"Serius kamu, Lun?" Ibu memastikan. Aku pun mengangguk."Terus kamu bilang apa?" tanya bapak.Aku menggeleng. "Belum jawab. Luna minta waktu dulu. Makanya Luna minta pendapat bapak sama ibu.""Kalau ibu sih terserah kamu. Kalau kamu mencintai Nak Zidan ya kenapa tidak. Dia laki-laki yang baik dan sopan," jawab ibu."Itu masalahnya, Bu. Luna belum bisa mencintai Mas Zidan. Luna belum bisa melupakan Mas Rayan." Aku mengatakan yang sejujurnya. Tak perlu ada hal yang ditutupi dari kedua orang tuaku sendiri."Sampai kapan kamu mau terus-terusan mikirin Rayan, Lun. Kalian itu sudah berpisah. Bahkan Rayan saja sudah tidak ada kabarnya sama sekali. Sampai kapan kamu mau menyia-nyiakan laki-laki yang mungkin lebih baik dari Rayan? Kecuali kalau laki-laki itu memang bersedia menunggumu sampai kamu benar-benar bisa melupakan mantan suamimu itu." Ibu bicara panjang lebar."Bener apa kata ibumu, Lun. Kamu harus mencoba untuk melupakan Rayan. Kamu harus bangkit dari masa lalu. Bukan berarti bapak m
Kakiku kini serasa tak menapak di bumi. Ingin rasanya menghilang saat ini juga untuk mengindari hal yang sama sekali tak terduga ini. Sebelumnya, aku pikir kami akan duduk berdua untuk kembali membahas hal yang sangat privasi ini tentunya. Bukan di depan khalayak ramai bahkan di hadapan seluruh karyawan yang hadir seperti ini.Mas Zidan masih berjongkok dengan tangan yang masih mengambang di udara. Matanya masih menatapku dengan penuh pengharapan. "Terima. Terima. Terima!" Para karyawan yang awalnya hening kini mulai riuh bersuara diiringi tepukan pada tangannya masing-masing. Aku menoleh ke arah Rumi sekilas. Gadis itu nampak mengangguk yakin.Aku menghela napas pelan sebelum akhirnya menganggukkan kepala tanda menerima lamaran Mas Zidan. Sontak seluruh karyawan yang hadir pun bersorak bahagia seraya bertepuk tangan. Mas Zidan pun bangkit dari duduknya dengan binar-binar bahagia yang terlihat jelas di matanya."Terima kasih banyak," tuturnya. Ia pun semakin mendekat. Kemudian memin
Aku tak sanggup menatap mata Karin. Dia pasti kecewa berat padaku karena masih memajang foto-foto Mas Rayan. Bahkan foto pernikahan kami pun masih terbingkai rapi di dinding."Please, Lun. Jangan jadikan Mas Zidan hanya sebatas pelarian! Sebagai adiknya, aku tidak mau melihat dia terluka!" pinta Karin membuat hatiku makin tak enak."Maafkan aku, Rin. Aku tidak pernah sedikit pun berniat menjadikan Mas Zidan sebagai pelarian. Aku hanya berusaha membuka hati sesuai saran darimu. Dan tentang foto-foto itu, aku hanya menjadikannya sebagai kenang-kenangan terakhir. Tapi jika kamu keberatan, aku akan menurunkan semuanya dan menyimpannya." Aku memandang deretan foto-foto yang memperlihatkan betapa bahagianya aku dan Mas Rayan dulu."Aluna, Aluna. Kalau kamu masih menyimpan foto-foto itu bahkan memajangnya, bagaimana mungkin kamu bisa melupakan Mas Rayan yang kini entah di mana. Kalau kamu memang berniat untuk melupakan Mas Rayan, kamu harusnya membuang semua kenangan yang akan mengingatkanmu
Aku masih terdiam dengan ponsel yang masih dalam genggaman. Dadaku tiba-tiba berdebar hebat. Denyutannya sudah tak beraturan sama sekali. Menunggu Mas Zidan kembali dari toilet yang belum lima menit saja rasanya sudah seperti menunggu satu jam lamanya. Mataku sudah berkali-kali menoleh ke arah di mana toilet berada.Hingga beberapa menit kemudian, orang yang sedang kutunggu pun muncul juga. Bibirnya melengkungkan senyuman saat ia sampai di hadapanku. "Maaf, agak lama. Di sana ngantri," tuturnya sambil kembali duduk di kursi yang ada di depanku. Aku masih mematung. Menatapnya dengan jantung kian berdetak cepat."Maaf, aku lancang membuka hpmu. Bisa tolong dijelaskan ini maksudnya apa?" Aku memperlihatkan pesan yang baru saja dikirim Rumaisha. Mas Zidan nampak terkejut. Mimik wajahnya sama sekali tidak bisa menyembunyikan bahwa ia kini tengah kikuk. Bahkan dari gesture tubuhnya yang tiba-tiba berubah saja, sudah bisa kubaca kalau ia gugup."Aku bisa jelaskan semuanya, Sayang. Ini tid
Pov RumaishaSudah hampir satu tahun lamanya Mas Rayan pergi meninggalkan rumah ini. Juga meninggalkanku, Hasan, dan ibu. Entah di mana keberadaannya saat ini. Aku bahkan sudah menyewa beberapa orang untuk mencari Mas Rayan. Namun, jangankan orangnya, kabarnya saja tak bisa kudapatkan sama sekali. Dia benar-benar hilang bagaikan di telan bumi.Ibu Ida sebagai ibunya Mas Rayan, tentu saja menjadi orang yang paling sedih atas kepergian putra tunggalnya itu. Aku dan Hasan selalu mencoba untuk menghiburnya dan menemaninya.Jauh di lubuk hatiku. Aku sebenarnya merasa bersalah. Mas Rayan pergi dari rumah ini karena aku. Dia kecewa padaku yang sudah membohonginya. Sepertinya dia merasa ditipu olehku. Padahal, aku melakukan semua itu semata-mata karena tak ingin kehilangannya dan Hasan kehilangan seorang ayah."Umi, ayah kapan pulang? Kenapa tidak pulang-pulang?" tanya Hasan saat aku menemaninya untuk tidur malam ini."Doain saja semoga ayah Rayan segera pulang dan baik-baik saja ya, Nak?" Ak
Pov RumaishaAku berpura-pura bersikap santai meskipun sebenarnya dadaku berdetak tak karuan. Berjalan dengan pandangan lurus ke depan agar memperlihatkan bahwa aku baik-baik saja. Hingga saat beberapa langkah lagi aku sampai di hadapan Aluna, wanita berbulu mata lentik itu berdiri."Pagi, Mbak," sapanya seolah memaksakan senyum di kedua sudut bibirnya. Namun, sorot matanya tak bisa berbohong kalau dia sedang tak baik-baik saja."Pagi," jawabku singkat untuk mengurangi debaran hebat di dada."Maaf saya mengganggu waktunya. Boleh saya bicara sebentar?" Aluna berkata dengan ramah."Silakan saja. Duduklah!" titahku datar. Aluna pun duduk kembali di tempatnya semula. Sedangkan Mbok Acih langsung pamit untuk ke belakang.Aku pun ikut duduk di sofa yang lumayan berjarak dengan Aluna. Untuk beberapa saat, kami hanya saling diam. Hanya terdengar suara jarum jam yang terus berdetak."Ehhmm." Aluna berdehem pelan. Sepertinya dia sedang mengumpulkan keberanian untuk memulai pembicaraan."Langsun
Aku berjalan keluar dari rumah Mas Rayan dengan dada yang begitu sesak. Bahkan sekedar untuk bernapas pun rasanya sulit sekali. Air mata pun tak hentinya berjatuhan. Ini benar-benar menyakitkan. Bahkan lebih menyakitkan dari apapun.Di dekat motor milikku terparkir, aku terduduk lesu. Tungkai kakiku tak kuat lagi untuk melangkah. Semua kenyataan yang kudengar sungguh menyesakkan dada.Mas Zidan, laki-laki yang beberapa bulan ini mencurahkan seluruh perhatian dan kasih sayangnya padaku, ternyata tak lebih dari seorang musang berbulu domba. Dia menikamku dari belakang. Dia dalang utama dari semua yang terjadi padaku juga Mas Rayan. Ah, pantas saja selama ini hatiku ragu untuk menerimanya. Aku tak pernah bisa mencintainya.Namun, di sisi lain aku merasa beruntung. Alloh telah membuka kedoknya hari ini. Di saat hatiku belum terlanjur terpaut padanya. Di saat ikatan kami belum sampai jenjang pelaminan. Entah bagaimana jika aku mengetahui semua ini saat aku sudah jadi istrinya.Dengan sisa-
Aku langsung menunduk. Tak berani menatap mata Karin."Maaf, Rin. Aku sedang buru-buru!" ucapku sambil melanjutkan langkah menuju parkiran. Tak mempedulikan Karin yang terus-menerus memanggil namaku.Aku pun segera melajukan motorku keluar dari gedung yang hampir dua tahun ini ditempati. Berbagai suka dan duka sudah aku rasakan selama bekerja di sana. Kini saatnya aku pergi meninggalkan semua mimpi yang sempat aku rajut di sana.Setelah cukup lama berkendara, aku baru sadar kalau jalan yang aku lalui bukan jalan menuju pulang ke rumah. Tapi jalan menuju rumahku pemberian dari Mas Rayan. Karena sudah terlanjur setengah perjalanan, aku pun meneruskannya. Mungkin saat ini aku memang sedang butuh sendirian. Dan di rumah itu, adalah tempat yang tepat.Setelah sampai di depan rumah tanpa pagar itu, aku segera merogoh kunci rumah yang memang disatukan dengan kunci motor. Jadi aku selalu membawanya ke manapun.Hawa sejuk langsung terasa begitu aku memasuki rumah dengan gaya minimalis modern i
POV RayanMalam ini, aku terlentang dengan sisa napas yang masih terengah-engah. Sementara, di atas dada bidangku, Aluna sudah tertidur dengan irama napas yang teratur. Sebelah tangannya melingkar longgar di pinggangku. Dengkuran halus pun terdengar keluar dari mulutnya. Menandakan bahwa ia memang sudah terlelap dan masuk ke alam mimpi. Aroma wangi shampo yang menguar dari rambut hitamnya, memanjakan indera penciumanku. Aku menunduk sedikit, lalu mencium puncak kepalanya pelan. Khawatir aksiku justru membangunkannya dari lelap tidur.Dengan mata menerawang menatap langit-langit kamar di bawah temaram cahaya lampu tidur, mataku justru tak kunjung mau terpejam. Satu tanganku kugunakan untuk mengelus rambut Aluna. Sementara tangan yang lain dijadikan bantalan kepalaku sendiri.Di saat seperti ini, aku selalu merasa bersyukur kembali dipersatukan dengan Aluna setelah banyaknya badai kehidupan yang kami lewati. Aku selalu berpikir, jika saja semua ujian hidup itu tidak menimpaku dan Aluna
POV Aluna4 Tahun Kemudian"Assalamualaikum."Saat sedang berkutat di dapur, sayup aku mendengar suara salam diiringi ketukan di pintu depan. Aku pun segera mencuci tanganku dan berjalan cepat menuju pintu. Namun, aku kalah cepat dengan dua pasang kaki yang berlarian berlomba untuk membuka pintu terlebih dahulu. Dari mulut keduanya terdengar pekikan yang cukup kencang. "Ayah .... Ayah ...."Si sulung yang usianya sudah lebih dari empat tahun itu, tentu saja berhasil sampai di pintu lebih dulu. Anak laki-laki bernama Hafiz itu langsung membukakan pintu untuk ayahnya seraya menjawab salam."Wa'alaikum salam Ayah," jawab Hafiz yang langsung mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan sang ayah. Pun dengan Hafizah yang menyusul di belakangnya. Dan aku menjadi yang terakhir mencium punggung tangan suamiku itu. Suamiku pun langsung mencium keningku. Setelahnya, ia mengambil Hafizah yang baru berusia dua tahun dalam pangkuannya. Lalu membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggandeng
Aluna berbalik lalu menatap Rumi dengan tatapan tak semarah sebelumnya. Kedua sudut bibirnya tersungging tipis. "Aku akan berusaha, tapi aku gak janji," tutur Aluna. "Gak apa-apa. Sudah ada niat untuk memaafkan aja kamu sudah hebat. Maafkan aku ya!" Rumi mendekat lalu memeluk sahabatnya itu. Setelahnya, Aluna pun mengambil pesanan Rumi yang sebenarnya adalah pesanan Zidan. Rumi pun langsung pamit untuk kembali ke kantor karena jam kerja memang belum selesai.Sementara Aluna kembali masuk ke dalam toko dan menghampiri ibunya."Sudah diperiksa lagi belum, Lun, kandungannya?" tanya ibunya Aluna."Belum ada sebulan kok, Bu. Nanti aja," jawab Aluna. "Oh, ya, sudah. Oh, iya. Kalau gak salah, sebulanan lagi menginjak empat bulan ya, Lun? Ngadain syukurannya mau di sini atau di rumah suamimu?" Ibunya Aluna menatap putrinya itu. Menghentikan sementara aktivitasnya yang sedang mengaduk adonan. "Sepertinya di rumah Mas Azam aja, Bu. Ibu sama bapak aja yang ke sana, ya. Gak apa-apa, kan?" Alu
Aluna yang awalnya tersenyum ramah mendadak kikuk dengan pertanyaan karyawan itu. "Bukan, Mbak. Saya mau ketemu Mas Azam, suami saya," jawab Aluna membuat mata karyawan itu nampak membulat."Oh. Maaf, Bu Aluna. Pak Azam ada di ruangannya kok," timpal karyawan itu terlihat salah tingkah."Oh, iya. Terima kasih banyak, ya. Saya ke ruangan suami saya dulu," balas Aluna mengangguk sopan.Setelah bertanya pada salah satu karyawan letak ruangan Azam, Aluna pun melanjutkan langkahnya menuju ruangan suaminya itu. Hingga ia sampai di depan pintu bertulisan nama suaminya. Aluna pun mengetuknya pelan."Silakan masuk," titah Azam yang sedangkan fokus menatap layar komputer di hadapannya. Saking fokusnya, Azam sampai tidak sadar bahwa yang datang itu adalah Aluna."Silakan du ...!" Azam tak melanjutkan ucapannya karena baru tersadar bahwa yang ada di hadapannya adalah istrinya. Azam pun bangkit dari duduknya dengan mata berbinar. "Kok gak bilang-bilang, sih, Sayang, mau ke sini?" tanyanya seraya
Meski jantung Aluna masih berdebar kencang tiap kali melihat mantan suaminya itu, tapi Aluna berusaha sekuat mungkin untuk bersikap normal layaknya dua pasang manusia yang tidak ada lagi ikatan apa-apa. Aluna tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya sedikit. Lalu buru-buru menundukkan pandangannya menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas. Pun dengan Rayan yang berusaha mengendalikan detakan jantungnya yang kian lama kian berdebar kencang. Apalagi saat melihat seulas senyum yang dihadirkan di bibir ranum wanita di hadapannya. Tak bisa dipungkiri, di hati kedua insan itu masih ada nama masing-masing yang tersimpan rapi. Mempunyai tempat khusus hingga mungkin akan sulit untuk benar-benar dihapus begitu saja. Cinta yang dulunya tertancap kuat, belum benar-benar tercabut kuat dari akarnya meski kini mereka telah hidup bersama pasangannya masing-masing. Tak berselang lama, Bu Ida dan Humaira pun ikut turun. Mata Bu Ida membesar melihat mantan menantu yang dulu begitu dibencinya.
POV AuthorRayan masih bergeming. Matanya memindai tangan mungil Hasan yang menggenggam erat tangan Rumaisha. Melihat bocah berusia tujuh tahun tersebut, hatinya mencelos dan nelangsa. Namun, di sisi lain, ia pun terlalu berat untuk menjalani pernikahan poligami yang sesuai dengan aturan agama. Karena di hatinya, nama Rumaisha benar-benar tidak pernah bertahta walau untuk sekejap. Apalagi mengingat kejahatan Rumaisha yang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkannya. Dari arah dapur, muncul Bu Ida berserta Humaira. Mereka berdiri di dekat kaki Rumaisha menapak. "Rumaisha sudah pamit sama ibu. Sama Humaira juga. Ibu menyerahkan semua keputusannya padamu, Nak," tutur Bu Ida menatap Rayan. "Apa kamu sudah bulat untuk pergi dari sini dan bercerai dariku? Lalu, Hasan bagaimana?" tanya Rayan pada Rumaisha.Rumaisha mengangguk yakin. "Aku sudah bulat. Dan tentang Hasan, aku akan memasukannya ke pesantren agar dia tumbuh menjadi anak yang baik dan mengerti agama. Tidak seperti aku ..
POV RayanAku sungguh tersentak dengan cerita ibu. Apalagi saat ibu menceritakan bahwa ibu sengaja dihasut Rumaisha agar membenci Aluna. Ibu menceritakan semua yang terjadi dulu. Tak terbayang bagaimana sakitnya Aluna mendengar kenyataan pahit itu langsung dengan telinganya sendiri. Setelah dikhianati olehku, suaminya sendiri, Aluna kembali dikhianati oleh Zidan. Laki-laki yang selama ini menunjukkan perhatiannya yang besar pada Aluna. Apalagi mereka sempat memutuskan untuk menikah. Ah, Aluna. Sungguh berat ujian hidup yang harus kamu hadapi. Sebagai seseorang yang pernah mencintaimu begitu dalam, aku hanya bisa mendoakan, semoga segala rasa sakit itu digantikan dengan kebahagiaan yang tiada tara oleh yang Maha Kuasa. Sore ini, ibu berbicara banyak padaku. Perihal kejadian-kejadian yang terjadi selama aku tidak ada bersamanya. Tentang kesepiannya, tentang rasa rindunya, dan tentang rasa bersalahnya yang luar biasa. Namun, aku sedikit lega, karena ternyata Rumaisha menjaga dan merawat
POV RayanAku masih menundukkan kepalaku di hadapan Abi yang sepertinya masih mempertimbangkan semuanya setelah aku menceritakan semuanya. Hingga aku mendengar abi berdehem pelan."Nak Rayan. Nak Rayan di sini sudah genap dua tahun. Apa Nak Rayan sudah benar-benar mantap untuk kembali ke Jakarta?" tanya Abi.Aku mengangguk yakin. "Insyaallah, Abi. Saya rindu sekali pada ibu. Saya juga ingin kembali memimpin perusahaan yang dua tahun terakhir ini saya abaikan," jawabku. Terdengar helaan napas pelan dari mulut laki-laki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu. "Baiklah. Kalau begitu, Nak Rayan bisa temui dulu wanita pilihan Abi itu. Ta'aruf saja dulu sambil ceritakan semua masa lalu Nak Rayan. Jika memang kalian berjodoh, insyaallah Alloh akan memudahkan jalannya," tutur Abi bijak. Aku pun mengangguk mengerti. Besoknya, aku benar-benar meninggalkan pesantren yang telah kutempati selama dua tahun itu dengan perasaan haru. Sudah cukup banyak kenangan selama aku tinggal di sana.
POV RayanAku memang sempat terpuruk. Aku memang sempat begitu terjatuh. Di saat aku menerima kenyataan bahwa pernikahanku dengan wanita yang begitu kucinta kandas hanya dalam waktu hitungan bulan saja. Bahkan kami belum sempat mereguk manisnya madu pernikahan. Beruntung, saat aku terpuruk seperti itu, di saat hatiku diliputi kekosongan dan kehampaan, tak sekalipun aku mendatangi tempat-tempat hiburan yang justru akan membawa hidupku jatuh semakin dalam. Suara lantunan adzan yang menggema setiap hari sebanyak lima kali, selalu memberikan rasa tenang yang merasuk ke dalam jiwaku. Aku pun mulai rutin mendatangi rumah Alloh tersebut untuk melaksanakan solat berjamaah lima waktu. Mesjid yang berada tak jauh dari rumahku yang kutempati saat itu. Rumah yang sengaja kubeli untuk Aluna sebagai hadiah pernikahan. Di sanalah aku biasanya menghabiskan waktu. Hingga aku memutuskan untuk memperdalam ilmu agamaku. Agar aku bisa belajar apa itu ilmu ikhlas. Agar aku bisa belajar apa itu qodo dan q