Sesuai perintah wanita yang tadi memberi tawaran sejumlah uang besar, ia akan mengikutinya."Sayang, mari kita lakukan bersama sekarang," ajak Bram. Shireen mengangguk patuh.Dalam rencananya--ia juga ingin menipu Daffa, dengan ia hamil bersama Bram, Shireen akan menunjukkan bahwa anak dalam kandungannya itu adalah anak Daffa Ardiansyah. Hingga kesempatan ia menjadi istri Daffa lebih cepat terealisasikan.Pria itu menggendong tubuh Shireen yang tidak terlalu gemuk masuk ke dalam rumah kontrakannya. Ia membaringkan tubuh wanita cantik itu, di atas ranjang miliknya. "Sayang, persiapan saja dirimu ya!"Shireen mengangguk. "Bram Sayang, kamu tidak perlu takut. Sepertinya kau sangat canggung?" "Aku berjanji padamu, tidak akan meminta pertanggungjawaban darimu. Jika hamil nanti, aku akan menyuruh Daffa yang akan menikahi-ku," jelas Shireen.Bram tersenyum menyeringai, ia merasa sangat kebetulan sekali dapat perhiasan tanpa bekerja keras.Bram memberi secarik kertas, dan meminta tandatang
Wanita itu menoleh kebelakang, melihat seorang wanita dengan tas branded menunju ke arahnya."Saya?" Dengan mengangkat bahu, dan menunjuk dirinya sendiri."Ya, kamu! Kamu pegawai baru?" tanya Nilam, yang perlahan berjalan menuju kearahnya."Saya sekretaris baru Pak Willy, Anda siapa?" jawabnya dan berbalik memberi pertanyaan pada Nilam."Sekretaris? Hah, apa suami saya sudah memberi interview pada, Anda?" tanya Nilam tidak percaya. Wanita seperti ini, tidak pantas bekerja di perusahaan Willy. Hanya mengandalkan fisik. Nilam sudah memberikan standar berpakaian yang harus ditaati."Oh, maaf ini Ibu Direktur istri Pak Willy? Saya sudah di interview Pak William kemarin sore Bu," tanya wanita itu seketika membenarkan posisi berdiri dan bajunya.Ia sedikit menundukkan kepala saat tahu wanita di depannya ini adalah Ibu Nilam. Jika tahu dari tadi, ia sudah menghormatinya."Maafkan saya, Ibu Nilam," lagi, ucapnya dengan menundukkan kepalanya.Seharusnya ia lebih menata perilakunya, kalau sepe
Dua jam sudah berlalu, pekerjaan Tiara selesai. Ia tidak menghubungi Renata. Ia dengan beraninya mendatangi ruangan William.Tok tok tok!"Permisi, Pak!" "Ya silahkan masuk!" perintah Willy dari dalam ruangan.Tanpa sungkan wanita itu memutar handle pintu dan membukanya. Melihat wajah pria tegap, penuh wibawa tentunya karismatik ia makin bersemangat.Willy tidak melihat siapa yang masuk, saat melihat sekilas ternyata wanita yang ia interview sore kemarin.Bukan karena cantik dan bodynya yang bagus. William tertarik pada skill dan pengalaman kerjanya yang bagus."Kamu? Saya tidak memanggilmu kemari! Siapa yang menyuruhmu masuk keruangan saya?" tanya Willy menelisik.Ia tidak senang jika asal keluar masuk tanpa ada perintah darinya. William melepaskan mouse-nya dan melipat tangan didada."Saya minta maaf, Pak! Saya baru dan belum tahu apa saja yang harus saya kerjakan. Saya hanya mengerjakan pekerjaan di map ini, dan telah selesai. Jadi saya ingin Bapak memeriksanya," kata Tiara menyera
Nilam keluar ruangan, menenangkan Willy agar tidak marah kembali. Ia harus membela Gabriella-- telah menolongnya.Segera ia menuju keruangan bersama Gabriella. Wanita itu mengatakan jika Nilam memiliki undangan makan malam oleh seorang pemilik perusahaan textile ternama di kota Surabaya ini."Terimakasih Gabriella! Oh ya, apakah Bapak William tidak mendapat undangan juga?" tanya Nilam setelah--sekretarisnya memberikan sebuah undangan berwarna putih."Maaf Ibu Nilam, undangan hanya untuk Ibu saja," jawabnya. Setelah itu-- ia segera pergi.Wanita itu dengan cepat membukanya, merasa aneh saja siapa pengirim dan kenapa hanya ia yang di beri undangan itu?'Hem, textile? Ah, aku tidak ada mood jika undangan itu dari Daffa Ardiansyah! Tapi, coba ku lihat dahulu!' gumamnya dalam hati.Setelah pembungkus bening ia lepaskan, barulah ia bisa melihat tulisan di dalamnya.Sebuah undangan makan malam yang di hadiri oleh lima direktur utama pemegang saham terbesar di Surabaya dan Bali. Tertera disa
Shireen berdiri di samping jendela, dari tirai yang sedikit terbuka, namun terhalang kaca, ia masih bisa melihat seorang wanita bergaun biru duduk berdekatan dengan Bram.Hati Shireen sangat sakit melihat pemandangan ini. Apa lagi perbuatan yang mereka lakukan di ruang tamu. Sangat menjijikkan bagiannya.Ia lupa, perbuatannya sendiri seperti binatang jika berada bersama dua pria berbeda. Melakukan lebih dari itu.Keduanya saling memadu kasih, terlihat jelas di kedua mata Shireen. Perlakuan Bram yang membuat ia sakit, pada wanita yang terlihat lebih muda darinya itu."Ini tidak bisa di biarkan! Aku mencintai kamu Bram! Kenapa kamu sakiti aku seperti ini! Tega sekali kamu! Katanya hanya aku wanita yang kau cintai? Buktinya apa?" Keluh Shireen. Ia mengepalkan kedua tangannya.Wajahnya terlihat merah padam. Ia bergegas membuka pintu kontrakan Bram. Namun sayang pintu terkunci.Brak! Brak! Brak!"Bram! Buka pintunya!" teriak Shireen dengan amarah meluap.Beberapa saat, ia tidak melihat pin
Setelah beberapa benda dan beberapa uang miliknya yang berharga diserahkan pada mereka, dua pria itu meminta kunci mobil. Shireen menolak memberikannya, salah satu pria itu segera memegang kedua tangan Shireen, dan mengancam menusukkan senjatanya ke perutnya.Shireen ketakutan, ia tidak mungkin menyerahkan nyawanya hanya demi sebuah mobil. Tapi bagaimana kelanjutan hidupnya, apa yang harus dikatakan pada Daffa?"Cepat berikan kunci mobilnya pada kami!" pinta pria itu. "Lepaskan!" Shireen meronta. Ia tidak mungkin berteriak, karena jalanan itu sangat sepi."Mau mati kamu!" ancamnya, pria itu makin menusukan pisau itu ke perutnya."Ah!" rintih Shireen.Tanpa menunggu lama, satu pria lainnya segera merogoh beberapa saku pakaiannya. Ia menemukan kunci di saku celananya."Nah! Ketemu! Pergi sekarang!" perintah satu diantara mereka. Dan satu pria lain melepaskan Shireen."Tolong! Tolong! Tolong!" teriak Shireen, saat terdapat beberapa orang melewati jalan itu."Perampok! Perampok! Tolong!
Daffa segera menangkapnya, ia tidak sampai jatuh ke lantai. Pria itu bingung dibuatnya. Melihat wanita itu membutuhkan oksigen. Namun sudah beberapa menit lamanya, pintu belum juga terbuka juga.Daffa mencoba menghubungi kembali beberapa nomer di kontaknya, panggilan gagal. Tidak ada satupun signal dalam ruang lift tersebut.Ia coba menggebrak pintu lift berulang kali ini, nihil tidak ada siapapun yang mendengar. Jarum jam sudah berputar satu satu langkah.Ia juga merasa sangat sesak. Menunggu mekanik tidak kunjung membukanya.Sementara diluar terdengar suara beberapa orang menggebrak pintu lift. "Apa ada orang di dalam sana?""Ya, tolong kami! Kami sudah satu jam disini!"Daffa juga mengeluarkan suara kerasnya."Apa kalian masih baik-baik saja?" lagi, teriak mereka."Salah satu penumpang lift seorang wanita sudah pingsan!" kata Daffa.William berada di hotel itu juga, ia mengikuti Nilam sampai sana, karena pikirannya gelisah saat itu.Ia melihat kerumunan di lantai 3 didepan pintu l
Beberapa waktu kemudian, Nilam Tersadar. Ia melihat selang infus menyatu dengan tubuhnya. Batinnya sudah yakin jika ia tengah berada di rumah sakit.Saat akan melepaskan alat tersebut, lengan Nilam terasa berat. Ia melihat ke arah bawah. Terlihat disana William disana tertidur.Nilam menitihkan air mata, begitu perhatiannya pria itu sampai harus tertidur seperti ini. Ia baru mendapatkan kasih sayang yang sangat tulus dari pria lain.Ia menyeka air matanya agar tidak ketahuan Willy. Saat ia menggerakkan sedikit tubuhnya, Willy terbangun.Willy melihat Nilam sudah sadar. Ia bergegas membenarkan posisi duduknya. "Sayang, kamu sudah sadar? Sejak kapan? Maaf aku ketiduran," kata Willy.Nilam melepas alat bantu pernafasannya, dibantu William. "Kenapa dilepaskan?"Aku sudah tidak apa-apa, Mas!" jawabnya. Ia berusaha bangun, dan duduk bersandar di dinding ranjang."Tidur saja, keadaanmu masih lemas!" suruhnya."Siapa yang menghubungi kamu, Mas?" tanya Nilam memperhatikan gerak bibirnya yang t