Selama beberapa hari Annisa melakukan pembalasan pada ibu mertuanya. Annisa membalikkan perlakuan mertuanya itu dengan cara yang sama. Annisa tampak manis di depan Dani, melayani Dani dan ibu mertuanya dengan baik. Namun ketika Dani sudah berangkat bekerja, Annisa masuk ke dalam kamar dan bermain bersama Shafira. Annisa tidak mau memasak atau membersihkan rumah seperti biasanya. Untuk makan siang, Annisa akan memesan makanan untuk dirinya sendiri, atau pergi keluar rumah bersama Shafira.
Malam itu, Ibu Dani mendekati Dani dan mengadukan perbuatan Annisa padanya. "Dan, Ibu lelah sekali," kata Ibu Dani. "Kenapa, Bu? Apa kita mencari asisten rumah tangga lagi saja?" kata Dani. "Dan, istrimu itu beberapa hari ini tidak mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Ibu harus memasak, mencuci, menyetrika pakaian, menyapu, dan lain-lain. Ibu tidak tahan lagi melihat istrimu itu. Dia tidak membantu, tapi malah bermalas-malasan." kata Ibu Dani. Dani terkejut mendengar perkataan ibunya. Dani tahu istrinya bukan wanita yang malas mengerjakan pekerjaan rumah, pasti ada sesuatu yang membuat Annisa berubah seperti itu. "Sayang, coba kemari sebentar, Mas mau bicara," kata Dani. "Ada apa, Mas?" tanya Annisa sambil duduk dan memangku Shafira. "Nis, kata ibu beberapa hari ini kamu tidak mau membantu ibu? Apa benar begitu?" tanya Dani. "Mas, aku hanya melakukan tepat seperti yang Ibu katakan. Coba Mas tanya pada ibu, apa yang dia katakan pada Bu Tia dan mungkin orang-orang lain," kata Annisa. "Maksudnya apa sih, Nis? Sebenernya ada apa ini?" tanya Dani. "Mas, ibu mengatakan pada Bu Tia, bahwa aku ini pemalas, tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah, selalu bangun siang, berfoya-foya dengan uang darimu, selalu belanja dan membeli makanan enak untuk diriku sendiri. Kalau tidak percaya, Mas tanya langsung saja pada Bu Tia. Mungkin saja ada perkataan ibu yang terlewat dan belum aku dengar. Jadi apa aku salah kalau melakukan semua yang ibu katakan itu? Aku hanya membantu ibu, supaya ibu tidak menjadi seorang pembohong," kata Annisa. "Dan, itu tidak benar, Annisa sudah memfitnah Ibu, Nak," kata Ibu Dani. "Kalau begitu, Dani akan bertanya pada Bu Tia," kata Dani sambil bangkit berdiri dan seolah akan berjalan ke rumah Bu Tia. "Eh, Dan, tunggu. Mm.. Jangan perpanjang masalah ini lagi, lupakan saja!" kata Ibu Dani. "Jadi benar apa yang Annisa katakan tadi, Bu? Ibu menceritakan semua itu pada para tetangga? Ibu menjelek-jelekkan Annisa? Untuk apa sih, Bu? Apa tujuan Ibu berbuat begitu?" tanya Dani. "Maaf, Nak. Ibu tidak sengaja melakukannya," kata Ibu Dani. "Ah, sudahlah! Aku lelah, Bu," kata Dani. ---Keesokan harinya, Lily pulang ke rumah. Lily seorang gadis yang cantik dan suka berpakaian seksi. Selama ini Ibu Dani sangat menyayangi dan memanjakan Lily. Ibu sangat senang jika Lily pulang ke rumah. Hubungan Annisa dengan Lily tidak terlalu dekat. Jika pulang ke rumah, Annisa jarang berbicara dengan akrab dengan Lily. Karakter Lily sedikit mirip dengan ibunya, suka mengambil keuntungan dari orang lain. Selama ini Lily hanya mendekati Annisa jika sedang memerlukan sesuatu. Tok.. Tok.. Tok.. Annisa membukakan pintu kamarnya, ia melihat Lily berdiri dan tersenyum di depan pintu kamarnya. "Mbak, aku boleh bicara sebentar?" tanya Lily. Annisa mempersilahkan Lily masuk ke dalam kamarnya. Lily duduk di tempat tidur dan berusaha mendekati Shafira. Namun karena Shafira jarang bertemu dengan Lily, Shafira segera menjauhi Lily dan memeluk Annisa dengan erat. Sesekali Shafira mengintip Lily yang duduk di hadapan Annisa. "Ada apa, Li?" tanya Annisa. "Mbak, aku mau minta tolong," kata Lily dengan mimik wajah yang berubah seketika. "Minta tolong apa?" tanya Annisa. "Mbak, aku membutuhkan uang untuk biaya kuliahku. Bisa ga aku meminjam uang?" kata Lily. "Untuk apa Li? Bukannya biaya kuliahmu sudah dibayar? Seingat Mbak, Mas Dani sudah memberi uang untuk itu," kata Annisa. "Iya, Mbak. Tapi uangnya masih kurang. Sebenarnya kemarin aku ada keperluan mendesak, tapi aku ga berani meminta uang lagi ke ibu atau Mas Dani, jadi aku pakai sedikit uang itu. Lalu sekarang aku membutuhkan uang untuk membeli buku juga, Mbak," kata Lily. "Jadi kurang berapa uangnya?" tanya Annisa. "Satu juta lima ratus ribu, Mbak," kata Lily dengan santainya. Seolah-olah uang sejumlah itu bukanlah jumlah yang besar. "Hah? Banyak sekali? Mbak dan Mas Dani mana ada uang segitu, Li?" kata Annisa. "Tolonglah, Mbak. Kali ini saja, kalau uang itu tidak dibayar tiga hari lagi, aku bisa dikeluarkan dari kampus. Aku ga akan berani menghadapi ibu dan Mas Dani, Mbak," kata Lily dengan ekspresi wajahnya sedih dan hampir menangis. "Lalu Mbak harus cari dari mana? Mbak kan ga bekerja, Mas Dani juga belum gajian,""Lalu aku harus bagaimana, Mbak? Apa aku pasrah saja dikeluarkan dari kampus dan tidak bisa melanjutkan kuliah?" kata Lily. "Mbak, aku pinjam perhiasan Mbak dulu, ya? Aku janji akan ganti kalau sudah bekerja nanti," kata Lily dengan serius. Dengan berat hati Annisa melepaskan anting dan cincin yang melingkar di jari manisnya, lalu menyerahkan semua itu pada Lily. "Ini, cuma ini yang Mbak Nisa punya. Mbak berharap kamu kuliah dengan sungguh-sungguh dan bertanggungjawab, jangan menggunakan uang kuliah untuk hal lain yang tidak terlalu dibutuhkan," kata Annisa. "Iya, terimakasih banyak, Mbak. Aku ga akan lupakan kebaikan Mbak Nisa ini. Tapi tolong, jangan bilang ini sama Mas Dani. Lily takut Mas Dani akan marah, Mbak," kata Lily. "Baiklah, Mbak ga akan bilang sama Mas Dani," kata Annisa.Lily dan Ibu Dani pergi keluar dari rumah sampai menjelang malam. Dani dan Annisa sedang makan malam di meja makan ketika Lily dan ibunya kembali ke rumah. Namun Annisa terkejut melihat Ibu Dani dan Lily. Mereka datang dengan banyak plastik belanjaan. Lily dan ibunya juga terlihat cantik dengan tatanan rambut berbeda. Rambut Lily dicat dengan warna yang cukup terlihat. "Hai Mas, Mbak, ini Lily dan ibu membawakan makanan," kata Lily sambil meletakkan satu plastik martabak telur di meja makan. "Wah, kalian habis belanja?" tanya Dani. "Iya, Mas. Kami baru saja dari salon, dan ke mall. Banyak pakaian model terbaru dan sedang diskon nih, Mas," kata Lily dengan senyum cerianya. "Nah, ini baru namanya keluarga. Kalau membeli makanan untuk dimakan semua, bukan untuk dinikmati sendiri," kata Ibu Dani sambil melirik Annisa. Annisa tetap makan dengan tenang dan berusaha tidak terpancing. "Masa ada yang begitu, Bu?" tanya Lily berpura-pura tidak tahu. "Ada donk, orang yang egois dan tidak
Annisa berusaha merelakan perhiasannya yang dijual oleh Lily, walaupun hatinya merasa kecewa dan marah. 'Aku harus segera meminta Mas Dani agar kami bisa pindah dari rumah ini secepatnya. Semakin lama tinggal di rumah ini membuat aku muak. Ibu dan Lily semakin pintar bersandiwara dan memanfaatkan aku. Aku harus berhati-hati pada mereka,' kata Annisa dalam hatinya. Saat Annisa sedang menemani Shafira di kamar, tiba-tiba terdengar suara teriakan Lily yang sangat mengejutkan. "Tolong.. Mbak Nisa, tolong!" Annisa segera berlari ke dapur, arah suara teriakan itu."Ada apa, Li?" tanya Annisa. "Ibu jatuh, Mbak. Mbak bantuin ibu dulu, ya. Aku mau minta tolong tetangga," kata Lily. Annisa segera menghampiri ibu mertuanya yang sedang dalam posisi duduk di dekat lemari dapur. Tetapi anehnya, saat Annisa mengulurkan tangan dan mencoba membantu ibu untuk berdiri, ibu justru berteriak dan menolak. "Aduh.. Sakit, jangan Nis. Jangan sakiti ibu! Ibu mohon sama kamu, Nis," kata ibu dengan berura
"Itu tidak mungkin, Li. Annisa tidak akan melakukan itu," kata Dani tak percaya. "Mas sudah lihat sendiri video tadi, kan? Apa Mas masih membela perempuan itu daripada ibu kandung Mas sendiri?" tanya Lily. Dani segera berlari ke kamarnya dan menjumpai Annisa. Dani langsung mencengkeram lengan Annisa dengan emosi. Annisa berusaha melepaskan lengannya dari Dani, tetapi pria itu semakin erat mencengkeram Annisa. Annisa mulai merasa lengannya perih, kuku Dani mulai menyisakan gurat luka di lengannya. Namun bagi Annisa, sikap dan kecurigaan Dani lebih menyakitkan daripada luka di lengannya itu. "Nisa, apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa berbuat sejahat itu pada ibu?" nada suara Dani meninggi. "Mas, aku tidak berbuat apa-apa. Yang sebenarnya terjadi, bukan seperti yang terlihat di video itu," kata Annisa. "Tapi video itu sudah membuktikan semuanya, Nis. Kenapa kamu tega melakukan itu pada ibu kandungku?" kata Dani dengan marah. "Sudah aku bilang aku tidak melakukan apapun, Mas!" jawab
Ternyata Lily dan ibunya memang tidak pernah menyukai Annisa. Ibu masih geram dengan tindakan Annisa yang melaporkan dirinya pada Dani, sehingga ibu sengaja bersekongkol dengan Lily untuk membalas Annisa. "Hahaha.. Akhirnya kita berhasil mengusir Mbak Annisa dari rumah ini, Bu," kata Lily. "Sst.. Jangan bicara terlalu keras! Nanti Dani mendengarnya," kata ibu Dani. "Ternyata ibu pintar berakting juga," kata Lily. "Kamu juga, Li. Akhirnya Ibu bisa membalas perbuatan Annisa. Kita tinggal menunggu waktu dan membujuk Dani untuk menceraikan istrinya itu. Ibu sudah ga sabar, ingin mencarikan istri untuk Dani. Istri yang lebih cantik dan kaya, punya usaha sendiri mungkin, sehingga kita tidak kekurangan uang," kata ibu. "Setuju, Bu. Oya, bicara soal uang, aku membutuhkan uang, Bu. Ibu harus kasih uang jajanku lebih banyak, karena tadi aku membantu Ibu berakting dan membuat skenario ini," kata Lily. "Kamu kan masih pegang uang dari hasil menjual perhiasan Annisa, masa mau minta uang lagi
Lily keluar dari kamar Dani dan kembali ke kamar ibu. Lily masuk ke kamar ibu dengan senang dan mencium kartu ATM di tangannya. "Aku berhasil mendapatkan uang, Bu," kata Lily sambil memamerkan kartu ATM Dani di tangannya. Ibu tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Dasar kamu, Li! Kakak sendiri juga dibohongi," kata ibu. "Kan ibu yang mengajariku, harus bisa mendapatkan semua yang kita inginkan," kata Lily dengan bangga. ---Annisa pergi dari rumah Dani dengan berjuta rasa di hatinya. Annisa merasa sedih, kecewa, marah, kesal, dan bingung. Dani, suaminya sendiri tidak mempercayai perkataannya. Semua orang hanya melihat dan langsung mempercayai video itu. Karena hari sudah gelap dan pikiran Annisa yang masih kacau, Annisa berpikir akan terlalu beresiko jika ia harus pulang ke rumah orang tuanya sekarang. Annisa berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk menelepon Karina, saudara sepupunya. Rumah Karina berjarak satu jam dari rumah Dani. Karina belum menikah, dan mempunyai sebuah usah
Annisa dan Karina berhasil menemukan lokasi yang tepat untuk membuka usaha laundry mereka. Annisa mengurus semuanya dengan cepat, mulai dari mempersiapkan kios yang akan dipakai, membeli mesin cuci dan alat-alat yang dibutuhkan, mencari karyawan, dan memesan papan nama dan brosur untuk promosi. Lokasi laundry mereka ini masih di sekitar perumahan yang padat penduduk dan tempat kos. Banyak mahasiswa dan karyawan kantor yang tinggal di lingkungan itu. Karina memang sangat jeli melihat peluang bisnis dan lokasi yang mendukung usaha mereka. Annisa sedang menyapu ruangan kios dan mempersiapkan tempat itu. Annisa mengerjakan semuanya dengan bersemangat bersama dengan beberapa orang karyawan. Dua hari lagi tempat laundry ini akan dibuka. Tidak lupa Annisa meminta doa restu dan dukungan dari bapak dan ibunya. Sekarang ini, Annisa belum bisa menemui bapak dan ibu. Annisa juga belum bisa menceritakan semua persoalan rumah tangganya, karena takut akan membebani pikiran orang tuanya. Saat ini
"Sial!! Kenapa bisa ketemu dia di sini?" kata Lily. "Ada apa sih sayang? Kenapa kamu lari ketakutan begitu?" tanya Om Darwin. Om Darwin dan Lily sudah menjalin hubungan gelap selama beberapa bulan. Om Darwin sudah memiliki seorang istri dan tiga orang anak, yang mungkin usianya hampir sebaya dengan Lily. "Itu Om, tadi ada teman sekolah Lily dulu. Lily kaget, jadi langsung lari deh," kata Lily berusaha tersenyum. "Oo, tapi temanmu itu cantik juga. Kapan-kapan boleh kenalkan dia sama Om, ya," kata Om Darwin. Lily hanya terdiam dan tersenyum kecut. 'Dasar! Sudah tua, jelek, gendut, masih genit saja! Kalau bukan karena uangnya banyak dan ga pelit, malas juga aku dekat-dekat dengan Om Darwin ini. Bikin aku malu saja kalau bertemu teman atau orang yang mengenal aku. Sudah tua, banyak maunya, ga tahu diri!" Lily memaki Om Darwin di dalam hatinya. Om Darwin memeluk Lily dari belakang dan menciumi rambut Lily yang wangi. Lily sebenarnya merasa risih setiap kali Om Darwin menyentuhnya. A
Annisa menatap layar ponselnya dengan sedih. Sudah beberapa minggu berlalu sejak kepergiannya dari rumah Dani. Namun belum satu kalipun Dani menghubunginya atau sekedar menanyakan tentang Shafira. Di malam hari saat akan tidur, seringkali Shafira menangis dan menanyakan tentang papanya. Annisa sangat mengerti bahwa Shafira merindukan papanya itu.Namun Annisa menahan dirinya, ia tidak ingin menghubungi Dani terlebih dahulu, karena itu akan menunjukkan bahwa ia mengakui kesalahannya. Annisa mencoba bertahan, memberikan pengertian pada Shafira, atau mengalihkan perhatiannya dengan mengajak bermain atau membacakan buku cerita. Sore itu, ponsel Annisa berdering, Annisa segera mengambil HP dari dalam tas nya dan melihat nama Dani di layar. "Hallo, Nis. Dimana kamu?" tanya Dani. "Aku ada di suatu tempat, Mas. Aku tidak bisa memberitahukan padamu," kata Annisa. "Aku sudah mencoba datang ke rumah orang tuamu, tetapi kamu tidak ada di sana. Orang tuamu juga tidak mau memberitahu aku dimana
Lily sempat mengunjungi Annisa dan ingin mengambil Bagas kembali. Namun tentu saja Bagas yang tidak pernah mengenal Lily langsung menolak. Bagas menangis dan berteriak, lalu bersembunyi di balik pintu.Lily menatap Bagas yang kini sudah bertumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar. "Mbak Nisa, aku kangen sama Bagas. Aku ingin menebus kesalahanku dan merawatnya," kata Lily. "Kalau kamu menyayangi Bagas, biarkan dia tinggal bersamaku, Li. Aku gak akan mengijinkan kamu membawanya, karena itu hanya akan membuatnya terluka. Dia bahkan gak mengenal kamu, Li," ujar Annisa. Lily memejamkan matanya dan diam beberapa saat. "Dulu kamu pergi begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana Bagas bisa hidup. Kamu asyik dengan duniamu sendiri dan gak pernah menanyakan kabarnya. Sekarang kamu kembali dan mengatakan ingin membawanya? Aku akan berjuang untuk mempertahankan Bagas tetap bersamaku. Saat ini dia sudah menjadi anakku, adiknya Shafira," kata Annisa dengan tegas. "Bagas, ini mama kandungmu, Saya
Pagi itu Dani kembali melangkahkan kakinya ke minimarket tempat ia menjadi tukang parkir. Ia berusaha tetap bersemangat, sekalipun kondisi ini bertentangan dengan harapannya. Sebentar lagi Winda akan melahirkan dan membutuhkan biaya. Dani biasa bekerja dari pagi sampai sore. Sekalipun ia memakai topi dan masker agar wajahnya tidak mudah dikenali, tetapi akhirnya beberapa tetangga melihat dirinya saat sedang bekerja. Namun kini Dani pasrah, ia tidak peduli lagi dengan ucapan orang-orang. Bahkan ada yang mengedarkan berita bahwa Dani, papa Shafira bekerja sebagai tukang parkir. Selama Shafira ada di rumah Ibu Dani, rumah itu lebih ramai dari biasanya. Beberapa tetangga datang untuk berfoto bersama Shafira. Hari-hari Shafira menjadi sangat melelahkan. Menjelang siang, Ibu Dani mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia segera membukakan pintu dan melihat punggung seorang gadis yang membelakanginya. "Cari siapa?" tanya Ibu Dani. Wanita berambut panjang dan pirang itu berbalik badan.
Mendengar berita tentang Lily, Surya segera pulang dan menjemput Annisa. Mereka langsung menuju ke rumah sakit dengan perasaan yang tak menentu. Geram, kesal, cemas, dan amarah memenuhi hati Annisa dalam perjalanan ke rumah sakit itu. "Mengapa mereka gak memberi tahu keadaan Shafira pada kita, Mas?" tanya Annisa dalam kegeraman. "Tenang, Sayang, beruntungnya jaman sekarang berita cepat menyebar melalui media sosial, sehingga kita bisa mengetahui keadaan Shafira dan dimana dia sekarang," jawab Surya sambil tetap fokus mengemudi."Aku gak akan pernah mengijinkan Mas Dani dan ibunya untuk menyentuh Shafira lagi!" ucap Annisa. Surya sangat memaklumi rasa sakit dan kemarahan yang sedang melanda Annisa. Annisa adalah wanita yang mengandung dan membesarkan Shafira dengan penuh cinta, sehingga wajar ia merasa marah ketika melihat anaknya sakit dan menderita seperti itu. Annisa dan Surya akhirnya tiba di rumah sakit Permata. Annisa sudah tidak sabar, ia ingin segera berlari menuju kamar p
Dani sangat terkejut ketika melihat Shafira ada di rumah ibunya. Ia langsung memeluk Shafira dan menumpahkan rasa rindu yang sudah lama terpendam dalam hatinya. "Fira, Papa kangen sekali," ucap Dani. "Pa, Fira mau pulang ke rumah Mama," jawab Shafira sambil menangis. "Bu, kenapa Fira bisa ada di sini?" tanya Dani."Memangnya kenapa? Itu yang kamu mau, kan? Ibu menjemputnya tadi, karena kamu gak punya usaha dan inisiatif untuk mengambil anakmu kembali," jawab ibu. Shafira terus menangis tanpa henti sejak tiba di rumah itu. Berbagai cara sudah Dani lakukan untuk menenangkan Shafira, tetapi ia tetap rewel dan memanggil-manggil nama Annisa. Dani memberi isyarat pada Winda untuk mengajak Shafira ke kamar, karena ia ingin lebih banyak berbincang dengan ibunya. Winda menggandeng tangan Shafira dan membujuknya masuk ke dalam kamar. Dani mulai beralih menatap ibunya dan berbicara dengan volume suara yang tidak terlalu keras. "Bu, apa Ibu mengambil Shafira dengan paksa? Kasihan Annisa dan
"Apa?! Kamu jadi tukang parkir? Memalukan! Apa gak ada pekerjaan lain?" seru Ibu Dani. "Kalau ada pekerjaan lain yang lebih baik, aku pasti mau, Bu. Masalahnya aku sudah mencoba melamar pekerjaan ke banyak tempat lain, tapi sampai sekarang gak ada jawaban. Aku rasa sementara gak masalah kalau aku menjadi tukang parkir, yang terpenting itu halal dan kita bisa makan," jawab Dani. "Ibu gak mau! Apa kata orang lain? Keluarga kita ini terhormat, kamu juga sudah Ibu sekolahkan tinggi, masa hanya menjadi tukang parkir?" oceh Ibu Dani. Winda berusaha memberanikan diri untuk bicara, menengahi keributan itu. "Bu, ini hanya untuk sementara. Kita doakan saja Mas Dani cepat mendapat pekerjaan yang lebih baik. Aku setuju pendapat Mas Dani, yang penting sekarang kita bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari,""Siapa yang minta pendapatmu? Pokoknya Ibu mau kamu mengerjakan pekerjaan lain, bekerja di kantor dan punya gaji tetap!" Winda tersentak dan langsung kembali bungkam. Sementara itu Dani hanya
Sambil mengemudi mobil, Surya melirik Annisa yang banyak diam sejak pertemuan dengan Dani dan istrinya tadi. Annisa terlihat melamun dan berpikir, sesekali ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. "Sayang, ada apa? Apa kamu masih merasa sakit hati melihat Dani bersama wanita lain?" tanya Dani. "Ah, bukan begitu, Mas. Aku hanya sedikit terkejut tadi. Tapi aku bersyukur, karena aku dan Mas Dani sudah menemukan pasangan baru dan kebahagiaan masing-masing," jawab Annisa. "Kalau kamu masih merasa aneh, aku memakluminya. Kamu dan Dani cukup lama menikah, jadi wajar jika tetap ada kenangan di antara kalian berdua," ujar Surya. Annisa mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Surya. Ia berkata lembut, "Mas Dani adalah bagian dari masa laluku. Sekarang aku punya kamu, Mas. Kebahagiaanku sempurna karena ada kamu dan anak-anak kita,""Terimakasih, Sayang. Kamu juga harus tahu, bahwa aku sangat bahagia memiliki kalian," ujar Surya. "Oh ya, bagaimana kalau kita percepat saja
Dani mengakhiri panggilan telepon itu dan terdiam beberapa saat. Setelah kembali menguasai dirinya, ia berkata pada Winda, "Win, kita ke rumah sakit sekarang. Aku sudah mendapatkan pinjaman uang,""Uang dari mana, Mas? Apa kamu meminjamnya?" tanya Winda. "Iya, terpaksa aku meminjam pada mantan istriku. Sudahlah, yang terpenting kamu bisa dirawat di rumah sakit," jawab Dani. Dani mengantarkan Winda ke rumah sakit, mengurus semua proses administrasi dan menemaninya sampai masuk ke kamar perawatan. Setelah itu Dani berpamitan untuk mengambil pakaian Winda di rumah dan mengembalikan mobil yang ia pinjam pada Pak Imron. Ibu Dani melihat Dani memasukkan beberapa pakaian Winda ke dalam tas ranselnya. Ia bertanya, "Dan, apa Winda jadi dirawat di rumah sakit?""Iya, Bu," jawab Dani. "Dari mana kamu mendapatkan uang?" tanya Ibu Dani lagi. "Aku terpaksa meminjam pada Annisa, Bu. Aku gak tahu bisa mendapatkan uang dari mana lagi," jawab Dani. Ibu Dani duduk di tempat tidur di dalam kamar it
"Bu Winda harus dirawat di rumah sakit, Pak. Ini demi keselamatan ibu dan bayinya," kata dokter setelah memeriksa Winda. "Apa?! Memangnya istri saya kenapa, Dok? Apa tidak bisa dirawat di rumah saja?" tanya Dani. "Bu Winda sepertinya mengalami kontraksi dan harus beristirahat total di tempat tidur. Dia saat ini tidak boleh terlalu lelah dan memaksakan diri. Jika tidak, bisa berbahaya untuk bayi yang sedang dikandungnya. Janin Ibu bisa gugur nantinya. Kita juga harus memeriksa Bu Winda lebih mendetail, dan peralatan di rumah sakit pastinya lebih memadai. Secara fisik, sepertinya Bu Winda kurang mendapatkan asupan atau gizi yang diperlukan, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini," beber dokter muda itu. "Dasar merepotkan! Ibu sudah sering mengingatkan kamu, jangan malas makan! Kalau sudah begini bagaimana? Dari mana kita mendapat uang untuk biaya rumah sakit?" seru Ibu Dani sambil menoyor kepala Winda. Dokter yang memeriksa sempat terkejut melihat Ibu Dani tak segan mengoceh dan me
"Nis, bukankah itu Dani?" tanya Surya. "Iya, Mas," jawab Annisa sambil melihat ke arah mantan suaminya yang berlari menjauh. Surya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padanya? Apa sekarang dia menjadi tukang parkir?" "Aku juga gak tahu, Mas. Sejak kami berpisah, aku sudah gak mendengar kabarnya lagi," Annisa juga hampir tidak mempercayai apa yang dilihatnya, ia tidak habis pikir, apa yang sudah terjadi pada Dani dan keluarganya. Namun Annisa tidak terlalu peduli lagi, baginya Dani adalah bagian dari masa lalunya. Annisa sudah menutup lembaran kelam masa lalunya itu. Kini Annisa sudah membuka lembaran baru, memiliki jalan hidupnya sendiri bersama Surya dan anak-anaknya. ---Dani terengah-engah dan berhenti di bawah sebuah pohon rindang. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan mantan istrinya dalam kondisi seperti ini. Dani merasa malu karena hidupnya berubah total sejak Annisa meninggalkan dirinya. 'Nis, apa kamu sudah menikah dengan Surya? Sekarang aku sudah menikah dengan W