Pagi-pagi sekali, masih pukul lima kurang delapan menit. Usai sholat jamaah subuh, Adam bergegas memanasi motor, lalu pergi tanpa kembali pamit ke rumah Abah. Sebabnya semalam Adam sudah dari sana, mengajak Muha. Sayangnya Muha tak bisa ikut dikarenakan sedang menjalani ujian semester.Udara pagi menusuk kulit, apalagi semalam hujan deras mengguyur seluruh kecamatan di Sandur. Jaket parasut yang memeluk kaos hitam, tak juga memberi Adam rasa hangat. Pukul enam sudah naik perahu, bibir Adam pucat dan kering. Adam menggigil. Ya, tubuh manusia memang punya upaya adaptasi sendiri, tubuh bisa merespon cepat kondisi lingkungan agar senantiasa bertahan serta berfungsi dalam keadaan normal, atau biasa disebut homeostasis."Abang kedinginan, ya?" Tanya anak buah perahu yang cuma semata wayang.Adam mengangguk, sambil menggosokkan telapak tangan. Matahari yang ditunggu malah berselimut awan hitam. Sudah tahu musim hujan, Adam tak membawa baju lain."Ini diminum kopinya, Bang. Mungkin kurang man
Hidup adalah pilihan. Memilih sesuatu yang menyangkut masa depan membuat diri bimbang. Perlu banyak hari untuk diam sejenak, berpikir dan menimbang segala yang baik dan mampu dijalani. Begitu yang dilakukan Ayudia. Ia tak ingin salah langkah menentukan imam dunia akhirat. Masa depannya akan dipengaruhi oleh akumulasi pilihan-pilihan hari ini.Terusik pula oleh getar yang kadang ada, saat bertemu, kala berbincang, atau hanya sekedar bertukar pesan. Sedikit rasa menjadi bekal untuk mengajukan tanya pada Uti, bagaimana pendapat orangtua tunggal sangat penting.Akan tetapi, semua kembali pada pribadi Ayudia. Ia yang tahu merindu pada siapa?Tiga puluh hari ia gunakan sebagai masa sengap. Berhenti bertemu maupun bertukar kabar dengan pria-pria yang ingin membangun rumah tangga bersama. Hingga pilihan itu jatuh pada salah satu. Ia yang dianggap mampu berikan tenang, ia yang dirasa cukup bersahabat dengan Ayudia. Pun akhirnya semua harus terungkap juga.Menyemat status janda adalah fakta bur
Ayudia masih berduka, berturut-turut ditinggal orang-orang tercinta bukan perkara mudah. Apalagi usai semua pergi, Ayudia dengan terpaksa akan meninggalkan pulau terpencil itu demi jalani hidup. Seperti sepeninggal Atuk kemarin, rombongan Abah mendahului undur diri. Adam menemani hingga Ayudia siap dan lega mengucap selamat tinggal. Bersyukur sudah ada yang bisa mendekap kerapuhan Ayudia, memungut setiap keping hati yang retak. Ayudia terpukul. Hari ini mereka tengah berberes usai riungan semalam, peringatan tiga hari wafatnya Uti. Selain mengembalikan tikar tetangga, Ayudia sekalian pamit pada mereka. Tetangga yang dikenal baik dan mau ikut sekedar menemani hari Uti. "Makasih ya Buk, sudah meminjamkan tikar sampai berhari-hari. Dia sekalian mau pamit, Dia mau ikut suami ke Sandur." "Sama-sama. Terus rumah kamu gimana?" "Untuk sementara biar kosong dulu, nanti barangkali ada pasangan keluarga yang belum punya rumah, ibu bisa tawarkan. Mau atau ndak kalo nempatin rumah Dia." "N
Rumah tangga macam apa yang seseorang harapkan? Tentu hampir seluruh perempuan di penjuru planet bumi, ingin punya suami yang mengerti. Ayudia menganggap Adam punya itu, punya semua yang didamba makhluk hawa. Perhatian dan pengertian bahkan melebihi ekspektasi Ayudia sendiri. Siapa yang tak suka? Andai diobral, tentu para gadis akan berebut. Hihihi.Tetapi, banyak orang yang belum bisa percaya bahwa pria itu sangat perhatian serta pengertian ketika usia pernikahan masih seumur jagung muda. Artinya pasangan belum tahu sedalam mana sabar dan pengertian pria pada seorang istri yang kadang lebih cocok menjadi reporter.Pagi ini pasangan muda itu tampak bersemu, dari bangun hingga duduk berdua di meja makan. Ayudia juga kerap menunduk malu kala ingat aksi mereka dalam melakukan ritual suami-istri semalam. Malam pertama mereka akhirnya terlaksana juga, setelah pernikahan menginjak usia tiga puluh empat hari.Adam bahkan sulit membenamkan bulan sabit yang terlanjur terbit di bibir manisnya.
Hari demi hari mereka lalui dengan penuh makna. Umumnya rumah tangga lain, Ayudia sudah merasakan nikmat melayani suami sepenuh hati. Kala hari libur tiba, mereka akan habiskan dengan hal-hal kecil namun tetap membikin suasana romantis tercipta. Seperti belanja bersama ke pasar pagi serta membereskan rumah. Semua dilakukan dengan obrolan dan candaan ringan.Sabtu siang Adam sudah sampai di Kipyuh, guna menjemput Ayudia. Ayudia menginap di rumah peninggalan Atuk sekitar tiga hari lamanya, sedang Adam hanya mengantar dan kembali lagi, ia tak bisa tinggalkan pekerjaan. Kini juga sama, Adam menjemput Ayudia lalu bersiap lagi untuk kembali pulang ke rumah mereka. Tentu dengan kendaraan bebek punya."Apa ndak menginap saja dulu? Mas kan capek bolak-balik." Kata Ayudia sambil memijat lengan Adam."Ndak lah, nanti malam dan besok ada acara di pesantren. Masa Mas ndak di sana."Sebagai istri, sebisa Ayudia mengingatkan apapun, terutama perihal kesehatan Adam. Tetapi kembali lagi, Ayudia akhirn
Sejak benih Adam terbaca oleh sebuah alat tes pack, pria berusia dua puluh sembilan tahun itu sangat getol bekerja. Mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari bakatnya reparasi laptop rusak.Adam sering bekerja hingga larut. Bahkan tidurnya sangat kurang, hanya sekitar 3-4 jam. Bukan tak tahu risiko begadang setiap hari, namun semangat menyambut jabang bayi membuat calon ayah jadi lupa diri.Apalagi kehamilan Ayudia sekarang agak kolokan. Sepertinya bayi juga bisa membaca kondisi jiwa sang ibu. Bayi mengerti kalau sang ayah begitu sayang padanya. Meski usianya baru lima Minggu. Dasar anak ayah.Setiap pagi Ayudia mengalami mual dan muntah, sampai tak tahan mencium bau bumbu dapur. Terpaksa Adam yang menggantikan rutinitas tersebut. Termasuk mencuci piring. Lainnya Ayudia tetap kerjakan sendiri perlahan sesuai mampunya."Tidur dulu, Mas. Uang bisa dicari siang hari, malam waktunya istirahat. Ingat pesan Bu Rina. Anak kita pasti akan sedih kalo tau Ayahnya sakit." Ayudia mengucek mata, ia ter
Cinta memang sulit di deskripsikan. Cinta bukan sekedar penggambaran bahagia, tetapi juga derita. Namun pesona cinta tetap membuat pemeran selalu menggila. Sungguh aneh. Banyak cerita lucu, nyeleneh bahkan mengerikan dari perkara cinta. Orang kadang mengekspresikan cinta dengan berlebih. Biar apa, tentu saja bertujuan agar diperhatikan oleh seseorang yang sedang dicinta.Sama, itu yang kini dirasakan Ammar. Tak pandang status Ayudia, kadang ia bilang rela, kadang ia bilang ya sudah ikhlas karena takdir. Tapi tetap saja, mendengar nama saja, Ammar sudah gugup dan berdebar tak menentu. Persis anak baru gede.Seperti pagi ini, ia buru-buru berlari ke warung bubur Mang Kardi yang ada di depan pesantren, hanya untuk melihat wajahnya. Kalau lebih, itu rejeki. Katanya begitu.Semua santri yang melihat, jelas gatal untuk tak bertanya ada apa gerangan sang Gus berlari-lari sambil menjinjing sarung agak tinggi."Gus, mau kemana? Kok lari-lari?" Dan pertanyaan seperti itu berulang sampai Ammar m
Setelah berpakaian rapi, Umi keluar tergesa."Ayo, Bah." Ajaknya pada Abah yang masih bertanya-tanya apakah yang terjadi.Bukan Abah saja yang berdiri dan mengikuti Umi, namun ketiga anaknya juga. Yang mereka dengar, Umi meminta bersiap tanpa menyebut satu nama. Jadi jangan salahkan Ammar kalau ia sampai membatalkan acara pagi itu."Kalian ngapain? Mau kemana?" Umi bertanya dengan nada bingung?Ammar, Najma dan Muha jauh lebih bingung daripada Umi sendiri."Umi kan tadi bilang siap-siap, Muha udah siap, Mi. Mas Ammar juga sudah batalin ceramah di RT 23.""Kakak juga mau ikut, Dek." Sahut Najma.Umi meringis, "ndak usah, Umi sama Abah saja. Kalian jaga rumah."Muha mendesah kecewa, Najma sama. Ammar masih tegang dengan rasa penasaran. Setahu Ammar, Adam sedang sakit, bisa jadi Umi mendapat telepon dari Ayudia yang bingung karena Adam jatuh pingsan, itu dugaan Ammar saja."Ammar terlanjur minta tolong ke Malik untuk gantikan ngisi pengajian. Ikut ya, Mi. Biar Ammar yang nyetir.""Ndak u