"Lagian, istrimu itu kemana sih? Udah siang gini kok belum pulang!" gerutu Ibu lagi.Mungkin mereka tak ada yang tau jika aku sudah pulang. Karena suara sepeda motorku tak terdengar. Ternyata, dibalik musibah ada berkah. Berkat mendorong motor, aku jadi bisa mencuri dengar obrolan mereka. Untung Ayah mertua juga tidak ada. Jadi aku leluasa menguping pembicaraan Ibu dan anak ini. Kalau adik ipar, aku yakin dia masih tidur pulas di kamarnya."Ya, dia kan kerja, Bu. Biar aja lah. Makin lama dia pulang, makin banyak pula uang lemburnya," ucap Bang Jali santai. Hanya uang saja yang ada di dalam ot*knya. Tidak kah dia khawatir jika aku pulang terlambat? Bisa saja kan, aku kenapa-napa di jalan.Ah, mana mungkin dia khawatir denganku. Karena baginya, aku tidak berarti apa-apa. Dia hanya butuh tenagaku dan uangku saja."Iya. Tapi Ibu capek, loh. Setidaknya, dia bisa bantu-bantu Ibu mengerjakan rumah, meskipun hanya sedikit. Jangan semuanya hanya Ibu yang ngerjain sendiri. Capek tau!" omel Ibu
Pov Rani"Kalau sudah mantan, sebaiknya jangan ikut campur atau mengurusi urusanku dong!" celetuk Bang Jali.Entah takdir atau apa, kami bertemu di lapangan bola kaki. Hari ini, ada pertandingan sepak bola yang diadakan di desaku. Banyak para warga yang ikut menyaksikan pertandingan, termasuk warga desa tetangga. Tak heran jika lelaki yang selalu kuhindari juga ada di sini.Gayanya yang songong, membuatku muak jika harus bertemu. "Apaan sih!" ucapku sambil berjalan menjauhinya. Malas, berbicara dengannya. Karena ujung-ujungnya pasti akan panjang. Jika masih bisa dihindari, maka akan aku hindari."Hey, jangan kabur, Kamu!" teriaknya, mengikuti langkahku.Aku tak menghiraukan teriakannya dan tetap terus berjalan ke arah parkiran. "Hey, tunggu!" serunya, lalu menghadang langkahku. Mungkin dia berlari, karena saat ini lelaki menyebalkan ini sudah berada tepat di depanku."Kalau ada orang ngomong, jangan main tinggal aja dong! Nggak sopan banget jadi orang!" gerutunya, tak lupa berkaca
Aku tidak boleh begitu saja percaya dengan ucapannya. Bisa saja dia hanya ingin merusak hubungan kami. Jika saling mencintai, tidak mungkin Bang Juna berani melamar gadis lain. Apalagi dengan pemberian yang lumayan banyak. Aku harus menenangkan hati. Meskipun sedikit terusik dengan pengakuannya. Nanti, aku akan cari tau sendiri soal hubungan mereka. Aku juga bisa bertanya langsung dengan calon suamiku atau ibu mertua.Kalau memang pada kenyataannya mereka saling mencintai, aku akan dengan ikhlas melepaskan pertunangan ini. Daripada akan menjadi duri nantinya di dalam rumah tangga kami."Oh, Mbak. Kalau memang kalian saling mencintai dan saling menunggu, Bang Juna tidak akan mungkin berani untuk melamar gadis lain. Dia pasti akan menunggu sampai kamu kembali. Tapi nyatanya, sekarang saya sudah bertunangan dengan Bang Juna. Berarti dia tidak akan kembali dengan, Kamu, karena sudah melilih saya sebagai pasangan hidupnya." Aku mencoba berbicara dengan tenang. "Kamu jangan senang dulu, k
Pagi hari, saat aku menghidupkan ponsel kembali. Tak ada satu pun pesan masuk dari Bang Juna. Sepertinya dia memang benar-benar lupa padaku, karena kehadiran Mimi. Apa aku perlu datang ke rumahnya dan meminta penjelasan padanya? Tapi, aku malu jika sampai jadi omongan orang karena mendatangi rumah laki-laki. Ya, walaupun lelaki itu adalah calon suami sendiri.Hari ini, rencananya aku dan Ibu akan pergi untuk menjahitkan baju pengantin. Kain bakal sudah kami beli, beberapa hari yang lalu. Warna kuning keemasan, sengaja aku pilih agar terlihat hidup di kulitku. Tapi, sekarang aku menjadi ragu karena sikap Bang Juna yang kurang peduli padaku. Padahal pernikahan kami akan dilaksanakan dua minggu lagi. "Nduk, cepetan! Katanya mau jahitkan baju!" teriak ibu sambil mengetuk pintu kamar."Iya, Bu," sahutku lesu. Apa masih perlu aku jahitkan baju. Bagaimana kalau sampai pernikahan kami batal? Ah, entah lah. Daripada Ibu curiga dengan perubahan sikapku. Lebih baik aku tetap pergi menjahitka
"Ya, udah. Kalau gitu, Ibu aja yang nemenin Bang Juna. Rani lagi malas, Bu!" ucapku masih tetap pada posisi tiduran di kasur."Kok gitu? Apa kalian lagi ada masalah?" tanya Ibu, mulai memelankan suaranya. Mungkin Ia curiga karena Aku tak mau menemui calon menantunya.Aku mendekat ke arah pintu, tapi tetap tidak membukakannya. "Nggak ada masalah, Bu. Rani lagi males aja ketemu Bang Juna," jawabku, tepat dari balik pintu. "Hemmmm, kamu itu udah dewasa, Nduk. Kalau ada masalah, ya diselesaikan. Jangan kayak begini, nggak mau ketemu. Kalau begini terus, gimana masalahnya mau selesai, sedangkan kamu aja nggak mau nemui dia." Ibu mulai menasehati."Kami nggak ada masalah kok, Bu," elakku, berbohong."Jangan bohong! Ibu ini tau kamu bukan hanya baru kali ini. Dari di dalam kandungan, ibu udah tau gimana kamu. Kalau nggak lagi ada masalah, mana mungkin wajahmu itu, seperti orang menanggung beban berat kehidupan. Pakek acara ngurung diri di kamar, lagi. Udah lah, keluar sebentar. Cepat di se
"Ya, ampun, Dek. Demi Allah, Abang nggak ada hubungan apapun sama Turmi. Dulu memang abang suka sama dia. Itu pun jauh sebelum mengenal, Adek. Kira-kira 4 tahun yang lalu," ucap Bang Juna meyakinkanku.Nggak ada hubungan, tapi jalan berdua, mana pake acara boncengan mepet banget lagi. Padahal tempat duduk sepeda motor masih bersisa di belakang Si Turmi, bahkan masih bisa kalau untuk duduk satu orang lagi. Entah si perempuan yang kegatelan, atau Bang Juna yang keenakan, ditempel-tempel."Dulu, dan sampai sekarang masih suka kan?" tanyaku sinis. "Enggak lah, udah ada Dek Rani, untuk apa Abang masih suka sama dia!" jawabnya tersenyum. "Halah gombal! Dia sendiri yang bilang sama aku, kalau Abang sangat mencintai dia. Abang juga bersumpah, kalau suatu saat nanti dia kembali dan kalian belum menikah, maka Abang akan menikahinya," ucapku, mengatakan apa yang diucapkan oleh Turmi kemarin. Bang Juna melotot kaget. Seperti tak. percaya dengan ucapanku."Kapan dia ngomong gitu?" tanyanya. "
"Abang nggak gitu, Dek. Lebih suka lihat wanita yang tertutup saat berada di luar. Agar para lelaki bisa menjaga pandangannya, dan wanita itu sendiri terhindar dari bahaya," ujarnya kembali meyakinkanku. "Iya lah itu!""Kok iya-nya kayak terpaksa gitu, Dek.""Ya jelas lah. Gimana nggak terpaksa. Tadi aja kalian jalan berdua. Pake acara boncengan sambil mepet-mepet lagi! Kalau memang nggak suka sama wanita berpakaian sexy, seharusnya Abang nggak jalan sama dia dong!" ucapku kesal.Masih teringat jelas dalam ingatan, bagaimana mereka berdua berboncengan dengan begitu mesranya."Oh, jadi karena itu, Adek nggak mau berhenti saat Abang panggil tadi?" tanyanya sambil senyum-senyum.Pasti dia berpikir kalau aku sedang cemburu. Padahal memang iya, eh! "Entah! Pikir aja sendiri!" Aku membuang muka. Takut kalau dia tau wajahku sudah memerah karena ketahuan cemburu."Baiklah, Abang akan cerita awal mula kami sampai berboncengan berdua. Tadi pagi, Ibu minta belikan daging, sayur, dan bumbu dapu
"Udah selesai kan, masalahnya?" tanya Ibu yang baru saja pulang dari warung Bude Juni. Bang Juna juga sudah berpamitan pulang dari tadi, karena tak enak jika dilihat orang kami hanya berdua di rumah. Takutnya menjadi Fitnah.Setelah penjelasan panjangnya tadi, aku sudah sedikit legah. Ya, meskipun belum plong sepenuhnya. Masih ada yang mengganjal di hati, kalau belum tau maksud dan tujuan Turmi berkata begitu padaku."Kan, udah Rani bilang, nggak ada masalah, Bu," kilahku. "Halah, jangan bohongi Ibu. Tanpa kamu bilang, Ibu tau kalau kalian lagi ada masalah. Tapi kayaknya, sekarang udah selesai sih. Karena wajahmu, udah nggak tertekan kayak tadi pagi," ucap Ibu seraya tersenyum. Memang, yang namanya seorang Ibu, selalu saja tahu dengan yang sedang dialami oleh anaknya, tanpa diberi tahu. Mungkin begitulah ikatan batin antara Ibu dan anak."Kalau udah tau, ngapain tanya lagi, Bu." Aku menggaruk kepala yang tak gatal. "Untuk memastikan aja. Ya, udah Ibu mau mandi dulu. Kamu sapu ruma
Pov Putri. "Huhuhu." Aku turun dari sepeda motor tukang ojek online yang mengantarkanku pulang. Aku harus berakting dan berpura-pura sangat bersedih. Pokoknya Bang Jali dan seluruh keluarganya tidak boleh curiga. Abang tukang ojek itu agak kebingungan melihatku yang tiba-tiba saja menangis. Sejak naik sepeda motornya, aku hanya diam saja. Dan sekarang, dengan tiba-tiba aku menangis. Aku memintanya segera pergi setelah kuberikan ongkos yang sudah ditentukan di aplikasi. Abang ojek itu langsung menancap gas sepeda motornya. "Kamu kenapa?" tanya Ibu mertua yang sedang melihat-lihat tanaman bunganya. Dia hanya menoleh sekilas saja. Oke, Put, perdalam lagi aktingmu! "Duhh, gimana, ya, Bu, bilangnya." Aku kembali menangis dan berusaha mengeluarkan air mata agar lebih meyakinkan aktingku, aku juga meremas kedua tanganku. "Ada apa? Ngomong kamu! Jangan cuma nangis aja! Nggak jelas banget kamu ini!" gerutunya jengkel."Itu Bu. Sepeda motor Bang Jali, hilang, Bu," ucapku seraya menundukk
Tidak ada satupun dari mereka yang berniat melerai kami. Mereka hanya menonton pertarungan sengit antara aku dan ulat bulu. Tak habis akal, aku juga menen-dangnya dengan sekuat tenaga.Rasakan! Rani, kok mau dilawan. Belum tahu saja kamu, bagaimana sifat bar-bar Rani, jika sudah tersakiti. Tidak akan ada kata atau pun lagu kumenangis. Berkali-kali aku menghadiahinya dengan tendangan maut, seperti pemain sepak bola. 'BRAK!'"ADUHH, SAKIT DEK!" keluhnya, mengaduh. Eh, suaranya kok berubah jadi laki-laki sih? Apakah Turmi wanita jadi-jadian? Terus, tadi manggil aku, "Dek". Kok aneh. "Dek, sadarlah." Suara lelaki lagi. Padahal yang di hadapanku adalah Turmi yang sedang menepuk-nepuk wajahku pelan. Ah, berani sekali dia menepuk-nepuk wajahku. Ingin membalasku ya? Tak tinggal diam, aku kembali menjambaknya dengan bar-bar. "Astaghfirullah, Bu, Rani kerasukan!" teriak Turmi dengan suara laki-laki, mirip dengan suara Bang Juna. "Astaghfirullahalazim, eling, Nduk!" Suara ibu, entah dar
"Dingin banget tangan, kamu," ujar Sinta yang sedang berdiri di sampingku, Ia sengaja menyentuh tanganku. Aku hanya bisa tersenyum, sambil terus fokus karena sedang dirias, dan Sinta, dari sejak awal aku dirias dia terus saja menggodaku dengan semua ucapan gi-lanya. Dari mulai malam pertama, sampai ke anak cucu dia bahas. Dia sengaja datang ke rumah dari kemarin dan menginap di rumahku. Karena tidak mau melewatkan momen pernikahanku, katanya. "Baca do'a biar nggak gugup. Nih, minum!" Sinta kembali berucap serta menyodorkan air mineral padaku.Aku langsung meminumnya sedikit demi sedikit, hingga tandas. Hari ini, janji suci akan segera terlaksana. Beberapa jam lagi, status lajangku akan berubah menjadi istri orang. Istri Bang Juna lebih tepatnya. Gugup? Sudah pasti aku sangat gugup. Siapa pun akan gugup saat hari pernikahannya tiba.Akhirnya, perjuangan menuju hari pernikahan telah kulewati dengan penuh lika-liku. Semoga saja, setelah menikah, tidak ada lagi gangguan dari orang-o
Ah, aku tidak akan mau diperbudak lagi. Bagaimanapun caranya, besok aku tidak akan mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Pepatah mengatakan, banyak jalan menuju roma. "Ibu, mau mandi dulu. Bawa sendiri itu cangkir bekas tehmu ke belakang!" perintah Ibu lalu meninggalkanku bersama Bang Jali. Ibu menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Jangan berfikir masalah sudah selesai, Put. Besok aku akan bertanya pada semua teman kerjamu. Jika kamu ketahuan berbohong, maka bersiaplah menanggung akibatnya," ancam Bang Jali tanpa rasa malu. Sebagai lelaki, seharusnya dia bisa melindungiku sebagai istrinya. Bukan malah mengancam seperti aku ini adalah musuhnya. Hanya masalah uang gajiku, dia segitu marahnya. Apa tidak malu suami meminta uang gaji istri untuk keluarganya? Setelah bercerai nanti, jika suatu saat dia meminta kembali dengan dalih penyesalan. Sampai mati pun tak akan aku mau kembali padamu, Jali. Tunggu saja semuanya. Kupastikan kamu akan menyesal te
Pov PutriBagaimanapun caranya, setelah berpisah dengan Bang Jali. Aku tak mau rugi. Saat di pengadilan nanti, pasti dia tidak akan membagi sedikitpun hartanya padaku. Sedangkan uangku yang sudah ada padanya lumayan banyak.Aku sudah memiliki rencana yang sangat apik. Tidak masalah semua uangku tidak kembali. Setidaknya separuhnya saja sudah lebih dari cukup. ***Hari yang ditunggu oleh ibu mertuaku pun tiba. Hari di mana aku menerima gaji bulanan. Dia pasti sudah sangat menanti-nanti hari ini.Wajah semringah menyambutku yang baru saja pulang bekerja. Jika biasanya ibu mertuaku ini cemberut, kali ini senyumnya merekah, seperti bunga mawar yang baru mekar."Sudah pulang, Nak?" tanya Ibu mertua, sangat ramah dan lembut. Aku tau itu hanya basa-basinya karena ingin mendapatkan uangku yang sekian lama dinantinya."Iya, Bu. Capek sekali hari ini," jawabku, menghembuskan napas kasar lalu menjatuhkan diri di sofa."Mau Ibu buatkan Teh? Agar hilang sedikit lelahmu," tawarnya masih dengan se
Dia mengataiku pemalas? Padahal dia lebih pemalas dibanding aku. Dasar, bisa menghina tapi lupa berkaca! "Apa maksud kamu, Wat?" tanya Ibu lembut, pada anak perempuan kesayangannya."Tadi, aku meminta menantu Ibu untuk mengambikan minum. Tapi dengan angkuhnya dia menolak, dan memintaku untuk mengambilnya sendiri. Padahal aku sedang sibuk menonton infotainment, dan dia sudah berdiri di situ. Apa salahnya sih tinggal melangkah ke dapur, yang tinggal berapa jengkal lagi!" cerocosnya, seperti bebek yang tidak bisa diam. "Apa benar begitu, Put?" tanya Ibu mertua lembut, lalu mengalihkan pandang padaku. Jika bukan karena sebentar lagi gajian, pasti Ibu mertua sudah memarahiku karena tak mau menuruti perintah anak kesayangannya. Ia lembut seperti itu, karena ada maksud dan tujuannya, yaitu uangku."Iya, Bu. Aku ini buru-buru mau berangkat bekerja, yang tujuannya mendapatkan uang. Nah sementara dia, hanya menonton infotainment saja masa tidak bisa ditinggal barang sebentar," Ucapku membela
"Bang, antarkan aku kerja, yuk!" Aku mengguncang tubuh Bang Jali yang masih lelap tertidur. Sudah jam setengah tujuh pagi. Tapi dia belum juga bangun. Apakah hari ini dia tidak mengajar seperti biasanya?"Emmm ... " Bang Jali hanya bergumam tanpa mau membuka matanya."Bang, bangun, sudah siang. Tolong antarkan aku pergi bekerja dong!" pintaku lagi, sambil menepuk pipinya pelan. "Apaan sih! Bisa berangkat sendiri kan!" bentaknya lalu terduduk dan mengacak rambutnya kesal."Gimana mau berangkat sendiri? Sepeda motorku, kan sedang ditahan orang. Terus aku harus jalan kaki pergi bekerja gitu? Kapan sampainya? Bisa-bisa aku terlambat masuk," ucapku dengan nada merajuk.Muak sebenarnya terus berakting menjadi wanita lembut di hadapannya. Tapi mau bagaimana lagi, agar dia tidak curiga, aku harus tetap berpura-pura seperti ini sampai tujuanku tercapai."Arrgghhh." Bang Jali semakin kesal, dia mengangkat lalu membanting kakinya di kasur, seperti anak kecil yang sedang merajuk pada Ibunya. "
"Akh, benar-benar menyus-" Bang Jali menggantung kalimatnya saat mataku menatapnya serius. Yakin sekali aku, jika dia ingin mengataiku. Tapi urung dilakukan karena tujuan untuk mendapatkan harta warisan dari orang tuaku belum tercapai. Miris sekali pemikiran suamiku satu ini. Bisa-bisanya ingin mendapatkan harta secara instan. Sebelum kamu menggerogoti hartaku, maka aku lah yang akan terlebih dahulu melakukannya. Setelah ini, akan datang masalah lainnya yang sengaja aku buat, untuk keluarga parasit. Tunggu saja tanggal mainnya, suamiku tercinta. "Menyus apa Bang?" tanyaku pura-pura tidak tau. Aku memasang wajah bodoh agar dia berpikir jika aku memang wanita bodoh. "Akh, sudah lah. Tidak usah dibahas," tukasnya, lalu memejamkan mata. "Abang marah ya, sama aku?" tanyaku dengan manja.Aku sengaja bergelayut di lengannya. Meskipun dia tidak menyukaiku, tapi aku pura-pura saja tidak tahu."Enggak!" jawabnya singkat, masih dengan mata terpejam. "Terus, keputusannya gimana? Aku bawa
Mulai membodohi JaliPov Putri. "Kemana sepeda motor kamu. Kenapa pulang diantar orang?" tanya Bang Jali saat aku baru saja turun dari sepeda motor, diantar oleh tetangga samping rumah Ibu. Tidak menggunakan sepeda motorku, melainkan sepeda motor anak tetangga, karena agar Bang Jali dan keluarganya tidak curiga dengan rencana yang sudah kususun matang. Suamiku itu sedang duduk di teras. Seperti sedang menungguku pulang. Di hadapannya, juga terdapat secangkir kopi yang kuyakini sudah diminum. Aku sengaja minta diantar tetangga dan meninggalkan sepeda motorku di rumah, agar Ibu bisa mengantar pesanan kue. Meskipun Ibu tidak bisa mengendarai sepeda motor, tapi aku sudah berpesan pada David, anak tetangga samping rumah untuk mengantarkan Ibu atau pesanan kuenya kemana saja. Anak remaja itu setuju, asalkan diberikan upah tiap minggunya. "Ditahan sama orang Bang," jawabku berbohong. Hanya dengan cara ini, aku bisa membantu Ibu. Jika kukatakan padanya bila sepeda motor kutinggalkan d