POV Mira"Cepat tanda tangan.""Iya, Mir. Ini semua demi anak kita. Aku tidak peduli soal harta Gono gini dan lainnya."Dengan sok gagah, Mas Adam mendatangi surat perjanjian yang aku buat. Aku sengaja membuat, sebagai langkah antisipasi jika dibodohi Mas Adam lagi.Ini semua dilakukan demi anak. Tidak ada lainnya. Aku memang bisa besarkan anakku sendiri. Soal harta, tak mungkin kekurangan. Bahkan, dari kakek dan neneknya juga berkecukupan untuk membantu memenuhi kebutuhan anakku kelak. Namun, tidak dengan kasih sayang. Selamanya, aku tidak bisa menggantikan posisi ayah dalam hal memberi kasih sayang. Aku tak mau anakku kecewa dan sedih karena orang tuanya berpisah. "Baguslah kalau gitu," pujiku pada Mas Adam. Walaupun aku tidak terlalu percaya jika Mas Adam tidak memandang harta. Biar nanti kita buktikan. Apakah ucapannya memang benar, atau hanya rayuan."Terus, mulai kapan Mas bisa tinggal di sini lagi? Mas gak mau kamu sendiri. Mas ingin menjadi ayah yang siap siaga menjaga anak
Bumi benar-benar mencintaiku? kenapa kata-katanya begitu dalam. Seolah-olah mengekspresikan perasaannya yang mendalam untukku. hatiku tersayat ngilu. Ada campuran rasa nyeri yang mengaduk-ngaduk isi hati ini. "Ra, sudahlah, jangan membuatku berpikir aneh-aneh. Mau Bumi mencintaiku atau tidak, kami tidak akan bersama lebih dari teman. Tentu, kamu tahu alasannya.""Ya, tahu, sih. Tapi, gua harap lu jangan gampang percaya sama Si Adam. Coba selidiki dulu.""Tentu, Ra. Aku bakal cari tahu. Ya, kamu sih, yang bakal aku minta tolong buat cari tahu kebenarannya.""Oke, siap Bu, Bos. Tapi kerjaan gua nambah banyak aja. Jangan lupa naik gaji.""Hahaha, siap sekretaris cantikku.""Oh, tentu gua emang cantik, hihi. Oh, iya, gua belum kenalan sama Dede bayi.""Dede bayi, kenalin nih, Tente Tiara yang cantiknya luar biasa. Di dunia dan di mana-mana.""Di dunia sampai neraka," celetukku sambil terkekeh. Tiara yang mengusap perutku berhenti. Lalu, memanyunkan bibirnya."Ih, Mira. Lu tega banget Ama
"Maksud kamu apa, Mir?" Mas Adam malah balik bertanya. "Ko, malah balik nanya, Mas. Itu rekamannya, kenapa sempat-sempatnya di rekam.""Bukannya kamu yang suruh? aku bawa Diana ke sini buat menyelesaikan masalahnya kamu gak mau. Aku rekam sebagai bukti, malah dicurigai. Terus, aku harus gimana, Mir.""Hmmm."Aku jadi bingung sendiri. Tak tahu membedakan mana kebohongan dan kebenaran. Memang aku yang menyuruh demikian. Ya sudahlah, biar aku selidiki perlahan. Jangan mudah terpancing. Percuma saja menanyakan hal demikian pada Mas Adam. Dia pasti berkilah. Tak boleh bertindak bodoh dengan cara asal menuduh. Aku harus mengumpulkan bukti. Agar suamiku tidak mudah mengelak. "Sayang, sudahlah jangan curigaan terus. Kita fokus membesarkan anak kita saja. Mas hanya mencintaimu.""Oh.""Oh, doang?""Bodoamat. Udahlah, Mas, gak usah sok romantis. Sana, Mas tidur di sofa. Aku mau tidur di kasur.""Loh, kenapa Mas tidur di sofa, Sayang? Mas ingin memelukmu. Agar anak kita merasakan kasih sayang
POV Adam "Mas cepet, aku mau makan kerak telor."Diana merengek karena ngidam. Sialan. Cape sekali punya dua istri yang sama-sama sedang hamil muda. Tadi, baru saja mengabulkan keinginan Mira yang aneh-aneh. Sekarang, ada lagi. "Gak, bisa, Na. Mas harus masuk kerja. Hari ini gajian. Bisa habis aku kalau tidak masuk.""Lah, tadi katanya kamu pulang ke rumah istrimu?""Iya, cuman bawain dia makan, sama beliin dia mangga.""Tuh, pasti Si Mira juga lagi ngidam' kan? tapi, kamu mau nurutin. Kalau sama aku aja gak mau. Awas kamu, Mas. Kalau gak ikutin aku teror istrimu.""Terserah, kamu. Awas saja kalau macam-macam. Mira tahu tentang kebohongan kita, habislah riwayat kita. Aku gak bakal bisa memanjakan kamu lagi dengan uangnya.""Tapi, Mas-"Sambungan telepon aku matikan. Malas meladeni Si Diana. Makin ke sini, sikapnya makin menyebalkan saja. Dia tidak mengerti posisiku. Kalau sampai Mira tahu, pupus sudah harapanku bisa mendapatkan hartanya. Anakku juga jadi korban. Dia pasti menjauhiku
"Coba jelaskan? kamu masih berhubungan dengan perempuan pelakor itu, hah?""Ti-tidak, Sayang. Kamu salah paham.""Halah, salah paham dari Hongkong. Beraninya kamu menipuku, Mas!" teriak Mira penuh emosi.Tampaknya emosi Mira semakin meningkat ketika hamil. Ditambah lagi, dia melihat foto itu. Sebelum hamil saja, amarahnya membeludak bagaikan kekuatan kobaran api yang muncul saat kebakaran."Arrgh, sakit ... perutku."Belum sempat aku menjawab dengan seribu alasan yang aku punya, Mira mendadak kesakitan. Dia terus memegangi perut. Dengan sigap, aku menopang tubuhnya yang hampir ambruk ke lantai."Sayang, kamu kenapa?" tanyaku panik."Pe-perutku, Mas. Sa-sakit sekali."Tanpa banyak tanya lagi, aku bergegas menggendong Mira menuju mobil. Menggunakan kecepatan di atas rata-rata, aku segera melarikan Mira ke rumah sakit. Panik, khawatir dan rasa takut berputar-putar di pikiranku. Kami melupakan sejenak tentang konflik yang terjadi. Bekerja sama supaya bisa memberikan pertolongan pertama u
POV Mira "Gimana, enak tidak pijitan ibu?" tanya ibu mertuaku. "Enak, sering-sering, Bu.""Bisa-bisa, buat menantu kesayangan apa sih, yang enggan bisa."Aku hanya tersenyum miring mendengar perkataan ibu. Tentu saja dia mau bersikap manis seperti itu karena ada maunya. Toh, dalam perutku memang cucunya, wajar kalau dia memanjakanku. "Mi-mir ...."Dengan wajah gugup dan ketakutan, Mas Adam masuk ke kamar. Dia memandang intens ke arahku. Aku hanya diam mengernyitkan dahi. Kenapa dia seperti orang kesetanan?"Apa, Mas? Tiara sudah pulang?" Mas Adam mengaguk. Dia mendekatiku dengan wajah gugup."Kamu kenapa, Dam? kaya abis lihat setan aja.""Iya, Nih, Mas Adam. Mukanya udah kaya cucian yang lagi digiling di mesin cuci. Kacau .... hahaha.""Diam, Ela!" sentak Mas Adam. Pria itu semakin mendekatiku. Ada di sampingku. Wajahnya celingukan seoalah-olah sedang mencari sesuatu. Aku suka ekspresi gusar dari wajahnya. Hidupnya tampak tidak tenang. Begitulah kalau orang dipenuhi kebohongan. Ak
"Tenanglah, Mir.""Tolong telepon kakak dan orang tuaku, Mas," perintahku dengan kondisi lemas. Aku butuh kehadiran mereka di tengah keterpurukan ini. Hatiku hancur lebur. Berterbangan bagai debu-debu di jalan. Namun, semua ini sudah garis takdir yang tertuliskan. Sekeras apapun pecutannya, aku harus kuat. Semesta tak akan mencoba hambanya melebihi batas kemampuan.Apa yang terjadi, pasti memang itu yang terbaik. Bukan berarti Gusti Allah membenciku, karena tidak mau mengamanahkan anak ini lebih lama denganku. Namun, pasti ada hikmah yang terselip di dalamnya. Allah tergantung pada prasangka hambanya. Aku tak mau berburuk sangka. Malah menambah pikiran semakin tak karuan. Bagaimanapun, sejujurnya aku ingin menyalahkan takdir. Akan tetapi, hati dan mulut terus mengucap istigfar. Supaya setan tidak bisa membisikan kemungkaran, yang nantinya malah jadi kerusakan pada hidupku. "Tenang, yah, Mir, kamu masih bisa punya anak lagi," ujar ibu mertuaku, mengelus kepala. Tidak aku tanggapi. T
"Mir, lu tenang dulu. Sekarang, pikirin kesehatan lu dulu. Baru deh, kasih pelajaran sama suami lu.""Aku udah sehat, Ra. Semua ini harus dibongkar secepatnya.""Kamu yakin, Mir?" tanya Mbak Rina."Iya, Mbak. Mamah dan Bapak harus tahu juga, gimana kelakuan menantunya. Setelah itu, baru Mira urus semuanya di pengadilan.""Apa kamu tidak akan menyesal dengan keputusanmu, Mir?""Apa yang harus disesali, Mbak. Seharusnya, kemarin Mas Adam menggunakan kehamilanku sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri. Mungkin, aku akan benar-benar memaafkannya. Nyatanya, dia masih berulah.""Baiklah kalau kamu sudah mantap.""Terus, lu mau gimana, Mir?""Aku mau Mas Adam mempertanggung jawabkan kebohongannya.""Mir, jangan kenceng-keceng ngomongnya. Nanti suami lu nguping. Dia tuh, udah curiga banget sama gua. Sampe pernah ngancem gua. Untung ada Bumi, jadi gua gak takut diancem-ancem suami lu.""Tenang saja, Mbak udah nyuruh Mas Hafidz jagain Si Adam. Gak bakal ada kesempatan buat dia nguping pembica
"Mas, ko, datang ke sini?" tanya Alina merangkul pria itu.Kami semua langsung bengong. Kecuali ibu mertua, sepertinya dia sudah tahu. Siapa pria itu? kelihatan sangat dekat dengan Alina."Kalian kenapa pada bengong?""Hehehe, enggak, Tante. Dia siapa Tante, kayanya Kahfi pernah ketemu.""Itu Wendi, Kahfi.""Om Wendi siapa, Mbah?""Kenalkan saya calon suaminya Alina." Pria itu menyalami kami semua. Aku cukup kaget saat dia mengenalkan diri sebagai calon suami Alina. Tapi, kabar ini cukup baik."Biasa aja dong, Mbak Mira. Jangan bengong. Katanya aku gak boleh jadi perebut suami orang terus. Ya udah, nih, aku buktiin cari pria lajang. Ya, walaupun duda anak satu. Setidaknya aku gak merebut punya orang.""Bagus dong. Mas mendukung kamu, Alina. Segeralah menikah, tak usah acara yang mewah, asal segera sah.""Iya Mas Hafidz tenang saja.""Mira, maafkan ibu kalau selana ini sering menyakiti hati kamu. Ternyata kamu ini memang perempuan yang sangat dicintai Hafidz. Ibu gak bakal tega memisa
"Ma-maksudnya Diana sudah meninggal?""Sesuai yang kalian lihat. Dia meninggal karena terkena penyakit paru-paru. Perempuan itu emang aneh, dia sendiri yang menyerahkan Salma pada kalian, tapi dia yang terus menerus meratapi anaknya.""Semua ini terjadi karena kesalahanmu juga, Max. Diana pernah datang padaku dengan kondisi banyak luka. Jangan-jangan dia meninggal karena kamu juga bersikap kasar sama dia.""Hahahaha, iya betul. Aku memang tidak suka dengan perempuan itu. Sudah aku bilang jangan mengurus bayi sialan. Dia malah berani membawanya. Bayi itu sama mengesalkan dengan Diana, berkali-kali aku coba membunuhnya tetap saja tidak berhasil. Ini semua karena kalian, orang asing yang malah ikut campur.""Ja-jadi semua ini ulah Om Max? kemarin Om bilang ibu meninggal hanya karena sakit. Ternyata ... Om jahat. Om mau membunuhku, dan juga sudah berhasil membunuh ibuku.""Kamu salah, anak cantik. Bukan hanya ibumu yang aku bunuh, bapakmu juga. Dia aku beri racun saat di penjara.""Astaga
"Kamu anak laki-laki yang bisa ayah andalkan, jaga Mamah di sini, biar Ayah yang datangi diskotik itu.""Ya elah, Yah, emang kenapa kalau Kahfi ikut. Kalau ada Kahfi bisa makin kuat ngelawan musuhnya, Kahfi ini pinter bela diri, ayah 'kan tahu Kahfi juga pernah juara di bidang pencak silat.""Bukan waktunya berdebat, Kahfi."Mas Hafidz masuk ke kamar Heri. Mereka berdua mengobrol di sana untuk membahas rencana penggerebekan. Zea harus secepatnya diselamatkan. Aku temui Kahfi di kamar tamu. Dia tampak jengkel, mukanya ditekuk, sambil murung."Ikuti kata Ayah, Kahfi Sayang. Bukan waktunya buat ngambek. Kita ada dikondisi genting.""Iya, Mah," jawab Kahfi malas. Aku tinggalkan saja dia di kamar agar bisa istirahat. ***Keesokan malamnya, Mas Hafidz dan Heri sudah mendapat informasi terkait Max. Meliputi latar belakangnya, sekilas tentang bisnis ilegalnya, dan tempat persembunyian. Menyewa detektif memang lebih cepat mendapat banyak informasi.Kami juga bersekongkol dengan pihak polisi.
Pov Mira"Mas, mana Zea katanya di hotel ini?" tanyaku mengedarkan pandangan ke seluruh area hotel. Mas Hafidz mengajakku bertanya pada resepsionis. "Maaf Mbak, lihat anak perempuan sekitar kelas dua SMA, pakai hijab, kulit sawo matang, namanya Zea.""Oh, Adek bernama Zea. Tadi ada di sini, Pak, katanya dia menunggu keluarganya datang. Tapi, terkahir saya lihat dia keluar dan gak balik lagi. Saya pikir sudah dijemput orang tuanya.""Astagfirulloh, jangan-jangan ada yang berbuat jahat sama Zea, Mas.""Tenang, Sayang. Kita telpon Kahfi lagi.""Hallo, Kahfi?""Iya, Yah, udah ketemu Kak Zea?""Dia gak ada di sini. Apa kamu tahu ke mana kira-kira dia pergi?""Gak ada di situ? Kahfi udah nyuruh Kakak nunggu di situ aja. Pasti ada yang culik Kakak Zea. Soalnya pas telpon dia bilang udah berhasil ngelawan orang jahat. Pasti ada yang yang gak beres, Yah.""Astagfirulloh."Persendianku semakin lemas. Baru dapat kabar bahagia, sudah dihujam kenyataan pahit. Mungkin bahaya sedang mengincar anakk
"Ini uang buat bekal kamu di Jakarta. Kamu pergi ke alamat yang sudah Tante tulis, yah.""Beneran gak Tante ini alamat ibu kandung aku?""Iya, cari aja pria bernama Max, itu suami Ibu kamu saat ini."Sebenarnya aku ragu dengan informasi yang diberikan Tante Alina. Secara selama ini perempuan itu judes dan malah suka menjelek-jelekkanku di depan Mbah. Namun, aku juga penasaran. Mamah juga pernah bilang kalau dia dulunya tinggal di Jakarta. Jadi, bisa saja ucapan Tante Alina benar. "Ya udah, Zea pamit dulu, Tante. Nanti bilang aja sama Mamah kalah Zea ke alamat ini.""Iya, gampang. Kamu matiin aja hapenya, jangan dulu di aktifin."Aku mengangguk. Kebetulan ponselku memang sedang lowbet. Aku nekat ke Jakarta naik bis tanpa sepengetahuan Mamah dan Ayah. Kalau mereka tahu, tentu tak akan setuju. Aku memang bahagia diasuh mereka. Sama sekali tidak kekurangan kasih sayang. Tetapi, aku juga ingin bertemu orang tua kandungku. ***"Ini alamatnya?" tanyaku heran. "Ponsel? arrgh, ke mana ponse
"Zea buka pintunya, Sayang.""Kak Zea buka pintunya. Kita semua sayang sama Kak Zea. Jangan dengerin nenek."Berkali-kali mengetuk pintu tak ada jawaban. Aku paham, perasaan Zea pasti sangat hancur. Meski aku bukan ibu kandungnya, tetapi perasaanku juga ikut terluka. Zea sudah seperti anakku sendiri. Kenapa semuanya terbongkar dengan cara seperti ini?"Zea ... maafin Mamah, yah, Sayang," ujarku menangis. "Mah, kita biarkan Kak Zea menenangkan diri dulu, Mah. Dia pasti butuh waktu menerima semua ini."Aku hanya mengangguk lemas. Biar zea tenang dulu. Aku melangkah menjauh dari kamarnya. Ibu mertua ternyata masih menunggu untuk berdebat lagi denganku."Duduk, aku mau bicara.""Bu, pergi saja dari sini.""Kamu ngusir mertuamu sendiri?""Mira, kamu ini emang sudah gila. Terlalu membela anak pungut dibandingkan mertuamu sendiri. Akui saja kesalahanmu, dan kembalikan anak itu ke asalnya. Jangan mempersulit hidup."Aku melangkah mendekati Alina. Menjambak rambutnya. Mata melotot menatap per
"Mah, Ayah apa benar?""Enggak, Sayang. Mbah lagi sakit, jadi kaya gitu.""Jangan bohong. Selama ini Zea merasa diperlakukan berbeda. Mbah selalu pilih kasih. Mbah hanya baik sama Ka Nayla, dan Kahfi. Apa mungkin Zea emang anak pungut?" Ibu mertuaku hanya diam. Wajahnya ketus tak acuh. Ini yang selalu aku takutkan. Kalau aku dan Mas Hafidz tidak ada di sini, mungkin ibu sudah membongkar semuanya. Selama ini, ibu sering keceplosan."Hust, Zea jangan berpikir yang enggak-enggak. Kita keluar aja. Kesian nenek lagi sakit.""Anak itu emang gak tahu diuntung. Aku sedang sakit, malah dia emosi. Heran. Bawa saja anak itu keluar.""Bu, jangan bicara begitu. Ibu memang sedang sakit, tapi tetap jaga perasaan cucu ibu. Jangan bicara seenaknya.""Kalian keluar saja. Biar Kahfi yang di sini. Ibu pusing liat kalian.""Kahfi, jaga nenek kamu. Mamah, Ayah, sama Kak Zea nunggu di luar."Kahfi mengangguk. Meski anak itu suka ribut dengan kakaknya, tetap saja dia sangat menyayangi Zea. Kahfi tidak ikut
"Kahfi ... Ya Allah!" teriakku emosi dengan kelakuan anak bungsu. Kahfi dan Zea mirip ton dan jerry. Setiap hari selalu bercanda keterlaluan. Kejar-kejaran ke sana ke sini. Seperti hari ini, Kahfi menendang ember yang berisi pakaian yang akan di jemur. Lalu lari terbirit-birit karena di kejar kakaknya."Zea, cukup, Sayang. Kalian ini kenapa, sih. Sehari saja jangan ribut.""Hahaha, sini maju kalau berani. Ah, kakak payah.""Dasar adik durhaka. Kamu yang salah, malah berani-beraninya nantangin.""Emangnya ada apa sih?""Itu, Mah, Adek liat video mesum.""Bohong, Mah. Wah, Kakak suka membalikan fakta. Yang ada, kakak tuh, ketahuan mojok di sekolah sama cowok berandalan.""Namanya Rey, enak aja kamu sebut cowok berandalan.""Emang dia cowok berandalan. Kakak aja yang mau dibego-begoin.""Wah, mulutnya minta digeplak sendal swallow, sini kamu."Dua anak itu tidak kapok mendengar teriakanku. Terus berlarian ke sana ke mari. Aku kejar mereka, lalu menjewer kuping keduanya."Kalian ini.""A
"Mas, ibu gak dikejar?""Gak usah, besok Mas bicara lagi sama ibu. Gak biasanya ibu kaya gitu. Semoga perlahan ibu bisa menerima.""Aamiin. Maaf yah, Mas.""Kenapa minta maaf, Sayang?" "Ya, kamu sama ibu jadi ribut gara-gara aku.""Bukan gara-gara kamu, Sayang. Kita hadapi bersama yah. Apapun sekuensi mengadopsi Zea. Toh, niat kita baik. Allah maha tahu."Aku peluk suamiku. Mencium pipinya tanda cinta. Bahagianya punya suami sangat bijaksana. Karunia terindah yang pernah aku miliki. Setiap rumah tangga pasti ada badainya. Tidak ada yang baik-baik saja. Jika ada keluarga yang terlihat sangat harmonis, itu tandanya komunikasi antar anggota keluarga berjalan baik. Adanya komunikasi, bisa membuat kita saling memahami, dan menghargai. *****"Sayang, bentar liatin adek Kahfi dulu yah.""Siap, Mah."Aku kebelet ke toilet. Nikmat sekali punya anak bayi dan balita. Padahal, Salwa sudah diurusi pembantu rumah ini. Tetap saja aku kewalahan. Makan tidak tenang, mau mandi saja kerepotan. Masih