Sesampainya di lantai atas, Arya melihat sang ibu tengah meracau tidak jelas sembari membereskan pecahan piring dan lauk pauk di lantai.Arya pun mendekat ke arah sang ibu lalu bertanya, "Apa yang terjadi, Bu. Kenapa makanan ini tumpah ke lantai semua?" Bu Desi menghentikan aktivitasnya sejenak lalu mendelik tajam ke arah Arya."Bukannya bantuin malah nanya mulu sih, Arya," omel Bu Desi sebal."Ya, Arya kan perlu tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi, Bu. Ibu tengkar ya sama Shanum?" tanya Arya lagi.Bu Desi malah melengoskan wajah lalu berdiri. "Nih, daripada kamu nanya-nanya mending bantuin ibu beresin ini semua," ucapnya sedikit memaksa.Tanpa babibu lagi, wanita paruh baya itu lantas pergi meninggalkan Arya yang masih melongo sendirian sambil berjongkok."Kalau kamu mau tahu kenapa, bantu ibu beresin ini lalu temui ibu di kamar tamu. Ini semua gara-gara istrimu yang menyebalkan itu!" seru Bu Desi mengerucutkan bibirnya kesal.Arya yang enggan mendengar omelan Bu Desi lagi pun akh
'Duuh … mamp*s aku! Gimana aku harus jawab pertanyaan Ibu. Mana mungkin aku bilang kalau habis anu sama Om David.' Lila meracau dalam hatinya, sembari memutar otak mencari jawaban yang tepat agar tak membuat sang ibu curiga."Lila, kenapa diam? Ayo jawab!" Bu Desi kembali melontarkan pertanyaan. Sementara Lila sempat terjingkat kaget ketika Bu Desi sudah berdiri di sampingnya. Entah sejak kapan ia berada di sana, yang jelas Lila tidak tahu kapan tepatnya sebab dia terlalu sibuk dengan pikirannya tadi."Oh, eh, anu Bu … kemarin aku habis jatuh dari tangga, kejadiannya di kampus sih. Terus karena rumah kontrakan temanku dekat, jadinya aku nginap aja di sana. Makanya aku gak pulang semalam, karena gak mau buat Ibu khawatir." Entah atas dorongan apa kebohongan itu sangat lancar Lila ucapkan.Bu Desi tampak memicingkan mata. Ia tak bisa percaya begitu saja atas pengakuan Lila. Dan lagi, dia bukan anak kemarin sore yang tidak mengerti tentang apa pun."Beneran? Kamu nggak bohong, Lila?" tan
'Ada apa ya Mas Zayn meneleponku begini? Apakah ada kaitannya sama proses perceraianku, bukankah pernah bilang kalau Mas Zayn yang jadi pengacaraku?' gumam Shanum sibuk dengan pikirannya sendiri."Halo, Sha? Apakah kamu masih mendengarku? Kalau kamu sedang sibuk aku akan telepon lagi nanti," ucap Zayn lagi karena tak kunjung mendapati jawaban dari Shanum."Ah, iya. Ma–maaf. Hm, sepertinya bisa. Di mana kita bertemu?" tanya Shanum usai menyadarkan diri dari lamunannya."Di resto yang gak jauh dari kantormu, aku yang akan ke sana. Ada hal yang harus kita bicarakan, terkait sidang perceraianmu dengan Arya," ungkap Zayn. Meskipun tak sepenuhnya salah, ini juga adalah upaya Zayn agar bisa bertemu dengan sosok yang masih selalu dirindukannya itu. "Oh, baiklah." Shanum menyahut canggung. Entah mengapa, jantungnya berdebar tak karuan jika mengingat dia akan bertemu lagi dengan Zayn. Zayn dapat menyadari sikap kaku Shanum, sebab mungkin wanita itu merasa kurang nyaman bertelepon dengannya se
Selesai makan siang, ketiga sahabat itu masih duduk sambil mengobrol ringan. Hingga suatu ketika, Zayn mengangkat topik tentang perceraian Shanum dan Arya."Hari ini, surat panggilan sidangmu yang pertama akan dikirim ke Arya," ujarnya mengawali pembicaraan.Raut wajah Shanum dan Feri yang semula santai, mendadak berubah serius."Benarkah? Syukurlah kalau gitu. Lalu, kapan kira-kira sidang pertama perceraianku, Pak Zayn?" Shanum masih saja canggung dan tetap memanggil Zayn dengan sebutan Pak, alih-alih Mas. Seperti yang dulu sering dia lakukan.Zayn terkekeh kecil kala menatap ekspresi Shanum yang terlihat menggemaskan ketika memanggilnya dengan sebutan 'Pak'."Astaga, Sha. Maaf, tapi bisakah kamu memanggilku seperti biasa? Setiap kali kamu memanggil Zayn dengan sebutan Pak, aku jadi pengen ketawa!" komentar Feri mewakili apa yang dirasakan oleh Zayn. "Benar itu, Sha. Bersikap biasalah, dan panggillah aku seperti biasa, plis," timpal Zayn."Eh? Bolehkah begitu? Kamu kan sedang menjad
"Nggak! Itu sangat berbahaya, Sha!" tolak kedua pria itu usai Shanum menyampaikan gagasan tentang rencananya demi mendapatkan pengakuan dari Arya terkait kejahatannya terhadap Tuan Dhanu Mahendra.Zayn dan Feri saling bersitatap selama sepersekian detik, lalu kemudian saling melengoskan wajah ketika mereka sadar kalau mengucapkan kata-kata penolakan yang sama seakan sudah janjian sebelumnya."Kamu yakin mau jalanin rencana ini, Sha?" Feri masih tak percaya dengan rencana nekat yang baru saja terucap dari mulut sahabatnya."Aku yakin seratus persen, Fer. Aku akan melakukan apa pun supaya dia mengakui perbuatannya dan menjebloskannya ke penjara." Shanum berujar penuh keyakinan. Raut wajahnya tidak menunjukkan secuil pun keraguan."Tapi, kamu bisa saja dalam bahaya, Sha. Aku takut Arya akan macam-macam sama kamu." Zayn menyergah perdebatan Feri dan Shanum."Benar kata Zayn, Sha. Kamu tahu kan dia bisa saja berubah jahat dalam sekejap." Feri turut menimpali. Ia tetap tidak menyetujui renc
'Apakah yang kulakukan ini sudah benar?' gumam Arya dalam hatinya sambil menatap punggung Anara yang menghilang di balik pintu kamarnya.'Semoga saja dengan aku menalak Anara, masalahku dan Shanum akan segera usai. Ya, semoga,' harap Arya dalam hatinya.Arya meremas erat surat panggilan sidang miliknya, lalu membuang gumpalan kertas dari pengadilan itu. Ia menyugar kasar rambutnya. Dengan raut gelisah, pria itu kini tampak sedang berpikir tentang bagaimana caranya agar bisa mendapatkan hati Shanum lagi.Rasanya dia tidak rela dan tidak bisa jika harus bercerai dengan Shanum. Bu Desi yang masih berdiri di samping Arya itu pun seakan tahu kebimbangan yang sedang dirasakan anak sulungnya."Sudahlah, Arya. Biarin aja si Anara pergi, itu bagus buatmu jika ingin membujuk Shanum supaya mengurungkan niatnya bercerai denganmu," ucap Bu Desi terus meyakinkan jika keputusan anaknya menalak Anara adalah hal yang benar. "Aku tahu, Bu. Sekarang aku hanya sedang berpikir bagaimana caranya membujuk
Shanum membelalakan kedua bola mata, bulu kuduknya meremang. Ia bergidik ngeri. Wanita itu bahkan memundurkan langkahnya, menjauh dari Arya.Namun, satu langkah mundurnya dibalas dengan dua langkah maju oleh Arya."Kamu benar, akulah yang menyuntikkan sesuatu di selang infus papa. Sampai akhirnya aku bisa membuatnya lenyap dari muka bumi!" Arya mengurai tawa mengerikannya.Bagaikan disambar petir mendengar pengakuan langsung dari Arya, atas kejahatannya. Walaupun Shanum sudah tahu tentang hal itu, akan tetapi rasanya tetap saja mengejutkan dan masih tidak percaya jika Arya bisa melakukan hal sekeji itu pada papanya. "Kamu … membunuh papa?!" tuding Shanum dengan suara bergetar. Susah payah ia menahan air matanya. Ia tak ingin terlihat rapuh saat ini di hadapan Arya."Kamu benar, Sayang. Akulah pembunuhnya. Lalu, kamu mau apa? Memenjarakanku? Apakah kamu punya bukti?" ujar Arya berani seraya melayangkan tatapan remeh ke arah Arya. Jarak antara dirinya dan Shanum semakin dekat, wanita i
Beberapa menit sebelum baku hantam terjadi ….[Praanggg!]Zayn dan Feri yang tengah menunggu di mobil terkesiap saat penyadap suara yang terhubung dengan Shanum menangkap suara bising itu. Mereka seperti menangkap sinyal bahaya pada diri Shanum."Suara apa itu?!" pekik keduanya bersamaan. Tatapan mata mereka bahkan saling beradu."Entahlah. Yang jelas kita harus segera masuk dan menyelamatkan Shanum," ujar Zayn.Pria itu lantas bergegas keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah berusaha menyelamatkan Shanum. Sementara itu, Feri menelepon polisi agar pihak berwajib segera meringkus Arya.Feri memilih menetap di mobil untuk memantau situasi dari suara yang tertangkap dari penyadap itu. Ia bahkan terus mendengarkan alat penyadap itu dari dalam mobil, dan bisa mendengar bagaimana Shanum berada dalam situasi yang genting. Situasi di rumah Shanum tampak lengang. Zayn bertemu dengan Bi Nena yang tampak gelisah setelah mendengar benda yang jatuh ke lantai itu."Bi, di mana kamar Shanum?" t