu William sedikit sibuk. Mengurus semua kasus Luna dengan polisi. Ia telah membawa banyak bukti bersama saksi dan pengacara handalnya.Ia tidak perlu mengajak Luna ke kantor. Ia akan tangani sendiri -- tanpa melibatkan Luna. Wanita itu cukup diam saja dikontrakkan menunggu kabar dari William. Pekerjaan itu akan segera ia atasi. Namanya akan kembali bersih. Dan ia akan menikahinya. Dengan identitas aslinya 'LUNA'.Hari itu wanita yang biasanya suka menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan rumah hanya diam saja berpangku tangan.Bingung mau melakukan pekerjaan apa. Setelah semua pekerjaan rumah sudah ia kerjakan. Tidak seperti kediaman Bhaskara -- luasnya berhektar-hektar. Ia hanya cukup membersihkan kontrakan itu dalam waktu sesaat saja.Luna berjalan keluar, dan mendaratkan bobotnya dikursi kayu bersandar dinding depan. Celingukan melihat dari kejauhan -- satu kontrakan jauh yang disewa William."Jaraknya jauh, aku tidak mampu menjangkau wajah pria tampan itu. Ah, aku rindu p
"Kamu?"Luna terkejut akan siapa yang datang malam ini. Ia mendorong Luna masuk. Seketika ia menguncinya dengan cepat."Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" Luna bertanya dalam keadaan takut."Kebetulan kontrakan aku juga dekat dari sini -- aku bisa mengunjungi atm-ku lebih dekat lagi," ucapnya dengan senyum menyeringai."Maksudmu?" Pria itu mendorong tubuh Luna sampai sudut tembok.Luna ingin tetap tenang, meski pikirannya ketakutan. Tubuhnya dingin dan gemetar. "Kenapa sih? Biasanya saja kamu sok jadi bos, sekarang? Uda miskin ya?" ejeknya -- belum tahu kebenaran."Tolong kamu jangan banyak bicara. To the points saja -- kau mau apa? Dan mengapa kau mengunci pintunya?" Luna mengangkat alisnya menguatkan diri. Meski sebenarnya ia paham pria itu akan melakukan apa."Sebenarnya aku mau uangmu, beberapa bulan terakhir, tidak ada job apapun darimu atau boss lain," ucapnya memberi alasan."Aku tidak ada uang!" bantahnya dengan membulatkan kedua mata ."Oh ya, ka
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan menerimanya!"Perkataan itu membuat hati Anita tersentak. Ia harus menyadarkan suaminya untuk menerima Luna.Anita tidak melanjutkan obrolan ditelpon. "Pa, kita bicarakan lagi di rumah nanti ya, Mama tutup telponnya," ujarnya -- menghentikan serangan pertanyaan dari William.Ia melihat keatas kaca spion. Terlihat jelas kedua insan yang bukan anak kandungnya itu tertawa bahagia. Ia tidak akan merusaknya. Ia sudah ikhlas menerima kenyataan jika putrinya telah meninggal dunia. "Ma, kenapa diam setelah melakukan panggilan pada Papa? Apa yang Papa katakan?" tanya William -- membuyarkan lamunannya."Ah! Tidak! Tidak ada yang Papa katakan." Anita terdengar gugup. Setelah menjawabnya.Luna merasa jika Seno tidak akan mau menerima dirinya disana. Luna sangat tahu diri. Ia pun bisa merasakan hal yang sama dengan Seno.Kehilangan seseorang yang dikasihi -- dan parahnya dia sendiri yang memanfaatkan kesempatan itu untuk memakai identitasnya. Ia lebih memil
William menciumi tangan Luna beberapa kali. Ia yakin dan sadar -- jika dia sangat mencintai Luna.Perasaan sedihnya-- berganti kebahagiaan, karena menemukan Luna di sini."Sudah lepaskan Mas, tidak enak dilihat banyak orang. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita. Aku sangat malu sekali."Luna mencoba menyingkirkan genggaman tangan William. Tampaknya ia enggan melepasnya. Semakin Luna menyuruh melepaskan, ia semakin erat menggenggamnya.Dua sudut bibir Willy mengembang selalu. Terpancar kebahagiaan di kedua matanya. Luna tidak pernah melihat pria itu sebahagia ini."Aku tidak mau melepaskan tanganmu, apa lagi melepaskan dirimu untuk pergi. Sungguh aku tidak akan bisa bertahan tanpamu, Luna." Perkataan William membuat air mata Luna berlinang.Jemari Willy mengusap air mata yang tiba-tiba bergulir. Ia tidak tahu -- Apa yang menyebabkan dia menjatuhkan air hangat dari kedua bola matanya?"Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak bahagia jika akan hidup bersamaku? Hem?" tanya William mengan