Malam telah tiba, Lusi dan Adiba pun sudah memasukkan barang-barang bawaannya ke mobil box yang terlebih dahulu pergi. Sementara dia akan berpamitan kepada Bu Murni. Kebetulan sekarang jam 8 malam, jadi dia sengaja menunggu saat benar-benar kompleks ini agak sepi. Dengan begitu mereka akan lebih leluasa untuk pergi dari sana tanpa pantauan siapa-siapa. Lusi pun menatap rumahnya yang sudah sekian lama ditempati, banyak sekali kenangan yang menghiasi sehari-harinya. Dari mulai kebahagiaan melimpah hingga dihancurkan berkeping-keping karena keegoisan. Semua itu sudah terekam jelas di benak Lusi. Dia harus merelakan semua ini demi kehidupan Alia dan dirinya di masa depan. Adiba menepuk pundak. Dia tersenyum kepada sahabatnya bersamaan menguatkan agar Lusi bisa melepas dalam ikhlas. "Ayo, nanti kita takut kemalaman. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum ada orang yang melihat," ujar Adiba yang langsung diangguki oleh Lusi. Mereka pun sudah pamitan ke Bu Murni, wanita paruh baya itu
"Nona, mau ke mana tadi? Nona tidak menyebutkan mau ke mananya," tanya sang sopir, karena sedari Maura naik, wanita itu tak mengatakan apa-apa dan malah diam sembari menangis dalam diam. Sebenarnya sopir taksi itu merasa ada yang aneh, sebab tampak sekali kalau penumpangnya ini sebelumnya berlari-lari saat hendak menghentikan taksinya, tetapi tentu saja sopir itu tidak berani bertanya apa-apa. Takut malah melanggar privasi. Hanya saja, mereka malah berputar-putar terus tanpa tujuan yang jelas. Maura mengusap jejak air matanya, tidak mau sampai terlihat menyedihkan di depan sopir itu. Sang wanita tampak kebingungan. Dia melihat ke sekitar dan tak tahu ini di mana. Hingga akhirnya wanita itu meminta dihentikan di sebuah masjid besar di pinggir jalan. Setidaknya di tempat ini dia pasti aman, tanpa ada orang-orang yang mau menjahatinya. "Berapa, Pak?" tanya Maura. Pria itu memperlihatkan agro yang berjalan di depan kemudi. Untunglah Maura sempat mengambil tas yang berisi ponsel dan do
"Kamu jangan menangis seperti ini! Orang-orang bisa mengira kalau aku menyakitimu. Coba katakan dengan tenang, apa yang sudah terjadi?" tanya Raka. Dia jadi bingung sebab Maura malah menangis dengan sesenggukan, terlihat sekali kalau dia menahan kesakitan. Karena Maura yang tidak kunjung berhenti menangis, akhirnya pria itu mengajak Maura untuk pergi menjauh dari pelataran masjid.Dia takut malah menjadi viral lagi karena hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Sang pria baru saja pulang dari kantor. Sebenarnya dia sudah pulang dari jam 5 sore, tapi ada beberapa berkas yang harus dipelajari oleh Raka. Jadi, dia kembali ke kantor Mila dan mengambilnya, tetapi di jalan pria itu ingin ke toilet. Tetapi, tidak menemukan pom bensin dan akhirnya harus ke masjid ini. Saat keluar mendapati ada Maura yang terduduk sendiri sembari kebingungan. Tentu saja Raka yang mengenal wanita itu tidak tega kalau misalkan melewatinya saja tanpa bertanya, tapi siapa sangka? Malah seperti ini. Wanita i
"Apakah aku tidak akan merepotkan, Mas?" "Ya, nggaklah. Asalkan kamu nggak macem-macem, pasti semuanya akan aman. Nanti aku akan jelaskan semuanya," ucap Raka. Dia tidak mengatakan kalau yang dimaksud adalah Mila. Sementara Maura berpikir kalau Raka sedang membicarakan ibunya.Wanita itu tersenyum penuh arti. Dia benar-benar bersyukur. Akhirnya bisa mendapatkan tempat tinggal meskipun mungkin dia harus lebih sabar menghadapi orang seperti Bu Sinta. "Ya sudah, ayo kita berangkat! Nanti keburu malam, aku takut diomeli," ajak Raka yang langsung diangguki oleh Maura. Wanita itu pun akhirnya pergi bersama Raka menggunakan mobil. Maura tampak kebingungan, karena setahunya Raka itu tidak punya apa-apa setelah bercerai dengan Lusi. "Mas, ini mobil kamu?" tanya Maura membuat Raka diam. Kalau dia mengatakan jika itu adalah mobil istrinya, tentu saja ini sangat melukai harga diri sebagai laki-laki. Tetapi dia juga tidak mungkin mengatakan kalau ini miliknya. "Bukan, aku hanya memakainya s
Sama halnya dengan Maura, Mila pun terkejut mendapati Adik yang tidak diinginkan itu sudah berada di depan. Mila menoleh kepada Raka dengan tatapan menyelidik dan juga marah. "Kenapa kamu datang bawa dia?" tanya Mila membuat Raka menaikkan kedua alisnya. "Dia? Kamu kenal wanita ini?" tanya Raka, kebingungan.Mila terkesiap. Dia lupa kalau Raka tidak tahu jika Mila punya Adik bernama Maura. Wanita itu juga tidak tahu kalau ternyata Maura menyembunyikan identitas Mila dari siapa pun. Dengan cepat Mila berusaha mengubah ekspresinya. "Iya, siapa juga yang kenal dia?" Kata-kata itu langsung menusuk hati Maura. Sang wanita yang sebelumnya kaget itu langsung terlihat sedih. Dia sampai menurunkan pandangan, berusaha untuk menahan air mata yang hendak keluar. Sungguh sebuah kejutan yang membuat hatinya remuk redam. Dia kira Raka akan membawa ke rumahnya, tetapi ternyata pria itu membawa Maura ketemu dengan wanita yang begitu dihindari selama ini. Lalu, apakah dia sekarang harus pergi dari
"Lalu, kamu pikir memasukkan wanita lain ke rumahku itu juga atis? Itu juga tidak etis. Aku tidak mau dia ada di tempatku. Bawa dia pergi dari sini," ungkap Mila dengan ketegasannya. Dia tidak mau sampai hidupnya direcoki lagi oleh Maura. Kehadiran adiknya di dunia ini saja sudah salah menurut Mila, apalagi kalau misalnya dia benar-benar satu atap dengan Maura. Bisa-bisa hidupnya tidak akan tenang. Raka terperangah. Dia tidak tahu kalau Mila sampai protes sebab kehadiran Maura. Begitu cemburuan Mila pada seorang wanita sampai seperti ini. Begitu pikir Raka. Jadi tidak ada kesempatan untuk Maura. Wanita itu juga hanya diam menunjuk. Tampaknya Raka harus benar-benar membujuk Mila agar mau membiarkan Maura tinggal di sana beberapa hari.Mungkin pria itu akan mencari tempat tinggal yang baru untuk Maura. Dia tidak boleh kehilangan Maura. Ini kesempatan untuk menghancurkan Devan, yaitu melalui Maura. Dengan menikahkan anak di bawah umur ini bersama pria yang menjadi saingannya. "Maura,
"Ya, karena aku kasihan kepadanya, Mil. Aku kenal dia." "Jadi, maksudmu kalau kamu kenal seorang wanita jika dia kesusahan, kamu akan membawa ke sini dan menampungnya? Memberikan perhatian lebih selayaknya seorang selingkuhan?" "Mila!" "Kenapa, Mas? Aku mengatakan yang sebenarnya, kan?! Kalau bukan karena hubungan terlarang, untuk apa lagi kamu menyimpan wanita itu di sini?" Raka greget sendiri menghadapi wanita ini, tetapi pria itu berusaha untuk sabar. Bagaimanapun ini adalah rumah Mila dan tidak mungkin dia memaksakan kehendak. Sementara pemilik rumahnya saja begitu menolak seperti ini. "Tidak seperti itu, Mil. Baiklah, aku akan menceritakan yang sebenarnya. Maura ini adalah anak yang tinggal dengan Lusi." "Lusi lagi! Jadi, kamu sengaja menampung wanita itu untuk mendapatkan Lusi?!" "Bukan seperti itu, Mila. Makanya dengarkan dulu kalau aku bicara," ujar Raka, masih berusaha untuk tenang dan menjelaskan semuanya dengan terperinci. "Luai mengambil hak asuh untuk menyekolahka
"Berapa hari dia tinggal di sini?" tanya Mila, tiba-tiba saja membuat Raka terkesiap. Pria itu benar-benar kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh istrinya. "Ya, aku tidak bisa pastikan, Mil. Tapi aku akan berusaha sebisa mungkin untuk mencari kontrakan untuknya atau kalau perlu, biarkan saja dia jadi pelayan di toko. Dengan begitu dia kan tidak perlu lagi menumpang di sini dan bisa hidup layak sebagaimana mestinya," papar Raka memberikan alasan dan dia juga memang ingin melakukan semua itu untuk Maura. Setidaknya Maura tidak pergi ke mana-mana sampai wanita itu bisa mendapatkan Devan. Mila diam sejenak, ini benar-benar memuakkan untuknya. Sungguh, dari hati kecilnya wanita itu tidak mau menampung Adik yang tidak pernah dianggap. Tetapi kalau misalkan dia menolak, takut malah akan menjadi karma untuk anak yang ada dalam kandungan. Akhirnya setelah dipertimbangkan Mila pun mengizinkan Maura tinggal di sini."Baiklah, Mas. Aku izinkan dia tinggal di sini." Raka tersenyum pen