"Nisa.. Nisa.." suara keras ibu mertua Annisa mulai terdengar kembali.
Baru saja Mas Dani berangkat bekerja lima menit yang lalu. Annisa yang sedang menyuapi Shafira di halaman rumah segera menghampiri ibu mertuanya."Ada apa, Bu?" tanya Annisa."Dani sudah dapat gaji bulan ini, kan? Ayo, serahkan gaji Dani ke Ibu!" kata ibu."Tapi Bu, Annisa membutuhkan uang untuk membeli susu dan pampers untuk Shafira," kata Annisa."Sudahlah, tidak perlu membantah! Kamu itu butuh uang untuk apa? Kamu dan suamimu kan menumpang di rumah ini, masa mau gratisan saja? Biaya listrik, air dan belanja itu besar, kalian juga harus ikut menanggungnya!""Iya, Bu. Annisa mengerti, tapi kami juga membutuhkan uang. Shafira sedang kurang sehat, rencananya Annisa mau bawa dia ke dokter," ucap Annisa.Jika Dani ada di rumah, ibu menjadi lembut dan sangat baik. Ibu berpura-pura membantu Annisa memasak, membersihkan rumah, atau mengajak Shafira bermain. Namun jika Dani pergi, ibu meninggalkan semua pekerjaan itu dan memasang wajah penuh amarah pada Annisa."Annisa, Ibu itu lebih berpengalaman daripada kamu. Kamu beri Shafira asi saja sudah cukup, tak perlu pampers, kalau sakit beli obat di warung saja. Kamu harus bisa hemat, suamimu itu bekerja keras. Jangan seenaknya membuang uang!" seru Ibu Dani."Bu, selama ini Annisa juga berhemat, Annisa cuma membeli apa yang benar-benar diperlukan,""Sudah, jangan sok pintar dan membantah Ibu terus. Mana uangnya?"Dengan terpaksa Annisa masuk ke dalam kamar dan mengambil amplop gaji yang masih tertutup rapat. Bulan lalu, Annisa mencoba mengambil terlebih dahulu uang sejumlah yang dia perlukan sebelum menyerahkan amplop gaji itu pada ibu. Namun ibu justru marah besar, dan akhirnya mengambil semua uang Annisa.Annisa menghela nafas panjang, rasanya begitu pahit dan berat menjalani hari-hari ini. Annisa menahan diri untuk tidak menceritakan semuanya pada Dani, supaya tidak terjadi keributan dan pertengkaran.Annisa merasa sedih, bukan karena Annisa tidak bisa membeli pakaian, atau barang lain yang dia inginkan. Namun setiap melihat Shafira semakin kurus, sering menangis dan rewel karena lapar, karena asi Annisa sudah berkurang. Shafira juga sudah berusia dua tahun lebih, sehingga Annisa ingin menyapih Shafira dan mengganti susunya dengan susu formula.Sesekali Annisa ingin membelikan daging, ikan, atau ayam supaya Shafira mendapatkan asupan makanan yang bergizi, tetapi uangnya terbatas. Ibu mertuanya hanya membeli makanan enak untuk dirinya sendiri."Nisa, mana? Lama sekali kamu ini, melamun ya? Jangan bengong terus, itu cucian sudah menumpuk!" ibu berteriak.Annisa keluar dari kamar dan menyerahkan amplop gaji Dani. Seharusnya gaji itu lebih dari cukup untuk mereka sekeluarga. Empat juta lima ratus ribu rupiah, jumlah yang cukup besar.Ibu tersenyum senang melihat amplop tebal di tangannya itu. Lalu ibu membukanya dan mengambil tiga lembar uang dengan nominal seratus ribuan."Ini buat kamu," kata ibu sambil menyerahkan uang itu. Tiga ratus ribu rupiah, hanya itu yang dipegang Annisa sampai akhir bulan nanti. Pilu rasanya hati Annisa, harus menghadapi ibu mertua yang bermuka dua seperti itu.Annisa juga harus mengerjakan pekerjaan rumah dan semuanya harus rapi selesai tepat waktu seperti kemauan mertuanya itu. Sebelum Annisa dan Dani tinggal di rumah itu, ada seorang asisten rumah tangga yang membantu mengerjakan semua pekerjaan rumah. Namun ketika Annisa tinggal di rumah itu, ibu mertuanya langsung memberhentikan asisten rumah tangganya. Tentu semua dilakukan dengan alasan supaya bisa berhemat.Malam itu, Annisa mendekati Dani dan mengungkapkan isi hatinya."Mas, ada yang mau aku bicarakan," kata Annisa sambil berbisik. Annisa takut ibu mertuanya mendengar perkataannya itu."Ada apa, sayang?" tanya Dani."Mas, kita mengontrak rumah lagi saja ya? Atau kita kredit rumah? Aku kemarin melihat iklan rumah yang angsurannya cukup terjangkau,""Sayang, kita kan sudah beberapa kali membicarakan ini. Aku tidak tega meninggalkan ibu sendirian. Ibu kan sudah mulai menua dan sering sakit. Lily juga hanya satu bulan sekali bisa pulang ke rumah. Kamu lihat dan dengar sendiri, kan? Bagaimana ibu memohon pada kita untuk tinggal di sini?" kata Dani.Annisa menghela nafas panjang, sebenarnya ia juga sudah mengetahui bahwa suaminya akan menjawab seperti itu. Ini bukan pertama kalinya Annisa mengungkapkan keinginannya pada suaminya.Lily adalah adik kandung Dani, saat ini Lily sudah kuliah di luar kota. Jadi ibu mertuanya memang mempunyai alasan yang tepat, supaya Dani dan Annisa tinggal di rumahnya."Mas, aku lelah dengan semuanya ini. Aku tidak nyaman tinggal di sini, Mas. Aku rasa semua orang dan keluarga juga ingin mempunyai rumah sendiri. Permintaanku ini cukup wajar, kan?" tanya Annisa sambil menahan tangis."Nis, sebenarnya ada apa? Kenapa kamu begitu bersikeras untuk pergi dari rumah ini? Ibu sangat menyayangi dan memperhatikan kamu dan Shafira. Lalu apa alasannya? Tolong jangan membuatku dalam posisi yang sulit dan harus memilih antara ibuku dan kamu," kata Dani."Mas, kamu tidak bisa memilih antara aku dan ibumu? Baiklah, aku tidak akan mempersulit keadaanmu. Aku dan Shafira yang akan pergi dari rumah ini, kamu boleh tetap di sini, Mas!" kata Annisa sambil meninggalkan Dani yang terdiam dan terpaku di tempatnya.Pagi itu Dani sedang sarapan dan siap berangkat bekerja. Annisa duduk di depannya, tapi tidak mau menatap mata Dani. Annisa masih merasa kesal pada Dani, karena perdebatan semalam. Ibu Dani keluar dari kamar dan membawa kantong plastik yang cukup besar. "Nis, ini kemarin ibu ke pasar, ada baju anak yang bagus. Ibu langsung ingat pada Shafira dan membelinya. Ini ada baju untukmu juga," kata ibu. "Wah, Ibu Baik sekali sama Annisa dan Shafira. Aku ga dibelikan juga, Bu?" tanya Dani berpura-pura kecewa. "Ah, kamu kan bisa membeli sendiri. Kalau Annisa kan jarang keluar dari rumah, jadi waktu Ibu lihat ada baju yang bagus, Ibu beli saja untuknya. Walaupun cuma di rumah Annisa harus tampil cantik juga, ya kan?" kata ibu. Dani tersenyum dan melirik Annisa, seakan ingin mengatakan bahwa ibunya memang baik dan ini salah satu buktinya. Annisa hanya diam dan menyuapi Shafira. "Tuh Nis, sekarang ibu lebih menyayangi kamu daripada aku. Sampai kemanapun ibu pergi, yang diingatnya cuma kamu dan
Annisa dan Shafira sedang ada dalam perjalanan menuju rumah orang tua Annisa. Mereka menggunakan bus untuk sampai ke kota tempat Annisa dilahirkan itu. Di dompet Annisa hanya tersisa uang seratus lima puluh ribu rupiah. Annisa bahkan harus berhemat dan menahan rasa laparnya. Sepanjang perjalanan air mata Annisa terus mengalir, sekalipun ia terus mencoba untuk menegarkan dirinya. Shafira yang baru pertama kali naik bus terlihat begitu senang dan ceria. Senyum Shafira, hanya itu yang mampu membuat Annisa kuat. Ketika hampir sampai ke tempat tujuan, Annisa mengambil ponselnya dan menelepon bapaknya. "Hallo, Pak. Ini Nisa, Nisa sedang dalam perjalanan ke rumah. Setengah jam lagi tolong jemput Nisa di terminal!" kata Annisa. "Oh, kamu mau pulang, Nak? Koq ga bilang dulu? Ya sudah, Bapak jemput kamu,"Annisa tersenyum dan menutup telepon itu, lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Bapak dan ibunya pasti senang bisa bertemu dengan Shafira, karena terakhir kali mereka melihat Sha
"Papa.." kata Shafira sambil membuka tangannya dan menghambur ke pelukan Dani. Shafira terlihat begitu senang dan langsung bergelayut manja di pelukan papanya. Dani terharu melihat Shafira dan segera memeluknya dengan erat. Dani memang begitu dekat dengan Shafira. Melihat adegan itu, Annisa juga menangis sedih. Ia tidak tega melihat Shafira yang begitu merindukan papanya, walaupun hanya berpisah sehari saja. Annisa berpikir, Shafira pasti akan sangat terluka jika harus berpisah dengan papanya."Mas, pulanglah! Aku tidak akan mengubah keputusanku. Aku dan Shafira akan tinggal di sini," kata Annisa tanpa menatap mata Dani."Nis, apa kamu tidak kasihan pada Shafira? Lihat betapa cantik dan lucunya dia, apa kamu tega keluarga kita ini terpecah? Shafira membutuhkan kita, Nis. Dia harus mendapatkan kasih sayang dari keluarga yang utuh, limpahan perhatian dan kasih sayang dari papa dan mamanya," kata Dani dengan lembut. Ibu dan Bapak masuk kembali ke ruang tamu dan duduk bersama Dani dan A
Suatu siang, ketika sedang menggendong dan menenangkan Shafira yang rewel, tanpa sengaja Annisa mendengar sesuatu yang tak pernah ia duga. Ibu mertuanya sedang berbicara dengan seseorang di dekat pagar tembok tetangga rumah itu. Dahlia mengintip dengan hati-hati, ternyata ibu mertuanya sedang berbicara dengan Bu Tia. Bu Tia tinggal di sebelah rumah Dani. "Iya Bu, menantu saya itu pemalas. Annisa itu selalu bangun kesiangan, sampai saya yang harus menyiapkan sarapan untuk suaminya yang akan berangkat bekerja, mengurus dan memandikan anaknya, dan bersih-bersih rumah. Maklumlah, mungkin dari dulu Annisa itu tidak dididik dengan benar sama orang tuanya," kata ibu. "Wah, menantu begitu harus ditegur loh, Bu. Jangan dibiarkan saja seperti itu!" kata Bu Tia. "Saya ini sudah berusaha menasehati dia baik-baik, Bu. Kemarin saya menegur Annisa, tapi dia malah pergi dari rumah. Saya jadi bingung dan serba salah. Saya tidak mau ada keributan di rumah," kata ibu mertua terdengar bijak. "Ya ampu
Selama beberapa hari Annisa melakukan pembalasan pada ibu mertuanya. Annisa membalikkan perlakuan mertuanya itu dengan cara yang sama. Annisa tampak manis di depan Dani, melayani Dani dan ibu mertuanya dengan baik. Namun ketika Dani sudah berangkat bekerja, Annisa masuk ke dalam kamar dan bermain bersama Shafira. Annisa tidak mau memasak atau membersihkan rumah seperti biasanya. Untuk makan siang, Annisa akan memesan makanan untuk dirinya sendiri, atau pergi keluar rumah bersama Shafira. Malam itu, Ibu Dani mendekati Dani dan mengadukan perbuatan Annisa padanya. "Dan, Ibu lelah sekali," kata Ibu Dani. "Kenapa, Bu? Apa kita mencari asisten rumah tangga lagi saja?" kata Dani. "Dan, istrimu itu beberapa hari ini tidak mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Ibu harus memasak, mencuci, menyetrika pakaian, menyapu, dan lain-lain. Ibu tidak tahan lagi melihat istrimu itu. Dia tidak membantu, tapi malah bermalas-malasan." kata Ibu Dani. Dani terkejut mendengar perkataan ibunya. Dani
Lily dan Ibu Dani pergi keluar dari rumah sampai menjelang malam. Dani dan Annisa sedang makan malam di meja makan ketika Lily dan ibunya kembali ke rumah. Namun Annisa terkejut melihat Ibu Dani dan Lily. Mereka datang dengan banyak plastik belanjaan. Lily dan ibunya juga terlihat cantik dengan tatanan rambut berbeda. Rambut Lily dicat dengan warna yang cukup terlihat. "Hai Mas, Mbak, ini Lily dan ibu membawakan makanan," kata Lily sambil meletakkan satu plastik martabak telur di meja makan. "Wah, kalian habis belanja?" tanya Dani. "Iya, Mas. Kami baru saja dari salon, dan ke mall. Banyak pakaian model terbaru dan sedang diskon nih, Mas," kata Lily dengan senyum cerianya. "Nah, ini baru namanya keluarga. Kalau membeli makanan untuk dimakan semua, bukan untuk dinikmati sendiri," kata Ibu Dani sambil melirik Annisa. Annisa tetap makan dengan tenang dan berusaha tidak terpancing. "Masa ada yang begitu, Bu?" tanya Lily berpura-pura tidak tahu. "Ada donk, orang yang egois dan tidak
Annisa berusaha merelakan perhiasannya yang dijual oleh Lily, walaupun hatinya merasa kecewa dan marah. 'Aku harus segera meminta Mas Dani agar kami bisa pindah dari rumah ini secepatnya. Semakin lama tinggal di rumah ini membuat aku muak. Ibu dan Lily semakin pintar bersandiwara dan memanfaatkan aku. Aku harus berhati-hati pada mereka,' kata Annisa dalam hatinya. Saat Annisa sedang menemani Shafira di kamar, tiba-tiba terdengar suara teriakan Lily yang sangat mengejutkan. "Tolong.. Mbak Nisa, tolong!" Annisa segera berlari ke dapur, arah suara teriakan itu."Ada apa, Li?" tanya Annisa. "Ibu jatuh, Mbak. Mbak bantuin ibu dulu, ya. Aku mau minta tolong tetangga," kata Lily. Annisa segera menghampiri ibu mertuanya yang sedang dalam posisi duduk di dekat lemari dapur. Tetapi anehnya, saat Annisa mengulurkan tangan dan mencoba membantu ibu untuk berdiri, ibu justru berteriak dan menolak. "Aduh.. Sakit, jangan Nis. Jangan sakiti ibu! Ibu mohon sama kamu, Nis," kata ibu dengan berura
"Itu tidak mungkin, Li. Annisa tidak akan melakukan itu," kata Dani tak percaya. "Mas sudah lihat sendiri video tadi, kan? Apa Mas masih membela perempuan itu daripada ibu kandung Mas sendiri?" tanya Lily. Dani segera berlari ke kamarnya dan menjumpai Annisa. Dani langsung mencengkeram lengan Annisa dengan emosi. Annisa berusaha melepaskan lengannya dari Dani, tetapi pria itu semakin erat mencengkeram Annisa. Annisa mulai merasa lengannya perih, kuku Dani mulai menyisakan gurat luka di lengannya. Namun bagi Annisa, sikap dan kecurigaan Dani lebih menyakitkan daripada luka di lengannya itu. "Nisa, apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa berbuat sejahat itu pada ibu?" nada suara Dani meninggi. "Mas, aku tidak berbuat apa-apa. Yang sebenarnya terjadi, bukan seperti yang terlihat di video itu," kata Annisa. "Tapi video itu sudah membuktikan semuanya, Nis. Kenapa kamu tega melakukan itu pada ibu kandungku?" kata Dani dengan marah. "Sudah aku bilang aku tidak melakukan apapun, Mas!" jawab
Lily sempat mengunjungi Annisa dan ingin mengambil Bagas kembali. Namun tentu saja Bagas yang tidak pernah mengenal Lily langsung menolak. Bagas menangis dan berteriak, lalu bersembunyi di balik pintu.Lily menatap Bagas yang kini sudah bertumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar. "Mbak Nisa, aku kangen sama Bagas. Aku ingin menebus kesalahanku dan merawatnya," kata Lily. "Kalau kamu menyayangi Bagas, biarkan dia tinggal bersamaku, Li. Aku gak akan mengijinkan kamu membawanya, karena itu hanya akan membuatnya terluka. Dia bahkan gak mengenal kamu, Li," ujar Annisa. Lily memejamkan matanya dan diam beberapa saat. "Dulu kamu pergi begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana Bagas bisa hidup. Kamu asyik dengan duniamu sendiri dan gak pernah menanyakan kabarnya. Sekarang kamu kembali dan mengatakan ingin membawanya? Aku akan berjuang untuk mempertahankan Bagas tetap bersamaku. Saat ini dia sudah menjadi anakku, adiknya Shafira," kata Annisa dengan tegas. "Bagas, ini mama kandungmu, Saya
Pagi itu Dani kembali melangkahkan kakinya ke minimarket tempat ia menjadi tukang parkir. Ia berusaha tetap bersemangat, sekalipun kondisi ini bertentangan dengan harapannya. Sebentar lagi Winda akan melahirkan dan membutuhkan biaya. Dani biasa bekerja dari pagi sampai sore. Sekalipun ia memakai topi dan masker agar wajahnya tidak mudah dikenali, tetapi akhirnya beberapa tetangga melihat dirinya saat sedang bekerja. Namun kini Dani pasrah, ia tidak peduli lagi dengan ucapan orang-orang. Bahkan ada yang mengedarkan berita bahwa Dani, papa Shafira bekerja sebagai tukang parkir. Selama Shafira ada di rumah Ibu Dani, rumah itu lebih ramai dari biasanya. Beberapa tetangga datang untuk berfoto bersama Shafira. Hari-hari Shafira menjadi sangat melelahkan. Menjelang siang, Ibu Dani mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia segera membukakan pintu dan melihat punggung seorang gadis yang membelakanginya. "Cari siapa?" tanya Ibu Dani. Wanita berambut panjang dan pirang itu berbalik badan.
Mendengar berita tentang Lily, Surya segera pulang dan menjemput Annisa. Mereka langsung menuju ke rumah sakit dengan perasaan yang tak menentu. Geram, kesal, cemas, dan amarah memenuhi hati Annisa dalam perjalanan ke rumah sakit itu. "Mengapa mereka gak memberi tahu keadaan Shafira pada kita, Mas?" tanya Annisa dalam kegeraman. "Tenang, Sayang, beruntungnya jaman sekarang berita cepat menyebar melalui media sosial, sehingga kita bisa mengetahui keadaan Shafira dan dimana dia sekarang," jawab Surya sambil tetap fokus mengemudi."Aku gak akan pernah mengijinkan Mas Dani dan ibunya untuk menyentuh Shafira lagi!" ucap Annisa. Surya sangat memaklumi rasa sakit dan kemarahan yang sedang melanda Annisa. Annisa adalah wanita yang mengandung dan membesarkan Shafira dengan penuh cinta, sehingga wajar ia merasa marah ketika melihat anaknya sakit dan menderita seperti itu. Annisa dan Surya akhirnya tiba di rumah sakit Permata. Annisa sudah tidak sabar, ia ingin segera berlari menuju kamar p
Dani sangat terkejut ketika melihat Shafira ada di rumah ibunya. Ia langsung memeluk Shafira dan menumpahkan rasa rindu yang sudah lama terpendam dalam hatinya. "Fira, Papa kangen sekali," ucap Dani. "Pa, Fira mau pulang ke rumah Mama," jawab Shafira sambil menangis. "Bu, kenapa Fira bisa ada di sini?" tanya Dani."Memangnya kenapa? Itu yang kamu mau, kan? Ibu menjemputnya tadi, karena kamu gak punya usaha dan inisiatif untuk mengambil anakmu kembali," jawab ibu. Shafira terus menangis tanpa henti sejak tiba di rumah itu. Berbagai cara sudah Dani lakukan untuk menenangkan Shafira, tetapi ia tetap rewel dan memanggil-manggil nama Annisa. Dani memberi isyarat pada Winda untuk mengajak Shafira ke kamar, karena ia ingin lebih banyak berbincang dengan ibunya. Winda menggandeng tangan Shafira dan membujuknya masuk ke dalam kamar. Dani mulai beralih menatap ibunya dan berbicara dengan volume suara yang tidak terlalu keras. "Bu, apa Ibu mengambil Shafira dengan paksa? Kasihan Annisa dan
"Apa?! Kamu jadi tukang parkir? Memalukan! Apa gak ada pekerjaan lain?" seru Ibu Dani. "Kalau ada pekerjaan lain yang lebih baik, aku pasti mau, Bu. Masalahnya aku sudah mencoba melamar pekerjaan ke banyak tempat lain, tapi sampai sekarang gak ada jawaban. Aku rasa sementara gak masalah kalau aku menjadi tukang parkir, yang terpenting itu halal dan kita bisa makan," jawab Dani. "Ibu gak mau! Apa kata orang lain? Keluarga kita ini terhormat, kamu juga sudah Ibu sekolahkan tinggi, masa hanya menjadi tukang parkir?" oceh Ibu Dani. Winda berusaha memberanikan diri untuk bicara, menengahi keributan itu. "Bu, ini hanya untuk sementara. Kita doakan saja Mas Dani cepat mendapat pekerjaan yang lebih baik. Aku setuju pendapat Mas Dani, yang penting sekarang kita bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari,""Siapa yang minta pendapatmu? Pokoknya Ibu mau kamu mengerjakan pekerjaan lain, bekerja di kantor dan punya gaji tetap!" Winda tersentak dan langsung kembali bungkam. Sementara itu Dani hanya
Sambil mengemudi mobil, Surya melirik Annisa yang banyak diam sejak pertemuan dengan Dani dan istrinya tadi. Annisa terlihat melamun dan berpikir, sesekali ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. "Sayang, ada apa? Apa kamu masih merasa sakit hati melihat Dani bersama wanita lain?" tanya Dani. "Ah, bukan begitu, Mas. Aku hanya sedikit terkejut tadi. Tapi aku bersyukur, karena aku dan Mas Dani sudah menemukan pasangan baru dan kebahagiaan masing-masing," jawab Annisa. "Kalau kamu masih merasa aneh, aku memakluminya. Kamu dan Dani cukup lama menikah, jadi wajar jika tetap ada kenangan di antara kalian berdua," ujar Surya. Annisa mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Surya. Ia berkata lembut, "Mas Dani adalah bagian dari masa laluku. Sekarang aku punya kamu, Mas. Kebahagiaanku sempurna karena ada kamu dan anak-anak kita,""Terimakasih, Sayang. Kamu juga harus tahu, bahwa aku sangat bahagia memiliki kalian," ujar Surya. "Oh ya, bagaimana kalau kita percepat saja
Dani mengakhiri panggilan telepon itu dan terdiam beberapa saat. Setelah kembali menguasai dirinya, ia berkata pada Winda, "Win, kita ke rumah sakit sekarang. Aku sudah mendapatkan pinjaman uang,""Uang dari mana, Mas? Apa kamu meminjamnya?" tanya Winda. "Iya, terpaksa aku meminjam pada mantan istriku. Sudahlah, yang terpenting kamu bisa dirawat di rumah sakit," jawab Dani. Dani mengantarkan Winda ke rumah sakit, mengurus semua proses administrasi dan menemaninya sampai masuk ke kamar perawatan. Setelah itu Dani berpamitan untuk mengambil pakaian Winda di rumah dan mengembalikan mobil yang ia pinjam pada Pak Imron. Ibu Dani melihat Dani memasukkan beberapa pakaian Winda ke dalam tas ranselnya. Ia bertanya, "Dan, apa Winda jadi dirawat di rumah sakit?""Iya, Bu," jawab Dani. "Dari mana kamu mendapatkan uang?" tanya Ibu Dani lagi. "Aku terpaksa meminjam pada Annisa, Bu. Aku gak tahu bisa mendapatkan uang dari mana lagi," jawab Dani. Ibu Dani duduk di tempat tidur di dalam kamar it
"Bu Winda harus dirawat di rumah sakit, Pak. Ini demi keselamatan ibu dan bayinya," kata dokter setelah memeriksa Winda. "Apa?! Memangnya istri saya kenapa, Dok? Apa tidak bisa dirawat di rumah saja?" tanya Dani. "Bu Winda sepertinya mengalami kontraksi dan harus beristirahat total di tempat tidur. Dia saat ini tidak boleh terlalu lelah dan memaksakan diri. Jika tidak, bisa berbahaya untuk bayi yang sedang dikandungnya. Janin Ibu bisa gugur nantinya. Kita juga harus memeriksa Bu Winda lebih mendetail, dan peralatan di rumah sakit pastinya lebih memadai. Secara fisik, sepertinya Bu Winda kurang mendapatkan asupan atau gizi yang diperlukan, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini," beber dokter muda itu. "Dasar merepotkan! Ibu sudah sering mengingatkan kamu, jangan malas makan! Kalau sudah begini bagaimana? Dari mana kita mendapat uang untuk biaya rumah sakit?" seru Ibu Dani sambil menoyor kepala Winda. Dokter yang memeriksa sempat terkejut melihat Ibu Dani tak segan mengoceh dan me
"Nis, bukankah itu Dani?" tanya Surya. "Iya, Mas," jawab Annisa sambil melihat ke arah mantan suaminya yang berlari menjauh. Surya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padanya? Apa sekarang dia menjadi tukang parkir?" "Aku juga gak tahu, Mas. Sejak kami berpisah, aku sudah gak mendengar kabarnya lagi," Annisa juga hampir tidak mempercayai apa yang dilihatnya, ia tidak habis pikir, apa yang sudah terjadi pada Dani dan keluarganya. Namun Annisa tidak terlalu peduli lagi, baginya Dani adalah bagian dari masa lalunya. Annisa sudah menutup lembaran kelam masa lalunya itu. Kini Annisa sudah membuka lembaran baru, memiliki jalan hidupnya sendiri bersama Surya dan anak-anaknya. ---Dani terengah-engah dan berhenti di bawah sebuah pohon rindang. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan mantan istrinya dalam kondisi seperti ini. Dani merasa malu karena hidupnya berubah total sejak Annisa meninggalkan dirinya. 'Nis, apa kamu sudah menikah dengan Surya? Sekarang aku sudah menikah dengan W