"Kenapa mereka lama sekali. Bisa tidak mereka bekerja lebih cepat! Jika bekerja lama seperti ini, apakah mereka bisa menjamin keselamatan pasiennya? Benar-benar tidak kompeten!" William berdiri tidak sabar. Ia mengumpat dengan menggertakkan gigi-giginya.Berawal dari lampu merah padam, sampai mereka menunggu beberapa menit lagi mereka tidak kunjung keluar dari sana.William berjalan mendekati pintu, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang dokter dengan baju dinasnya bersiap memberikan informasi pada pihak keluarga."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter?" William tidak sabar."Maaf sebelumnya, Pak William. Saya harus menyampaikan sebuah kabar,-"Belum selesai dokter menjelaskan, William memotongnya. "Kabar apa dokter? Dokter harus menyelamatkannya, dia tidak boleh meninggal. Istri saya harus selamat, Dokter!"Kembali hening..."Tunggu Pak William. Biarkan saya menjelaskannya."Seno menarik lengan Willy. Ia menyuruhnya untuk menahan diri. "Sabar William. Dengar penjelasan Dokter."
Malam itu Luna diperbolehkan oleh dokter pulang. Keadaannya sudah lebih baik dari sebelumnya.Beliau berpesan kepada keluarga Bhaskara untuk tidak memaksa mengingat semua tentang masa lalunya. Ingatan Itu akan datang sendiri seiring berjalannya waktu.Karena itu akan menyebabkan kontraksi pikiran dan otaknya yang menimbulkan rasa sakit luar biasa di kepala.Meski dengan berat hati akhirnya Willy dan Seno membawa Luna pulang. Dokter sudah menjelaskan satu persatu keluarga yang sering datang membesuknya. Dan perlahan-lahan Luna mau menerima. Meski ia sama sekali tidak ingat dengan mereka."Pelan-pelan, Sayang!" ucap Willy saat memapah tubuh Luna yang hampir terjatuh.Luna mencoba menyingkirkan dua tangan itu dari kedua bahunya. Membuat Willy merasa sedih. Namun William bukan tipe pria yang mudah menyerah. Willy akan tetap berusaha untuk merawat dan menjaga istrinya sampai ia mengingat semuanya.Saat pintu kediaman Bhaskara terbuka, tampak seorang malaikat kecil sedang berdiri di sana me
Seorang pria lansia sesekali menggebrak meja dengan keras. Ia memuntahkan rasa kesalnya dengan tindakan refleks.Ia mencibir, bahkan mengumpat. Akan keputusan dirinya yang ia ambil namun nyatanya adalah jalan yang salah.Penyesalan tidak datang di awal, setelah tindakan yang ia buat, kali ini harus berpikir keras untuk melanjutkan sandiwaranya.Bukan ia melakukan untuk dirinya sendiri, namun untuk cucu dan istrinya yang teramat menginginkan wanita itu kembali ke rumah mereka.Ia harus bekerja lebih keras lagi untuk mengembalikan ingatan Luna. "Ah! Bodoh sekali! Kenapa aku tidak berpikir, jika amnesia Luna membawa keberuntungan? Jadi aku tidak perlu memaksa wanita itu untuk menjadi istri palsu William."Seperti orang tidak waras saja. Pria berumur itu menarik ujung kumisnya yang tipis. Merasa kesal, dan akhirnya ia mengangkat dua sudut bibirnya untuk tersenyum."Ha ha ha, ya. Jika dia amnesia maka semuanya akan menjadi mudah. Ia tidak perlu mengaku lagi, jika dia adalah Luna. Meski aku
Beberapa saat dokter telah memeriksa dan memberikan sebuah suntikan untuk memulihkan keadaannya. Tubuhnya demam. Membuat William semakin cemas. Dokter menenangkan agar ia tidak perlu khawatir. Ia hanya membutuhkan istirahat dan perhatian. Semua dihimbau agar tidak memberikan berita atau informasi mengejutkan, agar kejadian serupa tidak terulang kembali.Selepas dokter pergi ..."Sebenarnya apa yang menyebabkan Nilam pingsan? Adakah kalian tahu sebabnya?" tanya William.Kedua matanya saling menyelidik. Disana berdiri dengan wajah ketakutan Bibi Kira dan Marni menundukkan kepala. Dan Anita menggeleng kepalanya.Hanya Angel yang berusaha menjawabnya. "Papa, maaf sebelumnya ...""Maaf Angel. Papa ingin bertanya pada mereka karena keadaan Mama." William memotong ucapan Angel."Tapi Pa-, Angel tahu kenapa Mama sampai pingsan. Karena Mama dan Angel tadi membaca sebuah berita di media sosial. Jika papa sebelumnya memasukkan Mama ke dalam penjara. Bukan begitu Pa?" Angel menunjuk dengan jar
Shireen mengambilnya, dan membuka isi dompet. Terlihat beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan.Kembali ia menutupnya, dan memasukkan ke dalam saku baju. Menoleh ke sana kemari tidak ada seseorang yang mencari. Gegas dia membawanya pulang. Sedikit kegembiraan terlukis di wajah Shireen. Daffa yang menunggunya, duduk di kursi ruang tamu kecil, melihat kedua tangan Shireen yang tidak membawa apapun.Sebelum ia membuka mulut untuk memarahinya, Shireen buru-buru menutup pintu dan memperlihatkannya pada Daffa."Mas, aku menemukan uang ini di sebelah warung tetangga sebelah. Kita pakai, atau kita kembalikan saja ya?" tanya Shireen, meski hatinya berharap untuk memiliki uang itu. "Dasar bodoh kamu! Ya kita pakai saja! Kamu tahu sendiri kita sedang kekurangan uang. Ini namanya rezeki," jelas Daffa. Ia lekas meraih dompet itu dan mengambil seluruh isinya.Daffa menghitung jumlahnya, dan itu cukup untuk satu Minggu kedepannya. Tidak ada kartu identitas disana. Ia anggap aman.Ia menyerahk
"Sebenarnya apa yang telah papa lakukan?" William tidak percaya. Saat itu Seno menjelaskan jika semua adalah rencana Seno. Ia telah menukar hasil tes DNA antara Luna dan Nilam.Tubuh William gemetar. Ia tidak habis pikir, perbuatan itu bisa dilakukan oleh papanya."Papa gila! Papa tidak memikirkan bagaimana sedihnya perasaanku! Papa melakukan permainan dalam rumah tanggaku dengan Nilam." William terduduk di kursi. Tubuhnya nyaris lemas."Untuk sementara ini, biarin saja Mama kamu dan Angel menerima Luna sebagai Nilam. Biarkan saja hingga Anita sembuh. Papa akan pikirkan langkah selanjutnya.""Entahlah, Pa. Aku bisa melanjutkan hidup ini atau tidak. Willy yakin, tidak akan sanggup." Pria itu keluar ruangan dengan segera. Dan membanting pintu ruang Seno keras, menunjukkan amarahnya. *****Brak brak brak!Semua yang ada di meja kerja di banting berserakan di lantai. Pikirannya kembali penuh -- tidak menyangka jika kebahagiaan yang hanya sebentar ini berawal dari sandiwara Seno.Ia men
Matahari mulai bergerak berpindah. Cahaya mulai redup digantikan sinar rembulan yang syahdu. Terlihat malu-malu karena tertutup awan.Perlahan angin malam meniupnya, sedikit demi sedikit muncul juga sinar purnama yang indah menghiasi malam. Rupa sempurna tampak dari atas langit.Luna terdiam diatas balkon kamar. Ia berdiri di antara pagar besi pembatas lantai atas. Dengan meletakkan kedua tangan di atasnya setinggi dada.Ia menatap langit. Melihat kerlip bintang bertaburan indah disana. Terlihat damai. Namun tidak untuk dirinya saat ini.Gundah gulana menyelimuti hati dan pikiran. Entah cobaan apa lagi yang harus ia jalani. Baru saja William menjelaskan keadaannya setelah kecelakaan beberapa hari lalu.Tubuhnya sedikit lemas. Hampir seluruh tubuhnya terasa dingin. Keadaan yang disebabkan oleh pikirannya yang terlalu membebani. Pria itu pergi begitu saja setelah bercerita. Ia tidak melihat respon dirinya yang hampir tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Hingga ia bersandar dipagar be
William memperhatikan Seno. Ia ingin mengatakan jika akan mengajak Luna kembali bekerja bersama mereka di perusahaan. "Pa," sapanya pelan. Saat pria lansia itu selesai pada suapan keduanya. Ia menghentikan pekerjaan itu lalu menoleh ke arah Willy yang duduk tidak jauh darinya. "Ya?" jawabnya dengan menaikkan alis."William ingin mengajak Nilam bergabung kembali di perusahaan. Apa Papa mengizinkannya!" tanya Willy ragu-ragu.Seno melanjutkan memberi suapan kesekian, dan mengunyah beberapa kali. Tidak segera memberi William tanggapan. Hening.Angel membuka keheningan. "Kenapa jadi seperti kuburan sih, meja makan ini?" Luna hanya diam saja. Ia tidak ingin mencampuri urusan mereka. Tugasnya disini hanya menjadi putri Anita dan ibu yang baik untuk Angel. Selain itu ia sudah tidak memiliki hak. "Bagaimana, Pa?" tanya William sekali lagi. "Tidak!" jawabnya dengan menjatuhkan telapak tangan di meja.Seno mendorong kursi kebelakang, berdiri dan pergi begitu saja meninggalkan meja makan. T
"Tidak, Dokter. Saya akan menemani istri saya, saya tidak akan meninggalkan dia.""Oke baiklah. Anda bisa masuk ke ruangannya. Ada ruang khusus didalam untuk Anda beristirahat. Jika Anda lapar cafe dekat dengan ruangan ini.""Terimakasih, Dokter."*****Saat yang ditunggu William telah berlalu. Ia melihat jari Luna bergerak-gerak. Terlihat kedua matanya mengerjap beberapa kali. Dan tak lama kemudian -- kedua mata itu terbuka."Luna? Kamu sudah sadar?" William bertanya dengan mata berkaca-kaca.Luna kesulitan berbicara, karena kulit wajahnya masih terasa kaku, dan perih. "Ya"Hanya jawaban singkat yang dia bisa dengar. William bergegas keluar, dan memberitahu dokter, jika istrinya telah sadar.Tak lama kemudian William kembali bersama dokter. Pria berkulit putih susu, berambut pirang itu segera mengecek kondisi Luna.Beberapa peralatan medis ia gunakan untuk mengecek keadaan Luna. "Kondisi fisik Nyonya Luna baik. Kita bisa menunggu sampai besok. Saya akan buka perban besok pagi.""Syu
Beberapa saat berlalu -- Angel telah sembuh dan diperbolehkan pulang.Wajahnya terlihat penuh dengan sukacita. Karena sebentar lagi, Anita mengatakan jika orang tuanya akan melangsungkan sebuah pernikahan.Sebenarnya gadis kecil itu merasa bingung -- meski ia masih batita, ia sempat berpikir, kenapa mereka harus menikah lagi? Bukankah mereka sudah menjadi pasangan suami istri? Ia tidak berani menanyakan hal itu pada Mama atau Papanya. Cukup melihat mereka bahagia -- ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. Dan mamanya telah menjanjikan jika adik baby sudah sembuh -- boleh dibawa pulang. Ia telah menyiapkan nama yang indah untuk Putri Shiren itu. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Luna dan William tampak menggendong seorang bayi mungil. Dengan riangnya Angel berlari ke arah mereka dan menyambut kedatangan bayi itu di rumahnya."Mama ... Angel telah menyiapkan sebuah nama untuk adik Baby. Bolehkah aku memberi nama Feby?" tanya Angel."Tentu boleh, dong, Sayang." Luna memberi seny
Mereka terkejut melihat mangkuk berisi bubur itu terjatuh setelah seseorang membuangnya paksa.Luna melihat siapa yang melakukan itu -- ternyata Papa Seno. Lekas ia berdiri. "Tega sekali Papa melakukan semua ini? Tidak-kah Papa tahu, jika Angel tidak mau makan? Lihatlah keadaannya sekarang?" bantah Luna.Seno mengacungkan jari telunjuknya. "Siapa kamu? Atas izin siapa kamu berani bicara lantang terhadapku, hah!""Aku minta maaf, Papa. Tapi baru saja Angel mau membuka mulutnya. Dan sekarang, bubur itu sudah dilantai.""Cukup! Aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan Papa! Siapa yang mengizinkan kalian menginjakkan kaki di rumah ini?" bentak Seno -- wajahnya tampak merah padam."Aku, Mas! Sudah! Biarkan mereka disini menemani Angel." Anita meminta Seno dengan harapan."Oppa ... Kenapa Oppa kejam pada Mama dan Papa Angel? Kenapa Oppa memisahkan Angel dengan mereka?" tanya Angel dengan terisak.Anita memeluk tubuh kecil Angel. Ia tidak ingin gadis kecil itu menangis. Baru saja ia te
Sudah beberapa waktu lamanya akhirnya pintu ruang persalinan kembali terbuka. Mereka yang menunggu dari tadi segera menghampiri dokter yang baru keluar melewati pintu -- wajahnya terlihat sedih. Seperti ada sesuatu yang baru saja terjadi.Namun pikiran itu segera ditepis oleh Luna, semoga yang ia pikirkan tidak seperti yang sedang terjadi."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apakah kalian berhasil menyelamatkan keduanya?" Daffa memulai pertanyaan. Dalam beberapa saat pria yang mengenakan jas putih itu diam. Membuat semua yang berada di sana merasa tidak tenang. Diamnya dokter itu -- sudah mewakili jawabannya. Daffa yang memiliki status sebagai suami Shireen, lekas masuk begitu saja ke ruangan persalinan tersebut. Diikuti oleh Luna dan William.Langkah mereka terhenti, setelah melihat seorang perawat menutup tubuh Shireen dengan kain putih sampai atas kepala. Dan perawat lain sibuk membersihkan bayi yang tampak masih merah berlumuran darah -- Setelah beberapa saat -- mereka men
"Luna ... Perutku sakit!"Luna seketika panik. Ia lekas berteriak meminta pertolongan. Beberapa pria berseragam datang, dan memapahnya."Bawa dia kerumah sakit!" titah seorang polisi dengan pangkat tinggi."Berapa usia kandungannya? Apa dia akan melahirkan?" gumam Luna.Ia ikut mendampingi Shireen ke rumah sakit. Dengan mobil salah satu anggota polisi. "Bertahanlah Shireen ..." ucap Luna menguatkan.Ia menggenggam tangan Shireen erat. Ia tidak tahu bagaimana rasanya akan melahirkan. Banyak wanita mengatakan jika sakitnya luar biasa. Kontraksi menjelang persalinan sedikit banyak mirip dengan kram saat menstruasi. Bedanya, kontraksi ini akan terasa beberapa kali lebih berat daripada kram perut menstruasi. Rasa kontraksi juga mirip seperti perut kembung atau 'begah'.Sudah berbagai upaya Luna untuk bisa mendapatkan momongan. Namun tidak ada hasilnya. Selama tujuh tahun ia mendambakan seorang bayi, namun ia masih belum diberi kepercayaan juga.Teringat saat William melakukan dengannya.
Hari itu William sedikit sibuk. Mengurus semua kasus Luna dengan polisi. Ia telah membawa banyak bukti bersama saksi dan pengacara handalnya.Ia tidak perlu mengajak Luna ke kantor. Ia akan tangani sendiri -- tanpa melibatkan Luna. Wanita itu cukup diam saja dikontrakkan menunggu kabar dari William. Pekerjaan itu akan segera ia atasi. Namanya akan kembali bersih. Dan ia akan menikahinya. Dengan identitas aslinya 'LUNA'.Hari itu wanita yang biasanya suka menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan rumah hanya diam saja berpangku tangan.Bingung mau melakukan pekerjaan apa. Setelah semua pekerjaan rumah sudah ia kerjakan. Tidak seperti kediaman Bhaskara -- luasnya berhektar-hektar. Ia hanya cukup membersihkan kontrakan itu dalam waktu sesaat saja.Luna berjalan keluar, dan mendaratkan bobotnya dikursi kayu bersandar dinding depan. Celingukan melihat dari kejauhan -- satu kontrakan jauh yang disewa William."Jaraknya jauh, aku tidak mampu menjangkau wajah pria tampan itu. Ah, aku rindu p
"Kamu?"Luna terkejut akan siapa yang datang malam ini. Ia mendorong Luna masuk. Seketika ia menguncinya dengan cepat."Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" Luna bertanya dalam keadaan takut."Kebetulan kontrakan aku juga dekat dari sini -- aku bisa mengunjungi atm-ku lebih dekat lagi," ucapnya dengan senyum menyeringai."Maksudmu?" Pria itu mendorong tubuh Luna sampai sudut tembok.Luna ingin tetap tenang, meski pikirannya ketakutan. Tubuhnya dingin dan gemetar. "Kenapa sih? Biasanya saja kamu sok jadi bos, sekarang? Uda miskin ya?" ejeknya -- belum tahu kebenaran."Tolong kamu jangan banyak bicara. To the points saja -- kau mau apa? Dan mengapa kau mengunci pintunya?" Luna mengangkat alisnya menguatkan diri. Meski sebenarnya ia paham pria itu akan melakukan apa."Sebenarnya aku mau uangmu, beberapa bulan terakhir, tidak ada job apapun darimu atau boss lain," ucapnya memberi alasan."Aku tidak ada uang!" bantahnya dengan membulatkan kedua mata ."Oh ya, ka
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan menerimanya!"Perkataan itu membuat hati Anita tersentak. Ia harus menyadarkan suaminya untuk menerima Luna.Anita tidak melanjutkan obrolan ditelpon. "Pa, kita bicarakan lagi di rumah nanti ya, Mama tutup telponnya," ujarnya -- menghentikan serangan pertanyaan dari William.Ia melihat keatas kaca spion. Terlihat jelas kedua insan yang bukan anak kandungnya itu tertawa bahagia. Ia tidak akan merusaknya. Ia sudah ikhlas menerima kenyataan jika putrinya telah meninggal dunia. "Ma, kenapa diam setelah melakukan panggilan pada Papa? Apa yang Papa katakan?" tanya William -- membuyarkan lamunannya."Ah! Tidak! Tidak ada yang Papa katakan." Anita terdengar gugup. Setelah menjawabnya.Luna merasa jika Seno tidak akan mau menerima dirinya disana. Luna sangat tahu diri. Ia pun bisa merasakan hal yang sama dengan Seno.Kehilangan seseorang yang dikasihi -- dan parahnya dia sendiri yang memanfaatkan kesempatan itu untuk memakai identitasnya. Ia lebih memil
William menciumi tangan Luna beberapa kali. Ia yakin dan sadar -- jika dia sangat mencintai Luna.Perasaan sedihnya-- berganti kebahagiaan, karena menemukan Luna di sini."Sudah lepaskan Mas, tidak enak dilihat banyak orang. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita. Aku sangat malu sekali."Luna mencoba menyingkirkan genggaman tangan William. Tampaknya ia enggan melepasnya. Semakin Luna menyuruh melepaskan, ia semakin erat menggenggamnya.Dua sudut bibir Willy mengembang selalu. Terpancar kebahagiaan di kedua matanya. Luna tidak pernah melihat pria itu sebahagia ini."Aku tidak mau melepaskan tanganmu, apa lagi melepaskan dirimu untuk pergi. Sungguh aku tidak akan bisa bertahan tanpamu, Luna." Perkataan William membuat air mata Luna berlinang.Jemari Willy mengusap air mata yang tiba-tiba bergulir. Ia tidak tahu -- Apa yang menyebabkan dia menjatuhkan air hangat dari kedua bola matanya?"Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak bahagia jika akan hidup bersamaku? Hem?" tanya William mengan