"Alhamdulilah, akhirnya kamu pulang, Sayang."Suamiku tampak cemas. Dia langsung merangkulku. Sementara aku, malah menunjukan senyum tanpa rasa bersalah. Alin, Mbok Ijah dan ibu mertuaku sudah menunggu di ruang tamu. Mereka duduk dengan wajah masam."Kamu ke mana saja, Alina?""Ibu 'kan tahu aku ke mana, masa nanya lagi.""Ya ampun, kamu ini berulah saja.""Bu ...," tegur suamiku. Ibu mertua langsung diam. Tak lama kemudian, ibuku juga ikut berkumpul. Sepertinya dia sudah tahu permasalahannya. Memberikan Kahfi kepadaku."Susuin dulu Kahfinya, Mir. Kayanya dia mau susu kamu.""Loh, terus permasalahan saya bagaimana?" tanya Alina protes."Tunggu dulu, Alina. Biarkan istri saya menyusui anak kami."Aku ulas senyum penuh kemenangan. Masuk ke kamar dan menyusui Kahfi. Ibu masuk ke kamar. Dia mengusap tanganku. Pasti ada sesuatu yang mau dibicarakan. "Sabar yah, Nak, namanya juga hidup. Wajar kalau sesekali menghadapi kesalahpahaman.""Iya, Bu, aman. Ibu gak usah cemas. Mas Hafidz beda s
"Lah, saya gak nyuruh Alina pergi hari ini, Mbok. Kalaupun nyuruh, saya pasti ke rumah Mbok dulu.""Terus anak Mbok pegi ke mana Mbak Mira.""Ya, mana saya tahu, Mbok. Coba ditelpon, mana nomernya.""Mnok gak bisa pake hape, biasanya nelpon ke Ranti.""Ya, udah kita ke rumah ibu mertua saya, Mbok. Tahu aja bisa ditelpon.""Iya, Mbak.""Ada apa ini?""Ini loh, Mas, Si Alina minggat dari rumah. Sangkanya dia pergi disuruh aku. Lah, aku mana tahu.""Terus kamu mau ke mana, Sayang.""Ke rumah Mamah kamu, biar nelponin Si Alina.""Y sudah, Mas antar, Kahfi bawa saja. Soal Nayla biar Mas kabarin ibu buat pesen ojek, terus nitip Nayla di rumah ibu dulu.""Oke, Mas.""Mbok gak usah cemas, Alina udah gede, dia juga biasa merantau, gak mungkin nyasar," ucap suamiku. Mbok Ijah mengangguk. Raut wajahnya cemas. Memang anaknya tukang buat orang cemas. Sudah dewasa masih suka kabur-kaburan.Aku segera siap-siap mengambil beberapa keperluan bayi, seperti boto susu, dan pempes. Jiwa emak-emak tak ter
"Hallo, Tiara.""Iya, kenapa, segala telepon lagi. Gua lagi rapat sama WO.""Bentar-bentar, Ra, aku penasaran banget sama informasi yang kamu kasih tahu. Apa gak salah liat?""Mana mungkin salah, nih, bentar gua kirim fotonya. Foto deket banget. Soalnya orang suruhan gua sampe nyewa dia buat nemenin minum, supaya bisa ngasih foto dengan jelas.""Oke, aku tunggu fotonya. Sore insyallah, aku sudah sampai yah, Ra.""Asek, buruan, gua tunggu. Hati-hati di jalan yah.""Siap."Sambungan telepon dimatikan. Aku buka foto yang baru dikirim Tiara. Mata tercengang luar biasa. Itu benar-benar foto Alina. Perempuan itu bekerja sebagai wanita malam? astaga. Pantas saja dia banyak yang menghujat. Parah sekali. Ingin rasanya mengadu pada ibu mertua, tetapi tak ada waktu. Harus segera ke Jakarta. Biar nanti saja aku ceritakan soal ini. "Sayang, muka kamu kenapa?" tanya suamiku saat aku masuk ke mobil. "Ada kabar buruk, Mas.""Kabar buruk apa?" Mas Hafidz yang sedang menyetir mendadak panik. "Tenan
"Alina, tunggu. Kita harus bicara.""Ada apa ini, Sayang?""Aku gak mau ketemu perempuan itu, Sayang.""Tunggu!"Berhasil. Aku bisa meraih tas Alina. Dia tak bisa berkutik lagi. Meski pakai kebaya, lariku tetap lincah. "Lepaskan.""Gak, aku mau ngobrol.""Mbak ini siapa?""Saya saudaranya Alina dari kampung. Saya cuman mau bicara, kalau ibunya Alina khawatir sama dia.""Sayang?""Kamu tunggu di mobil saja, Sayang. Aku mau bicara sama perempuan ini.""Gak papa?" Alina mengangguk. Pria itu pergi duluan. Hanya ada aku dan Alina."Kamu mau ngomong apa?""Jadi, bener informasi yang aku dapat, kalau kamu seorang wanita ....""Apa? gak usah ikut campur sama hidupku. Urus hidupmu sendiri. Toh, aku sudah tidak menganggu keluargamu lagi.""Kamu ini benar-bener Alina, kasian Mbok Ijah. Bisa-bisanya kamu kerja haram kaya gini.""Halah, gak usah sok suci kamu. Urus hidupmu, jangan sampai suamimu tergoda sama perempuan sepertiku.""Dih, kepedean banget kamu. Kamu kembali ke Jakarta karena frustas
"Kita pulang, Sayang.""Tapi, Mas ....""Pulang, Mir.""Aku tahu suami kamu tidak akan mengizinkan. Aku juga malu mengatakannya, tetapi cuman kalian yang bisa melindungi Salma.""Gak usah banyak omong kosong, Adam. Kamu bertaubat saja di sini. Tidak usah melibatkan kami dalam masalah kamu. Ayok, Sayang, kita pulang."Aku tak bisa melawan Mas Hafidz. Dia benar-benar marah. Padahal, biasanya tidak seperti ini. Mungkin, amarah menggelora karena sikap Mas Adam yang dulu hampir mencelakaiku. Wajar, kalau suamiku bersikap demikian."Mas, harusnya kita dengarkan dulu tujuan Mas Adam ngomong kaya gitu," ucapku sesampainya di teras rumah Tiara, setelah banyak diam selama perjalanan. "Lebih baik kita tidak usah tahu, Sayang. Bukan urusan kita.""Tapi Mas, tahu saja dia sedang punya masalah besar. Kasihan juga anaknya kalau sedang dalam bahaya.""Mir, bukan maksud Mas dendam sama Adam, tapi Mas tidak mau keluarga kita dalam bahaya karena berurusan dengannya. Sudah kita urus saja keluarga kita,
"A-anak ....""Ayok masuk dulu, Sayang."Suamiku membawa tas bayi, menutup pintu, dan menyuruhku duduk. Dia duduk di sampingku sambil merangkul pundakku."Siapa yang memberikan bayi ini, Sayang?""Ini Salma, Mas. Anaknya Mas Adam sama Diana.""Adam ke sini?""Gak mungkin dong, Mas. Diana yang ke sini. Kondisi Diana begitu memprihatinkan, Mas. Kayanya mereka sedang dalam bahaya.""Terus, kamu mau ngurus anak ini? Mas gak setuju. Kalau balita ini dalam bahaya, berarti ibu atau bapaknya bermasalah. Mas gak mau keluarga kita ikut bermasalah atau terancam dalam bahaya karena anak ini.""Ta-tapi, Mas a-""Besok kita kembalikan anak ini. Kalau tidak ada yang mau mengurusnya, kita serahkan ke panti asuhan.""Mas ...."Mas Hafidz tampak murka. Aku tidak bisa menyalahkan pilihannya. Memang benar, keluarga kami bisa terancam bahaya. Entah siapa musuh Diana. "Salma, jangan nangis yah."Anak ini terus menangis. Sepertinya dia lapar. Aku buka tas bayi yang dibawa. Ada susu dan beberapa pakaian. "
"Ya, kalian rawat aja. Kalau gua gak bisa. Belum berpengalaman.""Tidak. Kita cari panti asuhan saja." "Mas, kita rawat saja, Salma. Kasihan anak itu, Mas. Di panti asuhan, kita tidak tahu masa depannya bagaimana.""Kita bisa kirim bantuan untuk panti asuhan yang akan ditempati anak itu. Demi keluarga kita, Mira. Mas gak mau kehilangan orang yang Mas cintai untuk kedua kalinya.""Mas jangan egois. Apa yang harus ditakutkan? kita ganti nama Salma, kita sembunyikan nasab keturunannya. Pasti aman. Bilang saja, kalau kita adopsi dia dari panti asuhan.""Kamu yang egois, Sayang. Kamu lebih peduli anak itu dibandingkan keselamatan keluarga kita.""Ada apa ini, Mas, Mbak?" tanya Heri berusaha merelai percekcokan antara aku dan Suami. "Masalah Salma, Beb. Gak ada yang mau ngurus. Masa mau dibawa ke panti.""Kalian saja yang urus.""Aduh, gak bisa Mas. Kami baru juga nikah. Gini aja, Mas Hafidz sama Mbak Mira diomongin dulu baik-baik. Jangan memutuskan asal-asalan, karena ini menyangkut nyaw
"Ma-Mas serius?" Suamiku mengangguk dengan mantap. Masyaallah, sepertinha tangisan Salma, dan anak kecil tadi sudah mengetuk hati nurani suamiku. Sampai dia bisa berubah pikiran dalam hitungan menit saja. Padahal, sejak di rumah, dia paling bersikeras menitipkan Salma di panti asuhan. "Ini nomer rekeningnya. Kalau boleh, kami minta data ibu dan bapak juga. Hanya sebagai catatan saja, untuk laporan keuangan di panti ini.""Baik, Bu."Aku isi beberapa data seperti nama, dan tempat tinggal. Hanya formalitas saja. Di sini, pantinya memang tampak sudah terstruktur. Walaupun demikian, sebagus apapun panti asuhan, anak-anak seharusnya ada dalam dekapan keluarganya. Banyak kepedihan yang sudah mereka rasakan di sini. Apalagi dari segi kasih sayang. Hanya ada beberapa pengurus, tentu tak bisa memberi kasih sayang utuh layaknya kedua orang tua atau keluarga anak tersebut. "Alhamdulilah, sudah masuk uangnya, Pak, Bu. Banyak sekali, terima kasih." Aku bangga pada suamiku. Dia menyumbangkan p