"Kita beli mainan dulu, ya, Sayang," ujar Pak Hanan, begitu kami berdua telah menghabiskan makan siang.
Dahiku mengernyit seketika. Untuk apa membeli mainan? Bahkan kami berdua sudah memasuki sebuah toko, di mana berjejer banyak sekali mainan anak-anak, mulai dari robot hingga boneka. Mainan lain, seperti slime dan playdough juga banyak sekali.Ia sudah melihat-lihat beberapa robot-robotan, lantas memilih satu. Satu ember kecil berisi pasir kinetik juga ia bawa ke kasir."Mas, beli mainan buat siapa?" tanyaku dengan berbisik, saat kami baru saja ke luar dari toko."Oh, buat anak-anak yang manis, anak pemilik catering. Nanti ikut Mas, ya, ambil pesanan nasi kotak, nanti kita bagikan. Anggap saja ini syukuran kita sebagai pengantin baru, juga syukuran rumah baru kita. Oke?" ujarnya.Di sebuah toko yang menjual makanan kecil, ia berhenti, lantas membeli beberapa jajanan untuk anak-anak. Aku semakin ingin tau, untuk siapa belanjaan ini? Ia l"Mas, kita lupa memberikan mainan yang tadi Mas beli, biar aku yang kasihkan, ya?" pintaku, sambil mengambil kantong tersebut."Ya udah, Mas tunggu, ya? Mereka lagi istirahat kayaknya, biasanya rame lari-lari kalau Mas ke sini."Aku mengernyitkan kening saat ia berkata. Tapi tetap berusaha berbaik sangka, bahwa hubungan mereka hanya antara pemesan dan penyedia jasa. Bu Lisa tampak keheranan melihat aku kembali ke tokonya. Ia belum beranjak dari tempatnya saat aku kembali."Maaf, Bu Lisa, ini ada sedikit untuk anak Bu Lisa, tolong diterima, ya" ujarku, dengan menyerahkan kantong tersebut."Alhamdulillah, terima kasih banyak, Mbak Husna, semoga makin lancar rejekinya, makin rukun sama suami dan keluarga," jawabnya, sambil menerima pemberianku. Pemberian suamiku tepatnya."Aamiin ... . Do'a yang sama untuk Bu Lisa. Saya pamit, ya, Bu," ujarku lagi, dengan mengulas senyum."Iya, Mbak, hati-hati, ya," jawabnya yang kusambut dengan ang
Sampai di rumah, aku kembali dibuat terbengong dengan apa yang kemudian terjadi.Belum ada sepuluh menit sejak kami memasuki rumah, seseorang telah mengetuk pintu, lantas mengantarkan satu tampah penuh berisi nasi dan ayam utuh beserta teman-temannya. Di belakangnya, beriringan dua orang membawa tumpukan nasi kotak."Nah, sudah lengkap. Ayah yang pimpin do'a, ya," pinta Pak Hanan, yang segera ditunaikan oleh Ayah.Kami berlima, beserta lima orang tetangga depan rumah dan samping kiri kanan saja yang hadir. Kami membagi semua yang ada di hadapan, lantas bergotong royong membagikan ke semua tetangga satu gang.Hampir jam sembilan saat semua selesai. Ibu malah pamit pulang. Awalnya aku berharap mereka mau menginap, ternyata kekeh mau pulang. Ya sudahlah, aku tak bisa berbuat banyak."Terima kasih, ya, Nak Hanan, sudah menyediakan tempat tinggal yang nyaman untuk anak Ibu. Ibu do'akan, semoga kalian berdua rukun dan bahagia selalu. Dan, semog
Ditanya begini, malah semakin membuat aku tak bisa berkata apa-apa. Justru isakanku semakin terdengar. Ia tak bertanya lagi, berganti mendekapku erat, membiarkan aku puas menuntaskan tangisan."Apa Mas menyakiti kamu?"Aku kembali menggelengkan kepala."Aku cuma, merasa beruntung memiliki suami sebaik kamu, Mas," jawabku terbata.Kudengar ia menghembuskan napas panjang, hingga angin kecil itu menyapa keningku."Mas yang beruntung memiliki kamu. Maaf kalau Mas masih terbata dalam memahami kamu. Maaf ya, Sayang," ujarnya, lantas terdengar ia terisak..Terbangun jam tiga pagi, aku tak menemukan suamiku di sampingku. Lantas terdengar guyuran air dari kamar mandi di kamar ini. Tak lama kemudian, ia telah keluar dengan bertelanjang dada. Bagian bawah tubuhnya terlilit oleh handuk kecil.Lantas selarik senyum menyambutku, begitu ia menyadari aku telah terbangun. Ia malah bergerak memangkas jarak. "Gante
"Siapa sebenarnya Bu Lisa?"Aku bertanya dengan menahan gemuruh dalam dada. Ia menatapku bingung. Alisnya bertaut, seakan pemiliknya sedang berpikir keras. Seolah ini pertanyaan paling sulit untuk ia jawab."Katakan, Mas. Bagaimana kamu bisa sepeduli itu pada anak-anaknya? Bagaimana ia bisa peduli padamu hingga memberi bingkisan seperti ini? Apa ia seseorang dari masa lalumu, Mas?"Ia masih bergeming. Sementara aku mulai meradang."Tolong katakan. Apa yang terjadi? Apa aku dihianati?" tanyaku tertahan, lantas kugigit bibir kuat-kuat.Keluar juga pertanyaan ini. Pertanyaan yang menari-nari dan bergulung-gulung di kepala sejak pertama aku melihat rasa pedulinya pada ia, wanita si pengusaha catering, Bu Lisa.Aku tak bisa berpikir lagi. Jika memang ia seseorang dari masa lalu suamiku, atau seseorang yang ia harapkan untuk hidup bersama sebelum bertemu denganku, aku tak akan tinggal diam. Aku tak mau hidup dalam bayang-bayang masa la
Jika kenyataannya Bu Lisa harus berjuang sendiri demi kelangsungan hidup kedua anaknya, mestinya aku ikut ambil bagian dalam kelangsungan usahanya. Ada banyak cara untuk menolong, bukan? Termasuk membeli dagangan yang kadang kita tak terlalu membutuhkan, tapi berarti besar bagi mereka yang menjual.Pandangan mataku mulai buram, terhalang oleh genangan air hujan yang siap meluncur."Terima kasih, ya, Husnaku Sayang, sudah mau mendengarkan penjelasan Mas. Dari sini, Mas bisa lihat, kamu sudah menjadi istri yang baik, dengan tidak menyela apa yang Mas sampaikan. Kamu hebat, lho. Kenapa? Sebab, nggak semua orang bisa memasang telinga dan menjadi pendengar yang baik, tapi kamu bisa. Mas makin sayang sama kamu. Jangan sedih lagi, ya? Mas kuatir kalau lihat kamu seperti tadi. Seakan dunia Mas runtuh."Ia merengkuhku, yang sebentar lagi siap meluncurkan kristal bening dari kedua sudut mata."Entah bagaimana, kalau nggak ada kamu, Na. Tetap di si
"Aku mencintai kamu, dengan atau tanpa adanya anak, Husna."Ia berkata sungguh-sungguh, di tengah riuh suara anak dan lalu lalang kendaraan."Bagiku, memiliki kamu adalah anugerah terbesar dalam hidupku. Maafkan aku, maaf jika aku salah bicara. Aku tak akan mengulangi, jika kamu tak suka."Aku tak menanggapi. Hanya berharap ia memegang apa yang telah ia ucapkan.Terkadang, aku bosan mendengar kata-katanya yang manis seperti ini. Kami meninggalkan tempat ini, begitu adzan Maghrib berkumandang. Menghabiskan malam di sebuah pasar malam, menaiki komidi putar, dan beberapa permainan lain, kami lakukan kali ini.Di sebuah warung lesehan, kami berdua menikmati makan malam yang romantis, dalam kesederhanaan.Ia membuat aku tersenyum dan tertawa, mengalihkan semua kelelahan hati yang sungguh menguras pikiran hari ini..Hari berlalu dengan cepat. Ia tak lagi membahas soal anak, sejak hari itu. Kami biarkan pernikah
Ampuni hamba ya Allah ... . Jika ini semua akibat dari ucapan hamba, hamba mohon ampunanMu, wahai Sang Pemberi Rizki.Hamba sadar, jika kepemilikan seorang anak dalam rumah tangga, mutlak hak prerogatifMu. Hamba berserah diri, menjalani takdirMu ya Rabb ... .Kudengar deru mesin mobil yang bergerak menjauhi halaman rumah ini. "Hati-hati di jalan, ya, Ma," gumamku lirih.Derap langkah kaki yang bergerak mendekat, mulai menapaki lantai rumah ini. Rumah yang kutempati berdua dengan suami, yang menjadi saksi bisu, bahwa ada dua hati yang menjadi satu, dan berseminya cinta yang kian besar dari waktu ke waktu."Husna."Suara ini, yang semakin akrab di telinga. Yang selalu berkata manis, demi harmonisnya hubungan kami. Kini kudengar ada luka dalam caranya memanggil. Ia telah menghambur pada tubuh ini, yang tak berpindah posisi sejak tadi. "Maafkan Mama, ya, Sayang," pintanya. Aku mengangguk.Kutatap lekat wajah suamiku, wajah yang begitu teduh dan selalu t
"Mas Dika!"Panggilanku, membuat ia menghentikan menata buah, lantas menoleh ke arahku. Kedua matanya terlihat sedikit membesar, lantas ia tersenyum begitu menyadari kehadiranku, bersama suami."Adeknya kangen ini, Mas," jawab Pak Hanan, begitu kami berdua telah berhadapan.Keduanya lantas berpelukan singkat setelah berjabat tangan. Ada rasa senang melihat keakraban mereka berdua. Tak ada sekat ipar dengan ipar, mereka layaknya dua saudara yang telah lama tak bersua. Terlebih lagi, suamiku yang menjadi anak tunggal, seperti mendapatkan seorang Kakak saat bersama Mas Dika.Ya, sejak semalam memang aku meminta supaya diijinkan ikut Mas Dika jualan. Aku hanya ingin melepas kangenku pada saudaraku. Dan ia pun tak keberatan mengantarkan aku ke sini, sebelum ia berangkat kerja."Apa pun, Sayang, yang membuat hatimu bahagia, akan Mas lakukan," ujarnya semalam, mengakhiri perijinan. Lantas kuberi ia hadiah spesial atas ijinnya. Hadiah yang m