“Nilam Ayu Bagaskara. Istri dari William Bagaskara. Terkenal tegas dan cuek. Wanita ini pemberani, pintar, dan menyukai tantangan.”
“Sedari remaja, kerap mendaki gunung dan mengikuti pecinta alam. Bila belum mengenal, orang akan mengiranya sedikit sombong. Padahal, hatinya sebenarnya baik dan menyayangi keluarganya.”
“Hanya saja, putri dari Seno Bhaskara pendendam. Dia membenci orang-orang yang berani menyentuh sesuatu yang disayanginya.”Setelah beberapa hari berlalu, Luna semakin memantapkan dirinya sebagai Nilam seutuhnya.
Menggunakan beberapa informasi mengenai kepribadian dan keseharian wanita itu, Luna semakin lama semakin akrab dengan identitas ini.
Dia bahkan tidak terkejut bila ada orang yang memanggilnya Nilam.
Meski bertolak belakang dengan segala sifat aslinya, demi dendamnya, ia akan melakukannya.
Dan semua dimulai dengan kembali memimpin di Perusahaan Bhaskara Group. Meski William melarang, ia akan tetap memaksa. Setidaknya, ini bentuk balas budinya pada Nilam asli. Dia akan melindungi milik perempuan itu sembari membalaskan dendamnya. ******Dengan jas sebatas siku dan setelan rok setinggi lutut, serta kacamata hitam di atas kepala–”Nilam” berjalan sempurna menuju pintu perusahaan.
"Selamat pagi, Bu." Karyawan dan karyawati seketika menyapanya hormat.Nilam hanya mengangguk sepintas dan fokus melangkahkan kaki jenjangnya yang bertambah indah karena menggunakan sileto 5 cm.
Melihat mereka berbaris rapi di depan koridor, Nilam pun tersenyum, hingga anak buahnya itu tersenyum hormat.
Untungnya, dia pernah bekerja bersama suami brengseknya dulu dalam membangun perusahaannya, hingga perusahaan itu besar.Jadi, untuk masalah dunia bisnis, dia bisa atasi dengan mudah.
******Brak!
Nilam mengentakkan sebuah map besar di atas meja. Perempuan itu memaksa kedua bola mata untuk menatap tajam sekretarisnya dan bersiap berteriak kencang."Pekerjaan macam apa yang kamu kerjakan? Susun kembali secepatnya. Setelah selesai, bawa padaku!"
Melihat bosnya telah kembali, karyawati yang ditugaskan William untuk mendampinginya itu–segera meminta maaf dan bergerak cepat untuk merevisinya. Bug! Nilam menjatuhkan tubuhnya di atas kursi putar empuk yang disediakan khusus oleh William.Dia mengusap dahi yang tidak basah dan menghela nafas dengan kasar.
Baru beberapa jam dia berada di kantor ini, kepalanya sudah dibuat pusing.
Project-project pentingnya banyak terhambat sejak kecelakaan.
Bila ini dirinya yang asli, dia hanya akan meminta pegawainya cepat membereskan. Namun, ini “Nilam”! Dia harus menggunakan urat saat melakukannya.
"Aku harus membiasakan diri untuk menjadi wanita yang kuat dan tegas," gumam perempuan itu dengan mata terpejam. Setelah dirasa cukup, Nilam kemudian membuka beberapa pekerjaan melalui email yang masuk.Namun, setelah beberapa jam, dirinya menyadari ada satu pesan masuk dengan akun tidak dikenal.
"Akun siapa ini? Tampilannya sedikit berbeda."Beberapa menit dia berpikir, Nilam pun memutuskan untuk membuka pesan itu.
Ditariknya kursi lebih dekat ke meja, lalu memfokuskan kedua retinanya ke arah layar laptop.
[ TUNGGU AJAL MENJEMPUTMU! ] Semua tulisan yang diketik menggunakan huruf kapital dengan font text model tetesan berwarna merah darah satu layar penuh.Nilam segera menutup layar laptop dengan keras. Bahkan, ia tak sadar telah membuat layar laptopnya itu retak karena begitu syok melihat email tersebut.
Tanpa disadari, keringat dingin mengalir di pelipisnya.Kembali, Nilam mengambil tisu dan mengusap bulir keringat yang tiba-tiba menetes di pelipis keningnya.
Dengan meneguk berulang kali air putih di dalam gelas hingga tak bersisa, ia mencoba menenangkan pikiran."Pengirim itu mungkin salah kirim. Tapi, siapakah dia? Apakah Nilam memiliki musuh?"
Berbagai pertanyaan berputar di otak wanita itu.
Jika saja dia tak tahu Nilam asli telah meninggal, dia akan menyangka wanita itu sebenarnya masih hidup dan berniat membalas dendam karena dirinya telah mengambil kehidupan miliknya. Khawatir bila akan mendapatkan teror selanjutnya, segera ia mengambil ponsel dalam tas branded miliknya. “Halo, Mas William! Sibuk, tidak? Bisa ke ruanganku sebentar?”Nilam tanpa basa basi menelepon ‘suaminya’, yang hanya berbeda beberapa ruangan dengannya meski sama-sama di lantai dua.
“Ada masalah, Sayang? Kelihatannya, ada sesuatu yang serius?” tanya William dari seberang telepon. Ada nada khawatir dari suara pria itu.Cukup satu kali dia hampir kehilangan Nilam, untuk selanjutnya, dia harus menjaga istrinya dengan baik.
“Sudah cepat Mas ke sini, aku tunggu!”Nilam pun menutup panggilan telepon segera.
Benar saja.
Tidak lama, direktur utama pendamping Nilam di perusahaan Bhaskara Group itu datang memeriksa keadaan istrinya.
Panik, Nilam pun langsung memeluk William ketakutan.
Telinga pria itu sontak memerah karena merasa ada sisi imut yang ditunjukkan oleh istrinya.
Namun, pria itu berusaha tenang dan fokus dengan masalah Nilam.
“Ada apa? Apakah kamu terluka?” William segera memutar tubuh Nilam berulang kali, memeriksa setiap inci dari wajahnya mungkin ada yang terluka. "Apa yang kamu lakukan padaku? Hentikan!" ujar Nilam dengan suara penuh penekanan.Perempuan itu mengibaskan tangan William yang masih menempel di tubuhnya.
Hal itu membuat William menatap bola mata Nilam. Namun, tak sengaja ia melihat layar laptop Nilam yang retak sebagian dalam keadaan menyala.
“Apakah ada yang melukaimu?”
Nilam belum menjawab. Bola mata masih fokus pada layar, dengan jemari menggerakkan mouse ke sana kemari.Ia mencari akun email yang beberapa menit lalu mengirim pesan itu.
"Coba perhatikan isi email ini, Mas!" Nilam membuka satu pesan paling atas.Dia geser berulang kali.
Sayangnya, William tidak melihat apa pun di layar itu.“Apa yang terjadi pada layar laptopnya?” tanya pria itu pada akhirnya.
Nilam menggelengkan kepalanya.Jantungnya semakin berdegup cepat. "Tadi, ada satu akun yang meneror aku!" ujarnya dengan khawatir.
Kembali, dia menggerakkan ke sana ke mari kursor mousenya untuk menemukan pesan yang membuatnya ketakutan.
Namun, Nilam tidak berhasil menunjukkan email itu pada William, hingga William menatapnya bingung.“Mungkin kau lelah dan butuh istirahat karena ini hari pertamamu kembali ke sini, Sayang.”
Nilam menghela napas kasar. Dia merasa percuma menjelaskan pada suaminya itu karena tidak ada bukti yang dapat dia tunjukkan.
******
Sore sepulang dari kantor, William mengajak istrinya mampir ke sebuah restoran.Menurutnya, Nilam sudah lama tidak mengunjungi tempat romantis kesukaan mereka dulu. Perempuan yang butuh refreshing itu pun setuju.
Mereka menikmati makan malam mereka dengan romantis.
Namun, saat akan menuju kamar kecil, seorang wanita menabraknya dengan sengaja.
Ia bahkan menumpahkan minuman ke pakaian Nilam. "Sorry tidak sengaja!"
Sorot mata Nilam lantas menajam. Terlebih, ia melihat wanita bergaun biru itu tersenyum sinis padanya."Maaf! Bisa kau katakan lagi?" Dengan langkah perlahan, Nilam maju mendekatinya.
"Sorry, aku benar-benar tidak sengaja menumpahkannya. Bisa aku bantu bersihkan?" ucapnya berpura-pura tulus."Lupakan! Aku sedang buru-buru!" ucap Nilam, muak.
Sebenarnya, ingin sekali dia mengkonfrontasi wanita itu, tetapi ia harus buru-buru ke kamar mandi dan membersihkan pakaiannya–meninggalkan ‘si penabrak’ yang menatapnya dengan pandangan mencurigakan.William terkejut saat Luna kembali dengan ekspresi buruk. Ia memperhatikan baju yang ia kenakan basah."Kita pulang saja! Aku tidak bisa lanjutkan makan dalam kondisi pakaian basah seperti ini!" Ia menenteng kembali tas brandednya. "Bagaimana bisa sampai basah begitu, Sayang?" tanya William dengan mengangkat alisnya, ‘bingung’.Segera ia beranjak dari sana tanpa penjelasan Luna. Dengan memanggil pramusaji, pria itu menunjuk beberapa lembar yang ia letakkan di bawah piring untuk mengambilnya.Buru-buru ia melenggang dari tempat itu.*****Masih teringat akan wajah wanita yang menabraknya di restoran tadi.Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Saat ia kembali dari kamar mandi, wanita itu tidak terlihat di mana pun. Entah mungkin sudah pergi, tanpa sepengetahuannya.Wajahnya yang terlihat menunjukkan aura berbeda, membuatnya tidak tenang. Luna lantas menepis kegelisahan itu. 'Ah, lupakan!' perintahnya, pada dirinya sendiri.'Jika aku Nilam asli, mungkin aku akan b
Mata Luna terbelalak, mendengar ucapan polos-Angel barusan. Ia melirik William yang sudah tidak jelas sikapnya. Pria itu seolah menikmati kebingungannya.'Astaga, rasanya ingin sekali aku menggosok otaknya yang penuh dengan debu itu menggunakan sikat.' Luna menghela nafas kasar dengan menunjukkan wajah manyun."Kenapa, Ma? Kelihatannya Mama tidak senang kalau Angel punya adik? Apa permintaan Angel ini berat ya, Ma?" tanya Angel lugu. Suaranya yang belum bisa mengucapkan kata-kata dengan fasih-membuat Luna tersenyum.Ia pun mencubit pipi Angel gemas. Tak lupa, ia memeluknya penuh kasih sayang."Anak Mama makin lama, makin gemesin deh," puji Luna, makin mempererat pelukannya."Papa peluk juga dong, Ma!" suruh Angel, lugu.Jantung Luna bergetar hebat. Meski ia sadar yang dikatakan Angel karena mengira dirinya adalah Nilam–ibu asli anak itu."Tuh! Dengar, Ma. Angel nyuruh kamu peluk aku. Sini!" titah William dengan merentangkan tangannya.Wajah Luna berubah menjadi kepiting rebus. Namu
Nilam memberontak setelah sadar melihat tubuh dan kakinya diikat di sebuah kursi kayu dengan erat. ”Lepaskan aku! Siapa kamu sebenarnya?" teriak Nilam kencang begitu melihat pria berpakaian serba hitam lengkap dengan penutup kepala dan hanya menyisakan kedua mata, hidung dan mulut. Pria berperawakan tinggi, kekar bagai mafia itu, sontak menatap tajam ke arah Nilam. Diarahkannya senapan yang siap membidik perempuan itu kapan saja dia inginkan. ”Maaf, Nona. Saya tidak bisa melepaskan, Anda! Seseorang telah membayar saya mahal untuk menghabisi Anda sekarang!" "Siapa orang yang menyuruhmu?" Nilam masih belum diam. Tubuhnya bergerak ke sana ke mari–berusaha melepaskan diri dari ikatan. Sayangnya, nihil! Dia justru kelelahan sendiri setelahnya. Nilam pun menghela nafas berulang kali, berusaha tenang.Dia tidak ingin mati konyol sebelum membalas dendamnya. Dia pun yakin William akan menyelamatkan dirinya. Perlahan, Nilam bersikap biasa saja meski sekarang berada dalam ujung maut. "K
Kini, Nilam sudah terkapar lemas di lantai berdebu.Samar-samar, dia dapat melihat Widya dan mafia yang menyiksanya datang kembali.“Haha …. Direktur Utama Nilam, bagaimana kabar Anda? Rasanya sedang tidak baik-baik saja, ya? Apalah arti kekuasaanmu itu jika sekarang kau sama seperti sampah yang tidak bisa didaur ulang. Sangat menjijikkan!” Wanita itu tiba-tiba menginjak tangan Nilam dan menggoyangkan ke sana kemari, hingga terluka karena high heelsnya. “Arggh!” Nilam menjerit kesakitan. ‘Dasar wanita kurang ajar! Dia belum jelaskan siapa dirinya padaku! Jika aku bertanya, aku tidak akan selamat darinya ataupun dari keluarga Bagaskara!' Nilam hanya bisa memaki dalam hati.Baru beberapa bulan menjadi Nilam, ia sudah mendapatkan kejutan besarnya. Bagaimana setelah ini jika ada yang seperti ini lagi?“Sebenarnya, aku ingin sekali membunuhmu, tapi aku tidak ingin polisi mencariku dan memasukkan aku ke dalam penjara,” ujarnya Widya senyum sinis lalu menendang perut Nilam, hingga meringk
William memeluk Nilam erat. Dia sangat khawatir padanya, bahkan dia nyaris gila saat tak bisa melihat wanita itu beberapa hari ini.Cukup sudah Nilam meninggalkan dia koma beberapa minggu. Melihatnya kini seperti ini, rasanya ia gagal menjadi suami yang bisa menjaga dirinya. Di sisi lain, sebenarnya, Nilam ingin menolak pelukan pria itu, tapi tangannya masih lemas untuk melakukannya. Anehnya, Nilam merasakan William menangis. “Kenapa kamu menangis, Mas?” Mencoba untuk bisa tetap tersenyum, William pun membalasnya, “Maafkan aku, Sayang. Aku tidak bisa menjagamu. Tugasku sebagai suamimu, tidak kulaksanakan dengan baik. Lihatlah dirimu sekarang, tubuhmu penuh luka, mari kita pergi ke rumah sakit untuk memeriksanya.” Nilam menggeleng. “Tidak perlu, cukup dirawat dari rumah saja! Aku bosan dengan bau rumah sakit. Biar nanti Mas William memanggil perawat pribadi ke rumah.” “Baiklah.” *****Kini keduanya di dalam kamar.Sebenarnya, bukan kesalahan Nilam jika William putus dengan wanit
Beberapa hari berlalu, kedua pasangan itu masih tampak biasa meski William berkali-kali gagal mendapatkan jatah.Namun, Nilam baru sadar, ia memiliki sopir baru. “Mas, di mana sopir lamaku?” “Sudah kupecat, Sayang,” jawab William ringan. “Kenapa kamu memecatnya tanpa persetujuan dariku, Mas? Apa kamu tidak memikirkan pekerjaan apa yang ia dapatkan sekarang ini, dia akan menjadi pengangguran jika tidak mendapatkan pekerjaan secepatnya?”Dari wajah Nilam, sepertinya ia tidak setuju dengan tindakan William yang egois. Padahal ia merasa pekerjaannya bagus. William yang sudah berada satu mobil bersama Nilam di belakang kursi kemudian menarik dagu istrinya. "Tahu tidak? Gara-gara keteledorannya, kamu sampai disekap oleh Widya. Dia tidak menjagamu dengan baik. Jadi, dia harus mendapatkan hukuman yang seimbang. Ya sudah aku tidak suka kamu membicarakan dia, aku sudah tidak percaya dengan pekerjaannya lagi.” William mengalah karena tidak mau Nilam berlama-lama memasang wajah cemberutnya
Nilam mengeluarkan sungut di kepalanya, dia akan melepaskan kemarahan karena Willy tidak bisa menghargai dia sebagai wanita.“Bisa tidak kamu bilang dulu sebelum menyambar bibirku?” ucap Nilam dengan meletakkan tangannya di pinggang.Tidak pernah wajah manis ditunjukkan pada William. Sampai Willy berpikir jika ia kesal, rasanya ingin ia menggendong dan membanting wanita itu di atas ranjang.Willy merasa bersalah dan mendekati tubuh Nilam yang membelakanginya, wanita itu tidak berani melihat wajah suaminya.Kali ini dia terkejut, pria itu melingkarkan kedua tangannya di perut Luna. Dia tidak tahu bagaimana cara menghindari pria itu lagi. 'Please, jangan apa-apakan lagi, demi apapun.'Karena semakin dia menghindar maka semakin dia ingin mendekatinya lebih dari itu, saat ini tubuhnya gemetaran. Wajahnya pucat, keringat dingin mulai bercucuran kembali.Sambil membaca doa, ia berusaha untuk lepas dari pria itu-meskipun sedikit aneh. Karena memang benar status mereka sudah menikah. Namun dir
Sudah seperti yang dibayangkan tadi, bahwa ternyata benar, perusahaan tersebut memanglah milik Daffa, suaminya. Nama Ardiansyah Group sudah melekat di pikiran Nilam. Air matanya mulai menenggelamkan bola mata nya, menyatu membentuk butiran air mata dan terjatuh bebas melewati pelupuk mata dan membasahi pipi.Entah kenapa dia harus menangis, bukankah dia sudah bahagia bersama Willy? Lalu Daffa? Bagaimana dengan pria itu? Surat perceraian itu sudah selesai dan mereka sudah sah bercerai?Dalam hati sudah mulai bergejolak, akankah ia siap saat berhadapan dengan pria itu di tempat tertutup nanti? Rasanya belum melihat wajahnya saja hatinya sudah hancur.‘Oh Tuhan, apa ini suatu pertanda jika hamba harus segera mengakhiri drama ini? Tapi hamba tidak akan kuat jika nantinya akan dihadapkan pada pria yang tidak bertanggung jawab seperti Mas Daffa.’ Nilam menyeka air matanya tak ingin ada siapapun yang melihat dia seperti ini. Ia mulai mengatur nafasnya kembali. Bukan waktunya sekarang untuk
"Tidak, Dokter. Saya akan menemani istri saya, saya tidak akan meninggalkan dia.""Oke baiklah. Anda bisa masuk ke ruangannya. Ada ruang khusus didalam untuk Anda beristirahat. Jika Anda lapar cafe dekat dengan ruangan ini.""Terimakasih, Dokter."*****Saat yang ditunggu William telah berlalu. Ia melihat jari Luna bergerak-gerak. Terlihat kedua matanya mengerjap beberapa kali. Dan tak lama kemudian -- kedua mata itu terbuka."Luna? Kamu sudah sadar?" William bertanya dengan mata berkaca-kaca.Luna kesulitan berbicara, karena kulit wajahnya masih terasa kaku, dan perih. "Ya"Hanya jawaban singkat yang dia bisa dengar. William bergegas keluar, dan memberitahu dokter, jika istrinya telah sadar.Tak lama kemudian William kembali bersama dokter. Pria berkulit putih susu, berambut pirang itu segera mengecek kondisi Luna.Beberapa peralatan medis ia gunakan untuk mengecek keadaan Luna. "Kondisi fisik Nyonya Luna baik. Kita bisa menunggu sampai besok. Saya akan buka perban besok pagi.""Syu
Beberapa saat berlalu -- Angel telah sembuh dan diperbolehkan pulang.Wajahnya terlihat penuh dengan sukacita. Karena sebentar lagi, Anita mengatakan jika orang tuanya akan melangsungkan sebuah pernikahan.Sebenarnya gadis kecil itu merasa bingung -- meski ia masih batita, ia sempat berpikir, kenapa mereka harus menikah lagi? Bukankah mereka sudah menjadi pasangan suami istri? Ia tidak berani menanyakan hal itu pada Mama atau Papanya. Cukup melihat mereka bahagia -- ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. Dan mamanya telah menjanjikan jika adik baby sudah sembuh -- boleh dibawa pulang. Ia telah menyiapkan nama yang indah untuk Putri Shiren itu. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Luna dan William tampak menggendong seorang bayi mungil. Dengan riangnya Angel berlari ke arah mereka dan menyambut kedatangan bayi itu di rumahnya."Mama ... Angel telah menyiapkan sebuah nama untuk adik Baby. Bolehkah aku memberi nama Feby?" tanya Angel."Tentu boleh, dong, Sayang." Luna memberi seny
Mereka terkejut melihat mangkuk berisi bubur itu terjatuh setelah seseorang membuangnya paksa.Luna melihat siapa yang melakukan itu -- ternyata Papa Seno. Lekas ia berdiri. "Tega sekali Papa melakukan semua ini? Tidak-kah Papa tahu, jika Angel tidak mau makan? Lihatlah keadaannya sekarang?" bantah Luna.Seno mengacungkan jari telunjuknya. "Siapa kamu? Atas izin siapa kamu berani bicara lantang terhadapku, hah!""Aku minta maaf, Papa. Tapi baru saja Angel mau membuka mulutnya. Dan sekarang, bubur itu sudah dilantai.""Cukup! Aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan Papa! Siapa yang mengizinkan kalian menginjakkan kaki di rumah ini?" bentak Seno -- wajahnya tampak merah padam."Aku, Mas! Sudah! Biarkan mereka disini menemani Angel." Anita meminta Seno dengan harapan."Oppa ... Kenapa Oppa kejam pada Mama dan Papa Angel? Kenapa Oppa memisahkan Angel dengan mereka?" tanya Angel dengan terisak.Anita memeluk tubuh kecil Angel. Ia tidak ingin gadis kecil itu menangis. Baru saja ia te
Sudah beberapa waktu lamanya akhirnya pintu ruang persalinan kembali terbuka. Mereka yang menunggu dari tadi segera menghampiri dokter yang baru keluar melewati pintu -- wajahnya terlihat sedih. Seperti ada sesuatu yang baru saja terjadi.Namun pikiran itu segera ditepis oleh Luna, semoga yang ia pikirkan tidak seperti yang sedang terjadi."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apakah kalian berhasil menyelamatkan keduanya?" Daffa memulai pertanyaan. Dalam beberapa saat pria yang mengenakan jas putih itu diam. Membuat semua yang berada di sana merasa tidak tenang. Diamnya dokter itu -- sudah mewakili jawabannya. Daffa yang memiliki status sebagai suami Shireen, lekas masuk begitu saja ke ruangan persalinan tersebut. Diikuti oleh Luna dan William.Langkah mereka terhenti, setelah melihat seorang perawat menutup tubuh Shireen dengan kain putih sampai atas kepala. Dan perawat lain sibuk membersihkan bayi yang tampak masih merah berlumuran darah -- Setelah beberapa saat -- mereka men
"Luna ... Perutku sakit!"Luna seketika panik. Ia lekas berteriak meminta pertolongan. Beberapa pria berseragam datang, dan memapahnya."Bawa dia kerumah sakit!" titah seorang polisi dengan pangkat tinggi."Berapa usia kandungannya? Apa dia akan melahirkan?" gumam Luna.Ia ikut mendampingi Shireen ke rumah sakit. Dengan mobil salah satu anggota polisi. "Bertahanlah Shireen ..." ucap Luna menguatkan.Ia menggenggam tangan Shireen erat. Ia tidak tahu bagaimana rasanya akan melahirkan. Banyak wanita mengatakan jika sakitnya luar biasa. Kontraksi menjelang persalinan sedikit banyak mirip dengan kram saat menstruasi. Bedanya, kontraksi ini akan terasa beberapa kali lebih berat daripada kram perut menstruasi. Rasa kontraksi juga mirip seperti perut kembung atau 'begah'.Sudah berbagai upaya Luna untuk bisa mendapatkan momongan. Namun tidak ada hasilnya. Selama tujuh tahun ia mendambakan seorang bayi, namun ia masih belum diberi kepercayaan juga.Teringat saat William melakukan dengannya.
Hari itu William sedikit sibuk. Mengurus semua kasus Luna dengan polisi. Ia telah membawa banyak bukti bersama saksi dan pengacara handalnya.Ia tidak perlu mengajak Luna ke kantor. Ia akan tangani sendiri -- tanpa melibatkan Luna. Wanita itu cukup diam saja dikontrakkan menunggu kabar dari William. Pekerjaan itu akan segera ia atasi. Namanya akan kembali bersih. Dan ia akan menikahinya. Dengan identitas aslinya 'LUNA'.Hari itu wanita yang biasanya suka menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan rumah hanya diam saja berpangku tangan.Bingung mau melakukan pekerjaan apa. Setelah semua pekerjaan rumah sudah ia kerjakan. Tidak seperti kediaman Bhaskara -- luasnya berhektar-hektar. Ia hanya cukup membersihkan kontrakan itu dalam waktu sesaat saja.Luna berjalan keluar, dan mendaratkan bobotnya dikursi kayu bersandar dinding depan. Celingukan melihat dari kejauhan -- satu kontrakan jauh yang disewa William."Jaraknya jauh, aku tidak mampu menjangkau wajah pria tampan itu. Ah, aku rindu p
"Kamu?"Luna terkejut akan siapa yang datang malam ini. Ia mendorong Luna masuk. Seketika ia menguncinya dengan cepat."Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" Luna bertanya dalam keadaan takut."Kebetulan kontrakan aku juga dekat dari sini -- aku bisa mengunjungi atm-ku lebih dekat lagi," ucapnya dengan senyum menyeringai."Maksudmu?" Pria itu mendorong tubuh Luna sampai sudut tembok.Luna ingin tetap tenang, meski pikirannya ketakutan. Tubuhnya dingin dan gemetar. "Kenapa sih? Biasanya saja kamu sok jadi bos, sekarang? Uda miskin ya?" ejeknya -- belum tahu kebenaran."Tolong kamu jangan banyak bicara. To the points saja -- kau mau apa? Dan mengapa kau mengunci pintunya?" Luna mengangkat alisnya menguatkan diri. Meski sebenarnya ia paham pria itu akan melakukan apa."Sebenarnya aku mau uangmu, beberapa bulan terakhir, tidak ada job apapun darimu atau boss lain," ucapnya memberi alasan."Aku tidak ada uang!" bantahnya dengan membulatkan kedua mata ."Oh ya, ka
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan menerimanya!"Perkataan itu membuat hati Anita tersentak. Ia harus menyadarkan suaminya untuk menerima Luna.Anita tidak melanjutkan obrolan ditelpon. "Pa, kita bicarakan lagi di rumah nanti ya, Mama tutup telponnya," ujarnya -- menghentikan serangan pertanyaan dari William.Ia melihat keatas kaca spion. Terlihat jelas kedua insan yang bukan anak kandungnya itu tertawa bahagia. Ia tidak akan merusaknya. Ia sudah ikhlas menerima kenyataan jika putrinya telah meninggal dunia. "Ma, kenapa diam setelah melakukan panggilan pada Papa? Apa yang Papa katakan?" tanya William -- membuyarkan lamunannya."Ah! Tidak! Tidak ada yang Papa katakan." Anita terdengar gugup. Setelah menjawabnya.Luna merasa jika Seno tidak akan mau menerima dirinya disana. Luna sangat tahu diri. Ia pun bisa merasakan hal yang sama dengan Seno.Kehilangan seseorang yang dikasihi -- dan parahnya dia sendiri yang memanfaatkan kesempatan itu untuk memakai identitasnya. Ia lebih memil
William menciumi tangan Luna beberapa kali. Ia yakin dan sadar -- jika dia sangat mencintai Luna.Perasaan sedihnya-- berganti kebahagiaan, karena menemukan Luna di sini."Sudah lepaskan Mas, tidak enak dilihat banyak orang. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita. Aku sangat malu sekali."Luna mencoba menyingkirkan genggaman tangan William. Tampaknya ia enggan melepasnya. Semakin Luna menyuruh melepaskan, ia semakin erat menggenggamnya.Dua sudut bibir Willy mengembang selalu. Terpancar kebahagiaan di kedua matanya. Luna tidak pernah melihat pria itu sebahagia ini."Aku tidak mau melepaskan tanganmu, apa lagi melepaskan dirimu untuk pergi. Sungguh aku tidak akan bisa bertahan tanpamu, Luna." Perkataan William membuat air mata Luna berlinang.Jemari Willy mengusap air mata yang tiba-tiba bergulir. Ia tidak tahu -- Apa yang menyebabkan dia menjatuhkan air hangat dari kedua bola matanya?"Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak bahagia jika akan hidup bersamaku? Hem?" tanya William mengan