Aku melirik mas Azka yang lebih dulu keluar dari mobil. Sementara aku diminta membawa berkas-berkasnya.Layaknya seorang asisten, akupun menyusul dengan kehebohan dari beberapa barang bawaan, sedang mas Azka kini berjalan mendahuluiku menemui kliennya.Jam menunjukkan pukul empat sore. Tak tahu berapa lama kami diperjalanan dari Australia hingga akhirnya sampai ke Sukabumi, tapi yang kurasakan disini adalah rasa lelah yang luar biasa, rasanya aku tak kuat untuk sekedar mengangkat ujung kaki, apalagi harus mengangkat seluruh tubuh apalagi medan yang harus kami lalui ternyata adalah perbukitan yang dikelilingi perkebunan teh. Ingin sekali aku berhenti dan menjatuhkan diri saat melihat bentangan vertikal alam yang menghijau, karena dari sudut pandangku yang lelah ini, semuanya bagai kasur empuk yang melambai dan minta ditiduri. "Akhh... jatuh diatas daun teh yang merapat ini sakit tidak ya?" tanyaku pada diri sendiri, sekedar untuk memberi semangat agar aku bisa melanjutkan perjalanan
KletakKletakJari jariku secara berurutan mengetuk permukaan meja hingga berbunyi. Sedangkan sebelah tangan menopang dagu dengan siku yang bertumpu pada meja itu pula.Aku mendesah malas seorang diri, semangatku dan rasa laparku yang tadi kubawa ke tempat ini akhirnya tak terasa lagi. Semuanya berganti dengan rasa bosan yang mendera.Setelah membalas pesanku dan memberi jawaban bersedia, mas Azka kembali membuatku kesal karena aku harus menunggunya seorang diri. Walaupun menyetujui ajakan itu, nyatanya aku masih merasa tak diinginkan mengingat pertemuan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, aku tidak tahu seluas apa pengaruh keluarga mbak Sonia di Sukabumi, sampai-sampai suaminya yang cukup memiliki power pun tak bisa leluasa."Mas!" seruku terjengkit saat seseorang tiba-tiba menepuk bahuku, akupun reflek menyebut sosok yang sedang aku tunggu-tunggu."Sudah lama?" tanyanya tanpa basa-basi mengambil posisi duduk didepanku, tempat duduk yang memang tersedia untuknya."Enggak kok!" j
ByurTanpa mau mendengar ucapan mas Azka, wanita itu tiba-tiba saja mendekat lalu menyiram kepalaku dengan segelas air. Air minum yang baru saja kupesan untuk makan malam dengan suamiku. Seketika aku menggigil kedinginan, bukan hanya karena air yang baru dibawa pelayan itu adalah air es, namun juga bercampur dengan perasaan sakit serta kecewa hati yang tak terbendung, ditambah lagi mas Azka tak melakukan pembelaan sedikitpun setelah melihat kejadian itu."Irmaaa!" teriaknya mungkin cukup menggema namun tubuhnya mematung kaku seperti robot yang nonaktif.Sekalipun bola matanya melotot, dia tak membentak, menampar atau menyiram balik tubuh wanita itu dengan segelas air minum yang tersisa, melainkan ia menarik tangan wanita itu untuk menjauh dari hadapanku, membiarkan aku sendirian memeluk tubuh diselimuti tatapan miring orang-orang sekitar termasuk para karyawan restoran.Jujur aku kecewa, mengapa disaat seperti ini sikap mas Azka malah tidak tegas, sebagai perempuan yang menyandang s
"Hahahaaa, kamu lebay nak." Gelak tawa bapak yang menggema diruang utama kediaman kami segera membuatku mendesah berat. Setelah mendengar ceritaku tentang mas Azka yang tiba-tiba membawaku ke Australia, lalu tiba-tiba mengajak pulang padahal belum sempat kami menikmati waktu berdua, kemudian aku yang istri sah mendadak diminta untuk bersandiwara menjadi asisten, seolah tidak ada hubungan apa-apa selain karena pekerjaan. Tak membuat pria yang telah merawatku sejak kecil itu emosi.Lantas ia malah menertawakan cerita itu, memangnya ada yang lucu?Lebay??? ada yang bisa menjelaskan, dimana lebaynya.Tak habis pikir dengan tanggapannya, hingga bibirku sudah maju seperti bebek. Apalagi sejak memulai cerita, aku sudah sesegukan merasa yang kualami ini teramat pahit. Anehnya, bukannya membelaku bapak malah tertawa gelak, ia gemas padaku dan mencubit pipiku. "Kok bapak malah ketawa sih?" kulontarkan pertanyaan itu dengan nada kecewa, apakah bapak tidak kasihan pada anaknya ini? harusnya b
Dak dek dak dek, dalam suasana seperti ini, malah pura-pura mesra.. gak ngaruh!Aku langsung saja tersenyum kecut setelah membaca pesan mas Azka. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap seolah tak terjadi apa-apa setelah mengabaikanku begitu saja. Aku sangat tidak mengerti dengan jalan pikirannya.Pesan mas Azka tak kugubris sama sekali, jangankan untuk membalasnya, menyentuh ponselnya pun aku sangat malas. Karena diri ini sudah mulai lelah, bergegas kuambil handuk dan menuju kamar mandi. Hari masih pagi dan udara sekitar pun masih segar dan dingin, Dihalaman belakang, kulihat bapak yang mulai memanen pakcoy yang siap dipilah pilih sebelum akhirnya diedarkan kepada para langganan. Halaman belakang rumah kami memang memiliki luas yang tidak seberapa, akan tetapi dengan lahan itu cukup membuat bapak kewalahan merawatnya, apalagi beliau belum memiliki anakbuah yang membantu pekerjaannya, semuanya dilakukan sendiri, untungnya lagi sayuran organik tidak terlalu sulit dibudidayakan."Ngapain l
"Hueeekkk..." Terjadi lagi, dihari ketigaku dirumah bapak, aku mengalami mual-mual yang cukup parah, entah apa sebabnya setiap bangun tidur aku merasa kepala ini berputar-putar sampai-sampai aku tak kuasa untuk bangun walau hanya sekedar melaksanakan sholat subuh yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit.Alhasil, selama dua hari ini aku selalu sholat dalam keadaan tak menentu, kemarin aku bisa sholat berdiri meski tak mampu lama dan itu bisa kuatasi dengan menambahkan surah pendek saja, akan tetapi hari ini aku tak bisa bangun sama sekali, dan hasilnya aku baru bisa bangun jam setengah sebelas pagi.Anehnya lagi, setelah pagi hari berakhir dan matahari mulai meninggi aku kembali segar seolah tak terjadi apa-apa. Dan masa segarku itu kumanfaatkan dengan memakan makanan beragam yang dibawa bapak sepulang dari pasar.Seperti pagi ini misalnya, setelah mual-mualku berhenti, akupun dengan lahap memakan buah pisang segar yang baru dipetik dari pohon. Rasa buahnya terasa sangat nikmat u
Belum tuntas rasa penasaranku tentang skandal yang disembunyikan mas Azka dan mbak Sonia akhir-akhir ini, tapi sekarang pria itu membuat perkara baru, yakni tak membiarkan aku bertemu muka dengan para istri-istrinya, ada apa sebenarnya?Padahal, baru saja aku ingin membuka komunikasi lagi dengan mereka termasuk pula Chandra, karena harus kuakui aku mulai menerima mereka semua, yang kini telah kuanggap adalah bagian dari diriku. Sekalipun tidak serta-merta kami semua akan selalu berbahagia dan saling menghormati, dan tak ada jaminan jika kami akan terus selalu akur, tapi aku yang menginginkan kerukunan terus terjaga tentu akan berusaha berbuat yang semestinya. Namun, belum apa-apa semangatku sudah terpatahkan oleh sikap mas Azka yang tidak jelas."Apa mas? Kamu kembalikan aku ke bapak, apa itu artinya kamu benar-benar ingin melepaskan aku?" tentu saja, dengan cepat kuajukan pertanyaan itu, mempertanyakan maksudnya, aku butuh kejelasan, aku butuh konfirmasi tentang sikapnya.Sekalipun
"Pak, tolong jangan bawa orangtua saya, dia tidak bersalah!" mohonku segera berlutut menarik kaki seorang Polisi yang sudah memegang kedua tangan orang yang aku sayangi."Ini perintah, mbak tidak boleh menghalang-halangi kami!" dengan tegas, pak polisi berkumis tebal itu menjawabku. Ia juga memperlihatkan surat itu lagi, surat yang tadi kuabaikan karena merasa ketentuannya tidaklah adil dan mendasar."Mana mungkin bapak saya mencelakai orang, dia sudah berhenti bekerja sebagai supir truck sejak empat bulan yang lalu." Sebagai bukti, akupun menunjukkan kebun sayuran organik yang dikelola bapak dibelakang rumah, pun dengan menunjukkan tidak adanya mobil truck yang terparkir didepan rumah. Hanya saja, untuk sementara ini aku memang tidak bisa memperlihatkan surat pemberhentian kontrak atas pekerjaan bapak, karena ia memang hanya sebagai sopir lepas. Entahlah... setahuku bapak memang tidak menerima jaminan apa-apa di perusahaan tempatnya bekerja, sekalipun pekerjaan itu cukup beresiko.
"Kamu kalau tidak tahu apa-apa, gausah ikut campur!" tegas mas Azka dengan angkuh."Kalau aku tidak tahu tentang kalian, tidak kubiarkan Elva menangisi bajingan sepertimu!" balas kak Abi menyindir.Suasana semakin memanas ketika mas Azka beralih menatapku, entah apa yang ada didalam benaknya."Jadi si tukang bengkel ini tahu semua tentang kita?" lirihnya menanyaiku seperti tak terima."Elva, kamu membeberkan keadaan rumah tangga kita pada orang lain?" tanya mas Azka lagi, sebab tak kunjung mendapat jawaban dariku.Karena bingung harus menjawab apa, akupun hanya diam mematung sambil melirik pada kak Abizar seolah meminta dukungan darinya.Jujur saja, aku masih sangat kesal pada sikap suamiku."Jawab Elva!" kesabaran mas Azka sudah berada pada puncaknya, karena itulah dia makin menuntut dengan nada suara lebih tinggi."Setidaknya, kak Abi bisa memberikan bahunya untuk dijadikan sandaran disaat suamiku sendiri memilih menyingkirkan aku!" sahutku reflek, didasari kekecewaan akhirnya aku
"Please Elva, jujur sama saya!" desak kak Abi saat kami berjalan keluar dari kantor polisi menuju parkiran."Jujur apa lagi sih kak?" tegasku sembari terus menghindari tatapan matanya yang penuh tanda tanya."Kamu jangan bohongin saya, mana mungkin kamu mau menikah dengan pria yang sudah beristri lebih dari satu!" Rupanya kak Abi masih belum memercayai keteranganku dan bapak saat didalam tadi."Untuk apa El sama bapak bohongin kakak, untungnya apa?" terangku lagi."El!"Langkahku terhenti saat kak Abi mencekal lenganku, ia muak dan malas bermain kejarmungkin-kejaran denganku."Jadi selama ini, kamu menjalani rumah tangga secara poligami? dan dua wanita yang mau kamu temui kemarin adalah istri-istri tua suamimu?" tuntutnya lagi, ia sangat tidak berharap aku mengiyakan dugaan itu. Tapi, mau bagaimana lagi, yang dia katakan adalah kenyataan sebenarnya."Iya kak!" jawabku pasrah dan lemah.Kak Abi langsung menjatuhkan kedua bahunya lelah, seperti menolak percaya, kecewa, dan prihatin ter
Salahkan jika aku merindukan suamiku, salahkah jika aku menginginkan kehangatan pelukannya.Rasanya kacau sekali setelah mengetahui mereka telah serumah tanpa memberitahuku."Sadar Elva, sadar!""Yang mbak Sonia lakukan sama halnya seperti yang kau lakukan sendiri bersama Azka di Australia kemarin!" batinku terus memperingati kegundahan hati yang terus mengaduk perasaanku."Aku sendiri juga pernah berduaan dengan suaminya, kan?" kembali, aku berusaha menguatkan diri ini dan terus menyeka air mata yang tak telah menjebol bendungannya."Astagfirullah, apa yang terjadi padaku?"Hampir semalaman aku malah menangisi mas Azka, bukankah harusnya aku lebih memikirkan ayahku yang tengah kedinginan didalam jeruji besi daripada si pembohong itu.Meskipun tubuhku sangat lemas, namun aku berusaha untuk bangkit, selain bangkit dari keterpakuan diatas sofa hampir semalaman, aku juga harus bangkit dari keterpurukan dan rasa cemburu, jangan sampai perasaanku pada mas Azka berhasil menumbangkan pertaha
"Kamu kenapa sih El, emang suami kamu gak bisa ditelpon?" Kak Abi langsung menodongku dengan pertanyaan saat aku baru saja membuka mata dan tersadar, Meskipun nadanya ketus tapi aku tahu dia peduli."Minta minum kak!" ucapku lebih dulu menjeda dengan suara serak yang hampir tak terdengar.Sambil bersabar menunggu jawabanku, kang bengkel itu segera membangunkan tubuhku yang masih lemas untuk bersandar di sandaran sofa lalu diberikan segelas air.Tercium bau menyengat khas minyak kayu putih dari sekeliling tempatku berbaring setelah aku mengembalikan gelas kosong itu padanya."Ukkhh, kalau bisa dihubungi, untuk apa aku menunggu semalaman, El sampai gak bisa tidur kak!" keluhku pada akhirnya penuh kepasrahan.Aku bersandar dikursi dengan kaki yang diluruskan, jujur saja kepala ini masih pusing dan terasa berputar-putar. Hingga kemudian kak Abi menunjukkan keningku yang agak merah dan benjol.Aku baru sadar jika kepalaku juga sakit dan berdenyut, entah apa yang terjadi tadi pagi setelah
"Sudahlah Elva, ayo kita pulang!" tak henti-henti kak Abi dan bapak mengatakan kalimat memuakkan itu.Bukankah sudah kukatakan, aku ingin bermalam disini menemaninya."El, kamu gak bisa disini, ini bukan tempatmu!" kak Abizar kembali membujukku, begitu pula dengan beberapa petugas disana."Aku tahu ini bukan tempatku, dan seharusnya ini juga bukan tempat yang pantas untuk bapak!" Kutepis semua nasihat itu, karena yang kukatakan adalah kebenaran, aku harus berjuang untuk itu."Kita selesaikan ini besok, El!" Astaga, kak Abizar tak bosan-bosan mengajakku untuk pulang.Tentu saja, itu membuatku mengeratkan pelukan pada bapak, sekalipun sudah terbatas oleh besi."Kamu istirahat dirumah ya nak, datanglah besok, bapak gak mau kamu tinggal disini." sejak tadi setelah makan dengan lauk tumis kangkung buatannya, dengan penuh kelembutan dan kesabaran bapak memang terus mengatakan hal yang sama, yaitu menyuruhku segera pulang. Tapi bukankah itu sangat kejam? Sebagai anak, aku tidak mungkin be
"Pak, tolong jangan bawa orangtua saya, dia tidak bersalah!" mohonku segera berlutut menarik kaki seorang Polisi yang sudah memegang kedua tangan orang yang aku sayangi."Ini perintah, mbak tidak boleh menghalang-halangi kami!" dengan tegas, pak polisi berkumis tebal itu menjawabku. Ia juga memperlihatkan surat itu lagi, surat yang tadi kuabaikan karena merasa ketentuannya tidaklah adil dan mendasar."Mana mungkin bapak saya mencelakai orang, dia sudah berhenti bekerja sebagai supir truck sejak empat bulan yang lalu." Sebagai bukti, akupun menunjukkan kebun sayuran organik yang dikelola bapak dibelakang rumah, pun dengan menunjukkan tidak adanya mobil truck yang terparkir didepan rumah. Hanya saja, untuk sementara ini aku memang tidak bisa memperlihatkan surat pemberhentian kontrak atas pekerjaan bapak, karena ia memang hanya sebagai sopir lepas. Entahlah... setahuku bapak memang tidak menerima jaminan apa-apa di perusahaan tempatnya bekerja, sekalipun pekerjaan itu cukup beresiko.
Belum tuntas rasa penasaranku tentang skandal yang disembunyikan mas Azka dan mbak Sonia akhir-akhir ini, tapi sekarang pria itu membuat perkara baru, yakni tak membiarkan aku bertemu muka dengan para istri-istrinya, ada apa sebenarnya?Padahal, baru saja aku ingin membuka komunikasi lagi dengan mereka termasuk pula Chandra, karena harus kuakui aku mulai menerima mereka semua, yang kini telah kuanggap adalah bagian dari diriku. Sekalipun tidak serta-merta kami semua akan selalu berbahagia dan saling menghormati, dan tak ada jaminan jika kami akan terus selalu akur, tapi aku yang menginginkan kerukunan terus terjaga tentu akan berusaha berbuat yang semestinya. Namun, belum apa-apa semangatku sudah terpatahkan oleh sikap mas Azka yang tidak jelas."Apa mas? Kamu kembalikan aku ke bapak, apa itu artinya kamu benar-benar ingin melepaskan aku?" tentu saja, dengan cepat kuajukan pertanyaan itu, mempertanyakan maksudnya, aku butuh kejelasan, aku butuh konfirmasi tentang sikapnya.Sekalipun
"Hueeekkk..." Terjadi lagi, dihari ketigaku dirumah bapak, aku mengalami mual-mual yang cukup parah, entah apa sebabnya setiap bangun tidur aku merasa kepala ini berputar-putar sampai-sampai aku tak kuasa untuk bangun walau hanya sekedar melaksanakan sholat subuh yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit.Alhasil, selama dua hari ini aku selalu sholat dalam keadaan tak menentu, kemarin aku bisa sholat berdiri meski tak mampu lama dan itu bisa kuatasi dengan menambahkan surah pendek saja, akan tetapi hari ini aku tak bisa bangun sama sekali, dan hasilnya aku baru bisa bangun jam setengah sebelas pagi.Anehnya lagi, setelah pagi hari berakhir dan matahari mulai meninggi aku kembali segar seolah tak terjadi apa-apa. Dan masa segarku itu kumanfaatkan dengan memakan makanan beragam yang dibawa bapak sepulang dari pasar.Seperti pagi ini misalnya, setelah mual-mualku berhenti, akupun dengan lahap memakan buah pisang segar yang baru dipetik dari pohon. Rasa buahnya terasa sangat nikmat u
Dak dek dak dek, dalam suasana seperti ini, malah pura-pura mesra.. gak ngaruh!Aku langsung saja tersenyum kecut setelah membaca pesan mas Azka. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap seolah tak terjadi apa-apa setelah mengabaikanku begitu saja. Aku sangat tidak mengerti dengan jalan pikirannya.Pesan mas Azka tak kugubris sama sekali, jangankan untuk membalasnya, menyentuh ponselnya pun aku sangat malas. Karena diri ini sudah mulai lelah, bergegas kuambil handuk dan menuju kamar mandi. Hari masih pagi dan udara sekitar pun masih segar dan dingin, Dihalaman belakang, kulihat bapak yang mulai memanen pakcoy yang siap dipilah pilih sebelum akhirnya diedarkan kepada para langganan. Halaman belakang rumah kami memang memiliki luas yang tidak seberapa, akan tetapi dengan lahan itu cukup membuat bapak kewalahan merawatnya, apalagi beliau belum memiliki anakbuah yang membantu pekerjaannya, semuanya dilakukan sendiri, untungnya lagi sayuran organik tidak terlalu sulit dibudidayakan."Ngapain l