Setelah berpikir sejenak, aku pun menjawab pertanyaan Mas Azam."Aku pengen ganti suasana aja, Mas. Pengen nyeri suasana baru. Lagipula, aku mau coba buka usaha sendiri. Makanya ini juga belanja banyak. Kalau gak dicoba, kan, gak akan pernah tau. Kalau tentang pernikahanku dengan Mas Zidan, aku merasa kurang cocok aja. Mungkin karena aku belum bisa melupakan mantan suamiku." Terpaksa aku menutupi masalah yang menimpaku dan Mas Zidan. Biarlah hanya orang-orang yang berkaitan saja yang tau."Masya Alloh. Mau buka usaha sendiri, ya, Mbak? Semoga sukses, ya? Laris manis dan berkah." Mas Azam menimpali. Doanya terdengar tulus."Makasih, Mas," jawabku.Kami pun tak banyak berbincang lagi. Mas Azam lebih fokus menatap jalanan di depan sana."Oh, iya, Mas. Boleh minta tolong?" Setelah cukup lama saling diam, tiba-tiba aku teringat sesuatu."Silakan, Mbak. Kalau bisa, insyaallah saya bantu," jawabnya tanpa menoleh."Apa Mas Azam bersedia mengajariku menyetir mobil? Rasanya sayang banget, punya
Di samping Mas Rayan, hatiku selalu berbunga-bunga dan penuh debaran. Tapi di samping Mas Azam kini, aku hanya merasa nyaman. Entahlah. Biar hatiku yang menjawabnya nanti."Kamu itu kebiasaan. Kalau diajak ngobrol malah ngelamun!" Ucapan ibu membuyarkan lamunanku. Hingga kesadaranku langsung kembali."Bukan berhenti, Bu. Hanya saja, Luna juga bingung harus mencari ke mana. Mencari tau ke kantornya sudah. Lewat teman-temannya sudah. Bahkan bertanya pada Bu Ida juga sudah. Ibu kandungnya sendiri aja gak tau, apalagi Luna, Bu. Luna putus asa. Harusnya, kalau memang Mas Rayan masih mencintai Luna, setidaknya dia kirim kabar atau sekedar mencari tau kondisi Luna sekarang. Tapi buktinya, dia bahkan gak pernah muncul. Mungkin saja sudah melupakan Luna. Atau mungkin juga sudah punya pengganti Luna. Bagaimana kalau ternyata nanti Luna bertemu Mas Rayan tapi dia sudah tidak sendiri?" Aku mengatakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada Mas Rayan meskipun hatiku masih berharap besar dia mas
Aku menatap wajahnya yang masih menunduk. Perlahan kepalanya mengangguk sebagai bentuk jawaban atas pertanyaanku."Saya memang mencintai Mbak Aluna. Tepatnya kapan, saya juga tidak tau. Saya hanya menyadarinya saat jantung ini berdebar hebat saat bertemu Mbak. Tapi saya sadar diri. Hingga saya tak pernah berani menunjukkannya apalagi bermimpi untuk berjodoh dengan Mbak. Saya hanya terus berdoa, jika memang berjodoh tolong dimudahkan. Tapi jika bukan, saya meminta Alloh untuk mengikis rasa ini sedikit demi sedikit." Mas Azam berkata panjang lebar. Namun dia sama sekali tak berani menatap mataku."Aku ....""Pak Azam, ibu anda memanggil!" Belum sempat aku kembali berbicara, tiba-tiba dokter yang tadi masuk ruangan Bu Fatimah sudah berada di dekat kami. "Kalau sudah selesai, biarkan beliau istirahat. Kondisinya sangat lemah."Mas Azam mengangguk. Dokter itu pun berlalu pergi dari hadapan kami. "Saya masuk dulu!" pamit Mas Azam seraya bangkit dari duduknya."Luna juga langsung pamit, ya,
Aku masih memperhatikan lelaki paruh baya yang masih terlihat tampan di sebrang sana. Matanya menatap nanar ke arah gundukan tanah tempat Bu Fatimah dimakamkan. Sesekali tangannya mengusap lembut pundak Mas Azam yang ada di hadapannya. Kalau dilihat dari cara Pak Haryono menatap dan memperlakukan Mas Azam, kentara sekali jika lelaki berbeda generasi itu punya hubungan yang erat.Doa untuk almarhumah Bu Fatimah pun selesai dipanjatkan. Para pelayat mulai meninggalkan area pemakaman satu persatu. Pun dengan Mas Zidan yang langkah kakinya semakin jauh, meski sesekali masih menoleh ke arahku.Aku menghela napas pelan. Mencoba menghalau rasa sesak jika teringat apa yang sudah dilakukan oleh Mas Zidan padaku. Aku sudah berusaha untuk ikhlas dan melupakannya. Toh kejadiannya juga sudah cukup lama. Tapi hati ini, entah kenapa tetap tidak bisa berkompromi. Ikhlas itu memang sangat mudah diucapkan. Namun, sangat sulit untuk dijalani.Tanpa sadar, para pelayat sudah hampir semuanya meninggalkan
Aku tidak bisa berkata apapun saking shock dengan pertanyaan Mas Azam. Mulutku seolah terkunci rapat dengan jantung bertalu-talu. Aku memang sudah menyetujui untuk menikah dengan Mas Azam. Tapi tidak secepat ini."Bagaimana Nak Aluna?" Pak Haryono kembali bertanya padaku yang masih bungkam dengan wajah tertunduk."Aku ... aku. Apa tidak terlalu buru-buru?" Dengan bibir gemetar, akhirnya satu kalimat tanya itu terlontar juga."Kalau Mbak Aluna keberatan dan belum siap, kita bisa menundanya, kok. Sampai Mbak Aluna benar-benar siap dan mantap untuk melangkah ke jenjang pernikahan." Mas Azam bertutur dengan lembut."Mohon izin untuk memikirkannya terlebih dahulu," timpalku pada calon suami dan calon mertua di hadapanku."Silakan, Mbak. Dengan senang hati saya akan menunggu. Sambil memperluas wawasan saya mengenai hak dan kewajiban saya sebagai suami ketika sudah berumah tangga nanti." Mas Azam menimpali.Ah, jawaban Mas Azam begitu menenangkan. Bahkan sedikitpun aku tak pernah memikirkan
"Wa'alaikum salam," jawabku terbata diiringi pintu yang terbuka. "Boleh, Mas masuk sekarang?" tanya Mas Azam sopan. Aku mengangguk dengan wajah tetap tertunduk. Aku pun kembali menutup pintu setelah Mas Azam masuk ke dalam kamar."Sudah punya wudhu?" Mas Azam kembali bertanya. Aku pun kembali mengangguk karena waktu isya memang belum terlalu lama berlalu."Kita solat dulu dua rakaat!" ajaknya lembut. Laki-laki yang sudah sah menjadi suamiku itu menggelar dua buah sajadah. Sementara aku mengenakan mukena yang baru setengah jam lalu dilepaskan.Dengan khusyuk, aku berdiri di belakang lelaki yang kini jadi imamku tersebut. Lantunan bacaan demi bacaan yang keluar dari mulutnya terdengar begitu merdu dan menenangkan. Hingga dua rakaat pun kini sudah selesai kami laksanakan. Mas Azam berbalik. Dia mengulurkan tangannya dan disambut dengan tanganku. Aku mencium punggung tangannya dengan khidmat. Debaran di dalam dada kian bergejolak. Mas Azam pun meletakkan tangannya di atas pucuk kepalak
Aku segera menundukkan pandangan. Menarik napas sepanjang mungkin agar tak dikuasai bayang-bayang masa lalu. Aku pun berusaha menormalkan detakan jantung yang bertalu-talu dan seolah akan lompat dari tempatnya."Ingat Luna sekarang kamu sudah jadi istri Mas Azam, pria soleh yang bisa menjadikanmu ratu di kerajaannya," gumamku dalam hati. Aku terus menepis ingatan tentang Mas Rayan yang tadi sempat berkelebat di benakku. Memenuhi ruang memoriku.Mas Rayan pun nampak mengalihkan pandangannya dariku. Meski aku sempat menangkap keterkejutan di wajahnya. Pun dengan matanya yang nampak langsung berkaca-kaca. Apalagi saat rangkaian acara berikutnya yang cukup sakral bagi pengantin, seperti serah terima mahar secara simbolis dan sungkem kepada orang tua. Setelah semua rangkaian acara selesai, pengantin diarahkan ke pelaminan. Mereka nampak bahagia saat menyalami satu persatu tamu yang hadir di acara itu.Semua orang nampak berbahagia. Hanya aku sepertinya yang cukup tak nyaman dengan situasi
POV Rayan"Kamu sudah siap?" tanyaku pada istri yang beberapa hari lalu kunikahi. Sudah dua hari kami menginap di hotel ini.Humaira tengah membereskan semua barang yang akan dibawa ke rumah orang tuaku. Aku memang mengajaknya untuk tinggal di rumah ibuku. Dan ia setuju. Meski dari awal aku sudah tahu kalau di rumah itu ada Rumaisha, istri pertamaku. Sebelum menikah dengan Humaira, aku memang sudah mengatakan seluruh masa laluku. Tanpa ada sedikitpun yang aku tutupi."Sebentar lagi, Mas. Tinggal masukin beberapa barang aja ke koper," jawabnya dengan senyum simpul. Terlihat begitu cantik di mataku. Meski aku mengenalnya belum begitu lama.Aku pun mengangguk kemudian kembali menatap layar ponsel. Sesekali aku melihat Humaira yang nampak gelisah. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi, aku coba membiarkannya, mungkin dia butuh waktu.Setelah semua selesai, kami pun pulang ke rumah ibuku. Perjalanan menggunakan mobil memakan waktu sekitar setengah jam."Kenapa melamun?" Tanganku memegang
POV RayanMalam ini, aku terlentang dengan sisa napas yang masih terengah-engah. Sementara, di atas dada bidangku, Aluna sudah tertidur dengan irama napas yang teratur. Sebelah tangannya melingkar longgar di pinggangku. Dengkuran halus pun terdengar keluar dari mulutnya. Menandakan bahwa ia memang sudah terlelap dan masuk ke alam mimpi. Aroma wangi shampo yang menguar dari rambut hitamnya, memanjakan indera penciumanku. Aku menunduk sedikit, lalu mencium puncak kepalanya pelan. Khawatir aksiku justru membangunkannya dari lelap tidur.Dengan mata menerawang menatap langit-langit kamar di bawah temaram cahaya lampu tidur, mataku justru tak kunjung mau terpejam. Satu tanganku kugunakan untuk mengelus rambut Aluna. Sementara tangan yang lain dijadikan bantalan kepalaku sendiri.Di saat seperti ini, aku selalu merasa bersyukur kembali dipersatukan dengan Aluna setelah banyaknya badai kehidupan yang kami lewati. Aku selalu berpikir, jika saja semua ujian hidup itu tidak menimpaku dan Aluna
POV Aluna4 Tahun Kemudian"Assalamualaikum."Saat sedang berkutat di dapur, sayup aku mendengar suara salam diiringi ketukan di pintu depan. Aku pun segera mencuci tanganku dan berjalan cepat menuju pintu. Namun, aku kalah cepat dengan dua pasang kaki yang berlarian berlomba untuk membuka pintu terlebih dahulu. Dari mulut keduanya terdengar pekikan yang cukup kencang. "Ayah .... Ayah ...."Si sulung yang usianya sudah lebih dari empat tahun itu, tentu saja berhasil sampai di pintu lebih dulu. Anak laki-laki bernama Hafiz itu langsung membukakan pintu untuk ayahnya seraya menjawab salam."Wa'alaikum salam Ayah," jawab Hafiz yang langsung mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan sang ayah. Pun dengan Hafizah yang menyusul di belakangnya. Dan aku menjadi yang terakhir mencium punggung tangan suamiku itu. Suamiku pun langsung mencium keningku. Setelahnya, ia mengambil Hafizah yang baru berusia dua tahun dalam pangkuannya. Lalu membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggandeng
Aluna berbalik lalu menatap Rumi dengan tatapan tak semarah sebelumnya. Kedua sudut bibirnya tersungging tipis. "Aku akan berusaha, tapi aku gak janji," tutur Aluna. "Gak apa-apa. Sudah ada niat untuk memaafkan aja kamu sudah hebat. Maafkan aku ya!" Rumi mendekat lalu memeluk sahabatnya itu. Setelahnya, Aluna pun mengambil pesanan Rumi yang sebenarnya adalah pesanan Zidan. Rumi pun langsung pamit untuk kembali ke kantor karena jam kerja memang belum selesai.Sementara Aluna kembali masuk ke dalam toko dan menghampiri ibunya."Sudah diperiksa lagi belum, Lun, kandungannya?" tanya ibunya Aluna."Belum ada sebulan kok, Bu. Nanti aja," jawab Aluna. "Oh, ya, sudah. Oh, iya. Kalau gak salah, sebulanan lagi menginjak empat bulan ya, Lun? Ngadain syukurannya mau di sini atau di rumah suamimu?" Ibunya Aluna menatap putrinya itu. Menghentikan sementara aktivitasnya yang sedang mengaduk adonan. "Sepertinya di rumah Mas Azam aja, Bu. Ibu sama bapak aja yang ke sana, ya. Gak apa-apa, kan?" Alu
Aluna yang awalnya tersenyum ramah mendadak kikuk dengan pertanyaan karyawan itu. "Bukan, Mbak. Saya mau ketemu Mas Azam, suami saya," jawab Aluna membuat mata karyawan itu nampak membulat."Oh. Maaf, Bu Aluna. Pak Azam ada di ruangannya kok," timpal karyawan itu terlihat salah tingkah."Oh, iya. Terima kasih banyak, ya. Saya ke ruangan suami saya dulu," balas Aluna mengangguk sopan.Setelah bertanya pada salah satu karyawan letak ruangan Azam, Aluna pun melanjutkan langkahnya menuju ruangan suaminya itu. Hingga ia sampai di depan pintu bertulisan nama suaminya. Aluna pun mengetuknya pelan."Silakan masuk," titah Azam yang sedangkan fokus menatap layar komputer di hadapannya. Saking fokusnya, Azam sampai tidak sadar bahwa yang datang itu adalah Aluna."Silakan du ...!" Azam tak melanjutkan ucapannya karena baru tersadar bahwa yang ada di hadapannya adalah istrinya. Azam pun bangkit dari duduknya dengan mata berbinar. "Kok gak bilang-bilang, sih, Sayang, mau ke sini?" tanyanya seraya
Meski jantung Aluna masih berdebar kencang tiap kali melihat mantan suaminya itu, tapi Aluna berusaha sekuat mungkin untuk bersikap normal layaknya dua pasang manusia yang tidak ada lagi ikatan apa-apa. Aluna tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya sedikit. Lalu buru-buru menundukkan pandangannya menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas. Pun dengan Rayan yang berusaha mengendalikan detakan jantungnya yang kian lama kian berdebar kencang. Apalagi saat melihat seulas senyum yang dihadirkan di bibir ranum wanita di hadapannya. Tak bisa dipungkiri, di hati kedua insan itu masih ada nama masing-masing yang tersimpan rapi. Mempunyai tempat khusus hingga mungkin akan sulit untuk benar-benar dihapus begitu saja. Cinta yang dulunya tertancap kuat, belum benar-benar tercabut kuat dari akarnya meski kini mereka telah hidup bersama pasangannya masing-masing. Tak berselang lama, Bu Ida dan Humaira pun ikut turun. Mata Bu Ida membesar melihat mantan menantu yang dulu begitu dibencinya.
POV AuthorRayan masih bergeming. Matanya memindai tangan mungil Hasan yang menggenggam erat tangan Rumaisha. Melihat bocah berusia tujuh tahun tersebut, hatinya mencelos dan nelangsa. Namun, di sisi lain, ia pun terlalu berat untuk menjalani pernikahan poligami yang sesuai dengan aturan agama. Karena di hatinya, nama Rumaisha benar-benar tidak pernah bertahta walau untuk sekejap. Apalagi mengingat kejahatan Rumaisha yang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkannya. Dari arah dapur, muncul Bu Ida berserta Humaira. Mereka berdiri di dekat kaki Rumaisha menapak. "Rumaisha sudah pamit sama ibu. Sama Humaira juga. Ibu menyerahkan semua keputusannya padamu, Nak," tutur Bu Ida menatap Rayan. "Apa kamu sudah bulat untuk pergi dari sini dan bercerai dariku? Lalu, Hasan bagaimana?" tanya Rayan pada Rumaisha.Rumaisha mengangguk yakin. "Aku sudah bulat. Dan tentang Hasan, aku akan memasukannya ke pesantren agar dia tumbuh menjadi anak yang baik dan mengerti agama. Tidak seperti aku ..
POV RayanAku sungguh tersentak dengan cerita ibu. Apalagi saat ibu menceritakan bahwa ibu sengaja dihasut Rumaisha agar membenci Aluna. Ibu menceritakan semua yang terjadi dulu. Tak terbayang bagaimana sakitnya Aluna mendengar kenyataan pahit itu langsung dengan telinganya sendiri. Setelah dikhianati olehku, suaminya sendiri, Aluna kembali dikhianati oleh Zidan. Laki-laki yang selama ini menunjukkan perhatiannya yang besar pada Aluna. Apalagi mereka sempat memutuskan untuk menikah. Ah, Aluna. Sungguh berat ujian hidup yang harus kamu hadapi. Sebagai seseorang yang pernah mencintaimu begitu dalam, aku hanya bisa mendoakan, semoga segala rasa sakit itu digantikan dengan kebahagiaan yang tiada tara oleh yang Maha Kuasa. Sore ini, ibu berbicara banyak padaku. Perihal kejadian-kejadian yang terjadi selama aku tidak ada bersamanya. Tentang kesepiannya, tentang rasa rindunya, dan tentang rasa bersalahnya yang luar biasa. Namun, aku sedikit lega, karena ternyata Rumaisha menjaga dan merawat
POV RayanAku masih menundukkan kepalaku di hadapan Abi yang sepertinya masih mempertimbangkan semuanya setelah aku menceritakan semuanya. Hingga aku mendengar abi berdehem pelan."Nak Rayan. Nak Rayan di sini sudah genap dua tahun. Apa Nak Rayan sudah benar-benar mantap untuk kembali ke Jakarta?" tanya Abi.Aku mengangguk yakin. "Insyaallah, Abi. Saya rindu sekali pada ibu. Saya juga ingin kembali memimpin perusahaan yang dua tahun terakhir ini saya abaikan," jawabku. Terdengar helaan napas pelan dari mulut laki-laki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu. "Baiklah. Kalau begitu, Nak Rayan bisa temui dulu wanita pilihan Abi itu. Ta'aruf saja dulu sambil ceritakan semua masa lalu Nak Rayan. Jika memang kalian berjodoh, insyaallah Alloh akan memudahkan jalannya," tutur Abi bijak. Aku pun mengangguk mengerti. Besoknya, aku benar-benar meninggalkan pesantren yang telah kutempati selama dua tahun itu dengan perasaan haru. Sudah cukup banyak kenangan selama aku tinggal di sana.
POV RayanAku memang sempat terpuruk. Aku memang sempat begitu terjatuh. Di saat aku menerima kenyataan bahwa pernikahanku dengan wanita yang begitu kucinta kandas hanya dalam waktu hitungan bulan saja. Bahkan kami belum sempat mereguk manisnya madu pernikahan. Beruntung, saat aku terpuruk seperti itu, di saat hatiku diliputi kekosongan dan kehampaan, tak sekalipun aku mendatangi tempat-tempat hiburan yang justru akan membawa hidupku jatuh semakin dalam. Suara lantunan adzan yang menggema setiap hari sebanyak lima kali, selalu memberikan rasa tenang yang merasuk ke dalam jiwaku. Aku pun mulai rutin mendatangi rumah Alloh tersebut untuk melaksanakan solat berjamaah lima waktu. Mesjid yang berada tak jauh dari rumahku yang kutempati saat itu. Rumah yang sengaja kubeli untuk Aluna sebagai hadiah pernikahan. Di sanalah aku biasanya menghabiskan waktu. Hingga aku memutuskan untuk memperdalam ilmu agamaku. Agar aku bisa belajar apa itu ilmu ikhlas. Agar aku bisa belajar apa itu qodo dan q