"Sayang, kamu kenapa bawa preman ke kamar kita? lihat aku sudah menghias kamar kita. Biar kamu lebih nyaman."
"Mas, kamu emang benar-benar gak punya malu. Sama sekali gak paham arti kata pergi. Nih, surat perceraian kita. Bawa. Biar kamu sadar kalau aku tak mau lagi denganmu." Mira melempar amplop putih tepat ke wajahku.
"Sayang, maafkan Mas. Kita bicarakan semua ini baik-baik. Dengan kepala dingin. Usir dulu dua preman itu.""Silakan jelaskan semuanya di pengadlan, Mas. Bos perusahan besar sepertiku tak punya banyak waktu untuk mengurusmu."
"Sayang, kita bicarakan dulu semuanya. Kamu akan menyesal karena meminta cerai dariku. Apa kamu mau jadi janda? lebih baik kita bicarakan dulu semuanya."
"Hei, dua preman, pergi kalian. Aku harus bicara urusan rumah tangga dengan istriku," sambungku berusaha mengusir dua pereman berwajah mirip harimau ganas.
Jantung ini berdebar gugup. Mati aku jika harus melawan dua preman dengan otot kekar seperti mereka. Tak habis pikir, kenapa Mira bisa terpikirkan menyewa preman. Kenapa dia tahu kalau aku akan pulang ke rumah? ternyata, Mira tidak sepolos yang aku pikirkan. Dia sangat cerdik.
"Bukan mereka yang harusnya angkat kaki, tetapi kamu, Mas. Cepat pergi."
"Buang bunga-bunga ini. Aku tidak butuh. Sana kamu bermalam di rumah gundikmu"
Mira menunjukan amarahnya. Dia mengamuk sambil melempar selimut dan seprei agar kelopak bunga berjatuhan ke lantai. Tidak aku sangka, perempuan yang biasanya terlihat baik, dan lemah lembut seperti Mira bisa berubah buas layaknya macan mengamuk. Mungkin, ini yang dinamakan kekuatan dalam dari seorang perempuan.
"Sayang, maafkan, Mas. Beri Mas kesempatan sekali lagi. Mas janji akan menceraikan Diana. Asal kamu mau kembali sama Mas."
"Percaya diri banget kamu, Mas. Aku gak sudi kembali sama penghianat."
"Sayang ampun ... maafkan Mas."
"Cepat geret pria ini keluar. Aku sudah muak."
"Siap Bos."
Dua pria itu mencengkram lenganku. Tulang lengan rasanya terlindas ban motor karena cengkraman kuat dari pria bertubuh kekar di sampingku.
"Mir, tenanglah."
Sahabat Mira datang. Dia setengah berlari menghampiri istriku. Lalu mmeberikan sebotol air putih. Mira yang sedang terbakar api amarah, berusaha menenangkan diri dengan menengguk air itu.
"Mir, tolong suruh mereka lepaskan aku."
"Mira ... kamu akan menyesal!" teriakku emosi. Aku digeret sampai teras depan. Dilemparkan bagaikan pakain bekas. Kemudian, dua pria kurang ajar itu menutup pintu.
"Buka pintunya!"
"'Mira buka pintunya. Kamu akan menyesal. Banyak orang akan menghinamu jika kamu jadi janda. Maka pikirkan lagi keputusanmu, mira!" teriaku berusaha menggendor pintu.
Hampir setengah jam aku berusaha memancing Mira keluar. Nmaun, pintu tak kunjung dibuka.
Byur!
Mira keluar menyiramkan air berisi sisa-sisa makanan.
"Cepat pergi atau aku panggilkan polisi."
"Mira, kamu benar-benar keterlaluan. Dasar istri durhaka. Liihat saja, kamu akan menyesal karena sudah memperlakukanku seperti maling."
"Cepat pergi!" teriak Mira seperti orang kesurupan.
Lama-lama ngeri juga melihat tingkah Mira yang semakin brutal. Aku memilih pergi dari rumah. Untung saja kunci mobil masih ada di saku clelana. Aku begegas kabur membawa mobil.
"Jangan bawa mobilku!" teriak Mira. Sengaja aku abaikan.
Uang muka mobil ini memang menggunakan uang Mira. Dia bilang uang dari orang tuanya. Namun, uang cicilannya aku yang bayar. Jadi, aku berhak membawa mobil ini
"Diana, buka pintunya, Na," panggilku berusaha menggedor pintu rumah Diana.
Tak ada tempat lain untukku menginap selain di rumah kontrakan milik Diana. Aku tak mungkiin pulang ke rumahh ibu. Urusannya akan semakin kacau. Ibu akan ikut-ikutan memarahiku.
"Diana ...."
Aku terus berusaha menggedor pintu. Namun, hampir setengah jam Diana tak kunjung membukakan pintu. Padahal, badanku sudah sedikit menggigil karena baju yang digunakan basah kuyup. Disertai bau tak karuan dari sisa makanan.
"Mas Adam. Kenapa kamu ke sini?"
"Mira mengusirku, Na. Jadi, aku mau menginap di sini."
"Tidak, tidak. Kamu urus dulu istrimu yang stres itu. Dia sudah seenaknya mempermalukanku tanpa membayar. Kamu juga, sudah menghinaku di depan dia. Jadi, urus dulu masalahmu. Aku tak mau ikut repot."
"Maafkan, Mas, Na. Kamu 'kan tahu, Mas melakukan semua itu demi kamu juga. Demi uang dari Mira."
"Terserah kamu, Mas. Urus dulu masalahmu. Jangan lupa rumah yang kamu janjikan. Baru kembali padaku."
"Tapi, Na, Ma-"
Bugh!
Diana menutup pintu sangat kencang. Sialan. Dasar perempuan penggoda. Memang tidak salah, kalau istri kedua selalu mau enaknya saja. Untung dia cantik. Kalau tidak, sudah aku ceraikan. Bukannya membantu, malah menambah keruh suasana.
"Sialan, aku harus pergi ke mana lagi!" ujarku kesal sambil memukul setir.
Mau tak mau aku harus pergi ke rumah ibu. Tak mungkin menginap di hotel. Uang di dompet dan ATM sudah menipis. Kalau saja dari awal aku tahu Mira seorang Bos panci, sudah aku pindahkan isi rekeningnya. Bodohnya aku, hanya mengira dia seorang reseller panci.
Drat ... drat ....
Saat di perjalanan ponselku berbunyi. Berkali-kali ibu dan adikku memanggil. Ibu pasti kebingungan dengan balasan pesan dariku.
"Hallo, Bu." Terpaksa aku menelpon ibu. Agar dia berhenti menerorku.
"Adam ... kenapa telepon ibu baru diangkat. Kamu lagi kenapa, sih? Si Mira juga ditelepon gak bisa. Kalian lagi ribut? ribut kenapa lagi. ibu sudah bilang, jangan sampai ribut dengan istrimu. Ingat, dia itu bakal punya warisan banyak. Paham gak?"
Arrgh, bukannya menenangkan hatiku, ibu malah menambah runyam saja. Aku matiikan saja telepon. Lalu, mengaktifkan mode pesawat. Biar nanti aku jelaskan semuanya saat sampai di rumah.
"Bu ... buka pintunya." Butuh waktu satu jam menuju rumah ibu. Bajuku hampir kering lagi. Aku sudah tak memperdulikan kondisi tubuhku. Satu yang paling penting, mencari cara agar Mira bisa memafkanku."Ya ampun, kamu kenapa bisa basah ples bau kaya gini?" tanya ibu heran saat membuka pintu.
"Ih, Mas Adam, jorok banget. Udah kaya bau got. Abis nyemplung di got, Mas?" tanya adikku, Ela, sambil menutup hidung.
"Nanti aku jelaskan. Aku mau mandi dulu, Bu."
Aku langsung menyelonong masuk. Sudah tak tahan dengan bau dan kondisi baju yang lembab. Bergegas meenuju kamarku, dan masuk kamar mandi.
"Adam, udah belum mandinya. Cepat jelaskan apa yang sebenanrnya terjadi," teriak ibu di balik pintu.
"Sabar, Bu."
"Jangan lama-lama. Firasat ibu gak enak. pasti ada hal buruk yang terjadi. Mira sampai berkali-kali menolak panggilan dari ibu. Tidak biasanya dia seperti itu."
"Kami memang sedang bertengkar hebat Bu," jawabku sambil membuka pintu.
Aku hanya menggunakan sehelai handuk. Lalu, berjalan menuju lemari tua yang berisi sisa-sisa pakaianku saat zaman kuliah. Semoga masih ada yang muat.
"Ribut kenapa?"
"Mira salah sangka sama Diana, Bu. Dia pkir kalau Diana itu selingkuhanku, karena aku teralu dekat dengannya."
Terpaksa aku harus berbohong. Supaya posisku aman. Walaupun, cepat atau lambat ibu pasti akan tahu kebenarannya. Setidaknya, malam ini aku aman dari omelan ibu.
"Ya ampun, Si Mira emang kadang suka bertingkah. Mangkanya jadi istri itu harus dandan yang cantik. LIhat nih, Ibu. Walaupun udah jadi janda, tetap dandan cantik."Aku hanya mengangkat bahu tanda merespon kalau aku juga tak tahu. Aku biarkan ibu mengoceh panjang lebar. Sementara aku, sibuk berganti pakaian. Lalu, pergi ke dapur mencari makan.
"Bu ada lauk buat makan?" tanyaku sambil berusaha mencari makanan di atas meja, kulkas, dan lemari.
"Gak ada, Dam. Ibu sama Ela tadi beli makanan online. Kamu makan mie ajah. Sana bikin."
"Yah, ibu. Pantas saja uang bulanannya cepat habis. Mangkanya masak, Bu. Biar hemat."
"Eh, gak usah atur-atur ibu. Kamu urus ajah masalah kamu sama Mira. Jangan buat dia marah. Kalau dia marah, sumber uang ibu menghilang. Tau gak."
"Ya, gimana lagi, Bu. Mira saja yang terlalu cemburuan.""Iya juga, sih. Si Diana emang cantik. Paling Si Mira iri hati. Mangkanya, kamu harus bilang sama dia, kalau dia gak cantik gak papa, asal gak usah segala ngambek sama suami. Harusnya dia bersyukur punya suami ganteng kaya kamu."
"Iya, Bu. Sudahlah, jangan bahas itu dulu. Kepala Adam pusing."
"Ih, dasar kamu, Dam. Ya sudah, sana makan."
Ibu berlalu membiarkanku masak sendiri. Sial sekali hidupku hari ini. Biasanya Mira selalu menyajikan masakan yang enak. Berbeda dengan Ibu dan Diana yang bisanya hanya menuntut uangku saja, tetapi tidak pernah mempedulikan kondisiku.
Dari dulu, ibu memang lebih perhatian pada Ela. Anak perempuan satu-satunya sekaligus anak bontot. Sementara aku, dituntut harus dewasa dan menjadi tulang punggung, semenjak ayah meninggal saat aku duduk di bangku kuliah semester akhir.
Malam ini, aku harus memikirkan cara untuk menarik simpati Mira. Perempuan itu tetaplah istriku yang hatinya lemah lembut. Dia pasti tak akan tega bercerai denganku jika aku terus memohon.
Aku bereskan bekas Mie yang sudah tandas. Masuk ke kamar, tanpa mempedulikan ocehan ibu dan Ela yang masih saja terus mengomentari permasalahanku dengan Mira. Aku memilih tidur. Kepala harus diistirahatkan. Supaya, bisa mendapatkan ide cemerlang di esok hari.
*****"Bu, mau ke mana?"
Saat pergi ke dapur, aku heran dengan penampilan ibu yang sudah rapih. Begitu pula dengan Ela. Mereka baru selesai sarapan. Lalu, bersiap-siap mau pergi.
"Mau ke rumah istrimu. Kalian tidak boleh bertengkar lama-lama. Ibu harus membantu mendamaikan kalian. Soalnya, ibu lagi butuh uang buat beli perhiasan."
"Betul kata ibu. Ela juga lagi butuh uang buat beli baju. Minggu depan ada acara ulang tahun temen."
"Sabar dulu. Biar aku yang mengurus Mira. Ibu dan Ela di rumah saja. Perhiasan ibu 'kan banyak. Baju kamu juga masih bagus-bagus, Ela. Pakailah dulu apa yang ada. Jangan memperkeruh suasana."
"Kamu kenapa sih, Adam. Orang ibu dan Ela mau bantu. Sudah. Sana kamu makan dan pergi kerja. Ibu dan Ela mau pergi."
"Tapi, Bu ...."
"Berisik, Mas. Sudah biar aku dan ibu membantu mendamaikan Mas sama Mbak Mira."
Aduh, kacau. Bahaya kalau mereka datang ke rumah Mira. Kondisi sedang genting. Bisa-bisa ibu syok bertemu dua preman pasar di sana.
POV Mira "Mir, buka pintunya. Ini ibu Mir." Siapa yang datang? seperti suara ibu mertuaku. Ya ampun, urusannya akan semakin ribet saja. Tak cukup menerorku lewat pesan, keluarga Mas Adam malah menemuiku. Apa Mas adam tidak memceritakan surat perceraian yang aku berikan? kenapa masih berani mengusikku? "Hei, awas. Aku mertuanya Mira. Kenapa kalian menahanku masuk." "Iya nih, siapa sih kalian!" teriak dua suara yang tak asing. Mungkn Ibu dan Ela sedang berusaha menghadapi dua penjagaku di depan. Namun, pasti sulit mengusir mereka. Anak dan ibu sama membandelnya seperti kuman dalam hidupku. Benar-benar tak tahu diri. "Siapa, Mir?" tanya Tiara yang ikut terbangun. Sejak semalam, Tiara memang menemaniku. Dia tidur di kamar tamu yang ada di rumah ini. "Kayanya mertua dan adik iparku." "Aduh. Masih pagi udah bikin rusuh aja." "Ya, begitulah, pasti ada sesuatu mangkannya mereka repot-repot ke sini." "Mungkin mereka gak mau kehilanggan kamu, Mir. Secara kamu selalu memberikan apapun
"Arrgh, dasar menantu kurang ajar.""Iya nih. Mbak Mira mulai gila.""Kalian yang gila. Jadi manusia tidak punya rasa malu. Cepat pergi."Byur!"Arrgh!" teriakku dan Tiara yang lagi-lagi terkena siraman air yang diguyurkan Ela. Mertua dan adik iparku memang keterlaluan. Bukannya mendamaikan, malah membuat suasana semakin kacau. Beraninya mengajak berkelahi di rumahku sendiri."Ih, kalian ini... menguras emosiku saja," ucapku geregetan menahan kesal. Hampir saja aku mau melempar gelas kosong ke mereka. Beruntung Tiara Menahan."Istigfar, Mir. Kamu bukan orang jahat. Kuasai dirimu."Walaupun Tiara kadang bar-bar, tapi dia memang sahabat terbaik. Selalu mengingatkanku dalam kebaikan. Dia paling tidak mau jika aku melakukan hal yang merugikan diri sendiri. "Penjaga, cepat bawa mereka keluar," perintah Tiara."Hei, kamu gak usah ikut campur. Ini urusanku dengan menantuku. Kalian juga, para preman sialan, jangan bertingkah. Aku belum selesai memberi pelajaran pada Mira. Dia sudah kurang a
"Su-suka, ma-maksudnya?" Bumi hanya tersenyum. Sementara diriku gelagapan. Mendadak salah tingkah. "Ya, aku suka sama kamu. Siapa orang yang tidak suka dengan perempuan cantik, baik, dan hebat sepertimu, Mir. Kamu juga sangat mandiri. Jadi, kamu harus selalu kuat. Percaya dengan dirimu sendiri.""Oh, gitu."Sial. Hampir saja aku kegeeran. Aku pikir Bumi menyimpan rasa yang aneh-aneh padaku. Ternyata dia hanya memuji untuk membangkitkan semangatku."Iya, emang kamu maunya gimana?""Ya gak gimana-gimana, Bumi. Sudah-sudah, jangan bicara aneh-aneh.""Aku tidak bicara aneh, Mira. Jangan-jangan pikiranmu yang aneh-aneh.""Enak saja.""Hehehe, gitu dong. Tampakkan muka kesalmu. Tidak baik menyimpan beban. Ekspresikan saja isi bisa.""Ekspresikan kaya gimana, Bumi? kalau aku tahu caranya, udah aku lakuin. Rasanya tuh, pengen marah-marah sambil Jambak rambut Si Pelakor. Sayang, tanganku terlalu berharga buat nyentuh dia.""Betul itu. Jangan kotori tanganmu. Lebih baik pake cara lain.""Cara
Kujual Suamiku di Status Fecabook Part 11 Musuh dalam SelimutPOV Adam "Sahabat penghianat!" Aku terus memaki Bumi sambil memukuk dia sekuat tenaga. Tak peduli badanku yang terus terkena pukulan, sampai terjengkang ke tanah. Aku tak akan membiarkan pria itu pergi, sebelum dia babak belur. "Sadar diri, Dam. Lu bukan suami yang baik. Kalau tidak bisa membahagiakan Mira, biarkan dia dibahagiakan pria lain.""Arrgh, sialan!"Aku bangkit lagi. Melayangkan pukulan bertubi-tubi. Sekarang, Bumi yang tergeletak lemah di tanah. Darah menetes dari pelipisnya. "Berhenti, berhenti, Mas. Gila kamu."Kepalan tangan melambung di udara. Padahal, satu pukulan lagi, aku jamin Bumi akan pingsan. Namun, Mira malah menahan. Dia memasang badan melindungi Bumi."Kenapa kamu bela dia, Mir. Sudah jelas-jelas dia menghasut kamu sampai minta ceria dan bersikap seperti ini.""Kamu gila, Mas? kenapa sih, kamu gak sadar-sadar juga. Coba sekali saja sadar diri dan akui kesalahan kamu. Sudah jelas-jelas kamu sel
"Arrgh! sialan. Aku harus bagaimana?" tanya pada diri sendiri. Sangat frustasi.PIkiran kacau. Tak tahu harus mencari uang di mana. Sisa gajiku tinggal 500 ribu. Sementara gajian masih sepuluh hari lagi.Kenapa hiidupku jadi runyam? baru beberapa bulan merasakan kebahagiaan karena punya istri dua. Sekarang, malah terasa jad duda."Bu, buka pintunya, Bu."Berkali-kali mengetuk pintu, ibu ataupun Ela tak membuka pintu. Waktu memang sudah menunjukan jam dua belas malam. Mungkin, ibu sudah tidur. Kalau begitu, aku harus tidur di mana?"Bu ... Ela ... buka pintunya!""Sialan. Masa gak ada yang bangun. Tidur apa pingsan?""Ibu!" Urat-urat tenggorokanku rasanya mau putus. Kehabisan energi. Sampai vita suara serak. Mau tak mau, aku meringkuk sambil menyandar di tembok. Menyugar rambut penuh kecewa. Angin malam menambah derita. Dinginnya menembus kulit. Sampai menggetarkan jantung. Sehingga, tubuhku sedikit menggigil. Aku peluk tubuh dengan tanganku sendiri."Tuhan, salah apa aku? sampai j
"Mira, buka pintunya, Mir."Aduh, ke mana istriku. Apa dia masuk kerja? tidak. Ini hari libur. Tak mungkin Mira pergi bekerja. Kemarin saja, dia malah jalan-jalan dengan pria pecundang, Si Bumi. Aku tak menyerah. Terus menunggu sampai Mira datang. Berusaha menelepon ponselnya, dan mengirim pesan, tetapi tidak ada jawaban. "Mira." Mataku terbuka lebar ketika melihat sebuah mobil masuk ke halaman. Orang yang aku tunggu keluar dari mobil tersebut. Dia ditemani sahabatnya."Mas, ngapain kamu ke sini.""Mir, Mas gak mau ngajak ribut. Cuman mau ngomong penting doang.""Ini hari libur, Mas. Tolong, deh, jangan ganggu ketenangan pikiranku. Hari ini, aku mau tenang.""Bukan begitu, Mir. Ada hal mendesak. Aku mohon, Mir.""Ya sudah. Sebelumnya, bawain dulu belanjaan aku di mobil. Taruh di dapur. Baru nanti kita bicara.""Siap, Mir."Mata ini berbinar dengan perasaan lega. Mira tampak tidak terlalu tempramental menghadapiku. Dia sudah kembali menjadi Mira seperti biasanya. Tiara membuka ba
POV MiraSialan. Mereka sudah menipuku. Sebenarnya, aku memang curiga. Namun, hatiku iba jika menyangkut kesehatan orang tua. Aku juga tahu kalau ibu memang memiliki penyakit darah tinggi. Penyakit tersebut bisa memicu komplikasi seperti struk dan lainnya. Tanpa pikir panjang, langsung mengirim uang pada Ela."Mir, jangan gampang percaya lu. Coba tanya di mana rumah sakitnya," ucap Tiara mengingatkan. Aku pun melakukan apa yang disarankan sahabatku. Namun, nomer Ela mendadak tidak aktif. "Tuh, pasti bohong adik ipar lu. Masa langsung dimatiin ponselnya. Mendingan kita lihat ke rumah mertua lu. Gua jamin, pasti mereka sehat-sehat ajah di rumah."Mendengar penuturan Tiara, aku menyetujui usulannya. Kami bergegas ke rumah Ibu. Benar saja, saat Tiara berteriak memanggil pemilik rumah, ibu keluar dalam keadaan sehat tanpa kekurangan suatu apa pun.Darahku mendidih. Panas di ulu hati. Teganya mereka membohongiku dengan alasan yang tak sepatutnya. Apa mereka tidak takut malaikat mengaminka
"Mir, lu gak papa?" tanya Tiara memegang aku."Gak papa, Ra. Kamu gak papa?""Aman. Cuman agak syok. Untung jantung gua gak loncat. Lu kenapa sih, malah ngelamun. Untung aja bawa mobilnya gak ngebut. Jadi, pas ngerem gak parah banget nabrak pohonnya.""Hehehe, maaf, Ra.""Malah cengengesan. Ayok, keluar. Kita cek mobilnya. Eh, dahi lu berdarah."Tiara panik. Begitu pula denganku. Baru aku sadari kalau keningku tepatnya bagian di atas alis, meneteskan darah. Kami segera keluar mobil.Mobilku penyok di bagian depan. Beberapa warga mengeubungi kami. Menanyakan keadaan kami. "Telepon siapa, Ra?""Bumi. Biar lu dibawa ke dokter."Aku hanya mengangguk. Tak membantah. Kami memang butuh bantuan orang terdekat untuk mengantar ke rumah sakit dan mengurus mobilku. Beberapa menit kemudian, mobil bumi menghampiri kami. Aku dan Tiara yang sedang duduk di warung, berdiri menghampiri. Tadi, pemilik warung memberi kami minum gratis. Katanya, untuk menenangkan diri karena insiden tadi. "Mir, kening
"Mas, ko, datang ke sini?" tanya Alina merangkul pria itu.Kami semua langsung bengong. Kecuali ibu mertua, sepertinya dia sudah tahu. Siapa pria itu? kelihatan sangat dekat dengan Alina."Kalian kenapa pada bengong?""Hehehe, enggak, Tante. Dia siapa Tante, kayanya Kahfi pernah ketemu.""Itu Wendi, Kahfi.""Om Wendi siapa, Mbah?""Kenalkan saya calon suaminya Alina." Pria itu menyalami kami semua. Aku cukup kaget saat dia mengenalkan diri sebagai calon suami Alina. Tapi, kabar ini cukup baik."Biasa aja dong, Mbak Mira. Jangan bengong. Katanya aku gak boleh jadi perebut suami orang terus. Ya udah, nih, aku buktiin cari pria lajang. Ya, walaupun duda anak satu. Setidaknya aku gak merebut punya orang.""Bagus dong. Mas mendukung kamu, Alina. Segeralah menikah, tak usah acara yang mewah, asal segera sah.""Iya Mas Hafidz tenang saja.""Mira, maafkan ibu kalau selana ini sering menyakiti hati kamu. Ternyata kamu ini memang perempuan yang sangat dicintai Hafidz. Ibu gak bakal tega memisa
"Ma-maksudnya Diana sudah meninggal?""Sesuai yang kalian lihat. Dia meninggal karena terkena penyakit paru-paru. Perempuan itu emang aneh, dia sendiri yang menyerahkan Salma pada kalian, tapi dia yang terus menerus meratapi anaknya.""Semua ini terjadi karena kesalahanmu juga, Max. Diana pernah datang padaku dengan kondisi banyak luka. Jangan-jangan dia meninggal karena kamu juga bersikap kasar sama dia.""Hahahaha, iya betul. Aku memang tidak suka dengan perempuan itu. Sudah aku bilang jangan mengurus bayi sialan. Dia malah berani membawanya. Bayi itu sama mengesalkan dengan Diana, berkali-kali aku coba membunuhnya tetap saja tidak berhasil. Ini semua karena kalian, orang asing yang malah ikut campur.""Ja-jadi semua ini ulah Om Max? kemarin Om bilang ibu meninggal hanya karena sakit. Ternyata ... Om jahat. Om mau membunuhku, dan juga sudah berhasil membunuh ibuku.""Kamu salah, anak cantik. Bukan hanya ibumu yang aku bunuh, bapakmu juga. Dia aku beri racun saat di penjara.""Astaga
"Kamu anak laki-laki yang bisa ayah andalkan, jaga Mamah di sini, biar Ayah yang datangi diskotik itu.""Ya elah, Yah, emang kenapa kalau Kahfi ikut. Kalau ada Kahfi bisa makin kuat ngelawan musuhnya, Kahfi ini pinter bela diri, ayah 'kan tahu Kahfi juga pernah juara di bidang pencak silat.""Bukan waktunya berdebat, Kahfi."Mas Hafidz masuk ke kamar Heri. Mereka berdua mengobrol di sana untuk membahas rencana penggerebekan. Zea harus secepatnya diselamatkan. Aku temui Kahfi di kamar tamu. Dia tampak jengkel, mukanya ditekuk, sambil murung."Ikuti kata Ayah, Kahfi Sayang. Bukan waktunya buat ngambek. Kita ada dikondisi genting.""Iya, Mah," jawab Kahfi malas. Aku tinggalkan saja dia di kamar agar bisa istirahat. ***Keesokan malamnya, Mas Hafidz dan Heri sudah mendapat informasi terkait Max. Meliputi latar belakangnya, sekilas tentang bisnis ilegalnya, dan tempat persembunyian. Menyewa detektif memang lebih cepat mendapat banyak informasi.Kami juga bersekongkol dengan pihak polisi.
Pov Mira"Mas, mana Zea katanya di hotel ini?" tanyaku mengedarkan pandangan ke seluruh area hotel. Mas Hafidz mengajakku bertanya pada resepsionis. "Maaf Mbak, lihat anak perempuan sekitar kelas dua SMA, pakai hijab, kulit sawo matang, namanya Zea.""Oh, Adek bernama Zea. Tadi ada di sini, Pak, katanya dia menunggu keluarganya datang. Tapi, terkahir saya lihat dia keluar dan gak balik lagi. Saya pikir sudah dijemput orang tuanya.""Astagfirulloh, jangan-jangan ada yang berbuat jahat sama Zea, Mas.""Tenang, Sayang. Kita telpon Kahfi lagi.""Hallo, Kahfi?""Iya, Yah, udah ketemu Kak Zea?""Dia gak ada di sini. Apa kamu tahu ke mana kira-kira dia pergi?""Gak ada di situ? Kahfi udah nyuruh Kakak nunggu di situ aja. Pasti ada yang culik Kakak Zea. Soalnya pas telpon dia bilang udah berhasil ngelawan orang jahat. Pasti ada yang yang gak beres, Yah.""Astagfirulloh."Persendianku semakin lemas. Baru dapat kabar bahagia, sudah dihujam kenyataan pahit. Mungkin bahaya sedang mengincar anakk
"Ini uang buat bekal kamu di Jakarta. Kamu pergi ke alamat yang sudah Tante tulis, yah.""Beneran gak Tante ini alamat ibu kandung aku?""Iya, cari aja pria bernama Max, itu suami Ibu kamu saat ini."Sebenarnya aku ragu dengan informasi yang diberikan Tante Alina. Secara selama ini perempuan itu judes dan malah suka menjelek-jelekkanku di depan Mbah. Namun, aku juga penasaran. Mamah juga pernah bilang kalau dia dulunya tinggal di Jakarta. Jadi, bisa saja ucapan Tante Alina benar. "Ya udah, Zea pamit dulu, Tante. Nanti bilang aja sama Mamah kalah Zea ke alamat ini.""Iya, gampang. Kamu matiin aja hapenya, jangan dulu di aktifin."Aku mengangguk. Kebetulan ponselku memang sedang lowbet. Aku nekat ke Jakarta naik bis tanpa sepengetahuan Mamah dan Ayah. Kalau mereka tahu, tentu tak akan setuju. Aku memang bahagia diasuh mereka. Sama sekali tidak kekurangan kasih sayang. Tetapi, aku juga ingin bertemu orang tua kandungku. ***"Ini alamatnya?" tanyaku heran. "Ponsel? arrgh, ke mana ponse
"Zea buka pintunya, Sayang.""Kak Zea buka pintunya. Kita semua sayang sama Kak Zea. Jangan dengerin nenek."Berkali-kali mengetuk pintu tak ada jawaban. Aku paham, perasaan Zea pasti sangat hancur. Meski aku bukan ibu kandungnya, tetapi perasaanku juga ikut terluka. Zea sudah seperti anakku sendiri. Kenapa semuanya terbongkar dengan cara seperti ini?"Zea ... maafin Mamah, yah, Sayang," ujarku menangis. "Mah, kita biarkan Kak Zea menenangkan diri dulu, Mah. Dia pasti butuh waktu menerima semua ini."Aku hanya mengangguk lemas. Biar zea tenang dulu. Aku melangkah menjauh dari kamarnya. Ibu mertua ternyata masih menunggu untuk berdebat lagi denganku."Duduk, aku mau bicara.""Bu, pergi saja dari sini.""Kamu ngusir mertuamu sendiri?""Mira, kamu ini emang sudah gila. Terlalu membela anak pungut dibandingkan mertuamu sendiri. Akui saja kesalahanmu, dan kembalikan anak itu ke asalnya. Jangan mempersulit hidup."Aku melangkah mendekati Alina. Menjambak rambutnya. Mata melotot menatap per
"Mah, Ayah apa benar?""Enggak, Sayang. Mbah lagi sakit, jadi kaya gitu.""Jangan bohong. Selama ini Zea merasa diperlakukan berbeda. Mbah selalu pilih kasih. Mbah hanya baik sama Ka Nayla, dan Kahfi. Apa mungkin Zea emang anak pungut?" Ibu mertuaku hanya diam. Wajahnya ketus tak acuh. Ini yang selalu aku takutkan. Kalau aku dan Mas Hafidz tidak ada di sini, mungkin ibu sudah membongkar semuanya. Selama ini, ibu sering keceplosan."Hust, Zea jangan berpikir yang enggak-enggak. Kita keluar aja. Kesian nenek lagi sakit.""Anak itu emang gak tahu diuntung. Aku sedang sakit, malah dia emosi. Heran. Bawa saja anak itu keluar.""Bu, jangan bicara begitu. Ibu memang sedang sakit, tapi tetap jaga perasaan cucu ibu. Jangan bicara seenaknya.""Kalian keluar saja. Biar Kahfi yang di sini. Ibu pusing liat kalian.""Kahfi, jaga nenek kamu. Mamah, Ayah, sama Kak Zea nunggu di luar."Kahfi mengangguk. Meski anak itu suka ribut dengan kakaknya, tetap saja dia sangat menyayangi Zea. Kahfi tidak ikut
"Kahfi ... Ya Allah!" teriakku emosi dengan kelakuan anak bungsu. Kahfi dan Zea mirip ton dan jerry. Setiap hari selalu bercanda keterlaluan. Kejar-kejaran ke sana ke sini. Seperti hari ini, Kahfi menendang ember yang berisi pakaian yang akan di jemur. Lalu lari terbirit-birit karena di kejar kakaknya."Zea, cukup, Sayang. Kalian ini kenapa, sih. Sehari saja jangan ribut.""Hahaha, sini maju kalau berani. Ah, kakak payah.""Dasar adik durhaka. Kamu yang salah, malah berani-beraninya nantangin.""Emangnya ada apa sih?""Itu, Mah, Adek liat video mesum.""Bohong, Mah. Wah, Kakak suka membalikan fakta. Yang ada, kakak tuh, ketahuan mojok di sekolah sama cowok berandalan.""Namanya Rey, enak aja kamu sebut cowok berandalan.""Emang dia cowok berandalan. Kakak aja yang mau dibego-begoin.""Wah, mulutnya minta digeplak sendal swallow, sini kamu."Dua anak itu tidak kapok mendengar teriakanku. Terus berlarian ke sana ke mari. Aku kejar mereka, lalu menjewer kuping keduanya."Kalian ini.""A
"Mas, ibu gak dikejar?""Gak usah, besok Mas bicara lagi sama ibu. Gak biasanya ibu kaya gitu. Semoga perlahan ibu bisa menerima.""Aamiin. Maaf yah, Mas.""Kenapa minta maaf, Sayang?" "Ya, kamu sama ibu jadi ribut gara-gara aku.""Bukan gara-gara kamu, Sayang. Kita hadapi bersama yah. Apapun sekuensi mengadopsi Zea. Toh, niat kita baik. Allah maha tahu."Aku peluk suamiku. Mencium pipinya tanda cinta. Bahagianya punya suami sangat bijaksana. Karunia terindah yang pernah aku miliki. Setiap rumah tangga pasti ada badainya. Tidak ada yang baik-baik saja. Jika ada keluarga yang terlihat sangat harmonis, itu tandanya komunikasi antar anggota keluarga berjalan baik. Adanya komunikasi, bisa membuat kita saling memahami, dan menghargai. *****"Sayang, bentar liatin adek Kahfi dulu yah.""Siap, Mah."Aku kebelet ke toilet. Nikmat sekali punya anak bayi dan balita. Padahal, Salwa sudah diurusi pembantu rumah ini. Tetap saja aku kewalahan. Makan tidak tenang, mau mandi saja kerepotan. Masih