"Mas, Mbok Ijah gak mau kerja di sini?"Sudah dua minggu tidak ada yang membantuku mengurus rumah. Semenjak kejadian ribut dengan Alina, Mbok Ijah tidak ke sini, dan belum aku temui di rumahnya. Apa aku harus ke rumahnya? malas. Pasti bertemu Alina. Perempuan kurang ajar itu. Lebih baik aku cari pembantu baru saja. "Nanti Mas ke rumah Mbok Ijah, yah, Sayang.""Gak usah, deh, Mas. Kita cari ART baru aja. Atau aku sendirian ajah, deh, gak papa.""Jangan dong, kesian kamu.""Biar nanti ibu yang bantu jaga Kahfi kalau pulang dari TK.""Gak usah, Sayang. Kesian malah ngerepotin ibu. Nanti Mas cariin lagi. Banyak, ko.""Tapi inget, jangan yang muda. Cari yang udah tua, seumuran ibu aku atau ibumu.""Siap, Sayang. Cie cemburu. Makin sayang.""Ih, aneh."Suamiku izin ke ruang kerjanya. Sementara aku, sedang menyusui Kahfi. Sudah jam delapan malam, bayi menggemaskanku belum tidur juga. Masih anteng bermain dengan puting. "Hallo, assalamualaikum, Ra." Ponsel berdering. Tumben sekali Tiara me
"Alina buka pintunya. Kurang ajar kamu.""Buka!" teriakku sepenuh tenaga. "Sialan, ke mana mereka."Tenang Mira, jangan emosi. Aku ini wanita berkelas, tidak seperti oranf tak berpendidikan. Tapi, manusia model Alina memang menguras emosi. Pintar membalikan fakta. Cocok sekali menjadi pemain sinetron. "Bu Mira, kenapa kamu ke sini lagi? belum puas mukulin saya."Wajah perempuan itu lebam. Entah apa yang dilakukan ibu-ibu. Bagian pelipis, dan jidat, cukup parah. Membiru, dan lebam kemerahan. Aku hampir tertawa melihat penampakan Alina yang berubah seram. Beginilah karma cewek kegatelan."Kamu fitnah saya, hah? Enak saja bilang kalau saya yang menganiaya kamu. Itu salah kamu sendiri.""Loh, emang Mbak yang nyuruh ibu-ibu itu datang.""Enak aja kalah ngomong. Tunggu di sini kamu, awas jangan kabur."Aku sedikit berjalan mengawasi sekitar. Mencari para ibu yang kemarin. Sengaja datang di jam-jam menjelang siang. Pasti ibu-ibu itu akan belanja sayuran seperti kemarin. "Nungguin siapa? m
"Alhamdulilah, akhirnya kamu pulang, Sayang."Suamiku tampak cemas. Dia langsung merangkulku. Sementara aku, malah menunjukan senyum tanpa rasa bersalah. Alin, Mbok Ijah dan ibu mertuaku sudah menunggu di ruang tamu. Mereka duduk dengan wajah masam."Kamu ke mana saja, Alina?""Ibu 'kan tahu aku ke mana, masa nanya lagi.""Ya ampun, kamu ini berulah saja.""Bu ...," tegur suamiku. Ibu mertua langsung diam. Tak lama kemudian, ibuku juga ikut berkumpul. Sepertinya dia sudah tahu permasalahannya. Memberikan Kahfi kepadaku."Susuin dulu Kahfinya, Mir. Kayanya dia mau susu kamu.""Loh, terus permasalahan saya bagaimana?" tanya Alina protes."Tunggu dulu, Alina. Biarkan istri saya menyusui anak kami."Aku ulas senyum penuh kemenangan. Masuk ke kamar dan menyusui Kahfi. Ibu masuk ke kamar. Dia mengusap tanganku. Pasti ada sesuatu yang mau dibicarakan. "Sabar yah, Nak, namanya juga hidup. Wajar kalau sesekali menghadapi kesalahpahaman.""Iya, Bu, aman. Ibu gak usah cemas. Mas Hafidz beda s
"Lah, saya gak nyuruh Alina pergi hari ini, Mbok. Kalaupun nyuruh, saya pasti ke rumah Mbok dulu.""Terus anak Mbok pegi ke mana Mbak Mira.""Ya, mana saya tahu, Mbok. Coba ditelpon, mana nomernya.""Mnok gak bisa pake hape, biasanya nelpon ke Ranti.""Ya, udah kita ke rumah ibu mertua saya, Mbok. Tahu aja bisa ditelpon.""Iya, Mbak.""Ada apa ini?""Ini loh, Mas, Si Alina minggat dari rumah. Sangkanya dia pergi disuruh aku. Lah, aku mana tahu.""Terus kamu mau ke mana, Sayang.""Ke rumah Mamah kamu, biar nelponin Si Alina.""Y sudah, Mas antar, Kahfi bawa saja. Soal Nayla biar Mas kabarin ibu buat pesen ojek, terus nitip Nayla di rumah ibu dulu.""Oke, Mas.""Mbok gak usah cemas, Alina udah gede, dia juga biasa merantau, gak mungkin nyasar," ucap suamiku. Mbok Ijah mengangguk. Raut wajahnya cemas. Memang anaknya tukang buat orang cemas. Sudah dewasa masih suka kabur-kaburan.Aku segera siap-siap mengambil beberapa keperluan bayi, seperti boto susu, dan pempes. Jiwa emak-emak tak ter
"Hallo, Tiara.""Iya, kenapa, segala telepon lagi. Gua lagi rapat sama WO.""Bentar-bentar, Ra, aku penasaran banget sama informasi yang kamu kasih tahu. Apa gak salah liat?""Mana mungkin salah, nih, bentar gua kirim fotonya. Foto deket banget. Soalnya orang suruhan gua sampe nyewa dia buat nemenin minum, supaya bisa ngasih foto dengan jelas.""Oke, aku tunggu fotonya. Sore insyallah, aku sudah sampai yah, Ra.""Asek, buruan, gua tunggu. Hati-hati di jalan yah.""Siap."Sambungan telepon dimatikan. Aku buka foto yang baru dikirim Tiara. Mata tercengang luar biasa. Itu benar-benar foto Alina. Perempuan itu bekerja sebagai wanita malam? astaga. Pantas saja dia banyak yang menghujat. Parah sekali. Ingin rasanya mengadu pada ibu mertua, tetapi tak ada waktu. Harus segera ke Jakarta. Biar nanti saja aku ceritakan soal ini. "Sayang, muka kamu kenapa?" tanya suamiku saat aku masuk ke mobil. "Ada kabar buruk, Mas.""Kabar buruk apa?" Mas Hafidz yang sedang menyetir mendadak panik. "Tenan
"Alina, tunggu. Kita harus bicara.""Ada apa ini, Sayang?""Aku gak mau ketemu perempuan itu, Sayang.""Tunggu!"Berhasil. Aku bisa meraih tas Alina. Dia tak bisa berkutik lagi. Meski pakai kebaya, lariku tetap lincah. "Lepaskan.""Gak, aku mau ngobrol.""Mbak ini siapa?""Saya saudaranya Alina dari kampung. Saya cuman mau bicara, kalau ibunya Alina khawatir sama dia.""Sayang?""Kamu tunggu di mobil saja, Sayang. Aku mau bicara sama perempuan ini.""Gak papa?" Alina mengangguk. Pria itu pergi duluan. Hanya ada aku dan Alina."Kamu mau ngomong apa?""Jadi, bener informasi yang aku dapat, kalau kamu seorang wanita ....""Apa? gak usah ikut campur sama hidupku. Urus hidupmu sendiri. Toh, aku sudah tidak menganggu keluargamu lagi.""Kamu ini benar-bener Alina, kasian Mbok Ijah. Bisa-bisanya kamu kerja haram kaya gini.""Halah, gak usah sok suci kamu. Urus hidupmu, jangan sampai suamimu tergoda sama perempuan sepertiku.""Dih, kepedean banget kamu. Kamu kembali ke Jakarta karena frustas
"Kita pulang, Sayang.""Tapi, Mas ....""Pulang, Mir.""Aku tahu suami kamu tidak akan mengizinkan. Aku juga malu mengatakannya, tetapi cuman kalian yang bisa melindungi Salma.""Gak usah banyak omong kosong, Adam. Kamu bertaubat saja di sini. Tidak usah melibatkan kami dalam masalah kamu. Ayok, Sayang, kita pulang."Aku tak bisa melawan Mas Hafidz. Dia benar-benar marah. Padahal, biasanya tidak seperti ini. Mungkin, amarah menggelora karena sikap Mas Adam yang dulu hampir mencelakaiku. Wajar, kalau suamiku bersikap demikian."Mas, harusnya kita dengarkan dulu tujuan Mas Adam ngomong kaya gitu," ucapku sesampainya di teras rumah Tiara, setelah banyak diam selama perjalanan. "Lebih baik kita tidak usah tahu, Sayang. Bukan urusan kita.""Tapi Mas, tahu saja dia sedang punya masalah besar. Kasihan juga anaknya kalau sedang dalam bahaya.""Mir, bukan maksud Mas dendam sama Adam, tapi Mas tidak mau keluarga kita dalam bahaya karena berurusan dengannya. Sudah kita urus saja keluarga kita,
"A-anak ....""Ayok masuk dulu, Sayang."Suamiku membawa tas bayi, menutup pintu, dan menyuruhku duduk. Dia duduk di sampingku sambil merangkul pundakku."Siapa yang memberikan bayi ini, Sayang?""Ini Salma, Mas. Anaknya Mas Adam sama Diana.""Adam ke sini?""Gak mungkin dong, Mas. Diana yang ke sini. Kondisi Diana begitu memprihatinkan, Mas. Kayanya mereka sedang dalam bahaya.""Terus, kamu mau ngurus anak ini? Mas gak setuju. Kalau balita ini dalam bahaya, berarti ibu atau bapaknya bermasalah. Mas gak mau keluarga kita ikut bermasalah atau terancam dalam bahaya karena anak ini.""Ta-tapi, Mas a-""Besok kita kembalikan anak ini. Kalau tidak ada yang mau mengurusnya, kita serahkan ke panti asuhan.""Mas ...."Mas Hafidz tampak murka. Aku tidak bisa menyalahkan pilihannya. Memang benar, keluarga kami bisa terancam bahaya. Entah siapa musuh Diana. "Salma, jangan nangis yah."Anak ini terus menangis. Sepertinya dia lapar. Aku buka tas bayi yang dibawa. Ada susu dan beberapa pakaian. "
"Mas, ko, datang ke sini?" tanya Alina merangkul pria itu.Kami semua langsung bengong. Kecuali ibu mertua, sepertinya dia sudah tahu. Siapa pria itu? kelihatan sangat dekat dengan Alina."Kalian kenapa pada bengong?""Hehehe, enggak, Tante. Dia siapa Tante, kayanya Kahfi pernah ketemu.""Itu Wendi, Kahfi.""Om Wendi siapa, Mbah?""Kenalkan saya calon suaminya Alina." Pria itu menyalami kami semua. Aku cukup kaget saat dia mengenalkan diri sebagai calon suami Alina. Tapi, kabar ini cukup baik."Biasa aja dong, Mbak Mira. Jangan bengong. Katanya aku gak boleh jadi perebut suami orang terus. Ya udah, nih, aku buktiin cari pria lajang. Ya, walaupun duda anak satu. Setidaknya aku gak merebut punya orang.""Bagus dong. Mas mendukung kamu, Alina. Segeralah menikah, tak usah acara yang mewah, asal segera sah.""Iya Mas Hafidz tenang saja.""Mira, maafkan ibu kalau selana ini sering menyakiti hati kamu. Ternyata kamu ini memang perempuan yang sangat dicintai Hafidz. Ibu gak bakal tega memisa
"Ma-maksudnya Diana sudah meninggal?""Sesuai yang kalian lihat. Dia meninggal karena terkena penyakit paru-paru. Perempuan itu emang aneh, dia sendiri yang menyerahkan Salma pada kalian, tapi dia yang terus menerus meratapi anaknya.""Semua ini terjadi karena kesalahanmu juga, Max. Diana pernah datang padaku dengan kondisi banyak luka. Jangan-jangan dia meninggal karena kamu juga bersikap kasar sama dia.""Hahahaha, iya betul. Aku memang tidak suka dengan perempuan itu. Sudah aku bilang jangan mengurus bayi sialan. Dia malah berani membawanya. Bayi itu sama mengesalkan dengan Diana, berkali-kali aku coba membunuhnya tetap saja tidak berhasil. Ini semua karena kalian, orang asing yang malah ikut campur.""Ja-jadi semua ini ulah Om Max? kemarin Om bilang ibu meninggal hanya karena sakit. Ternyata ... Om jahat. Om mau membunuhku, dan juga sudah berhasil membunuh ibuku.""Kamu salah, anak cantik. Bukan hanya ibumu yang aku bunuh, bapakmu juga. Dia aku beri racun saat di penjara.""Astaga
"Kamu anak laki-laki yang bisa ayah andalkan, jaga Mamah di sini, biar Ayah yang datangi diskotik itu.""Ya elah, Yah, emang kenapa kalau Kahfi ikut. Kalau ada Kahfi bisa makin kuat ngelawan musuhnya, Kahfi ini pinter bela diri, ayah 'kan tahu Kahfi juga pernah juara di bidang pencak silat.""Bukan waktunya berdebat, Kahfi."Mas Hafidz masuk ke kamar Heri. Mereka berdua mengobrol di sana untuk membahas rencana penggerebekan. Zea harus secepatnya diselamatkan. Aku temui Kahfi di kamar tamu. Dia tampak jengkel, mukanya ditekuk, sambil murung."Ikuti kata Ayah, Kahfi Sayang. Bukan waktunya buat ngambek. Kita ada dikondisi genting.""Iya, Mah," jawab Kahfi malas. Aku tinggalkan saja dia di kamar agar bisa istirahat. ***Keesokan malamnya, Mas Hafidz dan Heri sudah mendapat informasi terkait Max. Meliputi latar belakangnya, sekilas tentang bisnis ilegalnya, dan tempat persembunyian. Menyewa detektif memang lebih cepat mendapat banyak informasi.Kami juga bersekongkol dengan pihak polisi.
Pov Mira"Mas, mana Zea katanya di hotel ini?" tanyaku mengedarkan pandangan ke seluruh area hotel. Mas Hafidz mengajakku bertanya pada resepsionis. "Maaf Mbak, lihat anak perempuan sekitar kelas dua SMA, pakai hijab, kulit sawo matang, namanya Zea.""Oh, Adek bernama Zea. Tadi ada di sini, Pak, katanya dia menunggu keluarganya datang. Tapi, terkahir saya lihat dia keluar dan gak balik lagi. Saya pikir sudah dijemput orang tuanya.""Astagfirulloh, jangan-jangan ada yang berbuat jahat sama Zea, Mas.""Tenang, Sayang. Kita telpon Kahfi lagi.""Hallo, Kahfi?""Iya, Yah, udah ketemu Kak Zea?""Dia gak ada di sini. Apa kamu tahu ke mana kira-kira dia pergi?""Gak ada di situ? Kahfi udah nyuruh Kakak nunggu di situ aja. Pasti ada yang culik Kakak Zea. Soalnya pas telpon dia bilang udah berhasil ngelawan orang jahat. Pasti ada yang yang gak beres, Yah.""Astagfirulloh."Persendianku semakin lemas. Baru dapat kabar bahagia, sudah dihujam kenyataan pahit. Mungkin bahaya sedang mengincar anakk
"Ini uang buat bekal kamu di Jakarta. Kamu pergi ke alamat yang sudah Tante tulis, yah.""Beneran gak Tante ini alamat ibu kandung aku?""Iya, cari aja pria bernama Max, itu suami Ibu kamu saat ini."Sebenarnya aku ragu dengan informasi yang diberikan Tante Alina. Secara selama ini perempuan itu judes dan malah suka menjelek-jelekkanku di depan Mbah. Namun, aku juga penasaran. Mamah juga pernah bilang kalau dia dulunya tinggal di Jakarta. Jadi, bisa saja ucapan Tante Alina benar. "Ya udah, Zea pamit dulu, Tante. Nanti bilang aja sama Mamah kalah Zea ke alamat ini.""Iya, gampang. Kamu matiin aja hapenya, jangan dulu di aktifin."Aku mengangguk. Kebetulan ponselku memang sedang lowbet. Aku nekat ke Jakarta naik bis tanpa sepengetahuan Mamah dan Ayah. Kalau mereka tahu, tentu tak akan setuju. Aku memang bahagia diasuh mereka. Sama sekali tidak kekurangan kasih sayang. Tetapi, aku juga ingin bertemu orang tua kandungku. ***"Ini alamatnya?" tanyaku heran. "Ponsel? arrgh, ke mana ponse
"Zea buka pintunya, Sayang.""Kak Zea buka pintunya. Kita semua sayang sama Kak Zea. Jangan dengerin nenek."Berkali-kali mengetuk pintu tak ada jawaban. Aku paham, perasaan Zea pasti sangat hancur. Meski aku bukan ibu kandungnya, tetapi perasaanku juga ikut terluka. Zea sudah seperti anakku sendiri. Kenapa semuanya terbongkar dengan cara seperti ini?"Zea ... maafin Mamah, yah, Sayang," ujarku menangis. "Mah, kita biarkan Kak Zea menenangkan diri dulu, Mah. Dia pasti butuh waktu menerima semua ini."Aku hanya mengangguk lemas. Biar zea tenang dulu. Aku melangkah menjauh dari kamarnya. Ibu mertua ternyata masih menunggu untuk berdebat lagi denganku."Duduk, aku mau bicara.""Bu, pergi saja dari sini.""Kamu ngusir mertuamu sendiri?""Mira, kamu ini emang sudah gila. Terlalu membela anak pungut dibandingkan mertuamu sendiri. Akui saja kesalahanmu, dan kembalikan anak itu ke asalnya. Jangan mempersulit hidup."Aku melangkah mendekati Alina. Menjambak rambutnya. Mata melotot menatap per
"Mah, Ayah apa benar?""Enggak, Sayang. Mbah lagi sakit, jadi kaya gitu.""Jangan bohong. Selama ini Zea merasa diperlakukan berbeda. Mbah selalu pilih kasih. Mbah hanya baik sama Ka Nayla, dan Kahfi. Apa mungkin Zea emang anak pungut?" Ibu mertuaku hanya diam. Wajahnya ketus tak acuh. Ini yang selalu aku takutkan. Kalau aku dan Mas Hafidz tidak ada di sini, mungkin ibu sudah membongkar semuanya. Selama ini, ibu sering keceplosan."Hust, Zea jangan berpikir yang enggak-enggak. Kita keluar aja. Kesian nenek lagi sakit.""Anak itu emang gak tahu diuntung. Aku sedang sakit, malah dia emosi. Heran. Bawa saja anak itu keluar.""Bu, jangan bicara begitu. Ibu memang sedang sakit, tapi tetap jaga perasaan cucu ibu. Jangan bicara seenaknya.""Kalian keluar saja. Biar Kahfi yang di sini. Ibu pusing liat kalian.""Kahfi, jaga nenek kamu. Mamah, Ayah, sama Kak Zea nunggu di luar."Kahfi mengangguk. Meski anak itu suka ribut dengan kakaknya, tetap saja dia sangat menyayangi Zea. Kahfi tidak ikut
"Kahfi ... Ya Allah!" teriakku emosi dengan kelakuan anak bungsu. Kahfi dan Zea mirip ton dan jerry. Setiap hari selalu bercanda keterlaluan. Kejar-kejaran ke sana ke sini. Seperti hari ini, Kahfi menendang ember yang berisi pakaian yang akan di jemur. Lalu lari terbirit-birit karena di kejar kakaknya."Zea, cukup, Sayang. Kalian ini kenapa, sih. Sehari saja jangan ribut.""Hahaha, sini maju kalau berani. Ah, kakak payah.""Dasar adik durhaka. Kamu yang salah, malah berani-beraninya nantangin.""Emangnya ada apa sih?""Itu, Mah, Adek liat video mesum.""Bohong, Mah. Wah, Kakak suka membalikan fakta. Yang ada, kakak tuh, ketahuan mojok di sekolah sama cowok berandalan.""Namanya Rey, enak aja kamu sebut cowok berandalan.""Emang dia cowok berandalan. Kakak aja yang mau dibego-begoin.""Wah, mulutnya minta digeplak sendal swallow, sini kamu."Dua anak itu tidak kapok mendengar teriakanku. Terus berlarian ke sana ke mari. Aku kejar mereka, lalu menjewer kuping keduanya."Kalian ini.""A
"Mas, ibu gak dikejar?""Gak usah, besok Mas bicara lagi sama ibu. Gak biasanya ibu kaya gitu. Semoga perlahan ibu bisa menerima.""Aamiin. Maaf yah, Mas.""Kenapa minta maaf, Sayang?" "Ya, kamu sama ibu jadi ribut gara-gara aku.""Bukan gara-gara kamu, Sayang. Kita hadapi bersama yah. Apapun sekuensi mengadopsi Zea. Toh, niat kita baik. Allah maha tahu."Aku peluk suamiku. Mencium pipinya tanda cinta. Bahagianya punya suami sangat bijaksana. Karunia terindah yang pernah aku miliki. Setiap rumah tangga pasti ada badainya. Tidak ada yang baik-baik saja. Jika ada keluarga yang terlihat sangat harmonis, itu tandanya komunikasi antar anggota keluarga berjalan baik. Adanya komunikasi, bisa membuat kita saling memahami, dan menghargai. *****"Sayang, bentar liatin adek Kahfi dulu yah.""Siap, Mah."Aku kebelet ke toilet. Nikmat sekali punya anak bayi dan balita. Padahal, Salwa sudah diurusi pembantu rumah ini. Tetap saja aku kewalahan. Makan tidak tenang, mau mandi saja kerepotan. Masih