Share

Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku
Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku
Penulis: Nisa Khair

Bab 1

Penulis: Nisa Khair
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-27 03:02:53

Batal Nikah karena Permintaan Aneh Calon Suamiku

"Dek Husna ... ," panggil Mas Fikri, di sela menikmati semangkok bakso dan es teh manis di pinggir jalan beraspal.

"Ya, Mas? Ada apa?" tanyaku, lantas kuhentikan sejenak kegiatanku menggulir layar ponsel. Kutatap lurus wajah calon suami di depanku.

"Sebentar lagi kan, kita resmi ya, jadi suami istri?" tanyanya setelah menghentikan menyuap bakso ke dalam mulut.

"Iya, insya Allah dua Minggu lagi kalau tak ada halangan ya, Mas," jawabku dengan memperhatikan ekspresi wajah itu.

"Tepat sekali," Mas Fikri menjentikkan jari. "Mas ada permintaan sama kamu, Dek," ujarnya lagi.

"Apa itu, Mas?" tanyaku penasaran.

"Nanti, setelah menikah, untuk biaya hidup sehari-hari, kita pakai uang gaji kamu ya, Dek Husna yang cantik," ujar Mas Fikri. Senyum lebar menghiasi bibir tipisnya.

Aku mengernyitkan kening. Merasa aneh dengan permintaan dari calon suamiku ini. Sependek pengetahuanku, memberi nafkah untuk kebutuhan sehari-hari itu mutlak kewajiban suami. Tapi, kenapa sekarang Mas Fikri mengajukan permintaan yang aneh ini?

"Kenapa begitu, Mas?" tanyaku tak mengerti.

Pernikahan kami tinggal dua Minggu lagi. Undangan juga sudah siap disebar. Saat ini aku dan Mas Fikri baru saja pulang dari Puskesmas untuk tes kesehatan calon pengantin.

"Soalnya, uang gaji Mas, nanti ditabung, semuanya, untuk masa depan kita," tambahnya lagi.

"Nggak kebalik, nih, Mas?" dahiku kian mengernyit, kepalaku dipenuhi tanya.

"Enggak, dong. Udah betul itu, Dek," jawabnya santai.

Ia kembali menyesap es jeruk yang tinggal setengah gelas. Ia kembali mengedipkan sebelah matanya saat sadar sedang kuperhatikan.

"Bukannya, kalau udah nikah itu, uang istri tetap milik istri, ya, Mas? Sedangkan uang suami, ya uang istri juga," kembali kuajukan tanya, ingin tau pemahamannya mengenai hidup berumah tangga. Mumpung belum jadi suami istri, tak ada salahnya bukan, mencari tau jalan pikiran calon suami?

"Nggak bisa gitu, dong," sahutnya cepat. "Perempuan kalau udah nikah itu kan milik suaminya. Apalagi cuma uangnya," tambahnya lagi dengan enteng.

Ia habiskan sisa es jeruknya. Semangkuk bakso di depannya telah habis tak bersisa. Kuhembuskan napas panjang.

"Baiklah, kalau begitu. Ayo kita pulang, Mas," ajakku kemudian.

Aku sudah kehilangan selera makan sejak beberapa saat lalu. Gegas kumatikan ponsel, kumasukkan ke dalam tas kecil di depanku.

"Kok, pulang, Dek. Nggak dihabisin ini baksonya? Sayang, lho, masih banyak ini," ujarnya dengan menunjuk mangkok di depanku yang masih berisi beberapa butir bakso.

"Nggak Mas, udah kenyang aku. Kalau Mas mau, habisin gih," ujarku sambil lalu.

"Nggaklah, udah kenyang Mas. Ya udah, kamu bayar dulu, ya? Mas, nggak bawa dompet," ucapnya malu-malu.

"Oke. Tunggu sebentar, ya," ujarku, lantas beranjak menuju penjual bakso untuk membayar.

Tunggu sebentar lagi, Mas. Aku akan mengakhiri semua ini. Enak saja kamu mau menang sendiri. Sudahlah kalau jajan di luar selalu nggak mau bayarin, belum resmi jadi istri pun sudah direncana mau menggunakan uang gaji untuk kebutuhan sehari-hari.

Gegas aku naik ke atas motor Mas Fikri. Sepuluh menit kemudian telah sampai di halaman rumah orang tuaku. Mas Fikri langsung pamit karena masih ada urusan di tempat kerja. Sedangkan aku, bergegas masuk ke kamar. Kebetulan rumah sedang sepi.

Lemari kubuka lebar. Kuambil semua pemberian dari Mas Fikri saat lamaran enam bulan lalu. Kumasukkan semua ke dalam kardus besar yang kuambil dari dapur.

.

"Ibu, Ayah, Husna mau bicara," pintaku, saat kami baru menyelesaikan makan malam.

"Bicaralah, Nak, ada apa? Persiapan pernikahan kamu, apa ada masalah?" tanya ibu.

Kuanggukkan kepala. Niatku sudah bulat. Pernikahan ini harus dibatalkan. Jalan pikiran Mas Fikri sudah tak benar, menurutku. Aku harap Ayah dan Ibu mau mengerti dan menerima keputusanku.

"Husna mau pernikahan Husna dan Mas Fikri dibatalkan, Yah, Bu. Maafkan Husna," ujarku dengan menundukkan kepala.

"Apa maksudmu, Na? Kalau ada masalah, kita bisa bicarakan baik-baik, bukan main batalkan saja," ujar Ayah, membuat aku sedikit memundurkan badan.

"Pasti ada alasan kuat, kenapa Husna mau membatalkan pernikahan yang tinggal dua Minggu lagi. Iya kan, Nak?" Pertanyaan Ibu membuat aku menganggukkan kepala.

"Iya, Bu. Ayah, Husna minta maaf, tapi keputusan Husna sudah bulat. Tolong dengarkan ini ya, Yah, Bu," pintaku sambil menyalakan rekaman di ponselku.

Tangan ayah mengepal begitu suara Mas Fikri mulai terdengar. Ibu juga terlihat menggelengkan kepala, seakan tak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan.

.

"Tidak bisa! Enak saja main batalkan!"

Suara ayah mas Fikri menggelegar di tembok ruang tamu. Sang istri berusaha menenangkan dengan memegang lengannya.

"Perjodohan ini sudah direncanakan sejak lama, dan pernikahan mereka tinggal dua Minggu lagi digelar. Mau ditaruh di mana mukaku, ha?!"

.

Bagaimana tanggapan keluarga Husna dan Fikri? Apakah pembatalan pernikahan ini akan tetap dilaksanakan, atau justru dilanjutkan, ya?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Tuti Alawiyah
masih menyimak cerita nya
goodnovel comment avatar
Fritz
ahahaha, yg ad suami ambl blik seserahanx cz istri selingkuh......
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 2

    Sekilas kulirik ayah dan ibu, mereka tetap tenang, tak terpengaruh oleh teriakan dari Lek Sapto, ayah Mas Fikri. "Dan kamu! Perempuan kurang aj*r! Berani kau injak harga diri keluargaku!"Kali ini telunjuk Lek Sapto mengarah kepadaku. Aku memundurkan badan karena tak nyaman dengan telunjuknya yang tepat mengarah ke wajahku. Ayah menggenggam tanganku, mengisyaratkan agar aku tetap tenang, seperti pesannya sebelum berangkat."Sapto kemungkinan akan marah besar, tapi kita harus siap. Apa pun yang terjadi di sana, kita harus tenang, tak boleh terpancing emosi," pesan ayah, sesaat sebelum kami melaju ke rumah orang tua Mas Fikri sejam lalu.Aku kembali merasa bersalah, karena Ayah dan Ibu harus ikut mendapat teriakan karena ulahku. Tapi keputusanku sudah bulat, daripada jadi sapi perah setelah menikah, lebih baik berpisah sekarang, sebelum akad dilangsungkan."Kau pikir kau perempuan paling cantik? Paling kaya? Sombong sekali kau jadi perempuan!" Lek Sapto masih meluapkan amarahnya. Apa

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-27
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 3

    "Kamu akan terlihat cantik dengan gaun ini, Husna," ujar beliau, kala itu. Sebuah gaun berwarna putih dipilih, kemudian meminta aku mencobanya. "Saya minta maaf, Bulek, keputusan saya sudah bulat. Saya juga sudah bicara dengan Mas Fikri, dan ia tak keberatan," ujarku setenang mungkin. Kulihat Mas Fikri yang tak bersuara sejak tadi. Dia terlihat tak acuh dengan semua perdebatan yang bergaung di dinding dan plafon ruang tamu ini.Selama ini aku berusaha menerima perjodohan ini, demi menghormati kedua orang tua dari dua belah pihak. Aku berdamai dengan perasaanku sendiri, mencoba menerima kekurangan Mas Fikri yang sedikit demi sedikit terlihat saat hari pernikahan kami mulai dekat. Namun, hatiku tak bisa menerima saat ada permintaan tak masuk akal dari calon suamiku. "Baiklah, tak apa Husna. Bulek menghormati keputusan kamu. Anggap saja kalian belum berjodoh. Tapi seperti yang Bulek katakan tadi, Bulek akan tetap sayang dan menganggap kamu sebagai anak, meski kamu tak menjadi menantu

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-28
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 4

    Aku tak punya cara lain. Aku terpaksa meminta kembali uangku di depan kedua orang tuanya, karena kurasa hubungan kami sudah selesai. Beberapa kali sudah kuminta sesuai janjinya, tapi Mas Fikri selalu berkelit, dengan alasan kelak kami akan jadi sepasang suami istri. Bahkan saat kukatakan kalau uang itu akan kugunakan untuk tambahan biaya pernikahan, ia tetap tak mau mengembalikan."Kamu jangan khawatir, Dek Husna, ini kan, Mas sudah buat pernyataan di kertas bermaterai, nanti kalau Mas lupa, kamu ingatkan Mas pakai ini, oke?"Ia sendiri yang mengusulkan membuat kwitansi bermaterai itu. Jadi bisa kugunakan untuk menagih, agar ia tak berkelit."Apa ini tak berlebihan, Mas?" tanyaku, kala itu."Tidak, Dek. Supaya kamu nggak ragu sama Mas. Percayalah, secepatnya Mas ganti uang kamu. Oke?"Aku mengangguk mengiyakan, meski merasa tak nyaman karena tabunganku terus digerus olehnya. Yah, meski ia pilihan orang tuaku, dan dari keluarga yang berlimpah materi, nyatanya tak menjadikan ia merasa c

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-28
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 5

    "Sini Mas bilangin ya, Adek Mas yang cantik, kayak bidadari. Hari ini Mas mau ajak kamu jalan-jalan," ujarnya setelah melepaskan diri."Mau jalan-jalan ke mana emang? Orang kerja juga, masak diajak jalan?""Dek Husna sayang, hari ini hari Minggu ya, nggak ada alasan buat kamu berangkat kerja."Benarkah? Sampai lupa hari, kacau sekali aku ini. Dipikir-pikir boleh juga ini, jalan-jalan buat buang galau yang nggak jadi nikah."Ayah sama Ibu mana, Mas?" tanyaku akhirnya."Ada, di belakang mereka," jawab Mas Dika sambil memberikan isyarat melalui wajahnya.Masih merangkul pundakku, Mas Dika mengajak aku ke belakang, di mana Ayah dan Ibu berada. "Ngomong-ngomong, Mas mencium bau tak sedap, tapi apa ya?"Ia memencet hidung sambil melirikku. Ngeselin emang kakak satu ini. Untung sayang. Masih suka ngasih uang jajan sama buah tangan lagi kalau habis pergi-pergi."Hem, mulai deh. Iya-iya, Husna mandi dulu. Tadi kan juga bilang mau mandi, malah dipeluk segala.""Habis Mas kangen. Sana, buruan m

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-28
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 6

    .Terbangun jam dua pagi, mata malah terasa bengkak, susah banget dibuka. Payah ya, semalam sambil beresin barang, malah mewek sendiri. Tapi kamar sudah lumayan rapilah, undangan sama souvenir yang masih ada di atas lemari sudah tak pindahin ke kardus. Barang-barang yang bisa ngingetin sama Mas Fikri sudah dimasukkan ke sana juga. Setelah ini terserah Ibu sama Ayah mau digimanain. Kuraih ponsel, memeriksa pesan yang masuk ke akun WhatsApp. Seharian bersama Mas Dika membuat aku mengabaikan ponselku. Hingga dini hari ini baru kupegang, karena memang kalau libur malah nggak sempat megang. Beberapa pesan teks dan suara dari Mas Fikri, masuk ke nomor WhatsApp milikku. "Dek, Husna, kalau kamu berubah pikiran, Mas masih mau menerima kamu dengan hati dan tangan terbuka. Hidup Mas terasa hampa tanpa kamu, Dek Husna."Aku tersenyum membaca pesan itu. Masih nggak nyerah kamu, Mas. Masih juga mengirim kata-kata gombal yang akhirnya kuabaikan. Bosan. Aku bosan dengan kata-kata manis yang ia kiri

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-28
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 7

    "Daripada nggak kerja malah ngelamun, Na, mending kerja, menyibukkan diri, kumpul sama teman-teman. Tapi terserah kamulah, nanti kabari Mbak, ya," tambahnya lagi.Padahal aku sudah berencana membujuk Mas Dika supaya bisa ikut perjalanan, mumpung dapat cuti. Lumayan kan, satu Minggu bisa buat refreshing otak dan pikiran. Tapi ada benarnya juga kata Mbak Irma. Mengajukan cuti juga harus jauh-jauh hari. "Makasih ya, Mbak, nanti Husna pikirkan lagi soal cuti itu."Dan kami kembali sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, hingga waktu pulang tiba..Hari masih pagi, kutemani Ayah berbincang sambil menikmati sepiring singkong rebus dan segelas teh manis. Mas Dika sudah berangkat sejak jam lima tadi. "Nanti dua hari lagi Mas pulang," pamitnya tadi.Kembali lagi aku hanya bertiga dengan Ibu dan Ayah di rumah ini."Husna, ada yang nyari kamu di depan."Aku yang sedang ngobrol sama Ayah di belakang rumah, sontak menoleh ke sumber suara."Siapa, Bu?""Nggak tau, ibu-ibu, dia nyari yang naman

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 8

    Tak terasa aku sudah sampai di ujung jalan. Bersiap menunggu angkutan umum yang akan membawa aku ke tempat kerja.Sebuah motor berhenti di depanku, tepat saat aku keluar gang. Rasanya tak asing dengan motor itu. Benar saja, wajah Mas Fikri tersembul begitu helmnya dibuka. Mau apa lagi dia?"Dek Husna, yuk, Mas antar. Mau berangkat kerja, kan?""Terima kasih, Mas. Husna berangkat sendiri saja.""Ayolah, dari pada naik angkot, lebih baik digonceng sama Mas Fikri yang ganteng ini."Ganteng-ganteng tapi nggak modal, kalau jalan sukanya minta dibayarin, buat apa? Nanti ujung-ujungnya minta dibeliin bensinlah, inilah, itulah. Baru juga mulai menata hati, eh, dia udah muncul lagi."Makasih ya, Mas Fikri yang ganteng dan baik hati. Tapi maaf, ini angkotnya sudah datang, Husna duluan, ya?"Tanpa menunggu jawaban, aku segera masuk ke dalam angkot. Kebetulan juga pas berhenti di depanku. Dapat kulihat wajah kesalnya saat angkot yang kunaiki mulai melaju. Rupanya ia tak menyerah, ia ikuti angkot

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 9

    Kulihat Pak Hanan menunggu jawabanku. Nah, ini yang kadang dilema. Kalau disuruh, malah aku nggak bisa. Seringnya ide ngalir aja, nggak bisa dipaksa.Bu Lia menyenggol siku tanganku dengan isyarat agar aku cepat membalas ucapan Pak Hanan.Melihat itu, aku bergegas menjawab atasan kami ini dengan jawaban template khas karyawan, "Iya, Pak, saya mengerti." Bukannya aku tak senang dengan permintaan Pak Hanan. Aku sadar bahwa aku harusnya bahagia diberikan ruang seperti ini, dikasih kesempatan buat lebih bebas berekspresi. Tapi, kalau dipaksa, biasanya ide malah mampet! Itu yang aku takutkan terjadi."Bu, Lia.""Iya, saya, Pak."Kali ini, sepertinya Bu Lia yang akan diberikan tugas."Husna ini perlu dibina. Kalau perlu, pindahkan dia ke ruang desain, biar belajar sama anak-anak di sana. Tapi, desain dia sudah bagus, sih, tinggal dikembangkan.""Baik, Pak.""Oke, saya rasa cukup, ya. Kamu boleh kembali ke ruangan kamu, Mbak Husna."Pak Hanan memberi penekanan saat menyebut namaku. Entah ha

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21

Bab terbaru

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 4

    Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 3

    Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 2

    Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 1

    POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 166 (Ending)

    Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 165

    Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 164

    "Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 163

    Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 162

    "Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba

DMCA.com Protection Status