Wanita itu menoleh kebelakang, melihat seorang wanita dengan tas branded menunju ke arahnya."Saya?" Dengan mengangkat bahu, dan menunjuk dirinya sendiri."Ya, kamu! Kamu pegawai baru?" tanya Nilam, yang perlahan berjalan menuju kearahnya."Saya sekretaris baru Pak Willy, Anda siapa?" jawabnya dan berbalik memberi pertanyaan pada Nilam."Sekretaris? Hah, apa suami saya sudah memberi interview pada, Anda?" tanya Nilam tidak percaya. Wanita seperti ini, tidak pantas bekerja di perusahaan Willy. Hanya mengandalkan fisik. Nilam sudah memberikan standar berpakaian yang harus ditaati."Oh, maaf ini Ibu Direktur istri Pak Willy? Saya sudah di interview Pak William kemarin sore Bu," tanya wanita itu seketika membenarkan posisi berdiri dan bajunya.Ia sedikit menundukkan kepala saat tahu wanita di depannya ini adalah Ibu Nilam. Jika tahu dari tadi, ia sudah menghormatinya."Maafkan saya, Ibu Nilam," lagi, ucapnya dengan menundukkan kepalanya.Seharusnya ia lebih menata perilakunya, kalau sepe
Dua jam sudah berlalu, pekerjaan Tiara selesai. Ia tidak menghubungi Renata. Ia dengan beraninya mendatangi ruangan William.Tok tok tok!"Permisi, Pak!" "Ya silahkan masuk!" perintah Willy dari dalam ruangan.Tanpa sungkan wanita itu memutar handle pintu dan membukanya. Melihat wajah pria tegap, penuh wibawa tentunya karismatik ia makin bersemangat.Willy tidak melihat siapa yang masuk, saat melihat sekilas ternyata wanita yang ia interview sore kemarin.Bukan karena cantik dan bodynya yang bagus. William tertarik pada skill dan pengalaman kerjanya yang bagus."Kamu? Saya tidak memanggilmu kemari! Siapa yang menyuruhmu masuk keruangan saya?" tanya Willy menelisik.Ia tidak senang jika asal keluar masuk tanpa ada perintah darinya. William melepaskan mouse-nya dan melipat tangan didada."Saya minta maaf, Pak! Saya baru dan belum tahu apa saja yang harus saya kerjakan. Saya hanya mengerjakan pekerjaan di map ini, dan telah selesai. Jadi saya ingin Bapak memeriksanya," kata Tiara menyera
Nilam keluar ruangan, menenangkan Willy agar tidak marah kembali. Ia harus membela Gabriella-- telah menolongnya.Segera ia menuju keruangan bersama Gabriella. Wanita itu mengatakan jika Nilam memiliki undangan makan malam oleh seorang pemilik perusahaan textile ternama di kota Surabaya ini."Terimakasih Gabriella! Oh ya, apakah Bapak William tidak mendapat undangan juga?" tanya Nilam setelah--sekretarisnya memberikan sebuah undangan berwarna putih."Maaf Ibu Nilam, undangan hanya untuk Ibu saja," jawabnya. Setelah itu-- ia segera pergi.Wanita itu dengan cepat membukanya, merasa aneh saja siapa pengirim dan kenapa hanya ia yang di beri undangan itu?'Hem, textile? Ah, aku tidak ada mood jika undangan itu dari Daffa Ardiansyah! Tapi, coba ku lihat dahulu!' gumamnya dalam hati.Setelah pembungkus bening ia lepaskan, barulah ia bisa melihat tulisan di dalamnya.Sebuah undangan makan malam yang di hadiri oleh lima direktur utama pemegang saham terbesar di Surabaya dan Bali. Tertera disa
Shireen berdiri di samping jendela, dari tirai yang sedikit terbuka, namun terhalang kaca, ia masih bisa melihat seorang wanita bergaun biru duduk berdekatan dengan Bram.Hati Shireen sangat sakit melihat pemandangan ini. Apa lagi perbuatan yang mereka lakukan di ruang tamu. Sangat menjijikkan bagiannya.Ia lupa, perbuatannya sendiri seperti binatang jika berada bersama dua pria berbeda. Melakukan lebih dari itu.Keduanya saling memadu kasih, terlihat jelas di kedua mata Shireen. Perlakuan Bram yang membuat ia sakit, pada wanita yang terlihat lebih muda darinya itu."Ini tidak bisa di biarkan! Aku mencintai kamu Bram! Kenapa kamu sakiti aku seperti ini! Tega sekali kamu! Katanya hanya aku wanita yang kau cintai? Buktinya apa?" Keluh Shireen. Ia mengepalkan kedua tangannya.Wajahnya terlihat merah padam. Ia bergegas membuka pintu kontrakan Bram. Namun sayang pintu terkunci.Brak! Brak! Brak!"Bram! Buka pintunya!" teriak Shireen dengan amarah meluap.Beberapa saat, ia tidak melihat pin
Setelah beberapa benda dan beberapa uang miliknya yang berharga diserahkan pada mereka, dua pria itu meminta kunci mobil. Shireen menolak memberikannya, salah satu pria itu segera memegang kedua tangan Shireen, dan mengancam menusukkan senjatanya ke perutnya.Shireen ketakutan, ia tidak mungkin menyerahkan nyawanya hanya demi sebuah mobil. Tapi bagaimana kelanjutan hidupnya, apa yang harus dikatakan pada Daffa?"Cepat berikan kunci mobilnya pada kami!" pinta pria itu. "Lepaskan!" Shireen meronta. Ia tidak mungkin berteriak, karena jalanan itu sangat sepi."Mau mati kamu!" ancamnya, pria itu makin menusukan pisau itu ke perutnya."Ah!" rintih Shireen.Tanpa menunggu lama, satu pria lainnya segera merogoh beberapa saku pakaiannya. Ia menemukan kunci di saku celananya."Nah! Ketemu! Pergi sekarang!" perintah satu diantara mereka. Dan satu pria lain melepaskan Shireen."Tolong! Tolong! Tolong!" teriak Shireen, saat terdapat beberapa orang melewati jalan itu."Perampok! Perampok! Tolong!
Daffa segera menangkapnya, ia tidak sampai jatuh ke lantai. Pria itu bingung dibuatnya. Melihat wanita itu membutuhkan oksigen. Namun sudah beberapa menit lamanya, pintu belum juga terbuka juga.Daffa mencoba menghubungi kembali beberapa nomer di kontaknya, panggilan gagal. Tidak ada satupun signal dalam ruang lift tersebut.Ia coba menggebrak pintu lift berulang kali ini, nihil tidak ada siapapun yang mendengar. Jarum jam sudah berputar satu satu langkah.Ia juga merasa sangat sesak. Menunggu mekanik tidak kunjung membukanya.Sementara diluar terdengar suara beberapa orang menggebrak pintu lift. "Apa ada orang di dalam sana?""Ya, tolong kami! Kami sudah satu jam disini!"Daffa juga mengeluarkan suara kerasnya."Apa kalian masih baik-baik saja?" lagi, teriak mereka."Salah satu penumpang lift seorang wanita sudah pingsan!" kata Daffa.William berada di hotel itu juga, ia mengikuti Nilam sampai sana, karena pikirannya gelisah saat itu.Ia melihat kerumunan di lantai 3 didepan pintu l
Beberapa waktu kemudian, Nilam Tersadar. Ia melihat selang infus menyatu dengan tubuhnya. Batinnya sudah yakin jika ia tengah berada di rumah sakit.Saat akan melepaskan alat tersebut, lengan Nilam terasa berat. Ia melihat ke arah bawah. Terlihat disana William disana tertidur.Nilam menitihkan air mata, begitu perhatiannya pria itu sampai harus tertidur seperti ini. Ia baru mendapatkan kasih sayang yang sangat tulus dari pria lain.Ia menyeka air matanya agar tidak ketahuan Willy. Saat ia menggerakkan sedikit tubuhnya, Willy terbangun.Willy melihat Nilam sudah sadar. Ia bergegas membenarkan posisi duduknya. "Sayang, kamu sudah sadar? Sejak kapan? Maaf aku ketiduran," kata Willy.Nilam melepas alat bantu pernafasannya, dibantu William. "Kenapa dilepaskan?"Aku sudah tidak apa-apa, Mas!" jawabnya. Ia berusaha bangun, dan duduk bersandar di dinding ranjang."Tidur saja, keadaanmu masih lemas!" suruhnya."Siapa yang menghubungi kamu, Mas?" tanya Nilam memperhatikan gerak bibirnya yang t
Hari itu huru hara perusahaan Bhaskara Group sudah terselesaikan, masalah dana perusahaan yang beberapa kali raib di atasi oleh William. Semua kembali normal. Perselisihan Nilam dengan Renata sebelumnya clear.Meski demikian mereka tetap harus berhati-hati, karena Santoso mungkin saja tidak terima dengan keputusan yang di berikan Willy terhadapnya."Mas, apa tidak apa-apa kamu memecat, Paman? Aku takutkan nanti akan berimbas buruk pada perusahaan kita!" ucap Nilam sedikit cemas."Sudahlah, kau jangan pikirkan itu, pikirkan saja kemajuan perusahaan kita! Perusahaan tidak akan berkembang jika ada benalu yang masih dipelihara!" jelas Willy.William memperhatikan Nilam dengan seksama. Mengerutkan kedua alisnya. "Kenapa kamu melihatku seperti itu, Mas? Ada perkataan aku yang salah?""Nilam tidak pernah perduli pada orang lain, apalagi telah merugikan perusahaan," ucap Willy.'Ah, lagi-lagi aku salah menunjukkan sikap,' batin Nilam.*****Sore itu mereka pulang lebih cepat, karena pekerjaa
"Tidak, Dokter. Saya akan menemani istri saya, saya tidak akan meninggalkan dia.""Oke baiklah. Anda bisa masuk ke ruangannya. Ada ruang khusus didalam untuk Anda beristirahat. Jika Anda lapar cafe dekat dengan ruangan ini.""Terimakasih, Dokter."*****Saat yang ditunggu William telah berlalu. Ia melihat jari Luna bergerak-gerak. Terlihat kedua matanya mengerjap beberapa kali. Dan tak lama kemudian -- kedua mata itu terbuka."Luna? Kamu sudah sadar?" William bertanya dengan mata berkaca-kaca.Luna kesulitan berbicara, karena kulit wajahnya masih terasa kaku, dan perih. "Ya"Hanya jawaban singkat yang dia bisa dengar. William bergegas keluar, dan memberitahu dokter, jika istrinya telah sadar.Tak lama kemudian William kembali bersama dokter. Pria berkulit putih susu, berambut pirang itu segera mengecek kondisi Luna.Beberapa peralatan medis ia gunakan untuk mengecek keadaan Luna. "Kondisi fisik Nyonya Luna baik. Kita bisa menunggu sampai besok. Saya akan buka perban besok pagi.""Syu
Beberapa saat berlalu -- Angel telah sembuh dan diperbolehkan pulang.Wajahnya terlihat penuh dengan sukacita. Karena sebentar lagi, Anita mengatakan jika orang tuanya akan melangsungkan sebuah pernikahan.Sebenarnya gadis kecil itu merasa bingung -- meski ia masih batita, ia sempat berpikir, kenapa mereka harus menikah lagi? Bukankah mereka sudah menjadi pasangan suami istri? Ia tidak berani menanyakan hal itu pada Mama atau Papanya. Cukup melihat mereka bahagia -- ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. Dan mamanya telah menjanjikan jika adik baby sudah sembuh -- boleh dibawa pulang. Ia telah menyiapkan nama yang indah untuk Putri Shiren itu. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Luna dan William tampak menggendong seorang bayi mungil. Dengan riangnya Angel berlari ke arah mereka dan menyambut kedatangan bayi itu di rumahnya."Mama ... Angel telah menyiapkan sebuah nama untuk adik Baby. Bolehkah aku memberi nama Feby?" tanya Angel."Tentu boleh, dong, Sayang." Luna memberi seny
Mereka terkejut melihat mangkuk berisi bubur itu terjatuh setelah seseorang membuangnya paksa.Luna melihat siapa yang melakukan itu -- ternyata Papa Seno. Lekas ia berdiri. "Tega sekali Papa melakukan semua ini? Tidak-kah Papa tahu, jika Angel tidak mau makan? Lihatlah keadaannya sekarang?" bantah Luna.Seno mengacungkan jari telunjuknya. "Siapa kamu? Atas izin siapa kamu berani bicara lantang terhadapku, hah!""Aku minta maaf, Papa. Tapi baru saja Angel mau membuka mulutnya. Dan sekarang, bubur itu sudah dilantai.""Cukup! Aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan Papa! Siapa yang mengizinkan kalian menginjakkan kaki di rumah ini?" bentak Seno -- wajahnya tampak merah padam."Aku, Mas! Sudah! Biarkan mereka disini menemani Angel." Anita meminta Seno dengan harapan."Oppa ... Kenapa Oppa kejam pada Mama dan Papa Angel? Kenapa Oppa memisahkan Angel dengan mereka?" tanya Angel dengan terisak.Anita memeluk tubuh kecil Angel. Ia tidak ingin gadis kecil itu menangis. Baru saja ia te
Sudah beberapa waktu lamanya akhirnya pintu ruang persalinan kembali terbuka. Mereka yang menunggu dari tadi segera menghampiri dokter yang baru keluar melewati pintu -- wajahnya terlihat sedih. Seperti ada sesuatu yang baru saja terjadi.Namun pikiran itu segera ditepis oleh Luna, semoga yang ia pikirkan tidak seperti yang sedang terjadi."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apakah kalian berhasil menyelamatkan keduanya?" Daffa memulai pertanyaan. Dalam beberapa saat pria yang mengenakan jas putih itu diam. Membuat semua yang berada di sana merasa tidak tenang. Diamnya dokter itu -- sudah mewakili jawabannya. Daffa yang memiliki status sebagai suami Shireen, lekas masuk begitu saja ke ruangan persalinan tersebut. Diikuti oleh Luna dan William.Langkah mereka terhenti, setelah melihat seorang perawat menutup tubuh Shireen dengan kain putih sampai atas kepala. Dan perawat lain sibuk membersihkan bayi yang tampak masih merah berlumuran darah -- Setelah beberapa saat -- mereka men
"Luna ... Perutku sakit!"Luna seketika panik. Ia lekas berteriak meminta pertolongan. Beberapa pria berseragam datang, dan memapahnya."Bawa dia kerumah sakit!" titah seorang polisi dengan pangkat tinggi."Berapa usia kandungannya? Apa dia akan melahirkan?" gumam Luna.Ia ikut mendampingi Shireen ke rumah sakit. Dengan mobil salah satu anggota polisi. "Bertahanlah Shireen ..." ucap Luna menguatkan.Ia menggenggam tangan Shireen erat. Ia tidak tahu bagaimana rasanya akan melahirkan. Banyak wanita mengatakan jika sakitnya luar biasa. Kontraksi menjelang persalinan sedikit banyak mirip dengan kram saat menstruasi. Bedanya, kontraksi ini akan terasa beberapa kali lebih berat daripada kram perut menstruasi. Rasa kontraksi juga mirip seperti perut kembung atau 'begah'.Sudah berbagai upaya Luna untuk bisa mendapatkan momongan. Namun tidak ada hasilnya. Selama tujuh tahun ia mendambakan seorang bayi, namun ia masih belum diberi kepercayaan juga.Teringat saat William melakukan dengannya.
Hari itu William sedikit sibuk. Mengurus semua kasus Luna dengan polisi. Ia telah membawa banyak bukti bersama saksi dan pengacara handalnya.Ia tidak perlu mengajak Luna ke kantor. Ia akan tangani sendiri -- tanpa melibatkan Luna. Wanita itu cukup diam saja dikontrakkan menunggu kabar dari William. Pekerjaan itu akan segera ia atasi. Namanya akan kembali bersih. Dan ia akan menikahinya. Dengan identitas aslinya 'LUNA'.Hari itu wanita yang biasanya suka menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan rumah hanya diam saja berpangku tangan.Bingung mau melakukan pekerjaan apa. Setelah semua pekerjaan rumah sudah ia kerjakan. Tidak seperti kediaman Bhaskara -- luasnya berhektar-hektar. Ia hanya cukup membersihkan kontrakan itu dalam waktu sesaat saja.Luna berjalan keluar, dan mendaratkan bobotnya dikursi kayu bersandar dinding depan. Celingukan melihat dari kejauhan -- satu kontrakan jauh yang disewa William."Jaraknya jauh, aku tidak mampu menjangkau wajah pria tampan itu. Ah, aku rindu p
"Kamu?"Luna terkejut akan siapa yang datang malam ini. Ia mendorong Luna masuk. Seketika ia menguncinya dengan cepat."Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" Luna bertanya dalam keadaan takut."Kebetulan kontrakan aku juga dekat dari sini -- aku bisa mengunjungi atm-ku lebih dekat lagi," ucapnya dengan senyum menyeringai."Maksudmu?" Pria itu mendorong tubuh Luna sampai sudut tembok.Luna ingin tetap tenang, meski pikirannya ketakutan. Tubuhnya dingin dan gemetar. "Kenapa sih? Biasanya saja kamu sok jadi bos, sekarang? Uda miskin ya?" ejeknya -- belum tahu kebenaran."Tolong kamu jangan banyak bicara. To the points saja -- kau mau apa? Dan mengapa kau mengunci pintunya?" Luna mengangkat alisnya menguatkan diri. Meski sebenarnya ia paham pria itu akan melakukan apa."Sebenarnya aku mau uangmu, beberapa bulan terakhir, tidak ada job apapun darimu atau boss lain," ucapnya memberi alasan."Aku tidak ada uang!" bantahnya dengan membulatkan kedua mata ."Oh ya, ka
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan menerimanya!"Perkataan itu membuat hati Anita tersentak. Ia harus menyadarkan suaminya untuk menerima Luna.Anita tidak melanjutkan obrolan ditelpon. "Pa, kita bicarakan lagi di rumah nanti ya, Mama tutup telponnya," ujarnya -- menghentikan serangan pertanyaan dari William.Ia melihat keatas kaca spion. Terlihat jelas kedua insan yang bukan anak kandungnya itu tertawa bahagia. Ia tidak akan merusaknya. Ia sudah ikhlas menerima kenyataan jika putrinya telah meninggal dunia. "Ma, kenapa diam setelah melakukan panggilan pada Papa? Apa yang Papa katakan?" tanya William -- membuyarkan lamunannya."Ah! Tidak! Tidak ada yang Papa katakan." Anita terdengar gugup. Setelah menjawabnya.Luna merasa jika Seno tidak akan mau menerima dirinya disana. Luna sangat tahu diri. Ia pun bisa merasakan hal yang sama dengan Seno.Kehilangan seseorang yang dikasihi -- dan parahnya dia sendiri yang memanfaatkan kesempatan itu untuk memakai identitasnya. Ia lebih memil
William menciumi tangan Luna beberapa kali. Ia yakin dan sadar -- jika dia sangat mencintai Luna.Perasaan sedihnya-- berganti kebahagiaan, karena menemukan Luna di sini."Sudah lepaskan Mas, tidak enak dilihat banyak orang. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita. Aku sangat malu sekali."Luna mencoba menyingkirkan genggaman tangan William. Tampaknya ia enggan melepasnya. Semakin Luna menyuruh melepaskan, ia semakin erat menggenggamnya.Dua sudut bibir Willy mengembang selalu. Terpancar kebahagiaan di kedua matanya. Luna tidak pernah melihat pria itu sebahagia ini."Aku tidak mau melepaskan tanganmu, apa lagi melepaskan dirimu untuk pergi. Sungguh aku tidak akan bisa bertahan tanpamu, Luna." Perkataan William membuat air mata Luna berlinang.Jemari Willy mengusap air mata yang tiba-tiba bergulir. Ia tidak tahu -- Apa yang menyebabkan dia menjatuhkan air hangat dari kedua bola matanya?"Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak bahagia jika akan hidup bersamaku? Hem?" tanya William mengan