Di rumah sakit umum daerah...Seno tampak panik. Ia duduk dengan menutup wajahnya sambil menunggu dokter keluar dari ruangan.Sesekali ia melihat jam di tangannya yang sudah bergulir 18 menit. Dia berdecak kesal, akan kinerja dokter yang tidak bisa bekerja dengan cepat. Menengok ke arah pintu beberapa kali, memastikan pintu itu terbuka segera. Pada menit ke-20 barulah pintu ruang itu terbuka, seorang dokter pria baru keluar dari sana berjalan menghampiri Seno, menjelaskan keadaan Anita."Maaf Tuan Seno, saya ingin menjelaskan jika Nyonya Anita mengalami stres berat. Stres berat dapat terjadi bila seseorang mengalami tekanan mental atau emosional yang berlebihan, apakah sebelumnya Nyonya Anita memiliki masalah besar?" tanya dokter setelah menjelaskan."Benar, Dok. Ada banyak masalah akhir-akhir ini di keluarga kami.""Jika tidak di tangani segera, Nyonya akan sering mengalami hal seperti mudah gelisah, merasa frustrasi, mudah tersinggung. Merasa dirinya tidak berharga, serta merasa
Pada senjang waktu yang sudah di tetapkan, hari itu adalah hari dimana para rentenir datang untuk mengambil alih tanah beserta rumah Daffa Ardiansyah, jika pria itu tidak dapat melunasi hutangnya.Wajahnya sangat bersinar bak matahari terbit, karena Daffa Ardiansyah sampai hari ini tidak memberi kabar akan melunasi hutang-hutangnya, berarti dalam artian ia tidak bisa membayar. Ia siap mengantongi surat kepemilikan rumah beserta tanahnya. Ini adalah tujuan utama para rentenir memberi bantuan pinjaman dengan bunga yang mencekik. Tepat pukul 07.00 pagi dua orang bertubuh kekar bersama satu pria yang tubuhnya di bawah tinggi dua pria yang mengapitnya menggedor pintu utama kediaman Daffa. Pria dengan setelan jas berwarna hitam dengan dasi kotak biru, sesekali menggelintir kumis tipisnya yang panjang dengan ujung melengkung.Ia melipat tangan di dada dengan perasaan gembira, sambil menunggu pintu terbuka. Setelah beberapa menit lamanya, pintu berukiran itu tidak kunjung terbuka. Membuat
Hari itu, William berniat pergi ke penjara mengunjungi Luna. Meski ia masih merasa itu adalah Nilam.Angel yang mengetahui William hendak menemui Nilam, segera berlari mengejarnya. "Papa ... Angel mau ikut papa ... Boleh ya, Pa?" pinta Angel memelas. Ia terlihat sekali merindukan ibunya.'Andaikan kau tahu. Jika Mama Nilam sudah tiada ...' "Papa kenapa diam? Angel ikut ya ..." William duduk dan berjongkok. Mencium pipi kanan dan kiri lalu mengusapnya pelan."Papa pergi ke kantor, mungkin setelah pulang kerja nanti. Papa akan menemui Mama Nilam," kata William menjelaskan."Ya ... Angel sudah sangat rindu Mama. Kenapa masih harus menunggu sore. Apa tidak bisa bertemu mama sekarang?" Angel memaksa. Ia mulai merengek."Tidak bisa, Mama sedang kerja. Jadi nunggu pulang dulu ya ..." tolak Willy halus.Terpaksa Angel mengangguk. Ia mau menjadi anak baik. Ia tahu, jika Papanya mengatakan nanti, maka ia akan menepati janjinya."Baik, Pa."*****Saat di kantor perusahaan Bhaskara ...Hari
"Aku sudah menggilai Anda, Pak!" kata Tiara membuat Willy terkejut.Disaat yang tidak tepat ia berani mengatakan hal itu. Ia seperti seorang wanita yang tidak memiliki harga diri saja."Kamu memang sudah gila! Kau tidak waras Tiara! Kau tahu aku sedang membutuhkan teman untuk berbagi. Kamu malah mengatakan hal tidak jelas. Keluar kamu Tiara!" ancam Willy. Ia menunjuk pintu. Memberi isyarat untuk dia agar segera keluar dari ruang kerjanya.Tiara berdiri dan mendekati Willy. Ia mengelus pipi Willy dengan berani. William yang merasa pusing, segera ia menyingkirkan tangan mulus Tiara. "Wanita kurang ajar kamu Tiara!" umpat William.Tiara tersenyum seperti tidak bersalah. Ia melangkahkan kaki meninggalkan William. Saat ia membuka pintu, ia masih menyempatkan menoleh Willy. Pria itu membulatkan kedua bola mata, seakan mengancamnya.Setelah William sudah tak lagi melihat wanita itu, ia membanting tubuhnya di atas kursi kerja miliknya.Ia memutar ke kanan ke kiri, seperti yang di lakukan
William melihat mereka dengan pilu. Hatinya terasa tertusuk. Dua telinganya tak mampu untuk mendengar pembicaraan memilukan mereka.Kedua kakinya terpaksa melangkah meninggalkan ruangan itu. Sesekali kedua ekor matanya melirik ke arah mereka. Hingga tanpa sadar bulir air mata terjatuh jua di pelupuk mata. Tanpa sengetahuan ketiganya ia menyeka pelan.Sementara Angel masih dalam pelukan Luna. Ia memeluk tubuh Luna dengan erat sekali. Tidak ingin melepaskan. Jemarinya yang lentik, membelai rambut Angel hingga ujung. Kedua tangannya lalu mendekap tubuh Angel. Bibirnya berat untuk terbuka. Jika tidak ada Anita disana, ia akan mengungkap kan perasaan rindu dan sayangnya pada Angel sekarang. Tapi, disana ada Anita. Luna tidak ingin dinilai oleh mereka merusak kehidupan mereka kembali oleh kedatangannya."Sayang ... Setelah ini kamu pulang ya," ajak Anita. Ia juga memperlakukan sama pada Luna. "Maafkan saya Bu Anita.""Kenapa kamu panggil saya ibu? Saya ini orang tua kandung kamu," ucap
"Mas Willy?" sapanya lirih. Saat kedua matanya membulat tak percaya. Dua polisi mengantarkan Luna sampai didepan kursi ruang tunggu dimana Willy menunggunya."Silahkan Ibu Nilam, Anda bebas." ucap salah satu pria berseragam lengkap tersebut."Bagaimana bisa mereka bisa berubah, memanggilku dengan sebutan Nilam? Apa yang sebenarnya terjadi." Wanita yang tidak lagi memakai baju tahanan berwarna biru itu berjalan pelan dan duduk di hadapan Willy."Sayang!" sapa Willy, ia berdiri dan memeluk tubuh Luna erat.Sementara Luna diam membatu. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa dia berubah? Dan sayang? Sapaan itu mengingatkannya pada saat ia menjadi istri William.William melepas pelukannya, ia memegang pipi Luna seraya mengatakan, "Sayang ... Maafkan aku ya? Aku akan menebus kesalahanku selama ini. Kamu mau kan maafkan aku?" Luna masih tidak mengerti. Apa maksud dari ucapannya.Pria itu menunggu Luna membuka mulutnya, menunggu ia bicara kembali. "Kenapa kamu diam? Apa kamu sa
"Kenapa mereka lama sekali. Bisa tidak mereka bekerja lebih cepat! Jika bekerja lama seperti ini, apakah mereka bisa menjamin keselamatan pasiennya? Benar-benar tidak kompeten!" William berdiri tidak sabar. Ia mengumpat dengan menggertakkan gigi-giginya.Berawal dari lampu merah padam, sampai mereka menunggu beberapa menit lagi mereka tidak kunjung keluar dari sana.William berjalan mendekati pintu, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang dokter dengan baju dinasnya bersiap memberikan informasi pada pihak keluarga."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter?" William tidak sabar."Maaf sebelumnya, Pak William. Saya harus menyampaikan sebuah kabar,-"Belum selesai dokter menjelaskan, William memotongnya. "Kabar apa dokter? Dokter harus menyelamatkannya, dia tidak boleh meninggal. Istri saya harus selamat, Dokter!"Kembali hening..."Tunggu Pak William. Biarkan saya menjelaskannya."Seno menarik lengan Willy. Ia menyuruhnya untuk menahan diri. "Sabar William. Dengar penjelasan Dokter."
Malam itu Luna diperbolehkan oleh dokter pulang. Keadaannya sudah lebih baik dari sebelumnya.Beliau berpesan kepada keluarga Bhaskara untuk tidak memaksa mengingat semua tentang masa lalunya. Ingatan Itu akan datang sendiri seiring berjalannya waktu.Karena itu akan menyebabkan kontraksi pikiran dan otaknya yang menimbulkan rasa sakit luar biasa di kepala.Meski dengan berat hati akhirnya Willy dan Seno membawa Luna pulang. Dokter sudah menjelaskan satu persatu keluarga yang sering datang membesuknya. Dan perlahan-lahan Luna mau menerima. Meski ia sama sekali tidak ingat dengan mereka."Pelan-pelan, Sayang!" ucap Willy saat memapah tubuh Luna yang hampir terjatuh.Luna mencoba menyingkirkan dua tangan itu dari kedua bahunya. Membuat Willy merasa sedih. Namun William bukan tipe pria yang mudah menyerah. Willy akan tetap berusaha untuk merawat dan menjaga istrinya sampai ia mengingat semuanya.Saat pintu kediaman Bhaskara terbuka, tampak seorang malaikat kecil sedang berdiri di sana me
"Tidak, Dokter. Saya akan menemani istri saya, saya tidak akan meninggalkan dia.""Oke baiklah. Anda bisa masuk ke ruangannya. Ada ruang khusus didalam untuk Anda beristirahat. Jika Anda lapar cafe dekat dengan ruangan ini.""Terimakasih, Dokter."*****Saat yang ditunggu William telah berlalu. Ia melihat jari Luna bergerak-gerak. Terlihat kedua matanya mengerjap beberapa kali. Dan tak lama kemudian -- kedua mata itu terbuka."Luna? Kamu sudah sadar?" William bertanya dengan mata berkaca-kaca.Luna kesulitan berbicara, karena kulit wajahnya masih terasa kaku, dan perih. "Ya"Hanya jawaban singkat yang dia bisa dengar. William bergegas keluar, dan memberitahu dokter, jika istrinya telah sadar.Tak lama kemudian William kembali bersama dokter. Pria berkulit putih susu, berambut pirang itu segera mengecek kondisi Luna.Beberapa peralatan medis ia gunakan untuk mengecek keadaan Luna. "Kondisi fisik Nyonya Luna baik. Kita bisa menunggu sampai besok. Saya akan buka perban besok pagi.""Syu
Beberapa saat berlalu -- Angel telah sembuh dan diperbolehkan pulang.Wajahnya terlihat penuh dengan sukacita. Karena sebentar lagi, Anita mengatakan jika orang tuanya akan melangsungkan sebuah pernikahan.Sebenarnya gadis kecil itu merasa bingung -- meski ia masih batita, ia sempat berpikir, kenapa mereka harus menikah lagi? Bukankah mereka sudah menjadi pasangan suami istri? Ia tidak berani menanyakan hal itu pada Mama atau Papanya. Cukup melihat mereka bahagia -- ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. Dan mamanya telah menjanjikan jika adik baby sudah sembuh -- boleh dibawa pulang. Ia telah menyiapkan nama yang indah untuk Putri Shiren itu. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Luna dan William tampak menggendong seorang bayi mungil. Dengan riangnya Angel berlari ke arah mereka dan menyambut kedatangan bayi itu di rumahnya."Mama ... Angel telah menyiapkan sebuah nama untuk adik Baby. Bolehkah aku memberi nama Feby?" tanya Angel."Tentu boleh, dong, Sayang." Luna memberi seny
Mereka terkejut melihat mangkuk berisi bubur itu terjatuh setelah seseorang membuangnya paksa.Luna melihat siapa yang melakukan itu -- ternyata Papa Seno. Lekas ia berdiri. "Tega sekali Papa melakukan semua ini? Tidak-kah Papa tahu, jika Angel tidak mau makan? Lihatlah keadaannya sekarang?" bantah Luna.Seno mengacungkan jari telunjuknya. "Siapa kamu? Atas izin siapa kamu berani bicara lantang terhadapku, hah!""Aku minta maaf, Papa. Tapi baru saja Angel mau membuka mulutnya. Dan sekarang, bubur itu sudah dilantai.""Cukup! Aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan Papa! Siapa yang mengizinkan kalian menginjakkan kaki di rumah ini?" bentak Seno -- wajahnya tampak merah padam."Aku, Mas! Sudah! Biarkan mereka disini menemani Angel." Anita meminta Seno dengan harapan."Oppa ... Kenapa Oppa kejam pada Mama dan Papa Angel? Kenapa Oppa memisahkan Angel dengan mereka?" tanya Angel dengan terisak.Anita memeluk tubuh kecil Angel. Ia tidak ingin gadis kecil itu menangis. Baru saja ia te
Sudah beberapa waktu lamanya akhirnya pintu ruang persalinan kembali terbuka. Mereka yang menunggu dari tadi segera menghampiri dokter yang baru keluar melewati pintu -- wajahnya terlihat sedih. Seperti ada sesuatu yang baru saja terjadi.Namun pikiran itu segera ditepis oleh Luna, semoga yang ia pikirkan tidak seperti yang sedang terjadi."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apakah kalian berhasil menyelamatkan keduanya?" Daffa memulai pertanyaan. Dalam beberapa saat pria yang mengenakan jas putih itu diam. Membuat semua yang berada di sana merasa tidak tenang. Diamnya dokter itu -- sudah mewakili jawabannya. Daffa yang memiliki status sebagai suami Shireen, lekas masuk begitu saja ke ruangan persalinan tersebut. Diikuti oleh Luna dan William.Langkah mereka terhenti, setelah melihat seorang perawat menutup tubuh Shireen dengan kain putih sampai atas kepala. Dan perawat lain sibuk membersihkan bayi yang tampak masih merah berlumuran darah -- Setelah beberapa saat -- mereka men
"Luna ... Perutku sakit!"Luna seketika panik. Ia lekas berteriak meminta pertolongan. Beberapa pria berseragam datang, dan memapahnya."Bawa dia kerumah sakit!" titah seorang polisi dengan pangkat tinggi."Berapa usia kandungannya? Apa dia akan melahirkan?" gumam Luna.Ia ikut mendampingi Shireen ke rumah sakit. Dengan mobil salah satu anggota polisi. "Bertahanlah Shireen ..." ucap Luna menguatkan.Ia menggenggam tangan Shireen erat. Ia tidak tahu bagaimana rasanya akan melahirkan. Banyak wanita mengatakan jika sakitnya luar biasa. Kontraksi menjelang persalinan sedikit banyak mirip dengan kram saat menstruasi. Bedanya, kontraksi ini akan terasa beberapa kali lebih berat daripada kram perut menstruasi. Rasa kontraksi juga mirip seperti perut kembung atau 'begah'.Sudah berbagai upaya Luna untuk bisa mendapatkan momongan. Namun tidak ada hasilnya. Selama tujuh tahun ia mendambakan seorang bayi, namun ia masih belum diberi kepercayaan juga.Teringat saat William melakukan dengannya.
Hari itu William sedikit sibuk. Mengurus semua kasus Luna dengan polisi. Ia telah membawa banyak bukti bersama saksi dan pengacara handalnya.Ia tidak perlu mengajak Luna ke kantor. Ia akan tangani sendiri -- tanpa melibatkan Luna. Wanita itu cukup diam saja dikontrakkan menunggu kabar dari William. Pekerjaan itu akan segera ia atasi. Namanya akan kembali bersih. Dan ia akan menikahinya. Dengan identitas aslinya 'LUNA'.Hari itu wanita yang biasanya suka menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan rumah hanya diam saja berpangku tangan.Bingung mau melakukan pekerjaan apa. Setelah semua pekerjaan rumah sudah ia kerjakan. Tidak seperti kediaman Bhaskara -- luasnya berhektar-hektar. Ia hanya cukup membersihkan kontrakan itu dalam waktu sesaat saja.Luna berjalan keluar, dan mendaratkan bobotnya dikursi kayu bersandar dinding depan. Celingukan melihat dari kejauhan -- satu kontrakan jauh yang disewa William."Jaraknya jauh, aku tidak mampu menjangkau wajah pria tampan itu. Ah, aku rindu p
"Kamu?"Luna terkejut akan siapa yang datang malam ini. Ia mendorong Luna masuk. Seketika ia menguncinya dengan cepat."Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" Luna bertanya dalam keadaan takut."Kebetulan kontrakan aku juga dekat dari sini -- aku bisa mengunjungi atm-ku lebih dekat lagi," ucapnya dengan senyum menyeringai."Maksudmu?" Pria itu mendorong tubuh Luna sampai sudut tembok.Luna ingin tetap tenang, meski pikirannya ketakutan. Tubuhnya dingin dan gemetar. "Kenapa sih? Biasanya saja kamu sok jadi bos, sekarang? Uda miskin ya?" ejeknya -- belum tahu kebenaran."Tolong kamu jangan banyak bicara. To the points saja -- kau mau apa? Dan mengapa kau mengunci pintunya?" Luna mengangkat alisnya menguatkan diri. Meski sebenarnya ia paham pria itu akan melakukan apa."Sebenarnya aku mau uangmu, beberapa bulan terakhir, tidak ada job apapun darimu atau boss lain," ucapnya memberi alasan."Aku tidak ada uang!" bantahnya dengan membulatkan kedua mata ."Oh ya, ka
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan menerimanya!"Perkataan itu membuat hati Anita tersentak. Ia harus menyadarkan suaminya untuk menerima Luna.Anita tidak melanjutkan obrolan ditelpon. "Pa, kita bicarakan lagi di rumah nanti ya, Mama tutup telponnya," ujarnya -- menghentikan serangan pertanyaan dari William.Ia melihat keatas kaca spion. Terlihat jelas kedua insan yang bukan anak kandungnya itu tertawa bahagia. Ia tidak akan merusaknya. Ia sudah ikhlas menerima kenyataan jika putrinya telah meninggal dunia. "Ma, kenapa diam setelah melakukan panggilan pada Papa? Apa yang Papa katakan?" tanya William -- membuyarkan lamunannya."Ah! Tidak! Tidak ada yang Papa katakan." Anita terdengar gugup. Setelah menjawabnya.Luna merasa jika Seno tidak akan mau menerima dirinya disana. Luna sangat tahu diri. Ia pun bisa merasakan hal yang sama dengan Seno.Kehilangan seseorang yang dikasihi -- dan parahnya dia sendiri yang memanfaatkan kesempatan itu untuk memakai identitasnya. Ia lebih memil
William menciumi tangan Luna beberapa kali. Ia yakin dan sadar -- jika dia sangat mencintai Luna.Perasaan sedihnya-- berganti kebahagiaan, karena menemukan Luna di sini."Sudah lepaskan Mas, tidak enak dilihat banyak orang. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita. Aku sangat malu sekali."Luna mencoba menyingkirkan genggaman tangan William. Tampaknya ia enggan melepasnya. Semakin Luna menyuruh melepaskan, ia semakin erat menggenggamnya.Dua sudut bibir Willy mengembang selalu. Terpancar kebahagiaan di kedua matanya. Luna tidak pernah melihat pria itu sebahagia ini."Aku tidak mau melepaskan tanganmu, apa lagi melepaskan dirimu untuk pergi. Sungguh aku tidak akan bisa bertahan tanpamu, Luna." Perkataan William membuat air mata Luna berlinang.Jemari Willy mengusap air mata yang tiba-tiba bergulir. Ia tidak tahu -- Apa yang menyebabkan dia menjatuhkan air hangat dari kedua bola matanya?"Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak bahagia jika akan hidup bersamaku? Hem?" tanya William mengan