"Dek, pulsa Mas habis. Tolong belikan, ya," ujar Mas Reno.
"Iya."
Ini ke sekian kalinya ia meminta pulsa padaku. Semenjak Mas Reno di PHK, kerjanya hanya bermain game saja. Niatan mencari pekerjaan seperti tak terbesit di kepalanya. Ia berpikir mungkin karena aku bekerja, jadi santai saja tak berpikir untuk mencari pekerjaan lebih cepat.
Enam bulan sudah ia di rumah dan menghabiskan waktu bermain game Online. Seperti kalong, malam tak tidur dan pagi hari ia memejamkan mata seperti pekerja yang baru saja pulang shift malam.
"Dek, kamu dengar nggak, sih?" tanya Mas Reno lagi.
"Dengar, Mas. Cuma malas saja beli in kamu pulsa." Aku menjawab sembari membersihkan muka bekas make -up..
Beberapa saat ia tak bertanya lagi. Bagus deh, ia sadar kalau memang aku tak mau memberikan pulsa lagi untuknya. Untuk apa hanya memanjakan parasit di rumah, sementara aku sibuk bekerja dan menghidupi diri sendiri.
"Dek, kalau aku nggak beli pulsa, bagaimana aku mau cari pekerjaan?"
Aduh, aku pikir sudah selesai merengeknya. Ternyata Mas Reno diam sedang merangkai kata. Kenapa harus alasan itu terus? Kemarin juga seperti itu pekerjaan menjadi alasan untuk meminta kuota pulsa.
Aku mengambil ponsel di nakas, lalu membuka aplikasi dan mengisikan pulsa untuknya. Dia memelukku tak henti sebagai tanda terima kasih.
Aku mendesah, mungkin belum rezeki Mas Reno mendapat pekerjaan. Aku harus sabar, ini ujian pernikahanku.
"Dek, Ibu telepon tadi, beras di rumah habis, minta tolong belikan dulu. Nanti kalau aku sudah bekerja, kuganti semua. Sekalian kubelikan kamu emas," ucap Mas Reno.
"Iya, Mas. Besok aku besok pagi aku kasih uangnya."
"Terima kasih, Sayang. Kamu memang istriku yang terbaik. Saat suami susah, kamu sabar, Dek."
Aku hanya tersenyum miris mendengar ucapan Mas Reno. Teringat obrolan tadi siang di kantin kantor bersama Nina.
"Suami kamu belum bekerja juga, Wid?"
"Belum. Susah cari pekerjaan zaman sekarang. Sabar ajalah, aku."
"Ih, aku mah ogah jadi kamu. Kerja banting tulang, cuma buat menghidupi suami yang menganggur dan keluarganya. Aduh, buru-buru cari kerja aja, deh."
Lamunanku terhenti saat mendengar dengkuran Mas Reno. Kutatap pria di sampingku, apa, iya, dia memanfaatkan aku? Sudah enam bulan dia hanya di rumah dan bermain ponsel. Jika ditanya sudah melamar kerja atau belum, jawabannya hanya sudah lewat email.
Semakin lama tabunganku semakin tipis. Selama menikah lima tahun dengan Mas Reno, kami belum juga dikaruniai anak. Sementara, mereka sudah banyak bertanya.
Pekerjaanku sebagai sekretaris membuat aku tak punya banyak waktu untuk bercengkerama di ranjang. Begitu juga Mas Reno, dia selalu larut pulang malam. Saat ditanya kapan mau ke dokter, jawabannya nanti saja.
Kalau sekarang, uang untuk ke dokter lebih baik kupergunakan untuk sehari-hari. Aku sempat marah karena setelah di PHK, tak ada tabungan yang tersisa. Ketika ditanya, dia hanya menjawab untuk kebutuhan kuliah adiknya dan ibu mertuaku.
Aku hanya mengelus dada mencoba sabar. Mungkin ini ujian naik level. Akan tetapi, makin hari semakin membuat aku pusing.
Rena, adik Mas Reno sering kali W* meminta uang untuk membeli buku dan beberapa foto copy untuk bahan kuliah. Bukan aku pelit, tapi itu sudah melampaui budget keuanganku. Sementara, hanya aku yang bekerja.
Kusingkap selimut dan mencoba memejamkan mata. Lelah dengan semua pekerjaan, terutama nasib rumah tanggaku sekarang. Andai saja secepatnya Mas Reno dapat pekerjaan, mungkin aku tidak akan mengeluh seperti ini.
---Chew Vha---
"Dek, bangun."
Aku menggeliat saat tubuhku diguncang-guncangkan Mas Reno. Sehabis salat subuh, aku masih mengantuk dan tak sadar terlelap kembali.
"Bangun, Dek. Ada ibu di luar."
Aku terkesiap, buru-buru bangun kemudian gegas aku turun dari kasur. Tak bisa membayangkan wajah ibu mertua di luar sudah seperti apa saat tahu aku baru bangun. Ada apa dia datang sepagi ini? Apalagi ini hari libur.
Benar dugaanku, Ibu mertua sudah bertolak pinggang. Aduh, masih pagi aku sudah sarapan ocehan Ibu.
"Kamu baru bangun?" tanyanya dengan nada agak meninggi.
"Iya, habis salat subuh ketiduran, Bu."
"Weleh, istrimu bagaimana, No. Pemalas, bukannya buat sarapan untuk suami malah asyik tidur."
"Aku lagi kurang enak badan, Bu."
"Alasan saja. Bilang kalau malas, walaupun kamu bekerja harus tahu kodrat sebagai seorang istri. Layani suami, jangan mentang-mentang Reno nggak kerja kamu malas-malasan."
Astagfirullah. Ke sekian kali dada terasa sesak mendengar penuturan Ibu. Apa selama ini yang kulakukan kurang untuk keluarga Mas Reno?
Sebegitu bencikah Ibu padaku, hingga sesuka hati dia memaki aku. Apa kesalahan ini membuat dia mencap aku sebagai istri pemalas?
"Nggak begitu, Bu. Aku hanya sedang lelah, jadi mau istirahat dulu."
"Aduh, nggak usah membela diri, mana sini Ibu minta uang buat beli beras. Bukannya diantari," cercanya tanpa peduli perasaanku.
"Iya, sebentar aku ambil uang dulu." Aku gegas masuk ke kamar mengambil selembar uang seratus ribu.
Kuserahkan uang pada Ibu, menyebalkan sekali Mas Reno hanya asyik dengan ponselnya tanpa membela aku yang terpojok pagi ini. Benar-benar aku merasa seperti sapi perah untuk keluarga Mas Reno.
"Seratus ribu aja?" tanya Ibu lagi.
"Aku belum gajian, Bu. Kemarin buat bayar Mba Lastri," jawabku.
"Aduh, ngapain pakai tukang gosok, memang kamu nggak bisa gosok sendiri? Biar hemat, Wid. Lagi pula, itu tugas istri."
"Nggak ada waktu, Bu."
"Zaman sekarang maunya enak aja."
Aku hanya mengelus dada mendengar Ibu mencerca aku. Kulirik Mas Reno yang tetap diam sambil menonton TV kali ini.
Setelah puas dan mendapat uang dariku, Ibu beranjak pulang. Baru dua hari lalu Rena meminta uang. Sekarang Ibu yang datang untuk mengambil uang. Apes benar pagi-pagi udah kena omel.
"Mas, kamu kok diam aja aku di omelin Ibu?"
"Bukan diam aja, kamu tahu sifat Ibu nggak suka dibantah. Nanti malah tambah panjang omelannya. Kamu mau begitu?"
Aku membenarkan ucapan Mas Reno, tapi tidak juga harus diam saat aku di cerca Ibu. Setidaknya dia membela aku, bukan hanya asyik dengan ponselnya.
Geram aku melihat semua kelakuan suami dan keluarganya. Sampai kapan aku harus sabar? Aku hanya berharap Mas Reno berubah dan cepat mencari pekerja.
Badai ini pasti berlalu cepat, aku hanya perlu bersabar menghadapi semua yang digariskan Allah. Mungkin, besok mentari akan menyambut riang.
"Dek, aku lapar, buatkan makanan."
Ingin sekali aku melempar ponsel suamiku ke bak mandi yang penuh air. Susah payah aku bekerja, dia hanya bisa menyuruh dan meminta.
Aku menarik napas panjang, lalu gegas ke dapur. Saat kubuka isi kulkas hanya sisa telur satu buah. Apa stok sebanyak aku beli sudah habis?
"Mas, stok telur dan mie instan kok sudah habis?"
"Iya, kemarin Rena ke rumah main sama temannya sambil belajar kelompok pakai laptop Mas. Pada masak mie," jawab Mas Reno.
Astaga naga, aku pun harus membiayai teman-temannya pula?
---Chew Vha—
Setelah melihat isi kulkas kosong, aku hanya memasakan nasi goreng untuk Mas Reno. Memanfaatkan nasi dan telur yang ada untuk makan. Aku menghela napas panjang setelah hari ini mengeluarkan selembar uang untuk Ibu mertua.Bukan aku hitung-hitungan, tapi akhir bulan seperti ini sangat berharga untuk tambahan ongkos dan uang makan. Belum lagi kemarin Mas Reno meminta uang pulsa. Argh ... aku semakin gila."Ini, Mas. Hanya ada nasi dan telur, jadi aku buat nasi goreng saja.""Telurnya nggak di dadar, De? Mana enak di orek-orek telurnya. Kamu gimana, De?""Loh, kalau di dadar, aku makan apa, Mas? Kan, lumayan untuk dua porsi," ucapku sambil melahap nasi goreng.Mas Reno membanting piring, lalu bangkit dari duduknya."Mas, mau ke mana?" tanyaku cepat.Mas Reno yang sudah berada di ambang pintu menoleh kepadaku."Mau ke rumah Ibu, dari pada makan masakan kamu, kalau di sana apa aja dituruti."Aku menger
Aku lelah menghadapi mereka yang tak punya otak. Suami malas, keluarganya pun terus merongrong aku. Dipikir aku sapi perah mereka apa?Mulai sekarang sepertinya aku harus tegas menghadapi mereka. Aku bangkit untuk mandi dan salat subuh. Aku menoleh sebentar, melihat Mas Reno asyik tertidur. Bagaimana mau menjemput rezeki kalau tidur baru jam tiga pagi asyik bermain game Online.Kubangunkan salat saja tak akan bangun. Pantas rezeki kabur darinya dan berimbas padaku. Gemas aku sama keluarga Mas Reno. Biarlah suatu saat dia akan menyesal membuat aku menderita.Setelah mandi aku bergegas membuat sarapan untuk diri sendiri. Tak seperti biasa aku selalu membuatkan untuk Mas Reno, kali ini biar saja dia kelaparan. Mungkin dia akan kenyang dengan hanya bermain game online.Aku bisa bayangkan jika dia membuka tudung nasi hanya ada sebuah kertas dariku.'Maaf, Mas, uangku habis. Kamu cari makan sendiri, ya. Seperti aku mencari makan untuk diriku
Awal bulan seperti ini, biasanya aku sudah berada di swalayan untuk berbelanja bulanan. Akan tetapi, kali ini uang gaji tak cukup untuk stok keperluan dapur.Kusimpan kembali dompet ke tas. Beberapa langkah lagi aku sampai di rumah. Berjalan dari depan membuat aku lelah. Punya suami tak berguna, benar kata Nina.Allahuakbar, rumahku seperti kapal pecah. Kulit kacang bertebaran di mana-mana. Belum lagi puntung rokok juga berserakan. Didiamkan mereka makin seenaknya aja. Dipikir ini rumah mereka apa?"Mas!"Kulangkahkan kaki mencari Mas Reno. Aku lelah, pulang kerja harus di hadapkan dengan semua ini. Sungguh aku tak bisa menahan emosi."Mas!"Mas Reno baru menoleh saat ponselnya aku tarik. Sengaja kupasang wajah jutek biar dia sadar istrinya sedang marah. Bisa-bisanya dia santai, sedangkan di luar rumah bagaikan kapal pecah."Kamu apa-apaan, sih?" tanya Mas Reno kesal.Pria di hadapanku mencoba mengambil
"Bu, aku belum punya anak karena memang Allah belum kasih keturunan saja. Lagian kalau saat seperti ini aku mending nggak punya anak dulu."Wajah ibu mertua semakin memerah menahan amarah. Belum lagi Mas Reno yang ikut menatapku tajam. Apa salah aku berucap seperti itu? Salah sendiri membangunkan macan tidur."Jaga omongan kamu sama Ibuku," ucap Mas Reno."Ibu yang mulai memancing amarahku, Mas. Dosaku nggak menjadi penghalang aku punya anak.""Ibu sudah bilang dari awal kamu mau nikah, perempuan ini nggak bagus jadi istri. Cuma menyusahi saja," cerca ibu mertuaku lagi."Ya Allah Ibu, yang menyusahi bukan aku. Tapi, Mas Reno sama Ibu. Juga Rena yang selalu minta uang terus sama aku. Kalian pikir aku sapi perah?"Pipiku terasa perih saat tangan Mas Reno menamparku. Dia tak terima aku bicara seperti itu. Wajah Ibu semakin sinis, begitu juga Rena. Gadis itu seperti mengejekku.Mereka membuat aku marah. Lupa apa mereka s
Aku termenung saat Mas Reno sibuk mengerjakan sesuatu di dapur. Penantian ini memang yang aku tunggu. Kehamilan yang selalu menjadi puncak masalah kami."De, ini teh hangat di minum. Kata teman-temanku kalau orang hamil itu suka mual. Di minum, ini."Mas Reno memberikan teh hangat itu padaku. Apa ini hanya topeng agar dia tak jadi di usir dari rumah ini? Begitu manis yang dia lakukan seolah mematahkan pertahanku.Aku menyesap teh hangat buatannya. Sempat curiga jangan-jangan dia menaruh macam-macam pada minumanku."Sudah hangat perutnya?""Sudah."Terasa aneh saat sikapnya berubah seperti ini, membuat aku menaruh curiga takut dia sedang merencanakan sesuatu. Sudah kuusir, dia tetap mau tinggal di sini.Aku memperhatikan Mas Reno merapikan tempat tidur, lalu meletakkan bantal dengan rapi. Aku mengernyitkan kening keheranan dengan sikap yang berbeda kali ini. Apa dia takut kuusir?"De, istirahat dulu. Besok kamu mau izin ap
POV ibu mertuaKurang ajar sekali si Widya. Bisa-bisanya dia menyuruh aku ke luar dari rumahnya. Dia pikir hebat apa? Masih untung anakku mau menikahi dia yang cuma orang biasa.Kalau saja Reno tak kekeh menikah dengan Widya, mungkin Reno sekarang sudah memiliki anak dari Ningrum anak juragan kontrakan. Gara-gara si Widya, Reno tak mendengar ucapan aku. Dasar anak durhaka.Pantas saja hidupnya tak pernah bahagia. Si Widya banyak dosa kayanya, sampe Tuhan saja tak memberinya keturunan. Kasihan Reno, harus memiliki istri seperti Widya.Baguslah dia mengusir Reno. Jadi, aku bisa menjodohkan Ningrum lagi. Untung saja dia baru menjanda. Tak masalah tak dapat gadisnya. Sama-sama pernah menikah kok."Ibu Mas Reno kok nggak pulang ke rumah?" tanya Rena padaku."Lagi kemas baju mungkin."Benar juga kata Rena, sudah hampir dua jam setelah dari rumah Widya, Reno tak kunjung datang. Kucoba menelepon berkali-kali pun tak dia
Mungkin karena aku mengabaikan perintah dokter untuk bedrest, jadinya seperti ini. Perut terasa keram kembali, susah bangun dan hanya bisa merebahkan tubuh di kasur.Setelah mengantarku, Mas Reno izin mengantar Ibu, lalu langsung melamar ke kantor ojek Online. Semoga saja apa yang dia katakan benar adanya. Dia berubah tak seperti dulu.Tak menyangka Allah begitu baik padaku. Akhirnya sesuatu yang kami tunggu kini hadir di perutku. Rasanya tak percaya kalau aku mengandung buah cinta kami.Sungguh kuasa Allah tak ada duanya. Saat Ibu mertua mencemooh diriku yang tak kunjung hamil karena banyak berdosa, Allah titipkan langsung dan membuktikan jika memang sesuatu itu jika sudah waktunya pasti akan terjadi.Baru mau memejamkan mata, suara gedoran pintu membuat aku terkesiap. Perlahan aku bangkit dan melangkah dengan rasa nyeri di perut menghampiri pintu.Ah, ternyata Rena datang bersama teman-temannya. Aku sedikit memincingkan mata mel
Aku harus bagaimana menghadapi dua orang wanita berharga dalam hidup ini. Satu Ibu yang melahirkan aku, satu lagi istri yang aku cinta. Bahagia kini menyelimuti hati saat Widya dinyatakan hamil.Keadaan ini menguntungkan aku karena tadi Widya mengusirku ke luar rumah karena perdebatan dengan Ibu. Sejujurnya ingin sekali mencari kerja, tapi bingung dengan Ibu yang selalu ingin meminta gajiku semua.Widya sudah uring-uringan selama aku menganggur, bukan salah dia karena memang aku membebankan semua kebutuhan rumah tangga padanya. Belum lagi kebutuhan Ibu dan Rena.Aku pikir dengan cara ini, Ibu akan mengerti jika Widya bukan wanita matre yang hanya ingin uangku. Aku berdosa, selama menikah dengannya tak pernah menafkahi Widya.Akan tetapi, aku salah. Ibu semakin membenci Widya, sedangkan Widya sekarang menjadi cepat emosi dan berani melawan Ibu seperti tadi. Kuakui memang salah Ibuku, tapi jujur harus membela yang mana?Aku mencari
Kenapa Budeh menangis, apa aku keguguran saat terjatuh tadi? segera aku mengusap perut ini, tetapi sama sekali aku tidak tahu, apa masih ada janin atau tidak di perut ini?aku kembali menatap raut wajah Budeh. lagi, ia memelukku dengan erat. air matanya tumpah membanjiri pipi. Budeh, apa yang sebenarnya terjadi?"Budeh, jangan menangis. Apa ini ada hubungannya dengan anakku?" tanyaku penasaran."Budeh menangis bahagia, akhirnya lengkap sudah kebahagiaan kamu. Untung Erlan cepat membawamu. Untung Allah masih melindungi kalian.”Kini aku yang menangis, karena kecerobohanku, hampir saja aku kehilangan janin ini. Namun, hati ini masih sakit jika mengingat semuanya. Aku benci mereka. Bodohnya aku, saat ia bilang mencintaiku. Diri ini juga terlalu terhanyut saat Mas Erlan ingin membahagiakanku. Aku pikir, diri ini paling beruntung memiliki suami seperti dia.nyatanya, aku harus menahan pedih di hati. Mas kenapa kamu tega! Kenapa dirinya harus datan
"Jangan mengungkit masa lalu. Aku pun tidak pernah usil dengan kamu Mba. Tolong, jangan buat keributan di rumahku." Ibu mertuaku merasa terganggu dengan perkataan Budhe Ratih.Memang, menurutku keterlaluan Budhe Ratih. Sudah ditolong, tapi dia malah berbuat tidak baik. Kulihat wajah Mama sampai memerah. Belum lagi Papa mertua yang menarik napas."Anakku, Erlan tidak seperti itu. Bagaimana bentuknya sang istri, itu sudah menjadi kodratnya. Makanya anakmu suruh nikah, jangan bisanya julid sama orang. Untung saja Erlan tidak tertarik dengan Gladis. Malu aku punya menantu dengan ucapan tidak baik,” ujar Mama.Aku terkesiap dengan penuturan Mama. Wanita tua itu bangkit, dan langsung meninggalkan meja makan. Tidak lama Papa juga ikut masuk ke kamar."Wid, kita makan di luar saja, yuk," ajak Mas Erlan."Iya, kamar"Kalian mau ke mana?" tanya Gladis."Bukan urusan kamu,” jawab Mas Erlan.Mas Erlan memberi kode agar ak
Terpaksa aku kembali ke rumah ini. Rumah besar yang dihuni beberapa kepala. Demi suami, aku bertahan untuk menyenangkan ibu mertua.Cucu pertama dari keluarga ini sangat diharapkan. Anak perempuan mereka yang sudah beberapa lama menikah tak kunjung hamil. Sampai aku hamil, antusias mereka sangat besar."Kamu mau rujak, nggak, Wid?" tanya Ibu mertuaku."Nggak, Ma. Aku malah nggak mau asem-asem. Maunya yang pedas." Aku menjawab sambil duduk di kursi dapur."Makanan pedas gitu? Atau ikan, ayam atau apa gitu? Bilang aja sama Mama, nanti suruh Bibi masak. Jangan sungkan.""Iya, Ma. Apa aja, yang penting pedas.""Ya, sudah nanti ayam saja di cabeiin. Biar makan semua, enak juga kayanya."Akhirnya aku mendapat perhatian Ibu mertua. Kupikir ia sama seperti Ibunya Reno. Namun, ternyata Mama berbeda. Memang dia terlihat apa adanya.Gladis berlari masuk ke rumah. Aku lihat beberapa kali dia mengintip jendela rumah. Ada apa sebenarnya?
"Ancaman Apa?" tanyaku."Bukan ancaman apa-apa. Ya, tapi takutnya aja si Gladis melakukan hal macam-macam." Mba Erni menjelaskan padaku.Kenapa masih banyak orang seperti Gladis. Sudah jatuh miskin, masih saja bersikap seperti ratu dalam istana. Kenapa tidak sadar diri, jika dia sudah menjadi miskin."Biarkan, Mba.""Kamu terlalu lembek. Budhe Ratih itu cuman manfaatin Mama. Dia tinggal di rumah Mama itu bakal lama. Lihat aja kataku nanti."Mbak Erni ikut emosi jika mengingat kelakua kedua orang itu. Belum lagi, sikap Gladis yang tidak mengenakkan. Aku bisa frustrasi menghadapinya. Sekarang dia berani meminjam uang dua puluh juta. Besok-besok pasti akan lebih berani. Astaga, jauhkan aku dari orang seperti itu Ya Allah.Ponsel Mas Erlan berdering, ia mengambilnya dari nakas. Wajahnya mengerut seperti melihat sesuatu."Ada apa, tumben si Mba Nani telepon. Ada apa, ya?" tanya Mas Erlan."Angkat dulu aja," kataku.Mas
"Temui aja, Mas," ujarku pelan.Rasanya mengingat ia menyukai suamiku itu membuat aku ingin mengusirnya. Kenapa bisa ada wanita tidak tahumu seperti Gladis. Mas Erlan membuka pintu setelah aku mengizinkannya."Ada apa, Dia?" tanya Mas Erlan."Mas, aku boleh pinjam uang? Hari ini ada acara, nanti aku ganti. Soalnya uang Papa---""Uang Papamu habis. Bagaiamana kamu bisa menggantinya?""Ya, aku sedang mencari pekerjaan. Makanya aku butuh uang untuk ke mana-mana. Boleh, ya, Mas?" Gladis seperti memohon pada suamiku.Aku mendekati mereka, astaga, gadis ini memakai pakaian sexy di depan Suamiku. Belahan dadanya saja sengaja ia umbar. Memang tidak tahu malu."Berapa?""Sepuluh juta,” ujar Gladis.Mendengarnya membuat aku sakit kepala. Yang sebanyak itu dia pinjam dan entah kapan mengembalikannya.Mas Erlan melihat ke arahku. Aku tidak mengerti maksudnya."Sekarang Widya istriku, jadi Widya yang ber
Gladis menyukai menyukai Mas Erlan? Pantas saja ibunya tidak terima saat aku menjadi istri sang pujaan hati anaknya. Mereka aneh, masa mau menikah dengan sepupu?Kok bisa, mereka menginap di sini? Katanya kaya raya, masa, iya, menumpang. Aku beranjak ke luar kamar. Seharian di ruangan ini membuat aku bosan. Lebih baik aku mencari buah di kulkas. Siapa tahu Mama ada simpanan buah. Kebetulan ada Mama di dapur. Aku mengurungkan niat menyapanya, ada Budhe Ratih di sana.Terdengar mereka sedang mengobrol. Di posisi aku berdiri, masih bisa terdengar mereka berbicara. Aku bukan mau menguping, tapi ingin tahu saat nama Mas Erlan di sebut."Mbar, kamu yang benar saja menikahkan Erlan dengan wanita biasa. Kamu nggak lihat anakku Gladis lebih cantik." Terdengar suara bude membuat aku sakit hati."Itu pilihan dia, mana bisa aku melarang. Tahu sendiri, kalau sudah mau A ya tetap A. Mana bisa berubah menjadi B." Ibu mertuaku seperti tak banyak bicara."Halah, ng
"Sayang, aku mau ke luar kota seminggu, kamu di rumah Mama dulu, ya. Mama minta selama kamu hamil tinggal di sana, mau?"Aku berpikir ulang dengan permintaan Mas Erlan. Untuk seminggu tidak masalah, tapi kalau untuk waktu yang lama, aku belum tentu mau.Biasanya kata orang, deket itu bau, kalau jauh baru wangi. Aku takut, hubungan dengan Mama seperti hubunganku dengan Ibu yang selalu saja bertengkar."Di rumah Mama, semua sudah pembantu yang mengerjakan. Mama juga sama seperti kamu, tidak bisa masak."Mas Erlan seperti tahu keraguanku. Ia kembali menjelaskannya."Bukan itu, sih maksudku. Hanya takut seperti dulu, dekat dengan mertua dan selalu ribut."Semoga saja Mas Erlan mengerti apa yang aku maksud. Hmm ... aku pikir enak juga tinggal di sana. Dalam keadaan hamil seperti ini, setidaknya ada Mama dan banyak orang yang sigap jika terjadi sesuatu denganku."Iya, aku mengerti sayang, terserah kamu aja. Yang penting kamu nyaman.
Baskoro bersama Rena menunggu di bagian administrasi. Memang sengaja mereka menunggu kami datang. Saat aku sampai, kasihan sekali melihat Rena menangis tak henti.Mas Erlan segera menghampiri bagian administrasi bersama Baskoro. Sejenak mereka saling berbicara. Entah, apa yang mereka perbincangkan. "Ibu kenapa, Ren?" tanyaku. "Ibu jatuh saat sedang mencuci, Mba." "Mesin cuci rusak?" "Air di rumah masih kecil. Lama kalau nunggu masuk ke mesin. Adanya nanti rusak mesinnya." Rena menjelaskan padaku. Aku kembali teringat saat ibu datang menumpang mencuci. Datang dengan makian yang membuat Budhe Sri mengamuk. Setelah itu terjadi perang. Sudah lama sekali hal itu. Kupikir sudah tidak seperti itu lagi. Dari kejauhan Mas Reno datang tergopoh-gopoh. Bagaimana ini, tidak mungkin aku langsung menghindar, sedangkan di ujung sana, suamiku tak henti menatap ke arahku. "Ren, aku mau ke Mas Erlan dulu." "Iya, Mba
POV WidyaSudah dua bulan aku mengalami kelelahan. Badanku semua sakit, bahkan Indra penciumanku terasa sensitif. Mencium aroma yang menusuk, membuat aku memuntahkan kembali isi dalam perutku.Mba Erni datang berkunjung, wanita itu seperti biasa selalu bawel padaku. Dia datang membawa beberapa katalog untuk berlibur. Memang Mas Erlan menjanjikan kami liburan. Apalagi suamiku menjanjikan mengajak Mba Erni."Nih, Wid. Tinggal pilih, mau ke mana?" Aku menatap brosur dengan harga tiket dan penginapan yang begitu mahal. Sayang sekali biaya liburan mahal sekali."Nggak usah bingung, sih. Sekarang kamu istri Erlan, pengusaha muda dan kaya. Mau apa tinggal tunjuk,” tukas Kakak iparku."Bukan begitu, Mba. Aku kurang enak badan, lemas pula. Baru aja muntah. Bagaimana mau liburan?""Kamu udah menstruasi belum?" tanya Mbak Erni antusias.Aku berpikir, sepertinya aku terlalu bahagia dengan pernikahan ini sampai melupakan kalau aku sudah dua