Kukembalikan Suamiku pada Istri PertamanyaBab 40RAYANSudah dua hari aku tidak pulang ke rumah. Pun juga tidak masuk kantor. Aku lelah. Pikiranku benar-benar kacau. Bahkan, aku mematikan ponselku agar tak ada seorangpun yang menghubungiku. Termasuk ibu. Apalagi Rumaisha.Semua yang terjadi belakangan ini membuat hidupku benar-benar berantakan. Pernikahan dengan Aluna yang nyaris kandas membuat hari-hariku tak lagi sama. Hanya ada kesepian dan penyesalan yang membelengguku setiap hari. Kemarin, aku sudah mencoba mendatangi rumah sakit tempatku mengantar Rumaisha menjalani terapi. Hanya saja aku tidak bisa bertemu dengan dokter yang biasa menanganinya karena beliau sedang ada di luar kota. Jadilah hari ini aku akan kembali lagi mendatangi rumah sakit.Sudah dua hari ini aku memilih menginap di hotel yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Bukan hotel mewah atau hotel bintang lima yang aku tempati. Hanya hotel sederhana yang letaknya agak ke pinggiran. Bukan tanpa alasan tentu aku melaku
Kukembalikan Suamiku pada Istri PertamanyaBab 41"Pulanglah, Mas. Luna mau istirahat. Luna capek!" Aku hendak berdiri meninggalkan Mas Rayan yang masih termangu di tempatnya. Tapi tangan Mas Rayan tiba-tiba memegang pergelangan tanganku."Mas mohon, Lun. Jangan tinggalkan Mas. Hidup Mas benar-benar hancur sekarang. Mas tidak punya siapa-siapa sebagai sandaran. Mas mohon!" Mas Rayan menatapku dengan mengiba. Matanya mengembun. Jelas sekali terlihat ada luka yang begitu besar di matanya. Aku hanya berdiri tanpa melepaskan cengkraman tangannya. Melihatnya seperti ini, lagi-lagi hatiku rapuh. Cintaku padanya masih sama besar seperti dulu. Melihatnya terluka, hatiku ikut menjerit."Kalau perlu, kita pergi jauh dari sini Lun. Kita mulai kehidupan baru. Hanya kita!" Mas Rayan berkata lagi. Suaranya terdengar bergetar. Aku bimbang. Satu sisi hatiku ingin mengiyakan. Tapi di sisi yang lain hatiku menolak. Apalagi kata-kata Bu Ida selalu terngiang di telingaku."Mas, restu orang tua adalah s
Kukembalikan Suamiku pada Istri PertamanyaBab 42Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk tidak mempersalahkan kamera kecil itu. Untuk apa aku menanyakannya. Toh Mas Zidan berhak melakukan apa saja untuk memantau setiap kinerja karyawan. Namun, untuk memasangnya kembali aku tak bisa. Aku pun menyimpan kamera kecil itu di laci. Kalau Mas Zidan bertanya, baru aku berikan.Aku pun mulai mengerjakan pekerjaan yang sudah menunggu sentuhan tanganku. Masalah undangan pernikahan Bu Latifa untuk Mas Zidan, bisa aku berikan nanti kalau sudah senggang.***Tak terasa hari-hari mulai berganti. Sore ini, Mas Zidan meminta semua karyawan untuk berkumpul di ruang meeting dan tidak ada yang pulang lebih dulu. Aku segera menyelesaikan pekerjaan dan merapikan meja kerja sekenanya. Setelah itu, bersiap untuk menuju ruang meeting."Hai, Lun. Bareng!" Rumi yang masih duduk di meja kerjanya buru-buru bangkit dan menyusul langkahku."Ada hal penting apa ya?" tanya Rumi penasaran."Aku juga
Kukembalikan Suamiku pada Istri PertamanyaBab 43Selepas duhur Karin dan Mas Zidan datang. Kami pun langsung berangkat setelah berpamitan pada ibu dan bapak. Aku dan Karin duduk di jok belakang, sementara Mas Zidan duduk di depan seorang diri. Sudah seperti sopir saja. "Lun, kok, diam saja? Kayak yang gak bersemangat gitu. Tadi aja di telepon kedengarannya ceria banget," protes Karin yang melihatku memang lebih banyak diam sejak berangkat tadi."Sebenarnya aku lagi bingung, Rin. Dua hari lagi sidang perceraianku dan Mas Rayan. Aku bingung untuk menghadirinya atau enggak." Aku berkata jujur pada Karin. Selama ini, dialah satu-satunya sahabat tempatku berbagi dan berkeluh kesah. Hampir tidak ada hal yang aku tutupi darinya."Kamu itu udah yakin untuk berpisah atau belum sih? Kok kayak jadi ragu gitu?" Karin malah balik bertanya.Aku terdiam. Aku sendiri bingung dengan perasaanku. Setelah mendengar penuturan Mas Rayan kemarin tentangnya yang dibohongi Rumaisha, entah kenapa aku merasa
Kukembalikan Suamiku pada Istri PertamanyaBab 44Apa yang dimaksud Pak Ahmad kalau aku calon istrinya Mas Zidan? Aku mengernyitkan dahi. Kemudian melirik Mas Zidan yang hanya menanggapi ucapan Pak Ahmad tersebut dengan senyuman. Kenapa juga Mas Zidan malah santai tanpa membantah sama sekali?"Bukan, Pak. Saya--." "Assalamu'alaikum." Belum juga aku menyelesaikan perkataanku, Mas Azam keburu datang mengucap salam dan langsung dijawab serempak oleh Mas Zidan dan Pak Ahmad."Mau ke Yayasan sekarang, Pak?" tanya Mas Azam pada Mas Zidan. Mas Zidan mengangguk. "Boleh," singkatnya."Mari kalau gitu!" ajak Mas Azam dengan gerakan tangannya."Rin, Lun, mau ikut?" Mas Zidan bertanya terlebih dahulu padaku dan adiknya itu."Jauh gak, Kak?" tanya Karin."Tuh, di belakang." Mas Zidan menunjuk sebuah bangunan sederhana yang terletak persis di belakang mesjid."Ikut deh," jawab Karin antusias. "Ayo, Lun!" Karin sedikit menarik pergelangan tanganku menyusul langkah kaki ketiga lelaki di hadapan kami
Kukembalikan Suamiku pada Istri PertamanyaBab 45Aku menoleh. Menatap wajah ibuku lamat-lamat. Beberapa kerutan sudah terlihat jelas di parasnya yang masih cantik di usia melebihi setengah abad. Hanya saja, kehidupan yang dulu lumayan susah, menjadikan tubuh ibuku tak sesubur ibu-ibu pada umumnya. Ibuku terbilang cukup kurus. Rambutnya yang digelung asal juga sudah nampak memutih sebagian. Matanya yang bulat bahkan sudah mulai rabun. Aku menghela napas pelan. Membayangkan bagaimana sepinya hari-hari ibu dan bapakku tanpa kehadiranku. Putri mereka satu-satunya. Mana mungkin aku tega meninggalkan mereka dan membiarkan mereka hanya hidup berdua di usia mereka yang menjelang renta. Apalagi, kesehatan bapak yang tergolong sering bermasalah.Jika aku tak ada, dengan siapa mereka berbagi? Dengan siapa mereka berkeluh kesah? Tidak. Aku tidak bisa meninggalkan surga yang jelas-jelas ada di hadapanku daripada mengejar surga yang masih terbilang semu. Ibu dan bapakku adalah segalanya. Aku rela
Kukembalikan Suamiku pada Istri PertamanyaBab 46"Sebenarnya, aku udah janji mau datang bareng Rumi, Mas. Gak enak kalau aku tiba-tiba batalin gitu aja." Aku terpaksa berbohong. Meskipun sebenarnya aku dan Rumi belum merencanakan apa-apa."Oh, gitu, ya? Ya udah gak apa-apa. Kita bisa ketemu di lokasi kok. Aku juga kayaknya berangkat bareng Karin," timpal Mas Zidan. Sebuah senyuman kecil tersungging di bibirnya."Karin diundang juga ya?" tanyaku. Kami sama-sama melanjutkan langkah menuju parkiran."Diundang. Bu Latifa kan pelanggan di butiknya Karin. Jadi mereka udah kenal.""Ooh." Hanya itu yang keluar dari mulutku. "Aku duluan, ya. Sampai ketemu besok!" ujar Mas Zidan saat sampai di dekat mobilnya. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Lalu mendekati motorku yang terparkir tak jauh dari mobilnya.Suasana jalanan lumayan padat sore ini. Mungkin karena kondisi cuaca yang cerah atau juga karena besok sudah mulai weekend. Aku beberapa kali melirik ke arah belakang lewat kaca spion. En
Kukembalikan Suamiku pada Istri PertamanyaBab 47Aku melirik Rumaisha sekilas. Wanita yang kian hari, penampilannya semakin berkelas itu buru-buru menunduk saat pandangan kami beradu. Kentara sekali ada rasa semacam malu atau tak enak padaku. Entahlah. "Maaf, Bu. Tapi Luna benar-benar tidak tahu di mana keberadaan Mas Rayan. Luna juga sudah tidak pernah bertemu dengannya. Bahkan tidak pernah berkomunikasi lagi." Aku berkata yang sejujurnya. "Terakhir kali bertemu Mas Rayan, dia meminta Luna untuk datang ke pengadilan agama saat sidang perdana seminggu yang lalu. Tapi Luna tidak datang. Luna juga tidak tau apa Mas Rayan datang atau tidak.""Ibu sudah menemui pengacaranya kemarin-kemarin. Katanya Rayan mempercayakan semuanya pada pengacaranya itu. Tapi, waktu ibu minta nomor telepon Rayan, pengacaranya tidak memberi. Dengan dalih kalau Rayan selalu menghubunginya dengan nomor yang berbeda-beda. Ibu cuma mau minta tolong sama kamu, tolong bantu cari keberadaan Rayan. Barangkali kamu ke
POV RayanMalam ini, aku terlentang dengan sisa napas yang masih terengah-engah. Sementara, di atas dada bidangku, Aluna sudah tertidur dengan irama napas yang teratur. Sebelah tangannya melingkar longgar di pinggangku. Dengkuran halus pun terdengar keluar dari mulutnya. Menandakan bahwa ia memang sudah terlelap dan masuk ke alam mimpi. Aroma wangi shampo yang menguar dari rambut hitamnya, memanjakan indera penciumanku. Aku menunduk sedikit, lalu mencium puncak kepalanya pelan. Khawatir aksiku justru membangunkannya dari lelap tidur.Dengan mata menerawang menatap langit-langit kamar di bawah temaram cahaya lampu tidur, mataku justru tak kunjung mau terpejam. Satu tanganku kugunakan untuk mengelus rambut Aluna. Sementara tangan yang lain dijadikan bantalan kepalaku sendiri.Di saat seperti ini, aku selalu merasa bersyukur kembali dipersatukan dengan Aluna setelah banyaknya badai kehidupan yang kami lewati. Aku selalu berpikir, jika saja semua ujian hidup itu tidak menimpaku dan Aluna
POV Aluna4 Tahun Kemudian"Assalamualaikum."Saat sedang berkutat di dapur, sayup aku mendengar suara salam diiringi ketukan di pintu depan. Aku pun segera mencuci tanganku dan berjalan cepat menuju pintu. Namun, aku kalah cepat dengan dua pasang kaki yang berlarian berlomba untuk membuka pintu terlebih dahulu. Dari mulut keduanya terdengar pekikan yang cukup kencang. "Ayah .... Ayah ...."Si sulung yang usianya sudah lebih dari empat tahun itu, tentu saja berhasil sampai di pintu lebih dulu. Anak laki-laki bernama Hafiz itu langsung membukakan pintu untuk ayahnya seraya menjawab salam."Wa'alaikum salam Ayah," jawab Hafiz yang langsung mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan sang ayah. Pun dengan Hafizah yang menyusul di belakangnya. Dan aku menjadi yang terakhir mencium punggung tangan suamiku itu. Suamiku pun langsung mencium keningku. Setelahnya, ia mengambil Hafizah yang baru berusia dua tahun dalam pangkuannya. Lalu membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggandeng
Aluna berbalik lalu menatap Rumi dengan tatapan tak semarah sebelumnya. Kedua sudut bibirnya tersungging tipis. "Aku akan berusaha, tapi aku gak janji," tutur Aluna. "Gak apa-apa. Sudah ada niat untuk memaafkan aja kamu sudah hebat. Maafkan aku ya!" Rumi mendekat lalu memeluk sahabatnya itu. Setelahnya, Aluna pun mengambil pesanan Rumi yang sebenarnya adalah pesanan Zidan. Rumi pun langsung pamit untuk kembali ke kantor karena jam kerja memang belum selesai.Sementara Aluna kembali masuk ke dalam toko dan menghampiri ibunya."Sudah diperiksa lagi belum, Lun, kandungannya?" tanya ibunya Aluna."Belum ada sebulan kok, Bu. Nanti aja," jawab Aluna. "Oh, ya, sudah. Oh, iya. Kalau gak salah, sebulanan lagi menginjak empat bulan ya, Lun? Ngadain syukurannya mau di sini atau di rumah suamimu?" Ibunya Aluna menatap putrinya itu. Menghentikan sementara aktivitasnya yang sedang mengaduk adonan. "Sepertinya di rumah Mas Azam aja, Bu. Ibu sama bapak aja yang ke sana, ya. Gak apa-apa, kan?" Alu
Aluna yang awalnya tersenyum ramah mendadak kikuk dengan pertanyaan karyawan itu. "Bukan, Mbak. Saya mau ketemu Mas Azam, suami saya," jawab Aluna membuat mata karyawan itu nampak membulat."Oh. Maaf, Bu Aluna. Pak Azam ada di ruangannya kok," timpal karyawan itu terlihat salah tingkah."Oh, iya. Terima kasih banyak, ya. Saya ke ruangan suami saya dulu," balas Aluna mengangguk sopan.Setelah bertanya pada salah satu karyawan letak ruangan Azam, Aluna pun melanjutkan langkahnya menuju ruangan suaminya itu. Hingga ia sampai di depan pintu bertulisan nama suaminya. Aluna pun mengetuknya pelan."Silakan masuk," titah Azam yang sedangkan fokus menatap layar komputer di hadapannya. Saking fokusnya, Azam sampai tidak sadar bahwa yang datang itu adalah Aluna."Silakan du ...!" Azam tak melanjutkan ucapannya karena baru tersadar bahwa yang ada di hadapannya adalah istrinya. Azam pun bangkit dari duduknya dengan mata berbinar. "Kok gak bilang-bilang, sih, Sayang, mau ke sini?" tanyanya seraya
Meski jantung Aluna masih berdebar kencang tiap kali melihat mantan suaminya itu, tapi Aluna berusaha sekuat mungkin untuk bersikap normal layaknya dua pasang manusia yang tidak ada lagi ikatan apa-apa. Aluna tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya sedikit. Lalu buru-buru menundukkan pandangannya menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas. Pun dengan Rayan yang berusaha mengendalikan detakan jantungnya yang kian lama kian berdebar kencang. Apalagi saat melihat seulas senyum yang dihadirkan di bibir ranum wanita di hadapannya. Tak bisa dipungkiri, di hati kedua insan itu masih ada nama masing-masing yang tersimpan rapi. Mempunyai tempat khusus hingga mungkin akan sulit untuk benar-benar dihapus begitu saja. Cinta yang dulunya tertancap kuat, belum benar-benar tercabut kuat dari akarnya meski kini mereka telah hidup bersama pasangannya masing-masing. Tak berselang lama, Bu Ida dan Humaira pun ikut turun. Mata Bu Ida membesar melihat mantan menantu yang dulu begitu dibencinya.
POV AuthorRayan masih bergeming. Matanya memindai tangan mungil Hasan yang menggenggam erat tangan Rumaisha. Melihat bocah berusia tujuh tahun tersebut, hatinya mencelos dan nelangsa. Namun, di sisi lain, ia pun terlalu berat untuk menjalani pernikahan poligami yang sesuai dengan aturan agama. Karena di hatinya, nama Rumaisha benar-benar tidak pernah bertahta walau untuk sekejap. Apalagi mengingat kejahatan Rumaisha yang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkannya. Dari arah dapur, muncul Bu Ida berserta Humaira. Mereka berdiri di dekat kaki Rumaisha menapak. "Rumaisha sudah pamit sama ibu. Sama Humaira juga. Ibu menyerahkan semua keputusannya padamu, Nak," tutur Bu Ida menatap Rayan. "Apa kamu sudah bulat untuk pergi dari sini dan bercerai dariku? Lalu, Hasan bagaimana?" tanya Rayan pada Rumaisha.Rumaisha mengangguk yakin. "Aku sudah bulat. Dan tentang Hasan, aku akan memasukannya ke pesantren agar dia tumbuh menjadi anak yang baik dan mengerti agama. Tidak seperti aku ..
POV RayanAku sungguh tersentak dengan cerita ibu. Apalagi saat ibu menceritakan bahwa ibu sengaja dihasut Rumaisha agar membenci Aluna. Ibu menceritakan semua yang terjadi dulu. Tak terbayang bagaimana sakitnya Aluna mendengar kenyataan pahit itu langsung dengan telinganya sendiri. Setelah dikhianati olehku, suaminya sendiri, Aluna kembali dikhianati oleh Zidan. Laki-laki yang selama ini menunjukkan perhatiannya yang besar pada Aluna. Apalagi mereka sempat memutuskan untuk menikah. Ah, Aluna. Sungguh berat ujian hidup yang harus kamu hadapi. Sebagai seseorang yang pernah mencintaimu begitu dalam, aku hanya bisa mendoakan, semoga segala rasa sakit itu digantikan dengan kebahagiaan yang tiada tara oleh yang Maha Kuasa. Sore ini, ibu berbicara banyak padaku. Perihal kejadian-kejadian yang terjadi selama aku tidak ada bersamanya. Tentang kesepiannya, tentang rasa rindunya, dan tentang rasa bersalahnya yang luar biasa. Namun, aku sedikit lega, karena ternyata Rumaisha menjaga dan merawat
POV RayanAku masih menundukkan kepalaku di hadapan Abi yang sepertinya masih mempertimbangkan semuanya setelah aku menceritakan semuanya. Hingga aku mendengar abi berdehem pelan."Nak Rayan. Nak Rayan di sini sudah genap dua tahun. Apa Nak Rayan sudah benar-benar mantap untuk kembali ke Jakarta?" tanya Abi.Aku mengangguk yakin. "Insyaallah, Abi. Saya rindu sekali pada ibu. Saya juga ingin kembali memimpin perusahaan yang dua tahun terakhir ini saya abaikan," jawabku. Terdengar helaan napas pelan dari mulut laki-laki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu. "Baiklah. Kalau begitu, Nak Rayan bisa temui dulu wanita pilihan Abi itu. Ta'aruf saja dulu sambil ceritakan semua masa lalu Nak Rayan. Jika memang kalian berjodoh, insyaallah Alloh akan memudahkan jalannya," tutur Abi bijak. Aku pun mengangguk mengerti. Besoknya, aku benar-benar meninggalkan pesantren yang telah kutempati selama dua tahun itu dengan perasaan haru. Sudah cukup banyak kenangan selama aku tinggal di sana.
POV RayanAku memang sempat terpuruk. Aku memang sempat begitu terjatuh. Di saat aku menerima kenyataan bahwa pernikahanku dengan wanita yang begitu kucinta kandas hanya dalam waktu hitungan bulan saja. Bahkan kami belum sempat mereguk manisnya madu pernikahan. Beruntung, saat aku terpuruk seperti itu, di saat hatiku diliputi kekosongan dan kehampaan, tak sekalipun aku mendatangi tempat-tempat hiburan yang justru akan membawa hidupku jatuh semakin dalam. Suara lantunan adzan yang menggema setiap hari sebanyak lima kali, selalu memberikan rasa tenang yang merasuk ke dalam jiwaku. Aku pun mulai rutin mendatangi rumah Alloh tersebut untuk melaksanakan solat berjamaah lima waktu. Mesjid yang berada tak jauh dari rumahku yang kutempati saat itu. Rumah yang sengaja kubeli untuk Aluna sebagai hadiah pernikahan. Di sanalah aku biasanya menghabiskan waktu. Hingga aku memutuskan untuk memperdalam ilmu agamaku. Agar aku bisa belajar apa itu ilmu ikhlas. Agar aku bisa belajar apa itu qodo dan q