Baru kali ini Ayudia menunggu malam serasa menunggu bedug lebaran. Saat Maghrib terdengar, Ayudia bergegas ke kamar mengambil wudhu. Namun di dalam, Ammar ternyata sudah menunggu di atas sajadah yang tergelar.
"Dia ... kita sholat jamaah, ya. Kita berdoa sama-sama, agar Allah berikan petunjuk untuk rumah tangga kita."
Ayudia mengangguk. Tak lagi berharap petunjuk lain, hatinya sudah mantap melangkah sendiri. Doa yang tersemat pun selalu minta kemudahan supaya ia lepas lebih cepat dari Ammar. Dari keluarga priyayi. Semakin lama perempuan itu tinggal, ia merasa lebih asing. Lebih kecil dan tak pantas berada di lingkungan tersebut.
"Assalamualaikum warahmatullah ...."
Usai mengucap salam terakhir, Ammar ulurkan salim ke Ayudia. Pria itu ingin melakukan kebiasaan jamaah dengan sang istri di hari-hari berikutnya. Bisa dihitung dengan jari, berapa kali Ammar menjadi imam untuk Ayudia selama satu tahun terakhir. Banyak waktu sudah ia abaikan. Kebersamaan terlewa
"Saya mem- mem- membebaskan ... engkau ... Ay- Ayu- Ayudia Prasasti binti almarhum Sujono. Mulai malam ini kamu bukan lagi istriku." Usai mengucap kalimat yang bermakna talak, Ammar mengusap wajah dengan kasar, lalu beranjak tanpa permisi. Ammar menyendiri di gelap malam, melampiaskan sedih yang memukul. Ammar menjerit diantara teriakan jangkrik. Ammar menangis ... "Ya Allah ... kenapa Kau pisahkan aku dengan orang-orang yang sangat berarti." Katanya dengan tergugu. Sesal selalu di ujung, kala sesak sudah membekap jiwa rapuhnya. Selama ini Ammar merasa kuat, merasa hebat, merasa punya banyak kelebihan, namun kini ia tertunduk perih bagai terhunus sebilah pedang. Kandas ... Pernikahan seumur ratusan hari harus gagal karena beberapa faktor pemicu, terutama buruknya sikap sang pemimpin. Pernikahan yang harusnya masih manis-manisnya, kini malah jadi momok mengerikan bagi insan hawa yang tergores kenangan buruk. Luka ... semua perpisahan tentu meninggalkan luka. Entah karena rasa keh
Ammar termangu di tempat, memandang lurus ke hamparan tanaman jagung yang mulai kering. Hari-hari bersama Ayudia selalu menari di ingatan, seolah tengah menertawai dirinya yang bodoh. Menyakiti dan jatuh cinta pada gadis lugu nan polos, seperti mimpi buruk yang tak ia inginkan.Dan ... kisah nyata kembali menampar relung Ammar. Ternyata Ayudia adalah gadis kecil cengeng yang ia yakini teman masa kecil. Bocah yang selalu bermain dengannya kala balita dulu. Ayudia adalah Sasti. Gadis kecil yang pertama berhasil mengambil simpati dan perhatian Ammar. Ammar yang ketus dan sedikit angkuh.Sampai dewasa, rindu itu enggan pergi. Hingga semua terbuka oleh cerita Abah saat mengembalikan Ayudia. Benar, Ayudia yang ia cari selama ini. Dan setelah Abah menyatukan, Ammar justru memaksa perempuan itu pergi membawa luka.Ammar mencium pasmina Ayudia yang tertinggal di lemari, menghirup sisa wewangian di sana. Tiba-tiba air bening merembes dari sudut mata kala Ammar ingat perempuan tersebut, merasaka
Minggu pagi ...Redup dengan sayup-sayup alunan daun, membelai sejuk wajah pria hitam manis. Dari petang, ia sudah berkemas. Siapkan seluruh perbekalan untuk sambang ke kampung nan jauh di ujung barat. Ada beberapa lempeng obat-obatan, ada gula khusus yang rendah akan kandungan kalori. Juga dua lembar batik berlukis gajah terselip di box belakang jok ... motor.Adam Abdurrahman, pria matang berusia dua puluh tujuh tahun itu nampak bungah dengan simpati Umi. Layaknya ibu sendiri, Umi Aida siapkan segala sesuatu untuk teman jalan. Sarapan nasi goreng sudah ada di meja, saat yang lain belum siap, Umi telah meneriaki Adam dan Muha yang hendak pergi.Adam anggap perjalanan kali ini adalah napak tilas. Momen-momen yang melibatkan pribadi dengan perempuan bernama Ayudia sangat menyengat hati. Tak lepas barang secuil pun. Adam jatuh cinta dari kali pertama dua titik fokusnya menatap gambar di sebuah ponsel.Memang hanya karya manusia iseng, potretan tak berarti apa-apa. Namun, entah kenapa ha
Ayudia tak hapus senyum dari datang tadi sampai sudah menjelang pulang. Gurat sedih lenyap, wajah mulus itu terlihat amat manis, lain dengan kala tinggal di pesantren. Entah sudah bangkit, atau ia memang perempuan pandai menelan kepahitan tanpa mau makhluk lain mendengar kecuali diri sendiri. Tentu dengan topeng gembira.Betapa sederhana hidup sesungguhnya, yang pelik cuma liku dan tafsirannya. Kalau tidak pandai-pandai mengolah hati, pasti tumpas juga termakan sesal tak berkesudahan.Adam gagal mencerna kalimat Ayudia, pria itu tiba-tiba menggeragap kala Muha kagetkan di bahu. Saking seru ia susuri detail wajah cantik di hadapannya. Kerudung instan warna krim membentuk lingkar wajah sempurna. Pipi tirus hidung mancung dan bibir atas agak tebal. Cantik luar biasa. Sudah wajar ketika insan jatuh cinta, semua dianggap sempurna tanpa cacat.Saat begini, Adam sulit menjadi manusia normal. Kecerdasan seolah terbang dan ia jadi orang bebal. Isinya cuma Ayudia, Ayudia dan Ayudia.Pada waktu
Sepuluh hari berlalu sejak kunjungan Adam, komunikasi terjalin baik. Jarang ada kelonggaran dalam tujuh hari, Minggu juga sudah terjadwal di kebun. Ayudia nikmati semua, tujuan majukan pendidikan generasi Kipyuh akhirnya terbayar. Proposal yang ribuan kali dikirim, kini sudah dibalas pembesar dengan bahan mentah. Ayudia lega, rapuh kayu sengon akan segera pensiun berganti permanen.Dicelah sibuk, ia sempatkan meng-iklan laptop seken kreasi Adam. Alhamdulillah, laku keras, juga pengguna jasa perbaikan. Cukup untuk beli obat gula darah.Lalu bagaimana ungkapan yang sempat digadang Adam?Tak bermasalah. Ayudia sudah tanya maksud Adam. Dijawablah oleh Adam, "ndak usah dipikirkan, sekarang kamu fokus dulu sama kerja dan rawat Atuk. Tapi ingat, hati-hati dengan lelaki yang baik sama kamu, karena mereka pasti punya tujuan deketin kamu. Yang artinya suka sama kamu.""Berarti Kak Adam juga suka sama Dia?""Iya. tapi kan kita sudah kenal baik, dan aku ndak permasalahkan itu. Ndak perlu Dia piki
Sang Surya terik dengan ganas, menyengat kulit hingga menusuk pori-pori. Sangat panas. Kemarin tujuh hari Atuk, Abah beserta rombongan baru saja lepas, usai habiskan malam peringatan tujuh harian. Tinggallah Adam dan Ammar, sebentar saja mereka duduk, lalu akan lepas juga. Meninggalkan Ayudia sendiri dengan sang Uti. Sedih, tapi begitulah hidup. Semua yang bernyawa akan merasakan mati. Semua yang datang akan pergi. Sepanjang hari Ayudia membisu, bicara dengan sinarmata dan perubahan-perubahan air mukanya saja. Kata-katanya tak berbunyi, akan tetapi semua pasti tahu maknanya: bagaimana akan jalani hidup selanjutnya? Hanya senyum palsu sesekali tergambar, lalu kembali lagi buyar. Uti satu yang ia punya malah jatuh juga, Adam sangat prihatin. Pilu hidup yang dirasa, ternyata tak ada apa-apa dibanding liku cerita Ayudia. "Kami pulang dulu. Jaga kesehatanmu, agar bisa menjaga Uti dengan baik. Nanti, sesekali aku akan datang menengok kesini." Kata Adam, lalu berbalik. Mengusap sudut mata
Pagi-pagi sekali, masih pukul lima kurang delapan menit. Usai sholat jamaah subuh, Adam bergegas memanasi motor, lalu pergi tanpa kembali pamit ke rumah Abah. Sebabnya semalam Adam sudah dari sana, mengajak Muha. Sayangnya Muha tak bisa ikut dikarenakan sedang menjalani ujian semester.Udara pagi menusuk kulit, apalagi semalam hujan deras mengguyur seluruh kecamatan di Sandur. Jaket parasut yang memeluk kaos hitam, tak juga memberi Adam rasa hangat. Pukul enam sudah naik perahu, bibir Adam pucat dan kering. Adam menggigil. Ya, tubuh manusia memang punya upaya adaptasi sendiri, tubuh bisa merespon cepat kondisi lingkungan agar senantiasa bertahan serta berfungsi dalam keadaan normal, atau biasa disebut homeostasis."Abang kedinginan, ya?" Tanya anak buah perahu yang cuma semata wayang.Adam mengangguk, sambil menggosokkan telapak tangan. Matahari yang ditunggu malah berselimut awan hitam. Sudah tahu musim hujan, Adam tak membawa baju lain."Ini diminum kopinya, Bang. Mungkin kurang man
Hidup adalah pilihan. Memilih sesuatu yang menyangkut masa depan membuat diri bimbang. Perlu banyak hari untuk diam sejenak, berpikir dan menimbang segala yang baik dan mampu dijalani. Begitu yang dilakukan Ayudia. Ia tak ingin salah langkah menentukan imam dunia akhirat. Masa depannya akan dipengaruhi oleh akumulasi pilihan-pilihan hari ini.Terusik pula oleh getar yang kadang ada, saat bertemu, kala berbincang, atau hanya sekedar bertukar pesan. Sedikit rasa menjadi bekal untuk mengajukan tanya pada Uti, bagaimana pendapat orangtua tunggal sangat penting.Akan tetapi, semua kembali pada pribadi Ayudia. Ia yang tahu merindu pada siapa?Tiga puluh hari ia gunakan sebagai masa sengap. Berhenti bertemu maupun bertukar kabar dengan pria-pria yang ingin membangun rumah tangga bersama. Hingga pilihan itu jatuh pada salah satu. Ia yang dianggap mampu berikan tenang, ia yang dirasa cukup bersahabat dengan Ayudia. Pun akhirnya semua harus terungkap juga.Menyemat status janda adalah fakta bur
Tiga hari sudah Ammar menjabat sebagai suami dari Ayudia Prasasti. Ia sangat menikmati perannya tersebut. Ia ingin menjadi suami yang terbaik untuk Ayudia, tidak akan mengulang kesalahan dahulu, atau bisa fatal akibatnya. Selama tiga hari, Ammar senantiasa membantu Ayudia dalam hal apapun. Ia cekatan merawat Fa dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring dan mencuci pakaian. Ammar juga memutuskan untuk tidak pergi ke luar kota, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Sementara hanya menerima pekerjaan dari rumah, agar bisa menghabiskan banyak waktu bersama.Hari ini, Ammar mengajak Ayudia untuk pindah ke rumah baru mereka. Tempat yang akan menaungi hari-hari keluarga kecil Ammar ke depan. Rumah yang berhasil Ammar wujudkan dalam kurun waktu satu bulan. Ia mendesain sendiri rumah itu. Berkonsep minimalis dan estetik. Sengaja Ammar hanya memberi dua kamar pada rumah tersebut, dengan alasan agar Ayudia tidak kelelahan membereskan pekerjaan rumah saat ia sedang ke luar k
Ayudia mematut dirinya di depan cermin, memandang dan menatap detail tubuhnya yang terbalut gamis berwarna navy dengan kerudung senada, menutup sampai di bawah perut. Pakaian sederhana berbahan brukat tanpa pernak-pernik apapun. Namun, aura kecantikan tetap memancar dari wajah ayu itu. Ia memoles bedak dan lipstik. Tidak perlu foundation, tidak perlu eyeliner, blashon dan lain sebagainya. Ayudia pikir, hanya lamaran, tak perlu tampak berlebihan juga.Fa juga terlihat tampan dengan kemeja abu, pakaian yang Ammar belikan. Bocah kecil itu anteng sekali sejak tadi, seakan ia paham benar suasana hati sang ibu. Bahagia. Sudah pukul delapan malam, Ammar juga sudah mengabarkan jika ia sudah berjalan dengan rombongan menuju rumah Ayudia. Akan tetapi, sudah lebih dari sepuluh menit belum juga sampai."Mbak, ayo keluar. Mas Ammar sudah datang. Biar Fa, aku yang gendong.""Sudah sampai? Kok ndak kedengeran suara mobil?"Najma tersenyum, "Ya ndak, orang jalan kaki."Ayudia membelalak, kurang yakin
Dua hari kemudian Ammar baru menanyakan lagi perihal jawaban Ayudia. Sebab ... semakin ditunggu, Ayudia justru semakin kelihatan menjauh, membuat Ammar dilanda kegalauan. Dengan amat sangat terpaksa, Ammar membuang urat malu dan melapisi wajahnya dengan tembok, Ammar menagih jawaban Ayudia. Dengan santai dan hanya dalam sebuah pesan singkat. Ayudia menjawab dengan Jawaban yang masih sama. Tetap iya, membuat Ammar merasa bingung akibat tak mau terlalu percaya diri dulu dan akhirnya kecewa. Lalu ia desak lagi agar menuliskan jawaban yang jelas menggunakan kalimat, bukan sekedar satu kata. [Iya, Dia mau kembali dengan Kakak.] Pesan yang Ayudia kirim barusan, Ammar pandangi sampai lama, sampai seluruh kepingan jiwa dan kewarasannya kembali. Lalu ... "Yey! Yes! Alhamdulillah ya Allah ...! Alhamdulillah! Hore ... Umi ... Dia mau, Dia mau, Mi ....!" Umi tidak heran, sebab beliau begitu paham dengan tabiat anaknya yang memuja Ayudia. Janggal jikalau Ammar tidak jingkrak-jingkrak. Jika sud
Ayudia memanggil-manggil Umi dan Abah. Sayangnya tidak ada sahutan. Albi lalu meninggalkan Ammar di kursi saja, dan pergi keluar. Fatma malah meringkuk dengan Fa, tidak mungkin Ayudia membangunkan, yang ada Fa akan kaget. Akhirnya ia sendiri yang menangani Ammar."Kak, Dia siapkan air hangat untuk mandi ya? Tapi di kamar mandi belakang, Kakak ambil bajunya dulu di kamar.""Ndak kuat, Dia ... tolong sekalian."Meski ragu-ragu, Ayudia tetap membuka pintu kamar Ammar, lalu menghidupkan lampu kamar."Dia ..." Panggil Ammar,Ayudia terlonjak, "Ya.""Ehm, itu ... itunya ... ndak usah."Ayudia berbalik dan mendekati Ammar. Ia tidak mengerti apa yang sedang Ammar bicarakan. "Itu itunya itu apa sih, Kak?""Ya itu, ndak usah. Di belakang ada."Ayudia menggeleng, masih tidak paham ia melengos dan masuk ke kamar lalu membuka lemari. Barulah saat pupilnya menangkap segitiga berkerut, bulu kuduknya meremang. Ia baru memahami ucapan Ammar tadi. Mengalihkan pandangan lalu menarik satu kaos dan celana
Pukul sebelas malam, Ayudia dan Ammar baru saja akan pulang dari bidan Diva. Fa tidak perlu pengobatan serius karena memang hanya mau pilek biasa. Kegelapan menemani sepanjang perjalanan mereka, tak nampak sepercik sinar kehidupan dari rumah-rumah warga, semua gelap dan mencekam.Cuaca memang sering tidak terduga, bulan yang seharusnya menjadi musim panas, tiba-tiba terguyur hujan lebat. Biasa begitu kalau lama tidak hujan, giliran hujan petir tampil paling garang. Ayudia yang terkantuk-kantuk sambil mengepuk-ngepuk paha Fa, memaksa buka suara untuk menemani Ammar yang tengah menyetir."Kak ... nanti langsung pulang ke rumah Kak Ammar saja, Dia biar pulang sendiri. Baju Kak Ammar kan basah, takut masuk angin."Ammar mengangguk dalam temaram. Entah terlihat atau tidak. Bibirnya sudah tidak mampu lagi mengatup, dingin yang menyeruak sampai ke tulang sumsum, membuat pria itu menekan gigi-giginya untuk menahan getaran pada tubuh. Rasanya Ammar sudah ingin ambruk, akan tetapi ... dua malai
Semua aktivitas sudah berjalan seperti sediakala. Ayudia sudah terlepas dari bayang-bayang trauma. Ia fokus mengasuh Fa dan mengelola rumah semai bersama Najma. Sedang Ammar juga sibuk sendiri dengan proyek yang membanjiri peminat jasanya. Ya, Ammar memutuskan untuk berhenti mengajar, karena merasa bosan dan itu memang bukan bidangnya. Sudah hampir sepuluh hari Ayudia tidak melihat wajah teduh pria yang semakin sering membayangi dirinya. Selama itu juga Ammar hanya beberapa kali mengirim pesan. Terakhir kemarin siang, pesan yang menanyakan kesehatannya dan Fa. Namun, saat Ayudia membalas, pesan hanya centang satu abu-abu ... sampai hari ini. Ingin bertanya kepada Najma, namun Ayudia sedikit malu. Seakan ia tidak bisa menahan rindu yang menggunung. Iapun hanya pasrah menanti kepulangannya. Kadang terbersit prasangka buruk; apakah Ammar benar-benar dengan perasaan dan pernyataannya? Atau sekedar menghibur dirinya yang kesepian? Ayudia tidak paham. Tetapi, lebih dari seminggu tanpa kab
Malam nanti aqiqah akan diselenggarakan, seluruh ketering sudah Ammar serahkan pada pihak pemotongan kambing. Ammar juga yang sibuk memesan berbagai macam kudapan untuk menambah suguhan para tetangga yang hadir. Tak lupa pria tersebut memesan tenda agar seluruh tamu bisa tertampung, dan juga tenang saat sedang menyelenggarakan marhabanan. Tidak takut kalau hujan tiba-tiba mengguyur.Rumah Ayudia sangat sesak dengan kehadiran para guru-guru dari sekolahnya mengajar dan dari Asmaul Husna. Ramai dan penuh tawa kebahagiaan. Banyak yang melempar ledekan kepada Ammar, sayangnya pria itu tak bisa lama-lama menanggapi candaan-candaan receh yang membuatnya tersenyum. Ia harus wara-wiri mendampingi pemasang dekor dan tenda. Ia ingin semua sempurna. Enak dipandang dan indah. Sesuai keinginannya. Ah, sudah seperti pemilik event organizer, saja."Am ... buruan dilamar, keburu disabet bujang-bujang yang lebih unggul darimu!" Kata Iqbal."Santai aja, Bal. Meski banyak yang lebih unggul, tapi pesonak
Ayudia menutup kembali buku itu, meletakkan di laci lemari seperti sediakala. Hatinya sudah plong, pikirannya jauh lebih ringan. Tiba-tiba semua suara yang entah sejak kapan suka sekali berbisik di telinga, lenyap begitu saja. Ayudia bingung, sebenarnya apa yang terjadi? Apakah semua adalah pengaruh dari setan? Ah ya sudah lah, yang terpenting kini ia merasa lebih baik. Perempuan tersebut berjalan menapaki semua ruangan di rumahnya. Mencari dimana gerangan gadis yang izin memasak tadi. Ayudia memanggil-manggil gadis itu. Rasanya tak sabar mengabarkan untuk segera mencari bayi kecilnya yang kemarin ia tolak."Najma ... Najma ... di mana, Najma?" Ayudia bertanya pada dirinya, matanya memindai seluruh ruangan tak terkecuali. Ingin berjalan ke belakang, mencari di 'Rumah Semai', namun kewanitaan miliknya masih terasa nyeri. Darah nifas mengalir dengan derasnya. Akhirnya ia duduk di ruang tamu. Bahkan sekarang perempuan berstatus janda dua kali itu, sedang senyum-senyum sendiri. Hatinya se
Akhirnya Adam kecil dibawa pulang oleh Umi yang diantar Andre. Ammar menunggu Ayudia, dan Najma pergi membeli perlengkapan bayi bersama Habibi. Andre harus mengalah karena diamanahi oleh Najma untuk menjaga rumah semai di kediaman Ayudia. Keesokan pagi, Ammar membawa Ayudia pulang. Kondisinya sudah stabil, meski ia masih tampak lesu dan banyak diam. Najma yang menjaga Ayudia semalaman, ikut pulang dengan mobil Ammar. Dua pria yang tengah gencar mendekatinya sudah kembali ke daerah masing-masing. Gadis itu mencoba membuka obrolan agar Ayudia berbicara. "Mbak Dia, kemarin Andre mengantar benih mahoni 250 pohon. Baru Najma bayar setengah, setengahnya nanti kalau sudah laku seluruhnya." Tidak bergeming, Ayudia tetap diam. Najma dan Ammar saling pandang melalui kaca tengah. Lalu Najma mengangkat bahu, kode bahwa ia tak bisa berbuat banyak. Kini giliran Ammar berusaha mengalihkan perhatian Ayudia dari hilir-mudik kendaraan di jalan. "Dia ... bagaimana jika nanti saat sampai di rumah, aku