"Oh, ya. Kamu tadi baru pulang kok kayaknya mau pergi lagi? Mau ke mana, Mas? Dan sepertinya aku tadi melihat ada seseorang yang duduk di jok mobil yang biasanya kududuki saat pergi bersama kamu?"
Seketika wajah itu terlihat pias. Mas Yoga mengubah posisinya yang semula berhadapan denganku. Mungkin ia tak ingin jika aku melihat kegugupannya. Baru pertanyaan begitu saja kamu sudah takut, gitu kok sok-sokan berselingkuh. Ingin menikah lagi pula.
Aku tersenyum samar.
"Mas?"
"Eh, iya, Sayang? Ada apa?" ucap Mas Yoga yang sepertinya sedang menyembunyikan kegugupannya. Akan tetapi, aku sudah mengetahui bangkai yang selama ini dia pendam.
"Kamu tadi di mobil sama siapa? Kayaknya ada perempuan deh," ucapku dengan nada setenang mungkin, akan tetapi pastinya mampu membuat dada Mas Yoga berdebar-debar.
"Maksud kamu?" Mas Yoga bertanya balik.
"Aku tadi lihat seperti ada seseorang di dalam mobil," ucapku berbohong. Padahal sewaktu perempuan itu masuk ke dalam mobil, ia langsung mem bungkukkan tubuhnya lebih dalam yang sepertinya sudah menyadari kehadiranku saat baru saja aku membuka pintu. Andai kata aku tak mengetahui saat perempuan itu sempat keluar, mungkin aku juga tak tahu saat di mobil yang dikendarai suamiku ada perempuan yang merupakan selingkuhannya itu.
"Nggak ada siapapun di mobil. Tadi hanya ada Mas loh. Kamu kayaknya lelah sekali hingga salah lihat seperti itu," ucap Mas Yoga sembari terkekeh. Aku tahu, ia hanya pura-pura tertawa untuk menyembunyikan ketakutannya.
"Masa sih, Mas? Kayaknya enggak deh. Aku tadi lihat ada perempuan di dalam mobil. Aku masih ingat dia kayaknya pakai dress tanpa lengan berwarna merah maroon dengan rambut yang tergerai deh."
Seketika wajah itu semakin terlihat memucat saat aku mengatakan pakaian yang dikenakan oleh perempuan itu.
"Kamu ini ada-ada saja, Ren. Mana mungkin ada perempuan di dalam mobil. Apalagi bagian dalam mobil lampunya mati. Mana mungkin terlihat kalau pun ada, Ren," ucap Mas Yoga lagi.
"Aku mau memastikan dulu, Mas. Kok firasatku nggak enak. Jangan-jangan kamu tadi bawa orang mau ke rumah ini ya, Mas." Aku menatap wajah itu dengan sorot mata yang menyelidik.
Iris hitam itu terus bergerak, menandakan jika saat ini dia sedang tidak baik-baik saja.
"Aku mau cek dulu, Mas." Cepat aku bangkit dari bibir ranjang, setelahnya aku langsung berjalan meninggalkan Mas Yoga.
"Ren, kamu mau ke mana, sayang?"
Mas Yoga mengikuti langkahku hingga akhirnya ia mensejajari langkahku.
"Kamu mau ke mana, Sayang? Mas lapar sekali. Yuk kita makan," ucap Mas Yoga yang sepertinya tengah berusaha menghentikan langkah kakiku.
Mas Yoga mencekal lenganku, hingga membuat langkah kaki ini terhenti.
"Mas lapar, yuk kita makan," ucap Mas Yoga masih dengan raut wajahnya yang memucat.
"Aku cek mobil dulu, setelah itu aku bikinkan makanan. Bentar, ya. Bentar doang."
Aku melepaskan cekalan tangan Mas Yoga dengan pelan. Setelahnya bergegas aku melangkah ke luar rumah. Tak kupedulikan Mas Yoga yang terus mengikutiku, tak kupedulikan usaha Mas Yoga yang terus berusaha menghentikan langkahku.
Aku tahu, kali ini dia sangat ketakutan sekali.
Aku terus melangkah hingga akhirnya kedua kaki telah menapak di teras rumah.
Mas Yoga semakin dibuat kalang kabut. Aku berhenti di samping pintu mobil, setelahnya aku menolehkan kepala ke arahnya. Wajah itu semakin terlihat memucat. Seperti sudah tak ada aliran darah di sana.
Aku meraih gagang pintu mobil, saat ingin menariknya, tiba-tiba ....
"Sayang ...."
Cepat kutarik gagang pintu mobil itu. Akan tetapi tak kudapati seorang pun ada di sana.
Aku menolehkan kepala ke segala penjuru, ingin mencari keberadaan perempuan itu tentunya.
Mungkinkah dia sudah keluar dari halaman rumahku?
Bergegas aku melangkah ke luar halaman. Menolehkan kepala ke arah kiri dan kanan, namun hasilnya tetap nihil. Tak ada siapapun.
Aku menghembuskan napas berat.
Aku kembali memutar tubuh lalu melangkah lebih masuk ke halaman rumah. Saat kedua netra ini, terlihat dengan jelas seraut wajah itu tak lagi memucat. Gurat kelegaan terlihat dengan jelas di wajah itu.
Bahkan, saat baru saja kubuka pintu mobil tapi tak kutemukan siapapun di sana, gendang telingaku nenangkap Mas Yoga sedang menghembuskan napas panjang. Seperti mengisyaratkan kelegaan luar biasa.
"Nggak ada siapa pun kan?!" ucap Mas Yoga setelah aku menghentikan langkahku di sampingnya.
"Kamu kenapa sih kok mencurigaiku tanpa alasan seperti itu?!" ucap Mas Yoga dengan nada tak suka.
Ya begitulah lelaki, dia akan marah ketika posisinya sudah terhimpit. Seperti saat ini, misalnya.
"Mas, sekarang itu sedang marak kasus perselingkuhan. Apalagi kamu pemilik rumah makan. Siapa tahu kan ada seorang perempuan yang berusaha menggoda kamu," ucapku.
Mendengar penuturanku, kedua tangan Mas Yoga terangkat lalu berhenti di atas kedua pundakku. Sejenak, kedua telapak tangan itu meremas kedua pundakku hingga aku bisa merasakan nyeri di bagian sana.
"Ren! Denger, ya. Aku nggak suka kalau dicurigai seperti itu! Kamu tahu, itu sama saja kalau kamu tidak percaya denganku! Aku nggak suka kamu seperti ini!" ucap Mas Yoga sembari menatapku dengan lekat.
"Mas, sekarang banyak perempuan murahan yang berusaha mendekati suami orang, Mas! Apa salah jika aku takut akan hal itu?!"
Mas Yoga melepaskan tangannya dengan kasar. Terdengar dengan jelas lelaki itu menghembuskan napas berat sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah-olah sedang menganggap jika yang kukatakan ini hanyalah sebuah lelucon belaka.
"Tapi nyatanya, kecurigaan kamu nggak terbukti, kan?! Ren, jika kamu terus menganggap dan berpikir kalau aku seperti itu, maka jangan salahkan aku jika aku benar-benar selingkuh!" ucap Mas Yoga. Kali ini nada suaranya terdengar tak lebih dari sebuah ancaman.
Mas Yoga melenggang pergi meninggalkanku yang hanya bisa tersenyum kecut. Lelaki itu marah karena ingin menutupi kebenaran yang sesungguhnya.
"Apa yang kamu pikirkan, itu lah yang akan terjadi, Ren. Jangan pernah berpikir buruk kalau kamu tak mau keburukanlah yang terjadi! Jika kau menganggapku berselingkuh, percuma selama ini aku menjaga kesetiaanku!"
Rasanya ingin sekali aku tertawa lebar saat mendengarkan ucapan lelaki itu. Dengan tak tahu malunya dia mengatakan soal kesetiaan.
Mas yoga kembali melanjutkan langkahnya. Sebenarnya ingin sekali kucaci maki lelaki itu, membenturkan kepalanya ke tembok, supaya otak yang mungkin bergeser itu kembali ke tempatnya.
Lagi-lagi aku tak boleh gegabah dalam bertindak. Sebab aku memiliki rencana untuk menyelamatkan harta yang telah kami cari berdua. Tentu saja dengan cara yang bisa dibilang licik. Biar saja kali ini aku berpura-pura tidak mengetahui perselingkuhannya, padahal di belakang dirinya aku sudah menggencarkan segenap rencana.
Sebelum aku melangkah dan masuk ke dalam rumah, kembali aku mengedarkan pandang ke segala penjuru. Memastikan jika perempuan sund*l itu sudah tidak ada di sini.
Saat kedua netra ini tak mendapati sosoknya, aku melangkah masuk ke dalam rumah. Tujuan utamaku adalah kamar. Aku yakin, Mas Yoga sudah berada di sana.
Saat aku baru saja membuka pintu, terlihat Mas Yoga sedang duduk di tepi ranjang sembari memainkan ponselnya. Mungkin ia menghubungi sang kekasih pujaan hatinya. Mungkin ia khawatir di mana keberadaan perempuan yang saat ini telah berhasil memenuhi isi kepalanya itu.
Melihat kedatanganku, Mas Yoga langsung melirikkan matanya ke arahku. Cepat ia naik ke ranjang, meletakkan ponsel yang tadi ia genggam ke bawah bantal. Setelahnya ia pun merebahkan tubuhnya di sana dengan posisi memunggungi keberadaanku.
Aku mencebikkan bibirku.
Aku melangkah mendekat ke arah ranjang. Ingin sekali rasanya aku naik ke atas ranjang lalu menjejakkan kaki ini ke tubuh lelaki tak tahu diri itu. Ingin sekali kubekap wajahnya dengan bantal lalu kutendang tubuhnya dan kupotong benda pentingnya itu.
Aku menghembuskan napas berat, berharap mampu kembali menormalkan jalan pikiranku ini.
Aku menghenyakkan tubuhku di bibir ranjang, di tempat Mas Yoga berbaring.
"Mas, maafkan aku."
Aku pura-pura memasang raut wajah penuh dengan rasa bersalah.
Mas Yoga menghembuskan napas berat sembari mengubah posisinya. Memunggungiku.
Aku meraih punggung itu.
"Maafkan aku yang menuduhmu tanpa alasan. Mungkin karena aku sering sekali menonton film perselingkuhan hingga akhirnya pikiran buruk itu terlintas dalam otakku, Mas. Aku jadi mencurigai kamu." Aku berbicara dengan nada lembut. Tak mungkin kan kalau aku ngegas sedangkan aku ini berpura-pura percaya dengannya.
"Aku mau tidur!" ketus Mas Yoga sembari menyingkirkan tanganku dari punggungnya.
"Katanya lapar. Aku masakin dulu ya."
"Nggak perlu! Aku sudah kenyang dengan tuduhan dan pikiran burukmu itu!" Mas Yoga berucap dengan begitu ketusnya.
Andai aku belum mengetahui kebusukannya itu, pasti saat ini aku sedang menghiba untuk mendapatkan permintaan maafnya.
Akhirnya aku naik ke atas ranjang. Merebahkan tubuhku di tempatku. Melihatku yang ingin tidur, Mas Yoga kembali mengubah posisinya. Memunggungiku. Aku tersenyum samar. Untung saja dia memunggungiku, andai dia menghadapkan wajahnya ke arahku, pasti sudah kutonjok wajahnya itu
Aku meraih posisi ternyamanku. Sebenarnya ada rasa sesak yang menyeruak saat memikirkan nasib rumah tanggaku yang sebentar lagi dipastikan akan hancur.
Aku menolehkan kapala ke arah jam yang menggantung di dinding. Hari sudah larut malam. Hingga akhirnya aku benar-benar terlelap dalam tidurku.
****
Sayup-sayup aku mendengar seseorang tengah bersuara. Beberapa kali aku mengerjapkan kedua mataku. Berharap mampu segera mengumpulkan kesadaranku. Keningku berkerut tajam saat mendengar suara yang begitu amat kukenali tengah bercakap-cakap dengan seseorang.
Aku bangkit dari pembaringan. Sejenak aku melirik ke arah jarum jam. Ternyata baru sekitar satu jam aku tertidur.
Aku melangkah mendekat ke arah sumber suara itu. Dari pintu yang sedikit terbuka, aku bisa melihat tubuh Mas Yoga sedang berdiri di balik pintu dengan tangan kanan memegang ponsel dan ditempelkan di telinga kanannya.
Aku berdiri di balik pintu, hingga dengan jelas aku bisa mendengar ucapan demi ucapan yang dilontarkan oleh lelaki yang bergelar suamiku itu.
"Andai dia memintaku untuk memilih, tentu aku akan memilih kamu, Sayang. Tapi semua butuh waktu, jangan sampai dia menikmati hasil jerih payahku."
"Andai dia memintaku untuk memilih, tentu aku akan memilih kamu, Sayang. Tapi semua butuh waktu, jangan sampai dia menikmati hasil jerih payahku." Aku mengepalkan kedua tanganku dengan erat hingga terciptalah rasa nyeri di kedua telapak tanganku akibat kuku-kuku yang tertancap di sana. Mata yang semula terasa mengantuk, kini terbuka dengan sepenuhnya. Satu fakta lagi terkuak. Sekarang aku tahu, saat ini Mas Yoga masih bertahan untuk tidak menceraikan aku karena ingin menguasai harta yang kami dapatkan setelah menikah. Ya, Mas Yoga dan aku berasal dari keluarga yang sama-sama sederhana. Setelah kami menikah, kami memutuskan merantau ke kota yang kami tempati saat ini. Kami bekerja sama dalam memulai menjalankan usaha. Semula, kami hanya berjualan keliling dengan gerobak. Dan itu berjalan hampir satu tahun lamanya. Hingga pada akhirnya kami pun memiliki pelanggan yang bisa terbilang banyak. Dan di tahun kedua, kami memberanikan diri untuk mengontrak ruko berukuran kecil yang kami g
Kendaraan roda empat yang aku tumpangi membelah jalan raya dengan kecepatan sedang, hingga puluhan menit kemudian mobil milik Maya berhenti di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Maya menekan klakson mobil beberapa kali hingga tak berselang lama pintu gerbang itu terbuka.Sepersekian detik kemudian terlihatlah sosok lelaki berkumis tebal berperawakan tinggi besar dan berpakaian khas orang satpam menyembul dari balik pintu gerbang. Maya menurunkan kaca mobil hingga akhirnya satpam itu bisa melihat wajah Maya. Maya meminta orang itu untuk membuka pintu gerbang. Mungkin karena satpam tersebut sudah mengenal Maya sehingga ia itu membuka pintu gerbang setelah menganggukkan kepalanya ke arah Maya. Beberapa detik mobil melaju masuk ke dalam halaman rumah hingga pada akhirnya kendaraan roda empat kami berhenti tepat di depan rumah yang terlihat begitu megah. Rumah yang bergaya modern, berlantai tiga dan berwarna putih. Ada banyak bunga-bunga yang berjajar dengan rapi dan terlihat begi
"Ada surat-suratnya?" "Ada, Om," ucap Maya lalu menolehkan kepalanya ke arahku yang duduk di sampingnya. "Tunjukkan surat-suratnya," ucap Maya dengan nada setengah berbisik. Bergegas aku membuka tas yang kubawa, lalu mengeluarkan surat-surat penting dari dalam sana. Ya, aku memang berniat menggadaikan rumah, restoran dan juga mobil. Jika kalian bertanya kenapa aku melakukan ini, salah satunya karena aku ingin mengambil semua harta-harta itu. Kedua, karena aku ingin memberikan pelajaran pada mereka berdua. Sebenarnya ada pilihan lain, yaitu menjual aset-aset ini. Akan tetapi, terlalu lama tentunya untuk mencari pembeli dengan cepat. Apalagi semua aset itu atas nama Mas Yoga. Tentu aku yang akan kesulitan jika menjual tanpa sepengetahuan Mas Yoga. Dan aku memilih jalan yang paling mudah, yaitu menggadaikan. Meskipun uang yang kuterima tak sebanyak dari hasil penjualan. Ya, biarlah mereka nanti terkejut saat mengetahui jika semua aset telah kugadaikan dan uang telah kubawa semuanya
Aku bangkit dari persimpuhanku, bergegas aku berjalan menuju ke arah tempat dudukku yang semula. Aku menghapus jejak-jejak air mata yang masih tersisa dengan punggung tanganku. Entah setan apa yang merasukiku kali ini, begitu mudahnya aku mengeluarkan air mata. Padahal selama ini aku bukanlah tipe perempuan yang cengeng. Bahkan, mendapati suamiku berselingkuh pun aku tak bisa menangis. Lantas, kenapa hari ini begitu mudahnya aku mengeluarkan air mata? Oho ... sepertinya itu karena aku takut jika aku tak mendapatkan harta itu. Bukankah jika semua aset jatuh ke tangan Mas Yoga beserta selingkuhannya itu jauh lebih menyakitkan dibandingkan dengan sebuah pengkhianatan?"Akting kamu bagus sekali, Ren." Maya mengacungkan jempolnya tepat di depan wajahku. Segera aku menepis tangan itu, sebab tinggal satu centi saja jempol maya sudah menyentuh pucuk hidungku. "Aku nggak nyangka kamu pintar sekali mengeluarkan air mata palsu." Maya tergelak tawa setelah menyelesaikan satu kalimatnya. "Apa
Aku mengalihkan pandangan ke arah Pak Chandra yang sedang menatapku lalu aku berkata, "Saya setuju, Pak.""Silahkan ditandatangani."Aku mengangguk yakin. Bergegas aku membubuhkan tandatangan lalu kuselipkan nama di bawah tandatangan yang sudah tertempel oleh materai. Aku menerima jangka waktu selama enam bulan sebab aku yakin, di bulan itu aku sudah resmi bercerai dengan Mas Yoga. Seyakin itu kah diriku?Tentu!Tak lama lagi aku akan melayangkan gugatan ceraiku ke pengadilan. Proses perceraian pun pasti tak akan berlangsung lama. Sebab, tak akan ada penyelesaian soal harta gono-gini maupun hak asuh anak di persidangan nanti. Toh Mas Yoga pun juga sudah berniat menceriakan aku. Tentu ia senang hati kalau aku telah menggugat cerai dirinya, apalagi tanpa membawa secuil harta miliknya. Aku benar-benar bernapas lega.Kuletakkan lembaran kertas yang sudah kububuhi tandatanganku. Pak Chandra menyerahkan dua amplop tersebut. Dengan senang hati tentunya aku menerima amplop itu. "Hitunglah
Setelah membayar tagihan makanan, kami pun bergegas keluar, hingga saat kami hampir sampai di ambang pintu, gendang telingaku menangkap suara yang sangat aku kenali mengucapkan kalimat yang seketika menciptakan gemuruh di dalam dada. Seketika aku menghentikan langkahku saat mendengar suara dari seseorang yang begitu aku kenali. Maya yang menyadari langkahku yang terhenti, seketika ikut menghentikan langkahnya lalu menolehkan kepalanya ke arahku. "Rena sudah lima tahun nikah dengan Yoga, tepi belum juga mendapatkan keturunan. Ibu yakin, setelah menikah dengan kamu. Kamu akan cepat memberikan cucu pada Ibu. Dia itu perempuan mandul. Bukan perempuan sempurna."Deg. Seketika jantungku terasa berdegup dengan kencang saat mendengar penuturan yang keluar dari mulut ibu mertua. Entah sejak kapan ibu mertua datang ke kota ini. Di sana, di meja makan itu ada ibu mertua yang duduk memunggungi keberadaanku, sedangkan perempuan itu menghadap ke arahku. Mungkin ia belum mengenali aku yang merup
Akhirnya aku pun mengenakan sabuk pengaman, pun juga yang dilakukan oleh Maya. Hingga beberapa menit kemudian, mobil mulai keluar dari halaman cafe dan melesat membelah jalan raya. "Kamu tahu kalau mertua kamu ada di sini?" tanya Maya yang saat aku menolehkan kepala ke arahnya, pandangannya lurus ke depan menatap jalan raya. "Aku nggak tahu. Entah sejak kapan Ibu ada di sini. Bisa jadi hari ini dia baru datang.""Kok bisa sama selingkuhan suami kamu ya? Apa mereka sudah saling mengenal dan Ibu mertua kamu pun tahu soal hubungan gelap mereka? Dan ya, apalagi mertua kamu bilang soal cucu. Bukankah itu artinya ....""Ya, itulah yang juga aku pikirkan saat ini. Mungkin Ibu mertua sudah mengetahui dan mendukung perselingkuhan yang dilakukan oleh putranya, bahkan sampai mendukung ke jenjang pernikahan," jawabku dengan cepat saat kurasa Maya sengaja menggantung ucapannya. Mungkin ia tak enak jika ingin melanjutkan apa yang ingin ia katakan itu. "Kebangetan itu kalau sampai-sampai emaknya
Saat baru saja pintu itu terbuka terlihatlah tiga seseorang yang saat ini berdiri di hadapanku. Seseorang yang seakan-akan mampu membuat dekap jantung ini seketika seperti berhenti berdetak. Bagaimana tidak, aku melihat Mas Yoga, ibu mertua dan juga selingkuhan suamiku datang ke rumah ini. Aku tidak terkejut jika Mas Yoga membawa ibunya akan tetapi berani sekali dia membawa gundiknya itu untuk datang ke sini. "Assalamualaikum, Ren."Aku tersentak dari lamunanku saat Mas Yoga mengucapkan salam. Aku mengerjapkan kedua mataku. "Waalaikumsalam, Mas," ucapku. Bergegas aku meraih punggung tangan Mas Yoga lalu mencium punggung tangan lelaki itu, setelahnya aku pun mencium punggung tangan ibu mertua. "Ibu datang ke sini, Ren. Baru saja tiba," ucap Mas Yoga yang tentu saja adalah sebuah kebohongan, Padahal jelas-jelas tadi siang aku melihat ibu bersama gundiknya itu. Akan tetapi Mas juga mengatakan jika Ibu baru saja tiba."Dia siapa Mas?" tanyaku pura-pura tidak tahu."Oh dia, namanya muti
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.