William memperhatikan Seno. Ia ingin mengatakan jika akan mengajak Luna kembali bekerja bersama mereka di perusahaan. "Pa," sapanya pelan. Saat pria lansia itu selesai pada suapan keduanya. Ia menghentikan pekerjaan itu lalu menoleh ke arah Willy yang duduk tidak jauh darinya. "Ya?" jawabnya dengan menaikkan alis."William ingin mengajak Nilam bergabung kembali di perusahaan. Apa Papa mengizinkannya!" tanya Willy ragu-ragu.Seno melanjutkan memberi suapan kesekian, dan mengunyah beberapa kali. Tidak segera memberi William tanggapan. Hening.Angel membuka keheningan. "Kenapa jadi seperti kuburan sih, meja makan ini?" Luna hanya diam saja. Ia tidak ingin mencampuri urusan mereka. Tugasnya disini hanya menjadi putri Anita dan ibu yang baik untuk Angel. Selain itu ia sudah tidak memiliki hak. "Bagaimana, Pa?" tanya William sekali lagi. "Tidak!" jawabnya dengan menjatuhkan telapak tangan di meja.Seno mendorong kursi kebelakang, berdiri dan pergi begitu saja meninggalkan meja makan. T
Mobil Willy memasuki kawasan restoran elit di pusat kota. Tidak perlu basa basi ia turun dari mobil tanpa membantu membuka pintu untuk wanita yang telah menyiapkan dirinya semaximal mungkin untuk William tersebut.'Andai kamu bukan bos-ku, aku tidak rela dibuat seperti ini,' lenguh Tiara. Mencibir tiada henti.Tiara yang awalnya bahagia mendadak murung. Sedari tadi ia dianggap patung. Sungguh pria itu tidak menghargai dia sebagai wanita.Tanpa berpikir konsekuensinya, Tiara menggandeng lengan Willy. Ingin diperhatikan banyak orang jika William adalah pasangannya. Secara pria itu adalah pria yang memiliki karismatik tinggi. Pandangan wanita hanya tertuju padanya. Kedua mata melirik ke arah lengannya, lalu ekor mata berpindah memperhatikan wajah Tiara. Tatapannya tajam, Tiara tahu jika pria itu sedang mengisyaratkan untuk melepas tangannya.Wanita itu hanya tersenyum hambar. Sampailah mereka di sebuah meja yang sudah dipesan oleh William. Sudah tertata beberapa makanan dan minuman.D
Keesokan harinya...Seperti kegiatan rutin tiap pagi, mereka berkumpul mengitari meja makan untuk sarapan.Pagi itu, Angel sudah terlihat manis. Dengan kuncir kuda dan poni menggantung kegemarannya.Ting Ting Ting!Ia membuat kegaduhan -- memukul piring dengan sendok garpunya.Seno sedikit terganggu. Ia tidak suka kebisingan akhir-akhir ini. Dan menyuruh Angel menghentikannya."Bisa tidak -- kamu tidak riuh sendiri! Opa sedang pusing." Angel meletakkan sendok garpu dibantu Luna meletakkan kembali di atas piring. Wanita itu dengan sabarnya melayani Angel. Sesuai kemauannya, Luna menyuapinya perlahan.William tersenyum melihat mereka. Bukan ia sudah melupakan Nilam istrinya, namun setidaknya Angel masih bisa bahagia karena wanita disampingnya itu."Lun-" sapanya terhenti -- cepat ia memperbaiki kesalahannya. "Nilam, aku juga mau disuapin. Boleh dong!""Lun? Lun siapa maksud, Papa?" Angel berpikir keras.Dengan letakkan satu jari telunjuk tangan di pelipisnya. Setelah ia membuat Willy,
Matahari sudah terbit dari ufuk timur, silaunya menerjang masuk ruang kamar William. Pria itu mengerjap kedua matanya. Melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi.Ia segera bangun karena terkejut. Hari sudah siang -- ia masih belum siap ke kantor. Amukan Seno pasti segera ia dapatkan. Ia membuang begitu saja selimut yang menutupi tubuhnya ke sembarang arah. Menarik handuk dan berjalan menuju kamar mandi.Kedua kakinya terhenti, tatkala mengingat jika hari ini adalah hari Minggu. "Astaga!" Willy menepuk keningnya, dan memilih kembali menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ia merebahkan tubuhnya dan melanjutkan tidurnya -- pagi ini dia masih teramat mengantuk."Apa salahnya aku tidur lagi dan bangun nanti siang," ucapnya dengan memeluk kembali guling di sampingnya. 'huaahhh!' ia menguap beberapa kali."Semoga saja tidak ada yang menggangu tambahan waktu tidurku! Andai saja Luna sudah ku per-istri, aku mau minta pijit. Benar-benar capek sekali tubuhku!" ucapnya dengan meme
William menciumi tangan Luna beberapa kali. Ia yakin dan sadar -- jika dia sangat mencintai Luna.Perasaan sedihnya-- berganti kebahagiaan, karena menemukan Luna di sini."Sudah lepaskan Mas, tidak enak dilihat banyak orang. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita. Aku sangat malu sekali."Luna mencoba menyingkirkan genggaman tangan William. Tampaknya ia enggan melepasnya. Semakin Luna menyuruh melepaskan, ia semakin erat menggenggamnya.Dua sudut bibir Willy mengembang selalu. Terpancar kebahagiaan di kedua matanya. Luna tidak pernah melihat pria itu sebahagia ini."Aku tidak mau melepaskan tanganmu, apa lagi melepaskan dirimu untuk pergi. Sungguh aku tidak akan bisa bertahan tanpamu, Luna." Perkataan William membuat air mata Luna berlinang.Jemari Willy mengusap air mata yang tiba-tiba bergulir. Ia tidak tahu -- Apa yang menyebabkan dia menjatuhkan air hangat dari kedua bola matanya?"Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak bahagia jika akan hidup bersamaku? Hem?" tanya William mengan
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan menerimanya!"Perkataan itu membuat hati Anita tersentak. Ia harus menyadarkan suaminya untuk menerima Luna.Anita tidak melanjutkan obrolan ditelpon. "Pa, kita bicarakan lagi di rumah nanti ya, Mama tutup telponnya," ujarnya -- menghentikan serangan pertanyaan dari William.Ia melihat keatas kaca spion. Terlihat jelas kedua insan yang bukan anak kandungnya itu tertawa bahagia. Ia tidak akan merusaknya. Ia sudah ikhlas menerima kenyataan jika putrinya telah meninggal dunia. "Ma, kenapa diam setelah melakukan panggilan pada Papa? Apa yang Papa katakan?" tanya William -- membuyarkan lamunannya."Ah! Tidak! Tidak ada yang Papa katakan." Anita terdengar gugup. Setelah menjawabnya.Luna merasa jika Seno tidak akan mau menerima dirinya disana. Luna sangat tahu diri. Ia pun bisa merasakan hal yang sama dengan Seno.Kehilangan seseorang yang dikasihi -- dan parahnya dia sendiri yang memanfaatkan kesempatan itu untuk memakai identitasnya. Ia lebih memil
"Kamu?"Luna terkejut akan siapa yang datang malam ini. Ia mendorong Luna masuk. Seketika ia menguncinya dengan cepat."Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" Luna bertanya dalam keadaan takut."Kebetulan kontrakan aku juga dekat dari sini -- aku bisa mengunjungi atm-ku lebih dekat lagi," ucapnya dengan senyum menyeringai."Maksudmu?" Pria itu mendorong tubuh Luna sampai sudut tembok.Luna ingin tetap tenang, meski pikirannya ketakutan. Tubuhnya dingin dan gemetar. "Kenapa sih? Biasanya saja kamu sok jadi bos, sekarang? Uda miskin ya?" ejeknya -- belum tahu kebenaran."Tolong kamu jangan banyak bicara. To the points saja -- kau mau apa? Dan mengapa kau mengunci pintunya?" Luna mengangkat alisnya menguatkan diri. Meski sebenarnya ia paham pria itu akan melakukan apa."Sebenarnya aku mau uangmu, beberapa bulan terakhir, tidak ada job apapun darimu atau boss lain," ucapnya memberi alasan."Aku tidak ada uang!" bantahnya dengan membulatkan kedua mata ."Oh ya, ka
Hari itu William sedikit sibuk. Mengurus semua kasus Luna dengan polisi. Ia telah membawa banyak bukti bersama saksi dan pengacara handalnya.Ia tidak perlu mengajak Luna ke kantor. Ia akan tangani sendiri -- tanpa melibatkan Luna. Wanita itu cukup diam saja dikontrakkan menunggu kabar dari William. Pekerjaan itu akan segera ia atasi. Namanya akan kembali bersih. Dan ia akan menikahinya. Dengan identitas aslinya 'LUNA'.Hari itu wanita yang biasanya suka menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan rumah hanya diam saja berpangku tangan.Bingung mau melakukan pekerjaan apa. Setelah semua pekerjaan rumah sudah ia kerjakan. Tidak seperti kediaman Bhaskara -- luasnya berhektar-hektar. Ia hanya cukup membersihkan kontrakan itu dalam waktu sesaat saja.Luna berjalan keluar, dan mendaratkan bobotnya dikursi kayu bersandar dinding depan. Celingukan melihat dari kejauhan -- satu kontrakan jauh yang disewa William."Jaraknya jauh, aku tidak mampu menjangkau wajah pria tampan itu. Ah, aku rindu p