POV Mira
"Mir, buka pintunya. Ini ibu Mir."
Siapa yang datang? seperti suara ibu mertuaku. Ya ampun, urusannya akan semakin ribet saja. Tak cukup menerorku lewat pesan, keluarga Mas Adam malah menemuiku. Apa Mas adam tidak memceritakan surat perceraian yang aku berikan? kenapa masih berani mengusikku?
"Hei, awas. Aku mertuanya Mira. Kenapa kalian menahanku masuk."
"Iya nih, siapa sih kalian!" teriak dua suara yang tak asing.
Mungkn Ibu dan Ela sedang berusaha menghadapi dua penjagaku di depan. Namun, pasti sulit mengusir mereka. Anak dan ibu sama membandelnya seperti kuman dalam hidupku. Benar-benar tak tahu diri.
"Siapa, Mir?" tanya Tiara yang ikut terbangun. Sejak semalam, Tiara memang menemaniku. Dia tidur di kamar tamu yang ada di rumah ini.
"Kayanya mertua dan adik iparku."
"Aduh. Masih pagi udah bikin rusuh aja."
"Ya, begitulah, pasti ada sesuatu mangkannya mereka repot-repot ke sini."
"Mungkin mereka gak mau kehilanggan kamu, Mir. Secara kamu selalu memberikan apapun yang mereka mau."
"Bisa jadi."
"Mira ... keluar ... tolong ibu, Mir."
"Ayok, Mir. Kita lihat, drama apa yang sedang mereka mainkan."
Aku dan Tiara menuju pintu depan. Benar saja prediksi kami. Sudah terjadi drama di sini. Tanamanku rusak karena potnya dilempar. Sementara penjagaku mencekal tangan Ela dan ibu agar tidak berulah.
"Mira."
"Lepaskan mereka."
"Tapi, Bu....."
"Lepaskan. Ikuti saja perintahku."
"Baik, Bu."
"Kalian memang kurang ajar. Menantuku saja tak berani mengusirku. Awas kalian," ancam ibu sambil melotot tajam. Begitu pula dengan Ela. Adik iparku yang modis menampakkan raut garang.
"Masuk dulu, Bu."
"Makasih, Mir. arusnya kamu dari tadi keluar. Lagian kamu segala nyewa preman. Emangnya habis kemalingan?"
"Iya nih, Mbak. Mereka bener-bener gak sopan. Padahal, kami ini keluarga Mbak."
"Betul kata Ela. Kamu harus bilang dulu sama preman itu, kalau Ibu ini mertuamu. Biar gak salah paham kaya tadi. Malu-maluin aja."
"Batul, tuh."
Dua orang di hadapanku asyik sekali bicara ini dan itu. Aku hanya diam mengulas senyum manis. Menunggu mereka lelah bicara. Sambil duduk manis mengamati calon mantan mertua dan adik ipar.
"Silakan diminum dulu," ujar Tiara menyajika dua gelas air putih. Aku sengaja menyuruh Tiara menyajiikan air. Sebagai pembuka, dan pendingin perasaan mereka, sebelum aku membongkar aib Mas adam.
"Nah, gini dong. Tahu aja ibu haus."
"Mbak, gak ada es Marjan atau coca cola gitu."
"Gak ada, La. Hanya ada air putih."
"Sudah minum saja, Ela. Mir, maafkan adikmu. Dia terbiasa minum minuman mahal." Aku hanya mengulas senyum. Menunggu mereka selesai minum.
"O iya, dia siapa, Mir? pembbantu baru? ko, duduk di samping kamu. Gak sopan gitu."
Tiara yang ada di sampingku langsung melotot. Tentu dia tidak terima disebut pembantu.
"Dia temenku, Bu."
"Oh, kirain... soalnya pakaiannya acak-acakan gitu."
Tiara hanya bisa menampakkan raut tak suka. Namun, dia tetap diam. Mungkin, sebagai bentuk menghargaiku. Tak mau membalas kejulidan ibu mertuaku. Agar tidak memperkeruh suasana."Tumben ibu ke sini," ucapku memulai topik pembicaraan. Penasaran dengan maksud dan tujuan ibu. Pasti tak jauh dari hal-hal yang menguntungkan untuknya, dan merugikan bagiku. Tak mungkin hanya berniat mendamaikanku dengan anaknya.
"Ibu denger dari Adam, kalian lagi ada salah paham. Ibu gak mau ikut campur. Pasti kalian bisa menyelesaikan masalah dengan cara baik-baik."
"Betul, Mbak. Udahlah damai aja. Ya, aku kadang cemburu sama pacarku. Tapi, kita tidak boleh menuduh yang tidak-tidak. Jadinya malah cemburu buta yang menyesatkan," ucap Ela sok tahu. Padahal, dia pasti belum tahu masalah yang sebenarnya. Ela juga belum menikah. Mana tahu rasanya jadi aku.
"Terus...," ujarku menanggapi mereka berdua dengan santai.
"Intinya kamu jangan cemburuan, Mir. Diana hanya teman Adam. Sudah soal itu, Ibu akan selalu menudukung kamu. Asal kalian harus berdamai lagi. Semoga, dua hari ke depan masalahnya bisa selesai."
Sepertinya, Mas Adam belum menceritakan kejadian semalam, atau ibu dan Ela sekongkol dengannya. Sengaja membela Mas Adam dengan maksud tertentu.
"Soal masalahku, ibu suruh anak ibu jujur. Biar ibu tahu masalah yang sebenarnya terjadi."
"Iya, iya. Ibu gak mau ikut campur. ibu yakin cinta kalian akan kuat abadi karena doa ibu. Ada hal lain yang penting dan harus didahulukan."
Hal apa yang lebih penting dari surat gugatan cerai yang aku berikan pada Mas Adam? keningku berkerut heran. Begitu pula dengan Tiara. Kami memasang wajah seperti orang bodo. Menunggu kata-kata apalagi yang akan keluar dari mulut ibu mertuaku.
"Tujuan ibu ke sini mau minjem uang dulu lima juta, Mir."
"Ela juga pinjam 500 ribu saja, Mbak. Dikasih sejuta, ya, gak bakal nolak."
Aku hanya tersenyum tipis. Emosi dalam hati yang ingin dikeluarkan. Mas Adam dengan keluarganya benar-benar tak tahu diri. Sudah selingkuh, dan membuat hatiku hancur lebur, mereka masih punya muka meminjam uang. Bukan meminjam tapi meminta. Aku sudah paham taktik ibu mertuaku. Sudah sering bilangnya minjam uang. Nyatanya sampai sudah setahun lebih pun, uangku tidak dikembalikan.
Dulu, aku memaklumi. Menganggap ibu dan Ela seperti keluarga. Uang tak jadi masalah. Mereka juga selalu bersikap baik kepadaku. Itu yang terpenting. Nyatanya, diam-diam anaknya membohongiku. Aku merasa tertipu dengan sikap manis mereka.
Pada dasarnya, manusia memang tak pernah puas. Ingin lebih dan lebih. Padahal, selama ini aku tak banyak menuntut soal uang. Berusaha jadi istri berbakti dan ceria untuk membahagiakan suamiku. Namun, dia malah menghianati. Dengan sahabatnya sendiri.
"Kamu kok malah diam, Mir?" ayoklah, ibu minta uang. Uang gajian Adam pasti masih sisa. Atau minjam uangmu dulu. Kamu juga kerja 'kan? jualan panci. Kalau tidak, minjam sama orang tuamu. Mereka 'kan punya banyak sawah dan kontrakan."
"Maaf Bu, tidak bisa. Kalian minta saja sama Mas Adam. Mulai dari malam tadi, aku sudah tidak mau dilibatkan lagi dalam hidupnya. Apalagi ikut serta perekonomian keluarganya."
"Loh, ko, gitu sih, Mbak. Mbak ini istrinya Mas Adam. Sudah sepantasnya membantu kami," jawab Ela dengan raut tak suka.
"Istri? itu dulu. sejak semalam, aku sudah memberikan surat gugatan perceraian pada Mas Adam. Mungkin dia belum menunjukkannya pada kalian."
"Apa, kamu mau cerai dengan Adam?" Aku jawab dengan anggukan.
"Tidak, tidak bisa. Mbak Mira tidak boleh cerai dengan kakakku."
"Betul itu. Apa permasalahannya, Mir. Kamu jangan gegabah. Hanya karena cemburu tanpa bukti, seenaknya bilang cerai. Itu tidak baik. Kamu belum tahu rasanya jadi janda seperti ibu. Rasanya tidak enak."
"Cemburu buta? sepertinya ibu dan Ela tidak tahu kelakuan Mas Adam, atau kalian pura-pura tak tahu? apapun itu, aku tak peduli. Kalian harus melihat kelakuan bejat Mas Adam, biar semuanya jelas."
Dua orang di hadapanku saling pandang dalam kebingungan. Mungkin, mereka baru melihat sikapku berubah. Selama ini, aku selalu berusaha bersikap dengan baik. Bahkan, bicara dengan suara tinggi saja, hampir tidak pernah terjadi. Aku sangatm menghormatimereka sebagai keluarga.
Meski pada akhirnya, aku malah mendapatkan penghianatan. Mereka akan membayarnya dengan penyesalan.
"Tiara, tunjukan video kebusukan Mas Adam."
Tiara mengangguk. Menyodorkan ponsel yang berisi video rekaman Mas Adam dan gundiknya. Ibu dan Ela melongo saking kagetnya. Mereka menutup mulut dan muka karena tak menyangka kelakuan bejat Mas Adam. Mungkin, ibu memang baru tahu tentang ini.
"Astaga, Mira, kamu bisa tahu ini semua dari mana?"
"Tidak penting aku tahu dari mana, Bu. Sekarang ibu sudah tahu kelakuan anak ibu. Apa mungkin selama ini ibu memang sudah tahu pernikahan siri antara Mas Adam dan Diana?" tanyaku penuh selidik.
"Tidak. Demi tuhan ibu baru tahu."
"Ya, sudah, ibu sudah tahu. Jadi, berhenti menganggap aku cemburu buta, dan berhenti juga meminta bantuanku. Kalian minta saja uangnya pada Diana. Dialah istri Mas Adam. Sementara aku, sebentar lagi akan menjadi mantan istri."
"Mir, jangan seperti itu, Mir. Kita bicarakan semuanya baik-baik. Ibu janji akan menyuruh Adam menceraikan perempuan murahan itu. Tenanglah, hanya kamu menantu kesayangan ibu."
"Betul, Mbak. Ela juga gak sudi menerima pelakor itu. Mbak Mira selamanya akan menjadi kakak iparku."
Aku hanya tersenyum tipis. Tentu bukan tanpa alasan mereka bicara begitu. Mereka tak akan membiarkanku bercerai. Jika itu terjadi, lenyaplah sumber uang mereka.
"Maaf, Bu. Lebih baik ibu pergi. Tak ada yang bisa kita bicarakan lagi. Semuanya sudah jelas. Ibu dan Ela, nanti datang saja ke pengadilan."
"Tidak. Ibu tidak mau. Kamu tidak boleh bercerai dengan Adam. Kalian harus tetap harmonis. Jangan bikin malu keluarga ibu dan juga keluarga kamu. Kita selesaikan semuanya dengan cara baik-baik."
"Benar, Mbak. Diskusikan dulu. Jangan gegabah. Selama itu, berikan Ela pinjaman dulu. Biar bisa datang ke pesta ulang tahun temen kuliah."
"Ela," tegur ibu menyenggol lengan anaknnya.
"Maaf, aku tak mau membuang-buang waktu. Lebih baik kalian pergi."
Suasana pagiku kacau. Tak ada ketenangan. Padahal, sangat butuh waktu menenangkan pikiran. Sekuat apapun diriku menghadapi masalah ini, batinku tetap lelah. butuh tempat menyandarkan segala duka lara.
Perselingkuhan bukan hal yang diinginkan setiap perempuan di muka bumi ini. Hati perempuan mana pun akan luluh lantah. Sama halnya dengan hatiku. Hancur berkeping-keping. Sakitnya bagaikan kulit dan daging tubuh ini di sayat-sayat secara perlahan. Sangat menyiksa.
"Penjaga, cepat bawa mereka keluar," perintahku mengusir dua manusia di hadapanku.
"Enak saja, kamu tidak boleh mengusir kami. Tidak sopan. Kurang ajar kamu."
"Terserah, Bu. Sebentar lagi, aku resmi menjadi mantan menantumu. Jadi, tidak wajib untuk mengikuti kemauanmu."
"Mbak Mira, jangan sok kecantikan dong. Harusnya Mbak bersyukur kakakku mau sama Mbak. Jadikan, kasus perselingkuhan ini sebagai ajang instropeksi diri. Jangan sok-sokan minta cerai," papar Ela mulai kurang ajar.
"Betul itu. Ela saja paham cara berbenah diri. Mira, Kamu jangan kaya anak kecil."
"Terserah, cepat seret mereka keluar. Aku muak!" teriakku kesal.
"Keterlaluan kamu, Mir."
Byur!
"Arrgh, ibu ... seenaknya kamu menyiramku di rumahku sendiri," teriakku penuh amarah. Ibu-ibu rempong itu malah menyiram air dalam gelas tepat di wajahku. Aku masuk ke dapur. Menyuruh para penjaga untuk menahan mereka keluar.
Aku ambil air satu ember air dari kamar mandi. Lalu, aku guyurkan pada ibu dan Ela. Mereka kaget. Aku benar-benar hilang kendali. Tiara sampai memelukku dari belakang agar tidak melakukan hal yang lebih nekat.
"Arrgh, dasar menantu kurang ajar.""Iya nih. Mbak Mira mulai gila.""Kalian yang gila. Jadi manusia tidak punya rasa malu. Cepat pergi."Byur!"Arrgh!" teriakku dan Tiara yang lagi-lagi terkena siraman air yang diguyurkan Ela. Mertua dan adik iparku memang keterlaluan. Bukannya mendamaikan, malah membuat suasana semakin kacau. Beraninya mengajak berkelahi di rumahku sendiri."Ih, kalian ini... menguras emosiku saja," ucapku geregetan menahan kesal. Hampir saja aku mau melempar gelas kosong ke mereka. Beruntung Tiara Menahan."Istigfar, Mir. Kamu bukan orang jahat. Kuasai dirimu."Walaupun Tiara kadang bar-bar, tapi dia memang sahabat terbaik. Selalu mengingatkanku dalam kebaikan. Dia paling tidak mau jika aku melakukan hal yang merugikan diri sendiri. "Penjaga, cepat bawa mereka keluar," perintah Tiara."Hei, kamu gak usah ikut campur. Ini urusanku dengan menantuku. Kalian juga, para preman sialan, jangan bertingkah. Aku belum selesai memberi pelajaran pada Mira. Dia sudah kurang a
"Su-suka, ma-maksudnya?" Bumi hanya tersenyum. Sementara diriku gelagapan. Mendadak salah tingkah. "Ya, aku suka sama kamu. Siapa orang yang tidak suka dengan perempuan cantik, baik, dan hebat sepertimu, Mir. Kamu juga sangat mandiri. Jadi, kamu harus selalu kuat. Percaya dengan dirimu sendiri.""Oh, gitu."Sial. Hampir saja aku kegeeran. Aku pikir Bumi menyimpan rasa yang aneh-aneh padaku. Ternyata dia hanya memuji untuk membangkitkan semangatku."Iya, emang kamu maunya gimana?""Ya gak gimana-gimana, Bumi. Sudah-sudah, jangan bicara aneh-aneh.""Aku tidak bicara aneh, Mira. Jangan-jangan pikiranmu yang aneh-aneh.""Enak saja.""Hehehe, gitu dong. Tampakkan muka kesalmu. Tidak baik menyimpan beban. Ekspresikan saja isi bisa.""Ekspresikan kaya gimana, Bumi? kalau aku tahu caranya, udah aku lakuin. Rasanya tuh, pengen marah-marah sambil Jambak rambut Si Pelakor. Sayang, tanganku terlalu berharga buat nyentuh dia.""Betul itu. Jangan kotori tanganmu. Lebih baik pake cara lain.""Cara
Kujual Suamiku di Status Fecabook Part 11 Musuh dalam SelimutPOV Adam "Sahabat penghianat!" Aku terus memaki Bumi sambil memukuk dia sekuat tenaga. Tak peduli badanku yang terus terkena pukulan, sampai terjengkang ke tanah. Aku tak akan membiarkan pria itu pergi, sebelum dia babak belur. "Sadar diri, Dam. Lu bukan suami yang baik. Kalau tidak bisa membahagiakan Mira, biarkan dia dibahagiakan pria lain.""Arrgh, sialan!"Aku bangkit lagi. Melayangkan pukulan bertubi-tubi. Sekarang, Bumi yang tergeletak lemah di tanah. Darah menetes dari pelipisnya. "Berhenti, berhenti, Mas. Gila kamu."Kepalan tangan melambung di udara. Padahal, satu pukulan lagi, aku jamin Bumi akan pingsan. Namun, Mira malah menahan. Dia memasang badan melindungi Bumi."Kenapa kamu bela dia, Mir. Sudah jelas-jelas dia menghasut kamu sampai minta ceria dan bersikap seperti ini.""Kamu gila, Mas? kenapa sih, kamu gak sadar-sadar juga. Coba sekali saja sadar diri dan akui kesalahan kamu. Sudah jelas-jelas kamu sel
"Arrgh! sialan. Aku harus bagaimana?" tanya pada diri sendiri. Sangat frustasi.PIkiran kacau. Tak tahu harus mencari uang di mana. Sisa gajiku tinggal 500 ribu. Sementara gajian masih sepuluh hari lagi.Kenapa hiidupku jadi runyam? baru beberapa bulan merasakan kebahagiaan karena punya istri dua. Sekarang, malah terasa jad duda."Bu, buka pintunya, Bu."Berkali-kali mengetuk pintu, ibu ataupun Ela tak membuka pintu. Waktu memang sudah menunjukan jam dua belas malam. Mungkin, ibu sudah tidur. Kalau begitu, aku harus tidur di mana?"Bu ... Ela ... buka pintunya!""Sialan. Masa gak ada yang bangun. Tidur apa pingsan?""Ibu!" Urat-urat tenggorokanku rasanya mau putus. Kehabisan energi. Sampai vita suara serak. Mau tak mau, aku meringkuk sambil menyandar di tembok. Menyugar rambut penuh kecewa. Angin malam menambah derita. Dinginnya menembus kulit. Sampai menggetarkan jantung. Sehingga, tubuhku sedikit menggigil. Aku peluk tubuh dengan tanganku sendiri."Tuhan, salah apa aku? sampai j
"Mira, buka pintunya, Mir."Aduh, ke mana istriku. Apa dia masuk kerja? tidak. Ini hari libur. Tak mungkin Mira pergi bekerja. Kemarin saja, dia malah jalan-jalan dengan pria pecundang, Si Bumi. Aku tak menyerah. Terus menunggu sampai Mira datang. Berusaha menelepon ponselnya, dan mengirim pesan, tetapi tidak ada jawaban. "Mira." Mataku terbuka lebar ketika melihat sebuah mobil masuk ke halaman. Orang yang aku tunggu keluar dari mobil tersebut. Dia ditemani sahabatnya."Mas, ngapain kamu ke sini.""Mir, Mas gak mau ngajak ribut. Cuman mau ngomong penting doang.""Ini hari libur, Mas. Tolong, deh, jangan ganggu ketenangan pikiranku. Hari ini, aku mau tenang.""Bukan begitu, Mir. Ada hal mendesak. Aku mohon, Mir.""Ya sudah. Sebelumnya, bawain dulu belanjaan aku di mobil. Taruh di dapur. Baru nanti kita bicara.""Siap, Mir."Mata ini berbinar dengan perasaan lega. Mira tampak tidak terlalu tempramental menghadapiku. Dia sudah kembali menjadi Mira seperti biasanya. Tiara membuka ba
POV MiraSialan. Mereka sudah menipuku. Sebenarnya, aku memang curiga. Namun, hatiku iba jika menyangkut kesehatan orang tua. Aku juga tahu kalau ibu memang memiliki penyakit darah tinggi. Penyakit tersebut bisa memicu komplikasi seperti struk dan lainnya. Tanpa pikir panjang, langsung mengirim uang pada Ela."Mir, jangan gampang percaya lu. Coba tanya di mana rumah sakitnya," ucap Tiara mengingatkan. Aku pun melakukan apa yang disarankan sahabatku. Namun, nomer Ela mendadak tidak aktif. "Tuh, pasti bohong adik ipar lu. Masa langsung dimatiin ponselnya. Mendingan kita lihat ke rumah mertua lu. Gua jamin, pasti mereka sehat-sehat ajah di rumah."Mendengar penuturan Tiara, aku menyetujui usulannya. Kami bergegas ke rumah Ibu. Benar saja, saat Tiara berteriak memanggil pemilik rumah, ibu keluar dalam keadaan sehat tanpa kekurangan suatu apa pun.Darahku mendidih. Panas di ulu hati. Teganya mereka membohongiku dengan alasan yang tak sepatutnya. Apa mereka tidak takut malaikat mengaminka
"Mir, lu gak papa?" tanya Tiara memegang aku."Gak papa, Ra. Kamu gak papa?""Aman. Cuman agak syok. Untung jantung gua gak loncat. Lu kenapa sih, malah ngelamun. Untung aja bawa mobilnya gak ngebut. Jadi, pas ngerem gak parah banget nabrak pohonnya.""Hehehe, maaf, Ra.""Malah cengengesan. Ayok, keluar. Kita cek mobilnya. Eh, dahi lu berdarah."Tiara panik. Begitu pula denganku. Baru aku sadari kalau keningku tepatnya bagian di atas alis, meneteskan darah. Kami segera keluar mobil.Mobilku penyok di bagian depan. Beberapa warga mengeubungi kami. Menanyakan keadaan kami. "Telepon siapa, Ra?""Bumi. Biar lu dibawa ke dokter."Aku hanya mengangguk. Tak membantah. Kami memang butuh bantuan orang terdekat untuk mengantar ke rumah sakit dan mengurus mobilku. Beberapa menit kemudian, mobil bumi menghampiri kami. Aku dan Tiara yang sedang duduk di warung, berdiri menghampiri. Tadi, pemilik warung memberi kami minum gratis. Katanya, untuk menenangkan diri karena insiden tadi. "Mir, kening
tidak mau ke rumah sakit? kita harus cek keadaan kamu. Kalau kamu hamil ....""Cukup, Mi. Tolong jangan sok tahu tentang kondisiku. Aku paling tahu harus bagaimana."Entah kenapa, aku kesal pada Bumi. Pria itu langsung diam mendengar ucapanku. Hati ini merasa salah. Namun, untuk saat ini aku memang butuh ketenangan. Tak tahu harus bagaimana. Tak mau ke rumah sakit. Aku belum siap menerima kenyataannya. Aku takut hamil."Istirahat, Mir. Maaf kalau aku terlalu mencampuri urusan rumah tanggamu."Kami sudah sampai di rumahku. Bumi pamit pulang. Sebelumnya, dia menatap sendu. Entah sakit hati, atau mungkin dia juga penasaran dengan kondisiku, tetapi tidak bisa tanpa kehendak untuk menyuruhku mengecek keadaan diriku."Maaf, Mi. Saat ini aku butuh sendiri. Semua masalah datang tanpa diundang. Benar-benar buat aku stres.""Aku paham, Mir. Lebih baik kamu hubungi keluargamu. Di saat seperti ini, kamu butuh keluarga untuk mempertimbangkan keputusan yang seharusnya diambil."Aku hanya merespon
"Mas, ko, datang ke sini?" tanya Alina merangkul pria itu.Kami semua langsung bengong. Kecuali ibu mertua, sepertinya dia sudah tahu. Siapa pria itu? kelihatan sangat dekat dengan Alina."Kalian kenapa pada bengong?""Hehehe, enggak, Tante. Dia siapa Tante, kayanya Kahfi pernah ketemu.""Itu Wendi, Kahfi.""Om Wendi siapa, Mbah?""Kenalkan saya calon suaminya Alina." Pria itu menyalami kami semua. Aku cukup kaget saat dia mengenalkan diri sebagai calon suami Alina. Tapi, kabar ini cukup baik."Biasa aja dong, Mbak Mira. Jangan bengong. Katanya aku gak boleh jadi perebut suami orang terus. Ya udah, nih, aku buktiin cari pria lajang. Ya, walaupun duda anak satu. Setidaknya aku gak merebut punya orang.""Bagus dong. Mas mendukung kamu, Alina. Segeralah menikah, tak usah acara yang mewah, asal segera sah.""Iya Mas Hafidz tenang saja.""Mira, maafkan ibu kalau selana ini sering menyakiti hati kamu. Ternyata kamu ini memang perempuan yang sangat dicintai Hafidz. Ibu gak bakal tega memisa
"Ma-maksudnya Diana sudah meninggal?""Sesuai yang kalian lihat. Dia meninggal karena terkena penyakit paru-paru. Perempuan itu emang aneh, dia sendiri yang menyerahkan Salma pada kalian, tapi dia yang terus menerus meratapi anaknya.""Semua ini terjadi karena kesalahanmu juga, Max. Diana pernah datang padaku dengan kondisi banyak luka. Jangan-jangan dia meninggal karena kamu juga bersikap kasar sama dia.""Hahahaha, iya betul. Aku memang tidak suka dengan perempuan itu. Sudah aku bilang jangan mengurus bayi sialan. Dia malah berani membawanya. Bayi itu sama mengesalkan dengan Diana, berkali-kali aku coba membunuhnya tetap saja tidak berhasil. Ini semua karena kalian, orang asing yang malah ikut campur.""Ja-jadi semua ini ulah Om Max? kemarin Om bilang ibu meninggal hanya karena sakit. Ternyata ... Om jahat. Om mau membunuhku, dan juga sudah berhasil membunuh ibuku.""Kamu salah, anak cantik. Bukan hanya ibumu yang aku bunuh, bapakmu juga. Dia aku beri racun saat di penjara.""Astaga
"Kamu anak laki-laki yang bisa ayah andalkan, jaga Mamah di sini, biar Ayah yang datangi diskotik itu.""Ya elah, Yah, emang kenapa kalau Kahfi ikut. Kalau ada Kahfi bisa makin kuat ngelawan musuhnya, Kahfi ini pinter bela diri, ayah 'kan tahu Kahfi juga pernah juara di bidang pencak silat.""Bukan waktunya berdebat, Kahfi."Mas Hafidz masuk ke kamar Heri. Mereka berdua mengobrol di sana untuk membahas rencana penggerebekan. Zea harus secepatnya diselamatkan. Aku temui Kahfi di kamar tamu. Dia tampak jengkel, mukanya ditekuk, sambil murung."Ikuti kata Ayah, Kahfi Sayang. Bukan waktunya buat ngambek. Kita ada dikondisi genting.""Iya, Mah," jawab Kahfi malas. Aku tinggalkan saja dia di kamar agar bisa istirahat. ***Keesokan malamnya, Mas Hafidz dan Heri sudah mendapat informasi terkait Max. Meliputi latar belakangnya, sekilas tentang bisnis ilegalnya, dan tempat persembunyian. Menyewa detektif memang lebih cepat mendapat banyak informasi.Kami juga bersekongkol dengan pihak polisi.
Pov Mira"Mas, mana Zea katanya di hotel ini?" tanyaku mengedarkan pandangan ke seluruh area hotel. Mas Hafidz mengajakku bertanya pada resepsionis. "Maaf Mbak, lihat anak perempuan sekitar kelas dua SMA, pakai hijab, kulit sawo matang, namanya Zea.""Oh, Adek bernama Zea. Tadi ada di sini, Pak, katanya dia menunggu keluarganya datang. Tapi, terkahir saya lihat dia keluar dan gak balik lagi. Saya pikir sudah dijemput orang tuanya.""Astagfirulloh, jangan-jangan ada yang berbuat jahat sama Zea, Mas.""Tenang, Sayang. Kita telpon Kahfi lagi.""Hallo, Kahfi?""Iya, Yah, udah ketemu Kak Zea?""Dia gak ada di sini. Apa kamu tahu ke mana kira-kira dia pergi?""Gak ada di situ? Kahfi udah nyuruh Kakak nunggu di situ aja. Pasti ada yang culik Kakak Zea. Soalnya pas telpon dia bilang udah berhasil ngelawan orang jahat. Pasti ada yang yang gak beres, Yah.""Astagfirulloh."Persendianku semakin lemas. Baru dapat kabar bahagia, sudah dihujam kenyataan pahit. Mungkin bahaya sedang mengincar anakk
"Ini uang buat bekal kamu di Jakarta. Kamu pergi ke alamat yang sudah Tante tulis, yah.""Beneran gak Tante ini alamat ibu kandung aku?""Iya, cari aja pria bernama Max, itu suami Ibu kamu saat ini."Sebenarnya aku ragu dengan informasi yang diberikan Tante Alina. Secara selama ini perempuan itu judes dan malah suka menjelek-jelekkanku di depan Mbah. Namun, aku juga penasaran. Mamah juga pernah bilang kalau dia dulunya tinggal di Jakarta. Jadi, bisa saja ucapan Tante Alina benar. "Ya udah, Zea pamit dulu, Tante. Nanti bilang aja sama Mamah kalah Zea ke alamat ini.""Iya, gampang. Kamu matiin aja hapenya, jangan dulu di aktifin."Aku mengangguk. Kebetulan ponselku memang sedang lowbet. Aku nekat ke Jakarta naik bis tanpa sepengetahuan Mamah dan Ayah. Kalau mereka tahu, tentu tak akan setuju. Aku memang bahagia diasuh mereka. Sama sekali tidak kekurangan kasih sayang. Tetapi, aku juga ingin bertemu orang tua kandungku. ***"Ini alamatnya?" tanyaku heran. "Ponsel? arrgh, ke mana ponse
"Zea buka pintunya, Sayang.""Kak Zea buka pintunya. Kita semua sayang sama Kak Zea. Jangan dengerin nenek."Berkali-kali mengetuk pintu tak ada jawaban. Aku paham, perasaan Zea pasti sangat hancur. Meski aku bukan ibu kandungnya, tetapi perasaanku juga ikut terluka. Zea sudah seperti anakku sendiri. Kenapa semuanya terbongkar dengan cara seperti ini?"Zea ... maafin Mamah, yah, Sayang," ujarku menangis. "Mah, kita biarkan Kak Zea menenangkan diri dulu, Mah. Dia pasti butuh waktu menerima semua ini."Aku hanya mengangguk lemas. Biar zea tenang dulu. Aku melangkah menjauh dari kamarnya. Ibu mertua ternyata masih menunggu untuk berdebat lagi denganku."Duduk, aku mau bicara.""Bu, pergi saja dari sini.""Kamu ngusir mertuamu sendiri?""Mira, kamu ini emang sudah gila. Terlalu membela anak pungut dibandingkan mertuamu sendiri. Akui saja kesalahanmu, dan kembalikan anak itu ke asalnya. Jangan mempersulit hidup."Aku melangkah mendekati Alina. Menjambak rambutnya. Mata melotot menatap per
"Mah, Ayah apa benar?""Enggak, Sayang. Mbah lagi sakit, jadi kaya gitu.""Jangan bohong. Selama ini Zea merasa diperlakukan berbeda. Mbah selalu pilih kasih. Mbah hanya baik sama Ka Nayla, dan Kahfi. Apa mungkin Zea emang anak pungut?" Ibu mertuaku hanya diam. Wajahnya ketus tak acuh. Ini yang selalu aku takutkan. Kalau aku dan Mas Hafidz tidak ada di sini, mungkin ibu sudah membongkar semuanya. Selama ini, ibu sering keceplosan."Hust, Zea jangan berpikir yang enggak-enggak. Kita keluar aja. Kesian nenek lagi sakit.""Anak itu emang gak tahu diuntung. Aku sedang sakit, malah dia emosi. Heran. Bawa saja anak itu keluar.""Bu, jangan bicara begitu. Ibu memang sedang sakit, tapi tetap jaga perasaan cucu ibu. Jangan bicara seenaknya.""Kalian keluar saja. Biar Kahfi yang di sini. Ibu pusing liat kalian.""Kahfi, jaga nenek kamu. Mamah, Ayah, sama Kak Zea nunggu di luar."Kahfi mengangguk. Meski anak itu suka ribut dengan kakaknya, tetap saja dia sangat menyayangi Zea. Kahfi tidak ikut
"Kahfi ... Ya Allah!" teriakku emosi dengan kelakuan anak bungsu. Kahfi dan Zea mirip ton dan jerry. Setiap hari selalu bercanda keterlaluan. Kejar-kejaran ke sana ke sini. Seperti hari ini, Kahfi menendang ember yang berisi pakaian yang akan di jemur. Lalu lari terbirit-birit karena di kejar kakaknya."Zea, cukup, Sayang. Kalian ini kenapa, sih. Sehari saja jangan ribut.""Hahaha, sini maju kalau berani. Ah, kakak payah.""Dasar adik durhaka. Kamu yang salah, malah berani-beraninya nantangin.""Emangnya ada apa sih?""Itu, Mah, Adek liat video mesum.""Bohong, Mah. Wah, Kakak suka membalikan fakta. Yang ada, kakak tuh, ketahuan mojok di sekolah sama cowok berandalan.""Namanya Rey, enak aja kamu sebut cowok berandalan.""Emang dia cowok berandalan. Kakak aja yang mau dibego-begoin.""Wah, mulutnya minta digeplak sendal swallow, sini kamu."Dua anak itu tidak kapok mendengar teriakanku. Terus berlarian ke sana ke mari. Aku kejar mereka, lalu menjewer kuping keduanya."Kalian ini.""A
"Mas, ibu gak dikejar?""Gak usah, besok Mas bicara lagi sama ibu. Gak biasanya ibu kaya gitu. Semoga perlahan ibu bisa menerima.""Aamiin. Maaf yah, Mas.""Kenapa minta maaf, Sayang?" "Ya, kamu sama ibu jadi ribut gara-gara aku.""Bukan gara-gara kamu, Sayang. Kita hadapi bersama yah. Apapun sekuensi mengadopsi Zea. Toh, niat kita baik. Allah maha tahu."Aku peluk suamiku. Mencium pipinya tanda cinta. Bahagianya punya suami sangat bijaksana. Karunia terindah yang pernah aku miliki. Setiap rumah tangga pasti ada badainya. Tidak ada yang baik-baik saja. Jika ada keluarga yang terlihat sangat harmonis, itu tandanya komunikasi antar anggota keluarga berjalan baik. Adanya komunikasi, bisa membuat kita saling memahami, dan menghargai. *****"Sayang, bentar liatin adek Kahfi dulu yah.""Siap, Mah."Aku kebelet ke toilet. Nikmat sekali punya anak bayi dan balita. Padahal, Salwa sudah diurusi pembantu rumah ini. Tetap saja aku kewalahan. Makan tidak tenang, mau mandi saja kerepotan. Masih