Share

Bab 5

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2022-06-28 16:41:30

"Sini Mas bilangin ya, Adek Mas yang cantik, kayak bidadari. Hari ini Mas mau ajak kamu jalan-jalan," ujarnya setelah melepaskan diri.

"Mau jalan-jalan ke mana emang? Orang kerja juga, masak diajak jalan?"

"Dek Husna sayang, hari ini hari Minggu ya, nggak ada alasan buat kamu berangkat kerja."

Benarkah? Sampai lupa hari, kacau sekali aku ini. Dipikir-pikir boleh juga ini, jalan-jalan buat buang galau yang nggak jadi nikah.

"Ayah sama Ibu mana, Mas?" tanyaku akhirnya.

"Ada, di belakang mereka," jawab Mas Dika sambil memberikan isyarat melalui wajahnya.

Masih merangkul pundakku, Mas Dika mengajak aku ke belakang, di mana Ayah dan Ibu berada. 

"Ngomong-ngomong, Mas mencium bau tak sedap, tapi apa ya?"

Ia memencet hidung sambil melirikku. Ngeselin emang kakak satu ini. Untung sayang. Masih suka ngasih uang jajan sama buah tangan lagi kalau habis pergi-pergi.

"Hem, mulai deh. Iya-iya, Husna mandi dulu. Tadi kan juga bilang mau mandi, malah dipeluk segala."

"Habis Mas kangen. Sana, buruan mandi. Hus ... Hus … ."

"Husna bukan Hus-Hus!" sentakku dengan wajah cemberut.

Mas Dika tergelak, diikuti gelengan kepala Ayah dan Ibu.

.

"Dek, di sini, kalau mau teriak, boleh, lho," ujarnya setelah kami berdua berada di bibir pantai.

Aku menatapnya tak berkedip. Aneh. Ngajak jalan-jalan malah disuruh teriak. Tapi boleh juga idenya. Lagi pula, di sini tak terlalu ramai meski hari libur.

"Nggak usah ditahan, kalau mau nangis, nangis aja, Dek," ujarnya pelan.

Aku mengerti. Kuayunkan kaki beberapa langkah ke depan setelah mengangguk pada Mas Dika. Kuhela napas panjang sambil memejamkan mata menikmati hembusan angin laut. Deburan ombak yang menyapa kaki kemudian pecah di bibir pantai, serupa dentuman yang siap meledak di dalam sini.

"Aaaaaaa … !"

Seperti ada yang terlepas di sini. Merasa lega, kuulangi lagi hingga tiga kali. Udah kayak minum obat aja. Tapi capek juga teriak begini, jadi cukup sudah tiga kali saja. Rasanya legaaa sekali. Pinter juga Mas Dika, bawa adiknya yang batal nikah ini ke sini, jadi buang galau.

"Makasih ya, Mas," ujarku setelah kembali di sisi Mas Dika. Ia tersenyum, kemudian mengangguk dan mengajakku ke penjual kelapa muda.

Puas menikmati kelapa muda di pinggir pantai sambil cerita-cerita, Mas Dika membawaku berkeliling dengan motornya. Di sebuah swalayan ia belokkan motor. 

"Nah, di sini kamu boleh beli apa aja yang kamu suka. Mas yang traktir, oke?"

Tau aja, cewek kalau lagi galau suka seneng kalau diajak belanja. Moga-moga nanti dapat suami yang pengertian gini. Aamiin …

Berdua kami keliling swalayan. Entah muter berapa kali, sampai dibilang kayak lagi tawaf, soalnya nggak belok-belok, muter terus ngikutin jalan. Kayak nggak ada yang menarik untuk dibeli. Sampai ditawarin baju, sepatu, tas, masih aja aku menggeleng. Buat apa juga, semua masih punya. Sayang aja kalau dibeli malah nggak kepake.

Akhirnya demi menghargai niat baik kakak tersayang, aku berhenti di toko baju yang udah dilewati tiga kali. Kan jadi keinget Lek Lastri kalau di toko baju begini. Sebuah gamis warna hitam, sama jilbab merah marun kupilih. Saat kubawa ke kasir, malah disuruh nambah sama Mas Dika. Emang baik kebangetan kakakku ini. Sayang belum ketemu jodoh.

"Udah cukup Mas, ini aja. Makasih, ya?"

"Yakin kamu? Kaos kaki mau nggak?"

"Boleh, deh."

Gimana mau nolak, tanpa aba-aba dia sudah ngambil tiga biji lalu ditambahkan sama belanjaan yang lagi discan sama Mbak kasir. Sampai si mbaknya senyum-senyum melihat kami.

.

Kami berdua memutuskan pulang setelah memborong coklat dan beberapa jajanan. Mas Dika emang paling ngertiin adiknya ini. Habis makan malam sama Ayah dan Ibu, aku pamit ke kamar. Capek juga seharian muter-muter sama Mas Dika. Sudah mulai ngantuk juga.

Berada di kamar seorang diri, baru terasa kalau aku baru saja kehilangan. Ya, meskipun nggak cinta-cinta amat sama Mas Fikri, tapi rasa sayang itu hadir juga. 

Meski bibirku berusaha tersenyum, tetap saja ada rasa hatiku yang terkoyak. Kubiarkan rasa ini hadir, kubiarkan air mata ini mengalir. Sebentar saja. Ini tak akan lama. Tak akan kulawan rasa ini. 

Terlebih, saat aku melihat kalender yang belakangan ini aku lingkari di setiap tanggalnya. Aku selalu menghitung mundur dengan kalender itu. 

Masih berapa hari lagi aku menjadi seorang single? Berapa hari lagi aku menjadi dobel? Berapa hari lagi aku menjadi istri dari seorang lelaki bernama Fikri?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu terlintas saat kuayunkan pulpen melingkari angka, setiap pagi. Kelakuan konyol, tapi dilakukan. Apa begini kelakuan absurd calon pengantin? Kalau dipikir-pikir lucu juga. Ngapain kalender dioret-oret, dikasih tulisan, tanggal sekian mau ke sono, tanggal sekian ngurus itu, tanggal sekian urus ini. 

Rasanya lucu saat sadar aku terkena sindrom pranikah. Teman-teman bahkan mengolokku saat beberapa kali aku harus mengulang pekerjaan karena kurang fokus. Tapi mulai hari ini, aku harus menata hati. Sedih boleh, tapi jangan lama-lama, dan tetep pake logika.

.

Jadi pengen punya Kakak kayak Mas Dika nggak, nih? Care banget sama adiknya ya, Kak?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Partinah Partinah
jangan2 si dika ini anak angkat di keluarga husna. mngkin sebelumnya ortu husna blm kunjung dpt anak terus ngangkat anak yaitu si dika, pas udh pnya anak angkat eh nongol lah si husna
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Husna beruntung punya kakak yang sayang dan pengertian
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 6

    .Terbangun jam dua pagi, mata malah terasa bengkak, susah banget dibuka. Payah ya, semalam sambil beresin barang, malah mewek sendiri. Tapi kamar sudah lumayan rapilah, undangan sama souvenir yang masih ada di atas lemari sudah tak pindahin ke kardus. Barang-barang yang bisa ngingetin sama Mas Fikri sudah dimasukkan ke sana juga. Setelah ini terserah Ibu sama Ayah mau digimanain. Kuraih ponsel, memeriksa pesan yang masuk ke akun WhatsApp. Seharian bersama Mas Dika membuat aku mengabaikan ponselku. Hingga dini hari ini baru kupegang, karena memang kalau libur malah nggak sempat megang. Beberapa pesan teks dan suara dari Mas Fikri, masuk ke nomor WhatsApp milikku. "Dek, Husna, kalau kamu berubah pikiran, Mas masih mau menerima kamu dengan hati dan tangan terbuka. Hidup Mas terasa hampa tanpa kamu, Dek Husna."Aku tersenyum membaca pesan itu. Masih nggak nyerah kamu, Mas. Masih juga mengirim kata-kata gombal yang akhirnya kuabaikan. Bosan. Aku bosan dengan kata-kata manis yang ia kiri

    Last Updated : 2022-06-28
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 7

    "Daripada nggak kerja malah ngelamun, Na, mending kerja, menyibukkan diri, kumpul sama teman-teman. Tapi terserah kamulah, nanti kabari Mbak, ya," tambahnya lagi.Padahal aku sudah berencana membujuk Mas Dika supaya bisa ikut perjalanan, mumpung dapat cuti. Lumayan kan, satu Minggu bisa buat refreshing otak dan pikiran. Tapi ada benarnya juga kata Mbak Irma. Mengajukan cuti juga harus jauh-jauh hari. "Makasih ya, Mbak, nanti Husna pikirkan lagi soal cuti itu."Dan kami kembali sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, hingga waktu pulang tiba..Hari masih pagi, kutemani Ayah berbincang sambil menikmati sepiring singkong rebus dan segelas teh manis. Mas Dika sudah berangkat sejak jam lima tadi. "Nanti dua hari lagi Mas pulang," pamitnya tadi.Kembali lagi aku hanya bertiga dengan Ibu dan Ayah di rumah ini."Husna, ada yang nyari kamu di depan."Aku yang sedang ngobrol sama Ayah di belakang rumah, sontak menoleh ke sumber suara."Siapa, Bu?""Nggak tau, ibu-ibu, dia nyari yang naman

    Last Updated : 2022-07-21
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 8

    Tak terasa aku sudah sampai di ujung jalan. Bersiap menunggu angkutan umum yang akan membawa aku ke tempat kerja.Sebuah motor berhenti di depanku, tepat saat aku keluar gang. Rasanya tak asing dengan motor itu. Benar saja, wajah Mas Fikri tersembul begitu helmnya dibuka. Mau apa lagi dia?"Dek Husna, yuk, Mas antar. Mau berangkat kerja, kan?""Terima kasih, Mas. Husna berangkat sendiri saja.""Ayolah, dari pada naik angkot, lebih baik digonceng sama Mas Fikri yang ganteng ini."Ganteng-ganteng tapi nggak modal, kalau jalan sukanya minta dibayarin, buat apa? Nanti ujung-ujungnya minta dibeliin bensinlah, inilah, itulah. Baru juga mulai menata hati, eh, dia udah muncul lagi."Makasih ya, Mas Fikri yang ganteng dan baik hati. Tapi maaf, ini angkotnya sudah datang, Husna duluan, ya?"Tanpa menunggu jawaban, aku segera masuk ke dalam angkot. Kebetulan juga pas berhenti di depanku. Dapat kulihat wajah kesalnya saat angkot yang kunaiki mulai melaju. Rupanya ia tak menyerah, ia ikuti angkot

    Last Updated : 2022-07-21
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 9

    Kulihat Pak Hanan menunggu jawabanku. Nah, ini yang kadang dilema. Kalau disuruh, malah aku nggak bisa. Seringnya ide ngalir aja, nggak bisa dipaksa.Bu Lia menyenggol siku tanganku dengan isyarat agar aku cepat membalas ucapan Pak Hanan.Melihat itu, aku bergegas menjawab atasan kami ini dengan jawaban template khas karyawan, "Iya, Pak, saya mengerti." Bukannya aku tak senang dengan permintaan Pak Hanan. Aku sadar bahwa aku harusnya bahagia diberikan ruang seperti ini, dikasih kesempatan buat lebih bebas berekspresi. Tapi, kalau dipaksa, biasanya ide malah mampet! Itu yang aku takutkan terjadi."Bu, Lia.""Iya, saya, Pak."Kali ini, sepertinya Bu Lia yang akan diberikan tugas."Husna ini perlu dibina. Kalau perlu, pindahkan dia ke ruang desain, biar belajar sama anak-anak di sana. Tapi, desain dia sudah bagus, sih, tinggal dikembangkan.""Baik, Pak.""Oke, saya rasa cukup, ya. Kamu boleh kembali ke ruangan kamu, Mbak Husna."Pak Hanan memberi penekanan saat menyebut namaku. Entah ha

    Last Updated : 2022-07-21
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 10

    "Coba kamu lihat-lihat ini ya. Biar bisa jadi referensi buat kamu bikin desain."Pak Hanan menyerahkan setumpuk buku. Bertukar dengan sepuluh desain yang baru saja kubuat. Aku yang baru saja menyerahkan bobot tubuh di kursi di depannya, terhenyak melihat banyaknya tumpukan buku di depanku.'Nothing to lose' mengalun pelan sekali di ruang ini. Mau ngikutin liriknya, tapi urung, nggak sopan rasanya. Padahal suka sama lagu-lagunya MLTR ini. Pak Hanan langsung sibuk melihat coretanku yang kini berada di tangannya."Ini bagus, saya sangat suka. Nanti kita buat masternya, lalu diperbanyak untuk dipasarkan. Bagaimana? Apa Mbak Husna setuju?"Aku terperangah mendengar ucapan Pak Hanan. Oret-oretan yang kukerjakan di sela menginput data pagi tadi, ternyata disukai, bahkan dihargai. Aku tak bisa berkata-kata lagi. "Mbak Husna, apa saya salah bicara?"Kening Pak Hanan mengernyit melihat perubahan yang ia lihat. Aku jadi merasa bersalah. Dihargai seperti ini malah membuatku terharu hingga tanpa

    Last Updated : 2022-07-21
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 11

    "Kuingatkan kau anak muda. Kau bukan siapa-siapa di sini, selain sebagai karyawan yang digaji bulanan!" ia menggeram lagi."Baik, akan saya ingat. Apa ibu sudah selesai?"Ia malah memutar bola mata dan mencebik tak suka."Maaf, jika ibu sudah selesai, saya permisi. Semoga hari ibu menyenangkan."Kutepuk pundaknya perlahan, kemudian berlalu ke luar, menuju Sinta biasa menunggu jika kami pulang bareng."Hei, saya belum selesai!" Bu Misya masih mengejarku. Entah apa lagi yang ia inginkan. Aku tak merasa memiliki masalah dengannya. Dan kalau ini bersangkutan dengan Pak Hanan, aku tak memiliki hubungan selain sebagai atasan dan bawahan. Lalu, masalahnya apa coba. Aneh sekali.Lenganku kembali dicekal begitu Bu Misya mensejajarkan langkah denganku. Kuhentikan langkah. Kutatap lurus ke dalam matanya."Oke, sekarang katakan, apa yang ibu inginkan dari saya?" tanyaku begitu langkah kami sama-sama terhenti.Empat tahun aku kerja di sini, hampir tak pernah ada pembicaraan khusus, selain tentang

    Last Updated : 2022-07-27
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 12

    "Ini apa?" tanya ibu bingung saat kuselipkan amplop coklat di tangannya. Tinggal kami berdua di rumah, sementara Ayah sedang ikut kumpulan bapak-bapak di rumah tetangga."Ini buat ibu, diterima ya, Bu. Aku dapat rejeki tadi," ujarku dengan mengulas senyum."Alhamdulillah. Terima kasih, Nak. Coba ceritakan, bagaimana kamu bisa dapat uang sebanyak ini dalam sehari?" pinta ibu. Digenggamnya tanganku, serta diberikan tatapan hangat.Aku pun mulai bercerita tentang asal muasal uang tersebut. Ibu khusuk mendengarkan, sesekali mengangguk. Detik berikutnya, kulihat ibu menyeka sudut mata. Hal ini membuat aku merasa khawatir."Ibu, kenapa? Kok, nangis?""Oh, enggak, Ibu cuma kelilipan."Selalu begini, kalau sedang menyembunyikan tangisan. Kenapa lagi ibuku ini?"Yang bener? Itu, mata ibu berair begitu?" tanyaku penuh selidik. Kupindai wajah wanita yang melahirkanku. Sama

    Last Updated : 2022-07-27
  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 13

    "Tuh, kan. Lihat itu, Bu, yang gayanya pendekar," ujarku dengan masih mengulum senyum."Iya dong, biar bisa jagain adik Mas yang cantik, sama ibu yang baik hati ini, iya kan, Bu?""Sudah-sudah, kalian ini, nggak di rumah, nggak di sini, ribut aja. Ini rumah sakit, kalau ribut di sini, nanti pasien yang lain bisa terganggu," ujar ibu melerai kami berdua yang berebut kata."Ya sudah, ayo, Dika mau pulang sekarang.""Lho, kok, pulang? Emang udah dapat ijin dari dokternya? Urusan administrasi gimana?" tanyaku beruntun. Bagaimana, sih, Mas Dika ini. Badan udah luka-luka begini main pulang aja."Tenang ya, adik Mas yang cantik, tadi barusan dokternya ke sini, sudah dikasih surat keterangan kalau Mas bisa rawat jalan. Administrasi juga sudah diurus sama perusahaan, jadi aman. Oke?""Alhamdulillah ... . Ya udah, ayok pulang. Mas, bisa jalan?" tanyaku ragu. Aku masih miris melihat kondisinya sekarang."Bisa dong. Tapi, kalau Dek

    Last Updated : 2022-07-28

Latest chapter

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 4

    Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 3

    Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 2

    Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 1

    POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 166 (Ending)

    Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 165

    Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 164

    "Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 163

    Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 162

    "Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba

DMCA.com Protection Status