William terkejut saat Luna kembali dengan ekspresi buruk. Ia memperhatikan baju yang ia kenakan basah.
"Kita pulang saja! Aku tidak bisa lanjutkan makan dalam kondisi pakaian basah seperti ini!" Ia menenteng kembali tas brandednya.
"Bagaimana bisa sampai basah begitu, Sayang?" tanya William dengan mengangkat alisnya, ‘bingung’.
Segera ia beranjak dari sana tanpa penjelasan Luna.
Dengan memanggil pramusaji, pria itu menunjuk beberapa lembar yang ia letakkan di bawah piring untuk mengambilnya.
Buru-buru ia melenggang dari tempat itu.
*****
Masih teringat akan wajah wanita yang menabraknya di restoran tadi.
Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Saat ia kembali dari kamar mandi, wanita itu tidak terlihat di mana pun. Entah mungkin sudah pergi, tanpa sepengetahuannya.
Wajahnya yang terlihat menunjukkan aura berbeda, membuatnya tidak tenang. Luna lantas menepis kegelisahan itu.
'Ah, lupakan!' perintahnya, pada dirinya sendiri.
'Jika aku Nilam asli, mungkin aku akan balas mengguyur pakaiannya juga. Tapi, aku masih berproses menjadi Nilam seutuhnya. Bukan mudah melakukan itu.'
William yang menangkap wajah Luna, segera menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
Dari wajahnya, terlihat jelas ia sedang memikirkan sesuatu.
"Nilam, apa yang sebenarnya terjadi? Kau belum menjawab pertanyaanku?"
"Aku hanya malas, ada seorang wanita yang mengguyur pakaianku hingga basah!" jawabnya dengan mengangkat sedikit bajunya, agar terkena sedikit udara.
"Mungkin dia tak sengaja. Kita mampir ke butik langganan kamu ya, nanti masuk angin jika kau pakai sampai rumah!"
"Gak usah, sebentar lagi juga kering! Sayang uang, buat keperluan lain saja," ucapnya tanpa melihat wajah William yang merasa aneh menatap Istrinya.
'Ada apa dengan Nilam? Tidak biasanya ia menolak ajakanku belanja? Ia lebih memilih membuang bajunya daripada memikirkan soal uang,' batin William bingung.
"Biasanya, istriku ini suka menghabiskan uang untuk keperluan pribadinya, tumben punya sifat hemat?" Nada suara pria itu terdengar bercanda, tetapi Luna menyadari ada kecurigaan di dalamnya.
Sontak, perempuan itu gelagapan. Ia baru ingat, jika Nilam tak akan melakukan ini.
"Entahlah, Mas. Aku sedang malas!" ucap Nilam buru-buru meninggalkan William ke mobil.
*****
Keduanya pulang sedikit terlambat dan tiba saat sudah gelap.
Namun, saat memasuki ruang keluarga, mereka terkejut melihat Angel sedang bermain bersama babysitter-nya.
Saat bola mata kecil lucu menggemaskan itu melihat kedatangan orang tuanya, Angel segera berlari ke arah mereka.
"Papa … Mama!" teriak Angel. Wajah yang lucu menggemaskan itu membuat kebahagiaan tersendiri untuk Nilam.
Terbesit, ia akan bahagia jika adanya keturunan darinya dengan Daffa. Apakah keretakan rumah tangga ini bisa dihindari?
Diperhatikannya kembali Angel yang segera meminta digendong Papanya.
William pun mencium pipi putrinya itu. "Kamu belum tidur, Sayang? Sudah jam berapa ini?" William melihat ke arah jam dinding besar yang menggantung dinding, memang sudah jamnya ia tidur."Kenapa kamu tidak mengajak Angel tidur, Bik?" kata William dengan tegas.
Dengan menundukkan kepala, babysitter itu pun menjawab, "Maaf Tuan, Non Angel tidak mau tidur, katanya malam ini ingin tidur bersama Tuan William dan Nyonya Nilam."
William dan Nilam saling berpandangan. Mereka terenyuh mendengar penjelasan wanita yang sudah bekerja tiga tahun ini.
"Sayang, tunggu sebentar, ya. Papa dan Mama mau bersihkan diri dulu, setelah itu nanti kita tidur bersama. Angel di temani bibi dulu ya," ucap William, dengan hati-hati ia menurunkannya dan segera sang babysitter mengajak ke kamarnya.
Keduanya berjalan ke arah kamar yang berada di lantai atas.
Setibanya di dalam kamar Luna melempar tas itu ke atas ranjang.
"Aku mandi dulu!" ucapnya, ia melenggang ke arah kamar mandi sebelum William menjawab.
Dengan berjalan berjinjit, tanpa sepengetahuan Nilam, ia mengikutinya dari belakang.
Stt!
Nilam terkejut karena William memeluknya dari belakang. Nafasnya sudah tidak beraturan. Bahkan, ia merasa darahnya hampir berhenti seketika itu juga.
Hembusan nafas William terasa di kulit lehernya. Pria itu menyibak rambutnya ke samping–meletakkan dagunya di atas bahu Luna.
"Sayang, mandi bareng, yuk!" ucap William lirih, hampir-hampir terdengar seperti nada mendesah.
Deg!
"Mas! Kamu itu jangan suka menggoda aku saat aku lagi badmood gini ya! Kamu tahu sendiri kan, dari restoran tadi pikiranku buruk pada wanita tadi!" ucapnya mencari alasan.
Seketika, William melepaskan pelukannya. Dengan pasrah, ia akhirnya mengalah demi sang istri. "Oke-oke, maaf gak jadi deh aku godain kamu lagi."
Wajah pria itu sedikit cemberut. Istrinya itu selalu menolaknya, padahal hanya sekedar mandi bersama.
'Apa yang salah coba?' William mendengus kasar.
Pria itu lantas kembali ke ranjang dan rebahan di sana sambil menunggu istrinya itu selesai mandi.
*****
"Sayang …!" sapa William pada sang anak yang sedang berbaring bersama babysitternya.
Melihat kedatangan dua bossnya itu, segera perempuan yang tak kurang dari 30 tahun itu pamit keluar.
"Mama, Papa! Sini tidur di sebelah Angel!" Gadis mungil itu lantas memukul kedua sisi kosong untuk mereka tempati.
Wajah ‘Nilam’ dan William sangat bahagia melihat Angel yang bertingkah manja.
"Mama, Angel mau dibacain dongeng. Biar bisa cepat tidur," pintanya pada ‘ibunya’ itu.
"Oke … Sayangku minta dibacakan dongeng cerita apa?" tanya Luna dengan menciumi pipi anak itu.
"Buat Papa mana? Papa juga minta jatah cium dong!" goda William .
"Apa sih kamu, Mas! Malu didengar Angel, tuh!" Wajah Luna bersemu merah.
"Cie … Ehem ehm!" Angel ikut tertawa melihat William yang menggoda Luna.
William lantas memeluk tubuh kecil Angel dengan gemas. "Princess Papa nih ya, siapa coba yang ajarin Angel bicara gitu? Bik Marni ya?"
Angel tertawa riang. Keduanya tampak kompak membuat Luna tersentuh akan kelembutan hati William pada putrinya.
"Lihat! Mama cemburu melihat kita," ucap William menunjuk Luna dengan bibirnya yang mengerucut.
Angel lantas menatap ibunya itu."Mama, Angel boleh minta sesuatu, tidak?"
Luna dan William merespon secara bersamaan. "Minta apa, Sayang?"
"Angel minta adik! Soalnya Angel kesepian dirumah terus sama Bibi, Angel pengen ada temannya bermain," ucapnya dengan polos.
Nafas Luna hampir tercekat di tenggorokan, sedangkan William tampak menatap anaknya bahagia.
“Gimana, Ma?” tanya anak itu lagi–penuh harap.
Mata Luna terbelalak, mendengar ucapan polos-Angel barusan. Ia melirik William yang sudah tidak jelas sikapnya. Pria itu seolah menikmati kebingungannya.'Astaga, rasanya ingin sekali aku menggosok otaknya yang penuh dengan debu itu menggunakan sikat.' Luna menghela nafas kasar dengan menunjukkan wajah manyun."Kenapa, Ma? Kelihatannya Mama tidak senang kalau Angel punya adik? Apa permintaan Angel ini berat ya, Ma?" tanya Angel lugu. Suaranya yang belum bisa mengucapkan kata-kata dengan fasih-membuat Luna tersenyum.Ia pun mencubit pipi Angel gemas. Tak lupa, ia memeluknya penuh kasih sayang."Anak Mama makin lama, makin gemesin deh," puji Luna, makin mempererat pelukannya."Papa peluk juga dong, Ma!" suruh Angel, lugu.Jantung Luna bergetar hebat. Meski ia sadar yang dikatakan Angel karena mengira dirinya adalah Nilam–ibu asli anak itu."Tuh! Dengar, Ma. Angel nyuruh kamu peluk aku. Sini!" titah William dengan merentangkan tangannya.Wajah Luna berubah menjadi kepiting rebus. Namu
Nilam memberontak setelah sadar melihat tubuh dan kakinya diikat di sebuah kursi kayu dengan erat. ”Lepaskan aku! Siapa kamu sebenarnya?" teriak Nilam kencang begitu melihat pria berpakaian serba hitam lengkap dengan penutup kepala dan hanya menyisakan kedua mata, hidung dan mulut. Pria berperawakan tinggi, kekar bagai mafia itu, sontak menatap tajam ke arah Nilam. Diarahkannya senapan yang siap membidik perempuan itu kapan saja dia inginkan. ”Maaf, Nona. Saya tidak bisa melepaskan, Anda! Seseorang telah membayar saya mahal untuk menghabisi Anda sekarang!" "Siapa orang yang menyuruhmu?" Nilam masih belum diam. Tubuhnya bergerak ke sana ke mari–berusaha melepaskan diri dari ikatan. Sayangnya, nihil! Dia justru kelelahan sendiri setelahnya. Nilam pun menghela nafas berulang kali, berusaha tenang.Dia tidak ingin mati konyol sebelum membalas dendamnya. Dia pun yakin William akan menyelamatkan dirinya. Perlahan, Nilam bersikap biasa saja meski sekarang berada dalam ujung maut. "K
Kini, Nilam sudah terkapar lemas di lantai berdebu.Samar-samar, dia dapat melihat Widya dan mafia yang menyiksanya datang kembali.“Haha …. Direktur Utama Nilam, bagaimana kabar Anda? Rasanya sedang tidak baik-baik saja, ya? Apalah arti kekuasaanmu itu jika sekarang kau sama seperti sampah yang tidak bisa didaur ulang. Sangat menjijikkan!” Wanita itu tiba-tiba menginjak tangan Nilam dan menggoyangkan ke sana kemari, hingga terluka karena high heelsnya. “Arggh!” Nilam menjerit kesakitan. ‘Dasar wanita kurang ajar! Dia belum jelaskan siapa dirinya padaku! Jika aku bertanya, aku tidak akan selamat darinya ataupun dari keluarga Bagaskara!' Nilam hanya bisa memaki dalam hati.Baru beberapa bulan menjadi Nilam, ia sudah mendapatkan kejutan besarnya. Bagaimana setelah ini jika ada yang seperti ini lagi?“Sebenarnya, aku ingin sekali membunuhmu, tapi aku tidak ingin polisi mencariku dan memasukkan aku ke dalam penjara,” ujarnya Widya senyum sinis lalu menendang perut Nilam, hingga meringk
William memeluk Nilam erat. Dia sangat khawatir padanya, bahkan dia nyaris gila saat tak bisa melihat wanita itu beberapa hari ini.Cukup sudah Nilam meninggalkan dia koma beberapa minggu. Melihatnya kini seperti ini, rasanya ia gagal menjadi suami yang bisa menjaga dirinya. Di sisi lain, sebenarnya, Nilam ingin menolak pelukan pria itu, tapi tangannya masih lemas untuk melakukannya. Anehnya, Nilam merasakan William menangis. “Kenapa kamu menangis, Mas?” Mencoba untuk bisa tetap tersenyum, William pun membalasnya, “Maafkan aku, Sayang. Aku tidak bisa menjagamu. Tugasku sebagai suamimu, tidak kulaksanakan dengan baik. Lihatlah dirimu sekarang, tubuhmu penuh luka, mari kita pergi ke rumah sakit untuk memeriksanya.” Nilam menggeleng. “Tidak perlu, cukup dirawat dari rumah saja! Aku bosan dengan bau rumah sakit. Biar nanti Mas William memanggil perawat pribadi ke rumah.” “Baiklah.” *****Kini keduanya di dalam kamar.Sebenarnya, bukan kesalahan Nilam jika William putus dengan wanit
Beberapa hari berlalu, kedua pasangan itu masih tampak biasa meski William berkali-kali gagal mendapatkan jatah.Namun, Nilam baru sadar, ia memiliki sopir baru. “Mas, di mana sopir lamaku?” “Sudah kupecat, Sayang,” jawab William ringan. “Kenapa kamu memecatnya tanpa persetujuan dariku, Mas? Apa kamu tidak memikirkan pekerjaan apa yang ia dapatkan sekarang ini, dia akan menjadi pengangguran jika tidak mendapatkan pekerjaan secepatnya?”Dari wajah Nilam, sepertinya ia tidak setuju dengan tindakan William yang egois. Padahal ia merasa pekerjaannya bagus. William yang sudah berada satu mobil bersama Nilam di belakang kursi kemudian menarik dagu istrinya. "Tahu tidak? Gara-gara keteledorannya, kamu sampai disekap oleh Widya. Dia tidak menjagamu dengan baik. Jadi, dia harus mendapatkan hukuman yang seimbang. Ya sudah aku tidak suka kamu membicarakan dia, aku sudah tidak percaya dengan pekerjaannya lagi.” William mengalah karena tidak mau Nilam berlama-lama memasang wajah cemberutnya
Nilam mengeluarkan sungut di kepalanya, dia akan melepaskan kemarahan karena Willy tidak bisa menghargai dia sebagai wanita.“Bisa tidak kamu bilang dulu sebelum menyambar bibirku?” ucap Nilam dengan meletakkan tangannya di pinggang.Tidak pernah wajah manis ditunjukkan pada William. Sampai Willy berpikir jika ia kesal, rasanya ingin ia menggendong dan membanting wanita itu di atas ranjang.Willy merasa bersalah dan mendekati tubuh Nilam yang membelakanginya, wanita itu tidak berani melihat wajah suaminya.Kali ini dia terkejut, pria itu melingkarkan kedua tangannya di perut Luna. Dia tidak tahu bagaimana cara menghindari pria itu lagi. 'Please, jangan apa-apakan lagi, demi apapun.'Karena semakin dia menghindar maka semakin dia ingin mendekatinya lebih dari itu, saat ini tubuhnya gemetaran. Wajahnya pucat, keringat dingin mulai bercucuran kembali.Sambil membaca doa, ia berusaha untuk lepas dari pria itu-meskipun sedikit aneh. Karena memang benar status mereka sudah menikah. Namun dir
Sudah seperti yang dibayangkan tadi, bahwa ternyata benar, perusahaan tersebut memanglah milik Daffa, suaminya. Nama Ardiansyah Group sudah melekat di pikiran Nilam. Air matanya mulai menenggelamkan bola mata nya, menyatu membentuk butiran air mata dan terjatuh bebas melewati pelupuk mata dan membasahi pipi.Entah kenapa dia harus menangis, bukankah dia sudah bahagia bersama Willy? Lalu Daffa? Bagaimana dengan pria itu? Surat perceraian itu sudah selesai dan mereka sudah sah bercerai?Dalam hati sudah mulai bergejolak, akankah ia siap saat berhadapan dengan pria itu di tempat tertutup nanti? Rasanya belum melihat wajahnya saja hatinya sudah hancur.‘Oh Tuhan, apa ini suatu pertanda jika hamba harus segera mengakhiri drama ini? Tapi hamba tidak akan kuat jika nantinya akan dihadapkan pada pria yang tidak bertanggung jawab seperti Mas Daffa.’ Nilam menyeka air matanya tak ingin ada siapapun yang melihat dia seperti ini. Ia mulai mengatur nafasnya kembali. Bukan waktunya sekarang untuk
Nialm dengan angkuhnya berjalan tanpa memperdulikan pria itu-yang sedang memperhatikannya.“Silahkan Ibu Nilam dan Pak Willy!” Seorang pebisnis sok baik dan ramah mempersilahkan mereka duduk.Nilam tidak segera menjawab, hanya mengangguk pelan. Wanita itu dengan sengaja memilih kursi yang berdekatan langsung dengan Daffa.Sudah sangat agresif sekali dia langsung berjabat tangan dengan Nilam. Wanita itu tersenyum sinis, dia memang mengangkat tangannya, namun tidak untuk membalas jabatan tangan Daffa. Ia menepis tangan pria itu hingga jatuh dan terasa sangat dipermalukan sekali.Daffa terbelalak, tidak disadarinya perempuan itu bisa menolak uluran tangannya. Shireen berbicara dengan lengus, “Sudah aku bilang jaga kesopananmu! Jadi pria jangan suka tebar pesona, Mas!” ucapnya sembari melihat Luna dengan sinis.“Aku tidak tebar pesona! Aku hanya ingin berkenalan dengan beliau, perusahaan beliau sudah berkembang pesat atas kepemimpinannya, kamu jangan cemberut gitu ya, Sayang!” balas Daffa
"Tidak, Dokter. Saya akan menemani istri saya, saya tidak akan meninggalkan dia.""Oke baiklah. Anda bisa masuk ke ruangannya. Ada ruang khusus didalam untuk Anda beristirahat. Jika Anda lapar cafe dekat dengan ruangan ini.""Terimakasih, Dokter."*****Saat yang ditunggu William telah berlalu. Ia melihat jari Luna bergerak-gerak. Terlihat kedua matanya mengerjap beberapa kali. Dan tak lama kemudian -- kedua mata itu terbuka."Luna? Kamu sudah sadar?" William bertanya dengan mata berkaca-kaca.Luna kesulitan berbicara, karena kulit wajahnya masih terasa kaku, dan perih. "Ya"Hanya jawaban singkat yang dia bisa dengar. William bergegas keluar, dan memberitahu dokter, jika istrinya telah sadar.Tak lama kemudian William kembali bersama dokter. Pria berkulit putih susu, berambut pirang itu segera mengecek kondisi Luna.Beberapa peralatan medis ia gunakan untuk mengecek keadaan Luna. "Kondisi fisik Nyonya Luna baik. Kita bisa menunggu sampai besok. Saya akan buka perban besok pagi.""Syu
Beberapa saat berlalu -- Angel telah sembuh dan diperbolehkan pulang.Wajahnya terlihat penuh dengan sukacita. Karena sebentar lagi, Anita mengatakan jika orang tuanya akan melangsungkan sebuah pernikahan.Sebenarnya gadis kecil itu merasa bingung -- meski ia masih batita, ia sempat berpikir, kenapa mereka harus menikah lagi? Bukankah mereka sudah menjadi pasangan suami istri? Ia tidak berani menanyakan hal itu pada Mama atau Papanya. Cukup melihat mereka bahagia -- ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. Dan mamanya telah menjanjikan jika adik baby sudah sembuh -- boleh dibawa pulang. Ia telah menyiapkan nama yang indah untuk Putri Shiren itu. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Luna dan William tampak menggendong seorang bayi mungil. Dengan riangnya Angel berlari ke arah mereka dan menyambut kedatangan bayi itu di rumahnya."Mama ... Angel telah menyiapkan sebuah nama untuk adik Baby. Bolehkah aku memberi nama Feby?" tanya Angel."Tentu boleh, dong, Sayang." Luna memberi seny
Mereka terkejut melihat mangkuk berisi bubur itu terjatuh setelah seseorang membuangnya paksa.Luna melihat siapa yang melakukan itu -- ternyata Papa Seno. Lekas ia berdiri. "Tega sekali Papa melakukan semua ini? Tidak-kah Papa tahu, jika Angel tidak mau makan? Lihatlah keadaannya sekarang?" bantah Luna.Seno mengacungkan jari telunjuknya. "Siapa kamu? Atas izin siapa kamu berani bicara lantang terhadapku, hah!""Aku minta maaf, Papa. Tapi baru saja Angel mau membuka mulutnya. Dan sekarang, bubur itu sudah dilantai.""Cukup! Aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan Papa! Siapa yang mengizinkan kalian menginjakkan kaki di rumah ini?" bentak Seno -- wajahnya tampak merah padam."Aku, Mas! Sudah! Biarkan mereka disini menemani Angel." Anita meminta Seno dengan harapan."Oppa ... Kenapa Oppa kejam pada Mama dan Papa Angel? Kenapa Oppa memisahkan Angel dengan mereka?" tanya Angel dengan terisak.Anita memeluk tubuh kecil Angel. Ia tidak ingin gadis kecil itu menangis. Baru saja ia te
Sudah beberapa waktu lamanya akhirnya pintu ruang persalinan kembali terbuka. Mereka yang menunggu dari tadi segera menghampiri dokter yang baru keluar melewati pintu -- wajahnya terlihat sedih. Seperti ada sesuatu yang baru saja terjadi.Namun pikiran itu segera ditepis oleh Luna, semoga yang ia pikirkan tidak seperti yang sedang terjadi."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apakah kalian berhasil menyelamatkan keduanya?" Daffa memulai pertanyaan. Dalam beberapa saat pria yang mengenakan jas putih itu diam. Membuat semua yang berada di sana merasa tidak tenang. Diamnya dokter itu -- sudah mewakili jawabannya. Daffa yang memiliki status sebagai suami Shireen, lekas masuk begitu saja ke ruangan persalinan tersebut. Diikuti oleh Luna dan William.Langkah mereka terhenti, setelah melihat seorang perawat menutup tubuh Shireen dengan kain putih sampai atas kepala. Dan perawat lain sibuk membersihkan bayi yang tampak masih merah berlumuran darah -- Setelah beberapa saat -- mereka men
"Luna ... Perutku sakit!"Luna seketika panik. Ia lekas berteriak meminta pertolongan. Beberapa pria berseragam datang, dan memapahnya."Bawa dia kerumah sakit!" titah seorang polisi dengan pangkat tinggi."Berapa usia kandungannya? Apa dia akan melahirkan?" gumam Luna.Ia ikut mendampingi Shireen ke rumah sakit. Dengan mobil salah satu anggota polisi. "Bertahanlah Shireen ..." ucap Luna menguatkan.Ia menggenggam tangan Shireen erat. Ia tidak tahu bagaimana rasanya akan melahirkan. Banyak wanita mengatakan jika sakitnya luar biasa. Kontraksi menjelang persalinan sedikit banyak mirip dengan kram saat menstruasi. Bedanya, kontraksi ini akan terasa beberapa kali lebih berat daripada kram perut menstruasi. Rasa kontraksi juga mirip seperti perut kembung atau 'begah'.Sudah berbagai upaya Luna untuk bisa mendapatkan momongan. Namun tidak ada hasilnya. Selama tujuh tahun ia mendambakan seorang bayi, namun ia masih belum diberi kepercayaan juga.Teringat saat William melakukan dengannya.
Hari itu William sedikit sibuk. Mengurus semua kasus Luna dengan polisi. Ia telah membawa banyak bukti bersama saksi dan pengacara handalnya.Ia tidak perlu mengajak Luna ke kantor. Ia akan tangani sendiri -- tanpa melibatkan Luna. Wanita itu cukup diam saja dikontrakkan menunggu kabar dari William. Pekerjaan itu akan segera ia atasi. Namanya akan kembali bersih. Dan ia akan menikahinya. Dengan identitas aslinya 'LUNA'.Hari itu wanita yang biasanya suka menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan rumah hanya diam saja berpangku tangan.Bingung mau melakukan pekerjaan apa. Setelah semua pekerjaan rumah sudah ia kerjakan. Tidak seperti kediaman Bhaskara -- luasnya berhektar-hektar. Ia hanya cukup membersihkan kontrakan itu dalam waktu sesaat saja.Luna berjalan keluar, dan mendaratkan bobotnya dikursi kayu bersandar dinding depan. Celingukan melihat dari kejauhan -- satu kontrakan jauh yang disewa William."Jaraknya jauh, aku tidak mampu menjangkau wajah pria tampan itu. Ah, aku rindu p
"Kamu?"Luna terkejut akan siapa yang datang malam ini. Ia mendorong Luna masuk. Seketika ia menguncinya dengan cepat."Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" Luna bertanya dalam keadaan takut."Kebetulan kontrakan aku juga dekat dari sini -- aku bisa mengunjungi atm-ku lebih dekat lagi," ucapnya dengan senyum menyeringai."Maksudmu?" Pria itu mendorong tubuh Luna sampai sudut tembok.Luna ingin tetap tenang, meski pikirannya ketakutan. Tubuhnya dingin dan gemetar. "Kenapa sih? Biasanya saja kamu sok jadi bos, sekarang? Uda miskin ya?" ejeknya -- belum tahu kebenaran."Tolong kamu jangan banyak bicara. To the points saja -- kau mau apa? Dan mengapa kau mengunci pintunya?" Luna mengangkat alisnya menguatkan diri. Meski sebenarnya ia paham pria itu akan melakukan apa."Sebenarnya aku mau uangmu, beberapa bulan terakhir, tidak ada job apapun darimu atau boss lain," ucapnya memberi alasan."Aku tidak ada uang!" bantahnya dengan membulatkan kedua mata ."Oh ya, ka
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan menerimanya!"Perkataan itu membuat hati Anita tersentak. Ia harus menyadarkan suaminya untuk menerima Luna.Anita tidak melanjutkan obrolan ditelpon. "Pa, kita bicarakan lagi di rumah nanti ya, Mama tutup telponnya," ujarnya -- menghentikan serangan pertanyaan dari William.Ia melihat keatas kaca spion. Terlihat jelas kedua insan yang bukan anak kandungnya itu tertawa bahagia. Ia tidak akan merusaknya. Ia sudah ikhlas menerima kenyataan jika putrinya telah meninggal dunia. "Ma, kenapa diam setelah melakukan panggilan pada Papa? Apa yang Papa katakan?" tanya William -- membuyarkan lamunannya."Ah! Tidak! Tidak ada yang Papa katakan." Anita terdengar gugup. Setelah menjawabnya.Luna merasa jika Seno tidak akan mau menerima dirinya disana. Luna sangat tahu diri. Ia pun bisa merasakan hal yang sama dengan Seno.Kehilangan seseorang yang dikasihi -- dan parahnya dia sendiri yang memanfaatkan kesempatan itu untuk memakai identitasnya. Ia lebih memil
William menciumi tangan Luna beberapa kali. Ia yakin dan sadar -- jika dia sangat mencintai Luna.Perasaan sedihnya-- berganti kebahagiaan, karena menemukan Luna di sini."Sudah lepaskan Mas, tidak enak dilihat banyak orang. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita. Aku sangat malu sekali."Luna mencoba menyingkirkan genggaman tangan William. Tampaknya ia enggan melepasnya. Semakin Luna menyuruh melepaskan, ia semakin erat menggenggamnya.Dua sudut bibir Willy mengembang selalu. Terpancar kebahagiaan di kedua matanya. Luna tidak pernah melihat pria itu sebahagia ini."Aku tidak mau melepaskan tanganmu, apa lagi melepaskan dirimu untuk pergi. Sungguh aku tidak akan bisa bertahan tanpamu, Luna." Perkataan William membuat air mata Luna berlinang.Jemari Willy mengusap air mata yang tiba-tiba bergulir. Ia tidak tahu -- Apa yang menyebabkan dia menjatuhkan air hangat dari kedua bola matanya?"Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak bahagia jika akan hidup bersamaku? Hem?" tanya William mengan