"Mas Arya jahat!" seru Anara ketika Arya tanpa perlawanan lagi menuruti perintah Shanum.
Arya tampak menuntun langkah kaki Anara keluar ruangannya dengan terpaksa. Saat ini dirinya tidak ingin membuat Shanum semakin murka pada dirinya yang telah berani membawa istri barunya ke istana mereka. Ah, bukan, istana Shanum tepatnya, karena Arya hanya datang membawa dirinya saja, tak membawa harta sepeserpun saat menikah dengan Shanum tiga tahun yang lalu. "Mas, lepas ah!" sentak Anara keras, saat baru beberapa langkah mereka keluar dari ruangan Arya.Anara memanyunkan bibirnya sangat kesal, karena usahanya untuk memanas-manasi Shanum tidak berhasil. Wanita itu begitu tegar, dan sama sekali tidak terpengaruh dengan kehadirannya. Padahal niatnya datang dan ikut tinggal adalah supaya bisa menyingkirkan Shanum dari hidup Arya. "Aku nggak mau pulang!" ucap Anara protes. "Kamu kan udah janji buat ajak aku ke kantor hari ini, lagian kenapa sih tiba-tiba Mbak Shanum ada di sana," omel Anara masih tidak ingin pergi dari tempat itu. "Iya, iya, kamu sabar dong. Hari ini aja, aku juga nggak tahu kenapa Shanum ke kantor, biasanya juga dia nggak tertarik ke sana sama sekali," ucap Arya masih berusaha membujuk istri mudanya yang tengah merajuk. "Terus, nanti aku pulang ke rumah sendiri gitu," rengek Anara lagi."Iya, mana mungkin aku ikut. Kan aku harus kerja, Nara," ucap Arya lagi. Amarah istri barunya itu perlahan mereda."Hmm, awas ya, kalau kamu enak-enakan sama dia, Mas!" ancam Anara. Ia tak suka jika Arya bermesraan dengan Shanum."Nggak kok, aku kerja di sini." Arya tersenyum paksa agar Anara tidak lagi cerewet."Ya udah, aku mau pulang sekarang," ucap Anara pada akhirnya. Arya tersenyum girang karena berhasil membujuk Anara agar mau pulang. Mereka lantas melanjutkan langkah yang sempat tersendat akibat perdebatan tadi. Baru beberapa langkah, keduanya berpapasan dengan Feri yang hendak menuju ke ruangan Arya."Selamat pagi, Pak Arya. Bapak mau ke mana?" tanya Feri heran, karena tadi sempat melihat Arya berjalan ke arah ruangannya, tapi kini pria itu malah berjalan ke arah yang berlainan."Pagi. Kamu mau ke ruangan saya, kan? Taruh saja berkasnya di meja," ucap Arya memberi titah tatkala melihat berkas yang dipegang oleh Feri.Sementara itu, Feri bertanya-tanya tentang sosok wanita yang berdiri di samping Arya. Namun, dia menahan dirinya untuk bertanya, walaupun dia dapat menangkap hubungan tak biasa dari keduanya. "Baik, Pak," sahut Feri singkat. Tanpa berbasa-basi lagi, Arya dan Anara melanjutkan langkahnya menuju ke lift yang akan membawa mereka turun ke lobi. 'Siapa ya wanita itu? Apakah dia yang dimaksud sama Shanum? Ck, sialan banget kalau sampai si Arya berani selingkuh dari Shanum,' batin Feri menggerutu sendiri. Sebagai sahabat, dia jelas tak suka jika sampai Shanum disakiti oleh Arya. Feri lantas melanjutkan langkahnya menuju ke ruangan Arya. Ia mengetuk pintu, dan seseorang terdengar menyahut dari dalam ruangan. Pintu pun terbuka. "Sha," panggil Feri sambil mendekati meja kerja Arya yang kini tengah ditempati oleh Shanum. "Hai, Fer. Kalau mau ngasih berkas, taruh saja di situ. Biar nanti Mas Arya yang kerjain," sahut Shanum sambil tersenyum kecil. Feri heran dengan ekspresi sahabatnya itu. Andai memang Arya berselingkuh, kenapa Shanum bisa bersikap tenang seperti itu. Ia pun menurut, langsung menaruh berkas itu di atas meja. Sedangkan, tatapan mata Shanum masih terfokus pada layar monitor di hadapannya. Feri tak segera beranjak dari tempatnya kini, dia masih memikirkan tentang apa yang tengah dialami oleh Shanum, juga bagaimana rumah tangganya dengan Arya. Shanum melihat gelagat aneh itu, ia pun bertanya pada Feri, "Kamu kenapa nggak keluar? Masih ada yang mau kamu sampaikan kah?"Feri menghel napasnya pelan sebelum menjawab pertanyaan Shanum, "Hmm… kamu bener nggak ada yang mau diomongin sama aku?""Tentang apa? Aku rasa nggak ada, Fer," jawab Shanum dengan kening mengernyit dalam. Feri sangat paham, kalau Shanum sedang menutupi sesuatu darinya. "Tadi … aku papasan sama Arya, dia sama—""Sama perempuan? Hmm, biarin saja, Fer." Shanum memotong ucapan Feri sambil mengulum senyum juga tatapan yang sulit dimengerti."Ck, perempuan itu siapa memangnya? Kamu nggak cemburu?" tanya Feri berdecak ketika Shanum tak menunjukkan reaksi apa pun mengetahui suaminya bersama perempuan lain."Nggak tuh, ngapain cemburu," sahut Shanum enteng. Ia mengedikkan bahunya acuh. "Mending kamu keluar deh, aku masih ada banyak yang harus dipelajari di sini," ucap Shanum sambil mengangkat dagunya menunjuk ke arah layar monitornya."Ah, oke deh. Aku yakin kamu baik-baik saja, melihat dari reaksimu yang biasa saja kayak gitu," ucap Feri menyerah. Ia pun lantas menjejakkan langkah kakinya keluar ruangan. Sepeninggalnya Feri, Shanum melirik ke arah pintu dengan tatapan nanar. "Belum saatnya kamu tahu masalah yang sedang menimpa rumah tanggaku, Fer," gumamnya lagi. Shanum kembali menekuri data-data yang didominasi dengan angka-angka itu. Meski kepala serta kedua matanya sudah cenat-cenut menatap deretan huruf dan angka itu, Shanum tak menyerah untuk mempelajari semua berkas itu. Demi haknya yang tengah diakui oleh Arya, si suami yang tak tahu diri itu. Sepuluh menit berlalu, Shanum tak tahan lagi dan akhirnya dia memilih untuk istirahat sejenak, menikmati secangkir teh hangat rasanya sangat tepat untuknya saat ini. Ia memang sempat meminta seorang OB untuk membuatkan teh untuknya. Matanya menatap ke arah jendela dari ketinggian lantai 25 itu. Terdengar pintu ruangan kembali terbuka. Ternyata Arya yang baru saja mengantar Anara ke lobi. Lelaki itu melangkah mendekati Shanum yang sedang berdiri menikmati secangkir teh menghadap ke arah jendela.Ia menghampiri istrinya, dan memeluknya tiba-tiba dari belakang. Shanum sempat terjingkat kaget saat Arya tiba-tiba saja bergerak melingkarkan lengan kekarnya di perutnya, serta kepalanya yang bersandar di bahu Shanum.'Cih! Andai kamu nggak mendua. Ini pasti akan menjadi sebuah perlakuan romantis antara suami dan istri dan aku pasti sangat menyukainya, tapi kenyataannya apa? Kamu sudah membagi cinta bahkan tubuhmu dengan yang lain.' Shanum mencerca perilaku suaminya dalam hati. "Maafkan aku, Sha," ucapnya lirih setengah berbisik ke telinga Shanum. Perempuan itu bergeming sejenak, berusaha memikirkan cara agar terlepas dari pelukan Arya. "Maaf untuk?" tanyanya pura-pura bingung."Semuanya. Harusnya aku menolak menikahi Anara. Kamu tahu? Aku terpaksa, dan semua itu karena permintaan ibuku," ujarnya lagi, yang malah membenamkan wajahnya di tengkuk leher Shanum, hingga perempuan itu bergidik geli. Andai dia orang yang tega, sudah dari tadi Shanum melepaskan tangan Arya, dan mendorong tubuhnya hingga jatuh. Tapi, wanita itu masih punya hati. Sehingga tak akan melakukannya. "Kamu wangi banget, Sha," kata Arya lagi dengan nada merayi. Suaranya seakan tengah menahan sebuah hasrat. "Apa sih, Mas. Ini masih di kantor, malu sama karyawan nanti," tukas Shanum memanfaatkan kesempatan untuk melepaskan pelukan suaminya. Jujur saja ia merasa risih berlama-lama disentuhnya. "Kita kan suami istri, mereka juga pasti mengerti," sahutnya enteng, lalu melangkah duduk ke kursi."Tapi aku malu, mungkin kalau itu Anara, dia nggak akan malu. Iya kan, Mas. Jangan samakan aku dengan dia!" ucap Shanum penuh penekanan."Kenapa jadi bawa-bawa Anara sih, Sha." Arya menggelengkan kepalanya heran. "Udahlah, aku capek ngomong sama kamu, Mas." Shanum merasa kesal, dan sangat tahu kalau bicara dengan Arya sama sekali tak ada gunanya. Keduanya saling beradu tatap dengan isi pikiran yang berbeda. "Oh ya. Satu lagi. Jangan berani macam-macam lagi di kantor ini, Mas. Mulai sekarang aku akan ikut memimpin kantor ini," pungkas Shanum tegas hingga membuat Arya menoleh ke arahnya, dan menatapnya dengan kening berkerut dalam."Kenapa, Sha? Kamu udah nggak percaya lagi sama aku?" tanyanya sembari menatap wajah Shanum lekat."Gimana aku mau percaya, Mas. Pernikahan saja bisa kamu khianati, apalagi perusahaan ini. Ingat, Mas. Aku bukanlah benalu yang seperti ibumu katakan. Kamu berada di posisi sekarang itu berkat kemurahan hati Papa. Camkan itu!" ucapku spontan hingga membuat Arya tergemap dan diam seribu bahasa. Arya tampak menelan ludahnya susah payah. Rupanya Shanum masih mengingat dengan jelas bagaimana penghinaan Bu Desi terhadapnya kemarin. Jika ada yang harus disebut benalu, maka yang tepat adalah dirinya sendiri. Dialah benalu yang sesungguhnya. Akan tetapi, kepiawaiannya berbicara telah membuat sang ibu, adik kandung dan istri barunya itu percaya kalau Shanum lah yang menumpang hidup padanya. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Arya tak berkutik dan hanya masih diam mematung di tempatnya. Shanum mengambil tas selempangnya, lalu segera bergegas keluar dari ruangan itu. 'Mas Arya pasti syok me
Tuan Dhanu Mahendra telah mempercayakan perusahaan itu pada Arya. Tetapi, ternyata kemurahan hati beliau telah membuat menantunya itu buta hati. "Seenaknya saja dia menganggapku orang tak berguna di hidupnya. Entah bagaimana dia sampai mengarang hal seperti itu dan menceritakannya pada ibu." Shanum kembali bermonolog sendiri. Ia masih tak habis pikir dengan kenyataan yang tiba-tiba menimpa hidupnya. "Pa, Ma, tolong kuatkan aku untuk menghadapi mereka. Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Tolong bantu aku untuk menyingkirkan orang-orang tak tahu diri itu," pintanya sembari menatap pusara kedua orang tuanya secara bergantian. Shanum mengusap dua nisan bertuliskan nama orang tuanya untuk terakhir kalinya. Dia telah merasa cukup untuk menumpahkan unek-uneknya pada mereka yang sudah berbeda ruang dan waktu. Usai mengeluarkan seluruh keluh kesah yang menyesakkan di dalam dada. Shanum merasakan kelegaan. Meskipun, Papa dan Mamanya tak mungkin memberikan solusi. Namun, perasaannya
"Mbak, nggak ke sini? Udah siang lho? Mbak baik-baik aja kan? Nggak kenapa-napa kan?" cecar Shela dari ujung sana. Ia langsung menghujani Shanum dengan berbagai pertanyaan dengan nada cemas. "Aku baik-baik saja, Shel. Ini mau jalan ke butik. Kenapa? Ada masalah ya di sana?" tanya Shanum dengan suaranya yang tenang."Eh, nggak ada sih, Mbak. Aku cuma cemas aja. Biasanya jam segini Mbak udah di butik. Tapi, sampai siang begini kok belum datang ke sini, takut kenapa-napa." Shela menyampaikan kecemasannya sedari tadi pada atasannya itu."Oh, ya ampun sampai segitunya, Shel. Aku nggak apa-apa kok. Ini lagi nyetir, jalan ke sana. Udah dulu ya," ucap Shanum berpamitan mematikan sambungan telepon, karena dia harus fokus menyetir. "Oke, Mbak. Aku tunggu ya. Hati-hati!" pesannya sebelum sambungan telepon berakhir. Shanum ingin meralat ucapannya tadi. Nyatanya ia tak benar-benar sendirian di dunia ini. Ada juga beberapa orang yang berdiri di pihaknya, termasuk Shela. Wanita itu lantas melaj
Shela tiba-tiba menghambur ke arah Shanum lalu memeluknya dengan erat. "Mbak, aku ikut sedih dengan masalah rumah tangga yang Mbak alami. Aku bener-bener nggak nyangka Mas Arya bisa setega itu. Padahal sorot matanya saat menatap Mbak Shanum itu adalah jelas tatapan penuh cinta," ucap Shela mencoba menghibur Shanum."Yah, namun perasaan dan hati manusia bisa berubah dalam satu detik, Shel. Aku jadi nggak heran," sahut Shanum berusaha tegar."Huaaa… Hikkss…" Shela tiba-tiba saja menumpahkan tangis prihatinnya. "Lah, kok malah kamu sih yang nangis, Shel. Harusnya aku. Lihat, aku baik-baik aja kok. Jadi kamu nggak perlu nangis," seloroh Shanum menahan tawanya. "Hikss… Aku sedih kalau Mbak mau pisah sama Mas Arya. Siapa sih pelakor itu, sini biar aku hajar dia," ucap Shela di sela-sela tangisannya.Shanum terkekeh kecil. Bibirnya mengulas senyum tipis. Baginya, kehadiran Shela bagai oase yang menyejukkan, seakan selalu memberi warna ceria pada hidupnya yang nyaris suram."Dah, ah. Jan
Rambutnya terlihat basah, seperti habis mandi. 'Jangan-jangan mereka habis melakukan itu. Ah, kenapa aku mikir hal gak penting begitu.' Shanum membatin dalam hati.Pria itu tampak berjalan arah tangga, menuju ke arah Shanum, tentu saja dengan istri barunya. Wanita licik itu melirik Shanum dengan tatapan sinis."Duh, apaan sih ribut mulu deh, Mbak Shanum. Kayak hidupnya di hutan aja," celetuk Lila yang tiba-tiba saja keluar dari kamar tamu yang satunya dengan rambut yang acak-acakan, dan suara parau khas orang yang baru bangun tidur.'Astaga, jadi sekarang ceritanya empat lawan satu?' batin Shanum geleng-geleng kepala, menyadari jika lawannya makin bertambah banyak. "Aduh, untung kalian datang, Arya, Lila, Anara. Ini nih, si Shanum ini bener-bener keterlaluan. Masa nyuruh Ibu buat beresin semua kekacauan di situ," omel Bu Desi sambil menunjuk ke arah sofa dan meja ruang tamu yang berantakan oleh ulahnya, Lila, dan juga Anara beberapa menit yang lalu. "Bener itu, Sha? Kamu nyuruh Ibu
Shanum melangkahkan kakinya menuju ke kamar. Lalu, ia memilih untuk langsung masuk ke kamar mandi sesaat setelah dirinya masuk ke kamar. Ia mengguyur seluruh tubuh di bawah shower, membiarkan air membasuh tubuh lelahnya.Ia membiarkan kedua kelopak tangannya menjatuhkan bulirnya di antara derasnya air yang turun. Kali ini, dia ingin melanggar janjinya jika tak akan menangisi apapun yang menimpanya. "Biarkan kali ini saja aku melanggar janjiku," gumam Shanum lirih. Nyatanya sekuat apapun, dia mencoba tegar. Dirinya tetaplah wanita yang mempunyai sisi hati yang rapuh. Dan Shanum tengah rapuh saat ini. "Aku masih nggak menyangka hal seperti ini terjadi padaku. Aku bahkan mengira ini mimpi buruk. Karena semua terjadi dengan tiba-tiba." Shanum bermonolog dalam hatinya. Hati yang perlahan sudah sempat memulai percaya dan menerima Arya sepenuhnya, kini perlahan patah. Hancur menjadi kepingan kecil, dan Shanum tak berniat untuk merekatkan kembali kepingan kecil itu. Kepercayaan yang mulai
'Aku tahu, kalau kamu gak pernah memegang uang cash.' Shanum terkekeh dalam hatinya saat dia tahu kalau Arya pasti sedang kebingungan. Mana mungkin pria itu mau memesan steak, kalau nggak ada uang cash.Shanum ingin tertawa terbahak-bahak rasanya, karena drama OKB yang tengah terjadi saat ini akan segera berakhir dengan ending yang menyedihkan. Namun, ia tahan hasrat tertawanya itu dan berusaha agar tetap bersikap tenang dan terlihat elegan di depan para benalu yang mencoba menyingkirkannya itu. Arya tampak berpikir keras, lalu ia kini menatap Shanum karena dialah satu-satunya orang yang bisa memberikan solusi untuknya saat ini. "Sha, kamu ada uang cash?" tanyanya kemudian tanpa malu-malu lagi. Shanum menggelengkan kepalanya tak peduli. Seakan pertanda kalau dirinya tidak memiliki solusi. Ia tengah fokus menghabiskan makanan di piring."Bu, Lila, Ra, kalian ada uang cash, kan?" tanya Arya pada ketiga wanita itu. Kini hanya merekalah harapan Arya agar mereka bertiga tetap percaya ka
Anara tampak menelan ludahnya susah payah, dan gusar menunggu jawaban dari sang suami yang masih larut dalam diamnya."Kenapa diam, Mas? Apa benar yang dikatakan sama Ibu?" Anara akhirnya membuka suara, karena tak dapat menahan rasa penasarannya.Arya merasa ketar-ketir. Dia sungguh tak ingin rahasianya terbongkar untuk saat ini. Setidaknya, masih beberapa langkah lagi sampai dia menjadi pemilik semua aset almarhum ayah mertuanya."Kalian ini kenapa sih nanya begituan. Aku nggak pernah bohong selama ini, dan aku minta supaya kalian diam saja, jangan lakukan apa pun pada Shanum. Karena aku yang akan mengurusnya sendiri," ucap Arya pada akhirnya setelah bersusah payah menekan perasaan gugup yang sempat melanda hatinya. Bu Desi dan Anara saling bertatapan selama sepersekian detik. Ucapan Arya begitu meyakinkan sehingga mereka tak punya alasan lagi untuk meragukan pengakuan pria itu. "Baiklah, kami percaya, Arya. Tapi, tolong ya kamu harus segera mengusir Shanum dari rumah ini. Toh, dia
"Kenapa Stella jelek-jelekin aku di depan Sena, ya? Dia punya masalah apa sama aku?" gumam Shanum tak mengerti dengan sikap buruk yang ia terima oleh orang yang bahkan tidak ia kenal.Zayn dan Shanum masih sibuk mengurus Sena yang sudah terlanjur membenci Shanum karena perkataan Stella. Zayn tak menyangka, masih ada banyak penghalang yang mengusik dirinya menuju hari bahagianya. "Kamu tenang aja, Sha. Aku nggak akan membiarkan Stella memberikan pengaruh buruk sama Sena," tegas Zayn. Pria itu harus segera menyelesaikan masalah ini secepat mungkin sebelum keadaan menjadi semakin keruh. Sudah susah payah Zayn meminta restu dari kedua orang tuanya. Zayn tidak akan membiarkan pernikahannya gagal karena Sena.Keduanya pun mulai memberikan pengertian pada Sena dan mencoba menghapus pemikiran buruk bocah itu mengenai Shanum. Pria itu harus bisa mengembalikan Sena seperti sedia kala."Sena sayang, Tante Shanum nggak seperti yang dibilang Tante Stella. Tante Shanum bukan tante jahat. Selama in
Pernikahan antara Shanum dan Zayn tinggal menghitung hari. Tidak lama lagi, pasangan kekasih itu akan menjadi pasangan sehidup semati. Zayn benar-benar tidak sabar ingin segera meresmikan hubungannya dengan Shanum. Namun berbeda dengan Zayn, Shanum justru merasakan kegelisahan yang tidak wajar menjelang hari pernikahannya.Satu minggu lagi, Zayn dan Shanum akan menggelar acara pernikahan sederhana. Shanum diterima dengan baik oleh keluarga Zayn, maupun oleh anak Zayn.Tapi entah kenapa, mendadak Shanum merasa resah tanpa alasan yang jelas. Padahal ia sudah mendapatkan restu dan Shanum juga bisa mengakrabkan diri dengan Sena. Menurut Zayn, tidak ada lagi masalah di antara mereka dan Zayn yakin pernikahan mereka akan berjalan lancar."Hari ini mau dijemput jam berapa?" tanya Zayn pada Shanum melalui sambungan telepon."Nanti aku kabari, Mas. Aku ada pekerjaan yang belum selesai.""Kamu nggak lupakan sama janji makan malam kita hari ini? Sena udah nungguin," ujar Zayn.Shanum mengulas se
Acara kunjungan di rumah tahanan pun berakhir. Arya harus segera kembali ke sel, sementara Lila dan Bu Desi harus segera pergi meninggalkan rutan."Hati-hati di jalan, ya. Jaga diri kalian baik-baik," ucap Arya sebelum berpisah dari ibu dan juga adiknya."Mas juga hati-hati di sini. Jaga kesehatan!" sahut Lila."Ibu pergi ya, Arya? Sehat-sehat di sini, ya? Nanti Ibu jengukin kamu lagi," ungkap Bu Desi berpamitan pada putranya dengan manik mata berkaca-kaca.Arya dan Lila saling beradu pandang. Setelah Lila mengajak Bu Desi pergi nanti, mungkin Bu Desi tidak akan bisa sering-sering menjenguk Arya di dalam penjara."Ibu nggak perlu terlalu sering datang ke sini. Arya akan baik-baik saja di sini, Bu. Ibu sama Lila juga harus hidup dengan baik selama Arya nggak ada, ya?" cetus Arya.Perpisahan antara ibu dan anak itu pun kembali diwarnai dengan tangisan. Bu Desi dan Lila pun keluar dari rutan, dan bergegas pulang ke kontrakan. "Untung aja masih ada ongkos buat pulang," gumam Lila."Kamu
Suasana rumah tahanan itu pun mulai penuh dengan tangis haru. Arya benar-benar senang dan bersyukur, akhirnya keluarganya datang mengunjungi dirinya setelah beberapa bulan pria itu berada di penjara. Mereka bertiga menangis, meluapkan kerinduan yang sudah lama terpendam."Maafkan Ibu, Arya. Ibu udah lama nggak jenguk kamu. Ibu minta maaf baru bisa datang sekarang," ucap Bu Desi pada sang putra. Tidak hanya Bu Desi saja yang mengucapkan kata maaf, Lila juga ikut merasa bersalah karena sudah mengabaikan sang kakak. "Lila juga minta maaf, Mas. Selama ini Lila nggak pernah jengukin Mas," sahut Lila.Arya menghela napas. Sebenarnya pria itu sangat kecewa pada ibu dan juga adiknya. D i saat dirinya tengah menghadapi kesulitan, Arya justru ditinggalkan oleh keluarganya. Pria itu menderita seorang diri di dalam jeruji besi."Maafkan kami ya, Arya? Ke depannya, Ibu sama Lila akan sering-sering jengukin kamu di sini," ujar Bu Desi.Arya hanya diam. Ini kesempatan pria itu untuk mengeluarkan un
Mata Lila tampak berkabut. Rasanya tak kuasa jika harus mengatakan apa yang baru saja menimpanya pada sang ibu.Namun, gadis itu tetap memutuskan untuk membangunkan sang ibu, agar wanita yang melahirkannya itu tak perlu merasakan linu ketika bangun di pagi hari esok. Usai menyeka air mata serta jejak kesedihan di wajahnya, kini Lila yang terlihat jauh lebih tegar daripada saat pertama masuk ke rumah pun mulai memanggil sang ibu untuk membangunkannya. "Ibu." Lila berbisik pelan seraya menepuk lengan Bu Desi.Wanita itu menggeliat ketika mendapat tepukan tiba-tiba yang mengganggu tidurnya yang baru setengah jalan itu."Kenapa kamu pulang semalam ini, hm? Ke mana saja kamu? Apa kamu membuat masalah baru lagi setelah terlibat dengan suami orang itu," cecar Bu Desi membuat Lila seketika menganga, tak percaya jika rentetan pertanyaan itu keluar dari mulut Bu Desi. "Astaga, Bu. Apa nggak bisa nanyanya satu-satu dan pelan? Dan lagi, apa ibu bisa nggak berburuk sangka ke aku, hm?" Lila mena
Lila tidak menyadari bahwa setelah ditimpa sebuah musibah sebagai bentuk karmanya merebut suami orang pasca rumahnya dihancurkan oleh istri sah dari mantan istri David, kini Lila akan segera terjerembab dalam masalah baru yang jauh lebih kompleks.Dirinya sama sekali tidak mengetahui segala hal berkaitan utang-piutang yang dimiliki sang kakak, Arya, dari mulai kepada siapa dan seberapa besar nominal tersebut. Sekarang, Rendy tiba-tiba datang mendatanginya dan mengajaknya menaiki sebuah mobil hitam metalik.Senyum Rendy mengembang begitu puas. Terutama saat Lila menuruti saja saat Rendy mengajaknya ke salah satu hotel di kota mereka. Lila masih mencoba berpikir positif mengingat bagaimanapun Rendy adalah salah satu rekan kerja Arya dulu yang kebetulan pernah ditemuinya sebanyak dua kali.“Ayo, masuk,” tukas Rendy masih mempertahankan senyum miliknya kemudian melirik ke tas Lila. “Oh, ya. Kamu pasti capek kan abis kuliah? Udah sini, tasnya aku
“Tante cantik kok diam aja?” tanya Sena dengan nada khas anak-anaknya, saat melihat Shanum tiba-tiba terdiam saat bermain rumah-rumahan.Shanum yang sebenarnya sedari tadi mencemaskan reaksi orang tua Zayn terhadap rencana pernikahan mereka itu, pun dibuyarkan lamunannya oleh suara imut Sena yang sempat dihiraukannya itu.“Maaf ya, Sena, Tante sedang gak fokus,” sahut Shanum sambil tersenyum.Menatap Shanum sambil memiringkan kepalanya, Sena pun bertanya dengan polos, “Fokus itu apa, Tante?”Shanum hampir saja tidak bisa menahan tawanya saat mendapati hal tersebut. Ia merasa konyol karena membicarakan isi pikirannya pada anak kecil berusia 3 tahun itu.“Fokus itu ….”Saat hendak menjawab pertanyaan Sena, tiba-tiba saja Zayn sudah bergabung dengan mereka. Seperti apa yang dikatakannya sebelum ini, laki-laki itu keluar membawa serta tas berisi perlengkapan Sena seperti baju ganti, susu, dan beberapa ha
Tak terasa telah tiga hari telah berlalu. Usai kejadian nahas yang menimpa Shanum itu, rangkaian permasalahan silih berganti menyambanginya sebagai buntut dari peristiwa tersebut.Kendati demikian, peristiwa mengerikan itu tak hanya membawa rentetan malapetaka saja. Adapun berkah yang dibawa olehnya yakni kedekatan yang semakin terasa antara Zayn dan Shanum sendiri.Ya, usai kejadian penculikan Shanum tempo hari, Zayn yang senantiasa menjaga dan merawat Shanum di sampingnya itu, membuat hati Shanum yang semula ragu untuk terbuka kepadanya, pun akhirnya berhasil sepenuhnya menerima kembali kehadiran laki-laki tersebut.Seperti sekarang, Zayn sendirilah yang senantiasa menemani Shanum yang masih trauma itu keluar masuk kantor polisi dan pengadilan. Dalam kondisi yang masih sedikit syok, wanita itu tetap harus memberikan kesaksian agar memperoleh keadilan seperti yang telah dijanjikan oleh undang-undang itu sendiri.“Mas, sebenarn
“Apaan? Kalian mau nyulik gue? Gue nggak kenal kalian!” Lila masih mengomel penuh rasa kesal, sayangnya mereka tidak mengenal kata menyerah sebab langsung menyeret tangan Lila.Bersamaan dengan kericuhan itu semua, tiba-tiba terdengar suara bariton seorang pria yang rasanya begitu familiar dan tak asing di telinga Lila.“Hai, Lila,” panggil seorang pria muda dengan berbaju rapi muncul dari belakang dua orang berbadan kekar tadi. Lila terkejut mendengar sapaan tersebut, mengingat sebentar, kemudian langsung merespons.“Kak Rendy!” teriak Lila cepat setelah berhasil memicingkan netra bermaksud untuk lebih mengenali sang pria muda tersebut. Pria itu langsung tersenyum penuh arti dan mengangguk seolah memberikan kode.“Iya, ini aku, Lila.” Rendy kemudian meminta para dua orang tadi untuk menyingkir sebentar untuk berbincang dengan Lila. “Udah lama nggak ketemu, ya. Ternyata kabarmu masih baik.”Rani dan Rena kebingung