POV ibu mertua
Kurang ajar sekali si Widya. Bisa-bisanya dia menyuruh aku ke luar dari rumahnya. Dia pikir hebat apa? Masih untung anakku mau menikahi dia yang cuma orang biasa.
Kalau saja Reno tak kekeh menikah dengan Widya, mungkin Reno sekarang sudah memiliki anak dari Ningrum anak juragan kontrakan. Gara-gara si Widya, Reno tak mendengar ucapan aku. Dasar anak durhaka.
Pantas saja hidupnya tak pernah bahagia. Si Widya banyak dosa kayanya, sampe Tuhan saja tak memberinya keturunan. Kasihan Reno, harus memiliki istri seperti Widya.
Baguslah dia mengusir Reno. Jadi, aku bisa menjodohkan Ningrum lagi. Untung saja dia baru menjanda. Tak masalah tak dapat gadisnya. Sama-sama pernah menikah kok.
"Ibu Mas Reno kok nggak pulang ke rumah?" tanya Rena padaku.
"Lagi kemas baju mungkin."
Benar juga kata Rena, sudah hampir dua jam setelah dari rumah Widya, Reno tak kunjung datang. Kucoba menelepon berkali-kali pun tak dia
Mungkin karena aku mengabaikan perintah dokter untuk bedrest, jadinya seperti ini. Perut terasa keram kembali, susah bangun dan hanya bisa merebahkan tubuh di kasur.Setelah mengantarku, Mas Reno izin mengantar Ibu, lalu langsung melamar ke kantor ojek Online. Semoga saja apa yang dia katakan benar adanya. Dia berubah tak seperti dulu.Tak menyangka Allah begitu baik padaku. Akhirnya sesuatu yang kami tunggu kini hadir di perutku. Rasanya tak percaya kalau aku mengandung buah cinta kami.Sungguh kuasa Allah tak ada duanya. Saat Ibu mertua mencemooh diriku yang tak kunjung hamil karena banyak berdosa, Allah titipkan langsung dan membuktikan jika memang sesuatu itu jika sudah waktunya pasti akan terjadi.Baru mau memejamkan mata, suara gedoran pintu membuat aku terkesiap. Perlahan aku bangkit dan melangkah dengan rasa nyeri di perut menghampiri pintu.Ah, ternyata Rena datang bersama teman-temannya. Aku sedikit memincingkan mata mel
Aku harus bagaimana menghadapi dua orang wanita berharga dalam hidup ini. Satu Ibu yang melahirkan aku, satu lagi istri yang aku cinta. Bahagia kini menyelimuti hati saat Widya dinyatakan hamil.Keadaan ini menguntungkan aku karena tadi Widya mengusirku ke luar rumah karena perdebatan dengan Ibu. Sejujurnya ingin sekali mencari kerja, tapi bingung dengan Ibu yang selalu ingin meminta gajiku semua.Widya sudah uring-uringan selama aku menganggur, bukan salah dia karena memang aku membebankan semua kebutuhan rumah tangga padanya. Belum lagi kebutuhan Ibu dan Rena.Aku pikir dengan cara ini, Ibu akan mengerti jika Widya bukan wanita matre yang hanya ingin uangku. Aku berdosa, selama menikah dengannya tak pernah menafkahi Widya.Akan tetapi, aku salah. Ibu semakin membenci Widya, sedangkan Widya sekarang menjadi cepat emosi dan berani melawan Ibu seperti tadi. Kuakui memang salah Ibuku, tapi jujur harus membela yang mana?Aku mencari
"Mas akan berubah, asal kamu mau ingatkan, jika Mas lalai lagi.""Semua tergantung niat kamu. Sejak awal menikah, aku harus membanting tulang sendiri. Kalau memang kamu masih mau memperbaiki, semua dengan niat."Pelukan hangat ini membuat aku merasa rindu saat pertama kali Mas Reno mengungkapkan kalimat cinta. Namun, aku mengira dia akan memberikan aku kebahagiaan, tapi malah penderitaan yang aku rasakan.Apa bisa dia berubah sesuai dengan janjinya padaku? Atau akan sama saja seperti dahulu. Janji manis itu terulang kembali.Aku tak pernah menuntut untuk membeli apa pun. Asalkan dia berlaku adil padaku. Kegelisahan selama ini membuat aku berniat untuk berpisah.Sepertinya Allah tak mendukung keinginanku. Dia menghadirkan anak diantara kami untuk mempertahankan rumah tangga ini."Mas, mau makan?""Kamu bisa masak lauk buat Mas?""Kalau hanya telur dadar aku bisa. Atau mau pesan makanan Online saja?""Ada
"Ningrum?" "Iya, wanita kaya di desaku dulu. Ibu marah karena aku tidak mau menikah dengan Ningrum, dan lebih memilih kamu." Aku mengerti sekarang, mengapa Ibu membenci aku. Bahkan, sebelum kami menikah, dia sudah menyiapkan calon istri kaya untuk Mas Reno. Aku menghela napas panjang, lalu tiba-tiba saja kepalaku terasa berat. Rasa mual kini menghampiri. Aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi dalam perutku. Mas Reno gegas menghampiriku, dia mengelus lembut pundakku. Apa pikiran ini mempengaruhi kehamilanku? "Sudah Mas bilang, jangan bertanya hal yang membuat kamu berpikir keras. Jadinya beginikan," oceh Mas Reno. "Aku penasaran, Mas." "Dasar bandel, kamu." Mas Reno membantuku merebahkan diri di kasur. Lalu, dia bergegas ke dapur membuat teh hangat untuk aku. Beberapa menit, Mas Reno menghampiriku bersama secangkir teh hangat. "Kalau Ibu tahu, aku pasti dibilang manja." "Manja
"Aku mau menikah dengan Ningrum, Dek," ujar Mas Reno mantap. "Kamu jahat, Mas!" "Ini kemauan Ibu, aku tidak bisa menolaknya. Mas takut durhaka." "Kamu jahat, Mas! Jahat!" Aku membuka mata saat merasa ada yang menggoyang-goyangkan tubuh ini. "Kamu nggak apa-apa, Dek?" Aku mengerjapkan mata bekali-kali. Napasku terasa sesak, seperti habis berlari kencang. Jadi, ini hanya mimpi? Kenapa seperti nyata? "Dek, mimpi buruk?" "Ng--nggak, Mas." Tidak mungkin aku bercerita tentang mimpi ini. Bisa-bisa Mas Reno menertawakanku. Astaga, kenapa seperti nyata? Kepala ini menjadi pusing karena terbangun dari tidur. Kuminta Mas Reno mengambilkan minyak kayu putih. "Jangan banyak pikiran, Dek. Mas sudah mulai kerja. Besok Budhe Sri, Mas yang jemput." "Aku nggak banyak pikiran, Kok." "Itu buktinya sampe ke bawa mimpi. Bilang Mas jahat, memang mimpi apa, sih?" Iyakah sampe terdengar aku
Aku capek mengejar Budhe yang sudah hampir sampai di rumah Ibu. Mau berteriak, tapi malu sama tetangga. Sedari tadi aku sudah menghubungi Mas Reno, tapi tak diangkatnya."Budhe." Aku berhenti sambil mengatur napas. Pasti aku tidak bisa mengejar Budhe, kalau aku paksa hanya mencari celaka karena akan mengalami keram lagi.Pelan aku berjalan sambil memegangi perut. Jangan sampai Budhe sama ibu ribut lagi. Malu sama tetangga, masa sama mertua ramai terus.Perjuangan sekali sampai di rumah ibu. Rumah tertutup rapat, sepertinya penghuninya sedang pergi. Aku mengelus dada, dan bisa bernapas lega. Kali ini aman, entah nanti."Kamu ngapain di sini, Wid?""Mengejar Budhe," jawabku."Aduh, jangan capek-capek. Hayo pulang, mertuamu kayanya nggak ada.""Iya, Budhe."Budhe menuntunku berjalan. Memang perut sudah mulai keram, belum lagi napasku yang sedari tadi naik turun.Bersyukur sekali ibu pergi, apa dia bersama Mas Reno makanya t
Aku pusing melihat pertengkaran mereka. Mas Reno mencoba menenangkan Ibu dan aku meredakan emosi Budhe. Mereka semakin sibuk dengan berbalas cacian, sampai aku keringat dingin untuk memisahkan mereka."Jangan pikir selama ini aku nggak tahu kelakuan kamu sama keponakanku. Asal kamu tahu, kalau nggak sedang hamil, sudah kusuruh cerai saja dia. Ngapain menghidupi parasit," ujar Budhe emosi."Halah, nggak usah karena hamil nggak jadi cerai. Pisah sekarang juga nggak apa-apa. Reno mau tak jodohin sama Ningrum. Sama-sama sudah duda dan janda."Astagfirullah. Kenapa ibu bisa setega itu sama aku. Apa salah aku selama ini sama dia?"Oalah, Wid. Kasihan kamu punya mertua seperti dia. Harusnya usir saja, buang bajunya tuh. Dasar parasit.""Sudah, Ibu, Budhe, sudah. Tolong jangan memperkeruh keadaan. Budhe, tolong diam dulu, semakin Budhe melawan Ibu, akan semakin membuat aku sakit hati. Budhe, sudah, ya." Aku memohon pada Budhe.Sementara, Mas Reno me
"Reno mana?" tanya Ibu tanpa basa basi."Sudah jalan mengojek, Bu."Ibu beralih pandang menatap wanita di sampingnya. Senyum itu tak pernah terlihat saat berbicara denganku. Bahkan, saat tahu jika aku sedang hamil.Apa yang ada di pikiran ibu mertuaku saat kemarin dengan enteng menginginkan perceraian aku dan Mas Reno. Hanya ibu dari suamiku yang tega berpikiran seperti itu."Sudah, Ning. Nanti Ibu telepon saja Renonya."Ning? Bener dia Ningrum, janda kaya yang sengaja dijodohkan ibu sama Mas Reno. Berulang kali hati ini sakit, tapi lebih memilih bertahan.Dua orang itu seperti tidak memiliki etika. Datang bertamu, pulang begitu saja. Seperti tidak ada orang di hadapan mereka. Dadaku kembang kempis melihat kelakuan mereka.Biasanya aku tak berharap ada Budhe, tapi sekarang aku sangat berharap Budhe ada di sini dan membuat mereka kapok.---Chew Vha---Masakan Budhe enak, aromanya saja sudah bikin perut keroncongan.
Kenapa Budeh menangis, apa aku keguguran saat terjatuh tadi? segera aku mengusap perut ini, tetapi sama sekali aku tidak tahu, apa masih ada janin atau tidak di perut ini?aku kembali menatap raut wajah Budeh. lagi, ia memelukku dengan erat. air matanya tumpah membanjiri pipi. Budeh, apa yang sebenarnya terjadi?"Budeh, jangan menangis. Apa ini ada hubungannya dengan anakku?" tanyaku penasaran."Budeh menangis bahagia, akhirnya lengkap sudah kebahagiaan kamu. Untung Erlan cepat membawamu. Untung Allah masih melindungi kalian.”Kini aku yang menangis, karena kecerobohanku, hampir saja aku kehilangan janin ini. Namun, hati ini masih sakit jika mengingat semuanya. Aku benci mereka. Bodohnya aku, saat ia bilang mencintaiku. Diri ini juga terlalu terhanyut saat Mas Erlan ingin membahagiakanku. Aku pikir, diri ini paling beruntung memiliki suami seperti dia.nyatanya, aku harus menahan pedih di hati. Mas kenapa kamu tega! Kenapa dirinya harus datan
"Jangan mengungkit masa lalu. Aku pun tidak pernah usil dengan kamu Mba. Tolong, jangan buat keributan di rumahku." Ibu mertuaku merasa terganggu dengan perkataan Budhe Ratih.Memang, menurutku keterlaluan Budhe Ratih. Sudah ditolong, tapi dia malah berbuat tidak baik. Kulihat wajah Mama sampai memerah. Belum lagi Papa mertua yang menarik napas."Anakku, Erlan tidak seperti itu. Bagaimana bentuknya sang istri, itu sudah menjadi kodratnya. Makanya anakmu suruh nikah, jangan bisanya julid sama orang. Untung saja Erlan tidak tertarik dengan Gladis. Malu aku punya menantu dengan ucapan tidak baik,” ujar Mama.Aku terkesiap dengan penuturan Mama. Wanita tua itu bangkit, dan langsung meninggalkan meja makan. Tidak lama Papa juga ikut masuk ke kamar."Wid, kita makan di luar saja, yuk," ajak Mas Erlan."Iya, kamar"Kalian mau ke mana?" tanya Gladis."Bukan urusan kamu,” jawab Mas Erlan.Mas Erlan memberi kode agar ak
Terpaksa aku kembali ke rumah ini. Rumah besar yang dihuni beberapa kepala. Demi suami, aku bertahan untuk menyenangkan ibu mertua.Cucu pertama dari keluarga ini sangat diharapkan. Anak perempuan mereka yang sudah beberapa lama menikah tak kunjung hamil. Sampai aku hamil, antusias mereka sangat besar."Kamu mau rujak, nggak, Wid?" tanya Ibu mertuaku."Nggak, Ma. Aku malah nggak mau asem-asem. Maunya yang pedas." Aku menjawab sambil duduk di kursi dapur."Makanan pedas gitu? Atau ikan, ayam atau apa gitu? Bilang aja sama Mama, nanti suruh Bibi masak. Jangan sungkan.""Iya, Ma. Apa aja, yang penting pedas.""Ya, sudah nanti ayam saja di cabeiin. Biar makan semua, enak juga kayanya."Akhirnya aku mendapat perhatian Ibu mertua. Kupikir ia sama seperti Ibunya Reno. Namun, ternyata Mama berbeda. Memang dia terlihat apa adanya.Gladis berlari masuk ke rumah. Aku lihat beberapa kali dia mengintip jendela rumah. Ada apa sebenarnya?
"Ancaman Apa?" tanyaku."Bukan ancaman apa-apa. Ya, tapi takutnya aja si Gladis melakukan hal macam-macam." Mba Erni menjelaskan padaku.Kenapa masih banyak orang seperti Gladis. Sudah jatuh miskin, masih saja bersikap seperti ratu dalam istana. Kenapa tidak sadar diri, jika dia sudah menjadi miskin."Biarkan, Mba.""Kamu terlalu lembek. Budhe Ratih itu cuman manfaatin Mama. Dia tinggal di rumah Mama itu bakal lama. Lihat aja kataku nanti."Mbak Erni ikut emosi jika mengingat kelakua kedua orang itu. Belum lagi, sikap Gladis yang tidak mengenakkan. Aku bisa frustrasi menghadapinya. Sekarang dia berani meminjam uang dua puluh juta. Besok-besok pasti akan lebih berani. Astaga, jauhkan aku dari orang seperti itu Ya Allah.Ponsel Mas Erlan berdering, ia mengambilnya dari nakas. Wajahnya mengerut seperti melihat sesuatu."Ada apa, tumben si Mba Nani telepon. Ada apa, ya?" tanya Mas Erlan."Angkat dulu aja," kataku.Mas
"Temui aja, Mas," ujarku pelan.Rasanya mengingat ia menyukai suamiku itu membuat aku ingin mengusirnya. Kenapa bisa ada wanita tidak tahumu seperti Gladis. Mas Erlan membuka pintu setelah aku mengizinkannya."Ada apa, Dia?" tanya Mas Erlan."Mas, aku boleh pinjam uang? Hari ini ada acara, nanti aku ganti. Soalnya uang Papa---""Uang Papamu habis. Bagaiamana kamu bisa menggantinya?""Ya, aku sedang mencari pekerjaan. Makanya aku butuh uang untuk ke mana-mana. Boleh, ya, Mas?" Gladis seperti memohon pada suamiku.Aku mendekati mereka, astaga, gadis ini memakai pakaian sexy di depan Suamiku. Belahan dadanya saja sengaja ia umbar. Memang tidak tahu malu."Berapa?""Sepuluh juta,” ujar Gladis.Mendengarnya membuat aku sakit kepala. Yang sebanyak itu dia pinjam dan entah kapan mengembalikannya.Mas Erlan melihat ke arahku. Aku tidak mengerti maksudnya."Sekarang Widya istriku, jadi Widya yang ber
Gladis menyukai menyukai Mas Erlan? Pantas saja ibunya tidak terima saat aku menjadi istri sang pujaan hati anaknya. Mereka aneh, masa mau menikah dengan sepupu?Kok bisa, mereka menginap di sini? Katanya kaya raya, masa, iya, menumpang. Aku beranjak ke luar kamar. Seharian di ruangan ini membuat aku bosan. Lebih baik aku mencari buah di kulkas. Siapa tahu Mama ada simpanan buah. Kebetulan ada Mama di dapur. Aku mengurungkan niat menyapanya, ada Budhe Ratih di sana.Terdengar mereka sedang mengobrol. Di posisi aku berdiri, masih bisa terdengar mereka berbicara. Aku bukan mau menguping, tapi ingin tahu saat nama Mas Erlan di sebut."Mbar, kamu yang benar saja menikahkan Erlan dengan wanita biasa. Kamu nggak lihat anakku Gladis lebih cantik." Terdengar suara bude membuat aku sakit hati."Itu pilihan dia, mana bisa aku melarang. Tahu sendiri, kalau sudah mau A ya tetap A. Mana bisa berubah menjadi B." Ibu mertuaku seperti tak banyak bicara."Halah, ng
"Sayang, aku mau ke luar kota seminggu, kamu di rumah Mama dulu, ya. Mama minta selama kamu hamil tinggal di sana, mau?"Aku berpikir ulang dengan permintaan Mas Erlan. Untuk seminggu tidak masalah, tapi kalau untuk waktu yang lama, aku belum tentu mau.Biasanya kata orang, deket itu bau, kalau jauh baru wangi. Aku takut, hubungan dengan Mama seperti hubunganku dengan Ibu yang selalu saja bertengkar."Di rumah Mama, semua sudah pembantu yang mengerjakan. Mama juga sama seperti kamu, tidak bisa masak."Mas Erlan seperti tahu keraguanku. Ia kembali menjelaskannya."Bukan itu, sih maksudku. Hanya takut seperti dulu, dekat dengan mertua dan selalu ribut."Semoga saja Mas Erlan mengerti apa yang aku maksud. Hmm ... aku pikir enak juga tinggal di sana. Dalam keadaan hamil seperti ini, setidaknya ada Mama dan banyak orang yang sigap jika terjadi sesuatu denganku."Iya, aku mengerti sayang, terserah kamu aja. Yang penting kamu nyaman.
Baskoro bersama Rena menunggu di bagian administrasi. Memang sengaja mereka menunggu kami datang. Saat aku sampai, kasihan sekali melihat Rena menangis tak henti.Mas Erlan segera menghampiri bagian administrasi bersama Baskoro. Sejenak mereka saling berbicara. Entah, apa yang mereka perbincangkan. "Ibu kenapa, Ren?" tanyaku. "Ibu jatuh saat sedang mencuci, Mba." "Mesin cuci rusak?" "Air di rumah masih kecil. Lama kalau nunggu masuk ke mesin. Adanya nanti rusak mesinnya." Rena menjelaskan padaku. Aku kembali teringat saat ibu datang menumpang mencuci. Datang dengan makian yang membuat Budhe Sri mengamuk. Setelah itu terjadi perang. Sudah lama sekali hal itu. Kupikir sudah tidak seperti itu lagi. Dari kejauhan Mas Reno datang tergopoh-gopoh. Bagaimana ini, tidak mungkin aku langsung menghindar, sedangkan di ujung sana, suamiku tak henti menatap ke arahku. "Ren, aku mau ke Mas Erlan dulu." "Iya, Mba
POV WidyaSudah dua bulan aku mengalami kelelahan. Badanku semua sakit, bahkan Indra penciumanku terasa sensitif. Mencium aroma yang menusuk, membuat aku memuntahkan kembali isi dalam perutku.Mba Erni datang berkunjung, wanita itu seperti biasa selalu bawel padaku. Dia datang membawa beberapa katalog untuk berlibur. Memang Mas Erlan menjanjikan kami liburan. Apalagi suamiku menjanjikan mengajak Mba Erni."Nih, Wid. Tinggal pilih, mau ke mana?" Aku menatap brosur dengan harga tiket dan penginapan yang begitu mahal. Sayang sekali biaya liburan mahal sekali."Nggak usah bingung, sih. Sekarang kamu istri Erlan, pengusaha muda dan kaya. Mau apa tinggal tunjuk,” tukas Kakak iparku."Bukan begitu, Mba. Aku kurang enak badan, lemas pula. Baru aja muntah. Bagaimana mau liburan?""Kamu udah menstruasi belum?" tanya Mbak Erni antusias.Aku berpikir, sepertinya aku terlalu bahagia dengan pernikahan ini sampai melupakan kalau aku sudah dua